
Tes dulu, kalau suka komen yaa 😘
BAB 1 - Perceraian
"Aku jatuhkan talak padamu, Nala Nirmala. Aku haramkan diriku atas dirimu mulai detik ini."
Suara menggelegar dalam balutan amarah yang pasti. Iris mata gelap yang menusuk hingga ke dasar hati. Mata sehitam jelaga itu adalah mata sama yang pernah menatap Nala dengan penuh cinta, mata yang kini hanya menyimpan kebencian di dalamnya.
"Mas ..." Panggilan Nala tertahan, lidahnya kelu mendengar ucapan yang berhasil mematahkan hatinya menjadi kepingan.
"Pergilah, aku tidak mau melihatmu berada di sekitarku dan Saka lagi." Tangan Arham mengusir halus, lalu tubuhnya berpaling meninggalkan Nala yang bersimpuh beku.
"Aku ibu Saka, Mas. Selain mencampakanku, kamu juga memintaku untuk menjauh dari anakku sendiri?"
"Ibu?" Arham mengulangi panggilan Saka pada Nala. "Ibu yang menelantarkan anaknya, yang sibuk berselingkuh dengan laki-laki lain, begitu maksudmu?"
"Demi Tuhan! Bagaimana bisa kamu menuduhku seperti itu?"
"Sudahlah, jangan terlalu banyak drama. Aku memberimu uang yang tidak sedikit setelah perceraian ini, bisa kamu gunakan untuk memuaskan nafsu."
Air mata Nala kembali menetes deras, isakannya terdengar parau. Sejenak ia mengambil jeda, memberi waktu pada hatinya untuk menenangkan diri. "Aku tidak pernah melakukan semua yang kamu tuduhkan. Bukankah kamu yang justru pertama kali menodai ikatan ini?"
Satu bulan sebelum kata talak diucapkan, Arham pernah membawa seorang wanita masuk ke dalam rumah di saat keduanya masih sah sebagai suami istri. Di depan Nala—, Arham menunjukan kedekatan, laki-laki itu menegaskan bahwa sudah tidak ada lagi nama Nala di hatinya.
"Aku hanya kembali jatuh cinta, pada wanita baik-baik yang kuanggap tepat."
Rasa ngilu merambat ke seluruh penjuru, Nala menekan dadanya dengan tangan kuat-kuat. Wanita itu kembali mendongak, memandang manik mata gelap yang tak sudi melihat ke arahnya. "Wanita baik-baik tidak akan memasuki rumah yang sudah berpenghuni."
Murka di hati Arham semakin tersulut, laki-laki itu mendekat cepat, melayangkan satu tamparan keras di pipi Nala. "Wanita kotor sepertimu tidak pantas merendahkan wanita lain yang derajatnya jauh lebih tinggi, sadar Nala, kamu telah kehilangan semuanya, termasuk cinta dan kepercayaanku."
Sakit yang Nala rasakan di dalam hati semakin menjadi-jadi. Dulu, Arham mencintainya dengan sangat, tetapi kini laki-laki itu seperti seseorang yang sama sekali tidak Nala kenal.
Nala berdiri dari tempatnya bersimpuh. Ia lelah mencoba mengais sisa perasaan dan kasih sayang Arham. "Baiklah, aku pergi, seperti keinginanmu. Semoga kamu dan wanita itu bahagia" ucap Nala lalu bergegas meninggalkan rumah tanpa menunggu tanggapan Arham.
Wanita itu berjalan menjauh tanpa lagi melihat ke belakang. Ia menuju kamar yang dulu pernah menjadi kamar pengantinnya dengan Arham, kamar yang mereka masuki pertama kali dengan penuh doa dan harapan. Sesak yang Nala rasakan menghantam kuat ketika ia membuka pintu, bayang-bayang percintaan mereka masih tersimpan rapi di tempat ini. Ranjang yang menjadi saksi besarnya rasa yang pernah mereka selami, dinding-dinding yang menjadi pendengar bisu ribuan ucapan cinta Arham untuk Nala.
Lantas ke mana semua itu pergi?
Tak ingin terlalu lama menabur duri, Nala mengepaki barang-barang pribadi miliknya. Ia tidak membawa satupun barang pemberian Arham yang bisa mengingatkan wanita itu dengan rumah ini. Kecuali Saka, hanya anak itu yang tidak bisa Nala lepaskan begitu saja. Nala akan berjuang untuk anaknya.
Tiga tahun pasca perceraian Nala mencoba menata kembali hidupnya yang berantakan. Ia bekerja sebagai seorang seketaris di perusahaan tekstil. Alih-alih kembali ke kampung berkumpul dengan keluarga, Nala tetap memilih tinggal di Jakarta, dekat dengan mantan suaminya.
Nala tidak ada niatan kembali pada Arham, ia hanya ingin bertemu dengan Saka—, harta satu-satunya yang teramat berharga. Nominal uang yang sangat besar Arham keluarkan demi bisa mendapatkan hak asuh anak. Dengan mudah, pengadilan memberikan hak sepenuhnya kepada Arham tanpa sedikitpun kesempatan untuk Nala bertemu Saka.
Nala sadar, dia tidak akan bisa mengalahkan Arham dengan segala kekuatannya. Jadi, jalan inilah yang Nala pilih. Berdiri tak jauh dari kediaman mantan suaminya seperti seorang penguntit, berada di balik pohon besar agar kehadirannya tidak diketahui Arham dan pengawalnya.
Tepat pukul setengah lima sore Nala sudah sampai di rumah mantan suaminya. Jam-jam ini biasanya baby siter Saka membawa anak itu ke luar rumah untuk jalan-jalan. Rumah yang biasanya terlihat ramai, sore ini menyajikan sepi. Nala duduk di kursi plastik sambil menunggu dawet pesanannya jadi. Di dekat rumah Arham, ada seorang penjual dawet yang cukup sering bertemu dengan Nala.
Namanya bu Atun, dari bu Atun Nala sering mendapatkan informasi tentang keadaan anaknya dan kondisi rumah Arham, meskipun dari informasi yang ia dapatkan Nala harus siap membayar dengan membeli dawet bu Atun.
"Mantan suamimu kemarin kecelakaan," ucap Bu Atun tiba-tiba. Tangannya yang penuh dengan gelang emas imitasi menciptakan suara nyaring saat menuang santan ke dalam gelas.
"Hah? Ibu serius?" tanya Nala kaget.
Wanita paruh baya itu mengangguk. "Mantan suamimu luka parah, dia dapat karma karena selama ini selama ini nyakitin kamu, ibu dari anaknya."
Nala cukup terkejut dengan fakta yang baru saja didengar. Dia memang membenci Arham, tetapi saat mendengar laki-laki itu mendapat musibah, hati Nala tersentuh. Bagaimanapun Arham adalah orang yang pernah menempati sudut ruang terdalam di hati Nala, seseorang yang pernah dia cintai dengan sangat.
"Terus sekarang Mas Arham gimana, Bu? Masih di rumah sakit? Atau bagaimana?" tanya Nala ingin tahu.
"Sepertinya parah sih, denger-denger dia sampai dibawa ke Singapura untuk pengobatan.”
Nala mengangguk pelan, lalu tiba-tiba otak cerdasnya menyimpulkan sesuatu. "Bu, ibu tahu siapa saja yang pergi ke Singapura?"
"Mungkin semua, Na."
"Berarti nggak ada mereka di rumah ini?" tanya Nala meminta pertimbangan.
Bu Atun terlihat berfikir, wanita itu sempat menghentikan aktivitasnya. "Iya sih ... sepertinya yang keluar masuk belakangan ini cuma pembantu sama penjaga rumah."
"Aku bisa ketemu Saka dong, Bu?"
"Harusnya bisa, coba aja masuk, Na."
Tak perlu menunggu lama Nala langsung bergegas berjalan ke arah rumah mantan suaminya. Berharap bisa bertemu dengan Saka disaat suaminya mendapatkan musibah. Terdengar jahat memang, tetapi ini adalah kesempatan Nala untuk bisa leluasa bertemu dengan anaknya.
Namun, belum juga menginjakan kaki di pelataran rumah Arham, Nala dihadapkan dengan sosok yang sama sekali tidak ingin ia temui di dunia ini. Langkahnya berhenti seketika, matanya melebar dan bibir yang terbuka karena terkejut.
Dari sekian orang yang mungkin ada, kenapa harus Nala bertemu dengan Ambar? Seorang wanita berparas cantik khas timur tengah yang santer terdengar sebagai calon istri Arham. Hidungnya mancung, kulitnya putih bersih. Sorot mata tajam Ambar berhasil mematahkan keberanian Nala di saat mata keduanya bertemu. Secara langsung, mereka tidak pernah saling berkenalan, tapi Nala yakin—, Ambar tahu sedang berhadapan dengan siapa.
"Masih berani kamu datang ke rumah ini?" tanya Ambar, tangannya yang hendak menutup pintu mobil berhenti di udara. "Mama Utari pernah bilang kalau mantan istri Mas Arham adalah wanita yang ndak punya malu, dan kamu membuktikan perkataan Mama sore ini."
"Aku hanya ingin bertemu Saka."
Senyum meremehkan tersungging dari wanita yang terlihat lembut namun terkesan mematikan. Ambar mengibaskan rambut ikalnya ke belakang, membenahi letak tas hitamnya di tangan. "Kamu mau menjadikan anakmu sebagai alat untuk kembali menemui Mas Arham."
Kalimat Ambar bukan pertanyaan, melainkan tuduhan langsung yang terang-terangan ditujukan pada Nala.
"Aku sama sekali tidak berniat balik sama Arham."
Ambar kembali tersenyum miring, bibir merah merona-nya yang sedikit tebal mengeluarkan decihan. "Tidak akan ada yang percaya dengan perkataanmu, watak tidak akan pernah bisa berubah. Wanita culas akan selalu berniat mendapatkan apa yang orang lain miliki."
Nyeri di hati Nala seperti tersulut api, menjalar hingga ke tulang. Nala sempat memejamkan mata di waktu yang lama, menguatkan hati untuk tidak pernah menyerah menemui Saka meskipun sakitnya luar biasa.
"Apa aku bisa bertemu Saka?" tanya Nala, tidak menanggapi dugaan-dugaan buruk Arham dan semua orang di sekitar laki-laki itu. "Aku sangat merindukan anakku."
"Pergilah, Mbak Nala. Jangan mempermalukan diri dengan muncul di rumah ini."
"Aku rindu Saka."
"Tapi Saka tidak," sahut Ambar cepat. "Saka bahagia bersama kami, bersama keluarganya. Dia tidak butuh ibu yang mengkhianati ayahnya demi laki-laki lain."
BAB 2 - Mantan suami
Nala pulang ke rumah kontrakan menggunakan ojek, karena jarak rumah dari kantornya tidak terlalu jauh. Perjalanan untuk sampai ke rumah kontrakan hanya sekitar lima belas menit, dan sekarang ini wanita itu sudah sampai di ujung gang rumahnya lalu berjalan masuk dengan jalan kaki. Jalan di depan rumah kontrakan Nala bisa dilewati motor, hanya saja susah karena sempit. Itu sebabnya Nala memilih turun di ujung gang, karena wanita itu tidak suka menyulitkan orang lain.
Sore ini dia berniat datang kembali ke rumah mantan suaminya. Seminggu berlalu Nala tidak berani mengunjungi rumah itu karena menurut informasi yang didapatkan dari Bu Atun, Utari—, mantan mama mertua Nala sudah kembali ke Indonesia. Sore nanti Nala ingin memastikannya sendiri, apakah Utari benar ada di rumah atau sudah kembali ke singapura.
Sudah lebih dari dua bulan sejak kecelakaan terjadi, namun kediaman Wijaya belum seramai seperti biasa. Arham masih mendapatkan perawatan lanjutan di Singapura, keluarga Wijaya pun masih hilir mudik ke luar negara. Melihat lamanya pengobatan, kondisi laki-laki itu mungkin sangat parah. Kondisi yang menjadi kesempatan Nala, karena dalam dua bulan terakhir ini, dia dapat menemui anaknya meskipun harus sembunyi-sembunyi. Kadang Nala berhasil masuk ke dalam rumah, kadang juga hanya bertemu Saka di pinggir jalan.
Nala bahagia bertemu Saka, meskipun lewat pertemuan itu—, lukanya yang belum sembuh akibat dicampakan seakan dikorek terus menerus.
Langkah Nala seringan kapas, pagi tadi ia sudah menyiapkan bakpao isi coklat kesukaan Saka. Berharap nanti mereka memiliki waktu temu meskipun hanya sebentar. Sekedar untuk mendengar celotehan Saka yang bercerita banyak hal, hati Nala menghangat. Ia melupakan segala kesedihan yang berputar di sekitarnya.
Namun, senyum Nala mendadak musnah, berganti keterkejutan dan debar jantung yang meletup hebat. Sesampainya di depan rumah, tubuh Nala membeku ketika menemukan sosok yang selama ini dihindari. Arham duduk di kursi kayu reot depan rumah kontrakan Nala, menatap Nala dengan pandangan teduh yang dalam. Balutan ketenangan yang sengaja dipertahankan Arham memaksa Nala menahan nafas, ketakutan menjalar melewati setiap inci pembuluh darah.
"Ng—ngapain kamu ke sini?" tanya Nala terbata, namun setiap lafal penggalannya penuh penekanan. Jika laki-laki itu berniat jahat, Nala tidak akan segan untuk menjerit meminta pertolongan.
Nala tinggal di pemukiman padat penduduk, hanya suara pelan saja dinding rumah di sebelahnya berhasil mencuri tangkap. Tak heran jika hampir setiap hari Nala mendengar suara gaduh keributan rumah tangga, tangis anak kecil hingga desah orang dewasa.
Wajah Arham mengerut bingung mendengar pertanyaan Nala, sudut bibirnya terangkat tipis. Nala merasa aneh menemukan Arham yang hanya seorang diri, biasanya laki-laki itu didampingi setidaknya satu atau dua orang besar-besar yang berpakaian serba hitam.
"Kok kamu ngomongnya gitu sama suami sendiri, Naa?"
Nada itu, suara itu, panggilan itu mengingatkan Nala tentang Arham di masa lalu. Saat mereka masih saling mencinta, suara Arham yang manja dan menuntut perhatian.
Nala memundurkan langkah, tiba-tiba kakinya lemas hingga tubuhnya nyaris terhuyung jatuh. Ucapan Arham membuat Nala semakin ketakutan, entah karena hatinya sendiri yang hancur berantakan, atau karena dibalik panggilan itu ada ancaman yang siap menikam.
"Kamu nggak kangen aku?" tanya Arham tanpa ragu.
"Aku lagi nggak ada waktu untuk bercanda, katakan apa maksud kedatanganmu ke sini, apa yang kamu inginkan?" tanya Nala setelah berhasil menguasai diri.
"Kamu," jawab Arham enteng.
"Maksudmu?"
"Kamu ... Nala Nirmala, aku mau kamu."
Nala kembali menciptakan jarak, sedikit menjauh dari suaminya yang mulai beranjak berdiri. Nala takut, cacian dan tamparan dulu yang pernah Nala rasakan kembali berputar di kepala. Otaknya menerka-nerka tujuan kehadiran mantan suaminya di kontrakan ini. Bisa saja laki-laki itu murka karena mengetahui kebiasaan Nala yang akhir-akhir ini yang sering menemui Saka, ketika Arham memulihkan kondisi kesehatannya pasca kecelakaan di Singapura.
"Berhenti ... berhenti aku mohon jangan mendekat," pinta Nala saat Arham beranjak mendekat.
Bukan wajah penuh ancaman yang Nala tangkap, tetapi justru luka yang ditunjukan Arham untuknya. Bola mata yang terakhir kali melihatnya sinis, sore ini terlihat tenang dan penuh rasa.
"Apa itu pilihan kalimat yang baik dari seorang istri untuk suaminya yang baru saja mengalami kecelakaan hebat? Yang baru saja berjuang mati-matian untuk bertahan hidup?"
Nala bingung mendengar kalimat yang diucapkan Arham, terlebih selama mengenal Arham, mantan suaminya itu tidak pernah bercanda. Arham adalah tipe laki-laki serius yang gila kerja, setiap hari Arham menghabiskan hampir seluruh waktunya di perusahaan.
"K—kita ... sudah bercerai," tegas Nala yang cukup aneh sebenarnya harus dijelaskan kepada Arham. Jelas-jelas laki-laki itu yang dulu memaksa Nala menandatangai surat cerai, yang mengucap talak di hadapan Nala.
"Aku tidak mungkin menceraikanmu, Nalaa," ucap Arham mengejek.
"Kamu melakukan itu, Arham demi Tuhan apapun yang coba kamu rencanakan saat ini membuatku takut," ucap Nala tak menutupi ketakutan. "Aku minta maaf karena selama ini menemui Saka di belakangmu, aku sangat merindukan anakku, aku minta maaf—."
"Kita sudah punya anak?" sahut Arham bingung, lalu senyum lebar tercetak di wajah yang terlihat lelah itu.
Semua ekspresi yang dinampakan Arham tak dibuat-buat, memaksa Nala semakin kebingungan.
"Pulanglah, Ham," usir Nala. "Kamu tidak pantas berada di sini."
"Aku hanya mau pulang jika bersamamu," jawab Arham.
"Kamu sudah punya calon istri, jangan gila."
Arham memasukan satu tangan ke saku celana, lalu tertawa renyah, "Lebih tepatnya, aku sudah punya istri, dan sekarang aku sedang meminta istriku untuk pulang bersama."
"Aku bukan lagi istrimu!" jelas Nala tak lagi tenang. Wanita itu bingung dan lelah dengan drama yang dimainkan Arham sore ini.
"Sudah aku jelaskan di awal, Nala. Seorang Arham tidak akan pernah menceraikan Nala."
Garis rahang Arham menegas, bibirnya mengatup kuat. Arham mengendurkan tubuhnya yang tiba-tiba kaku, lehernya menegang dan seluruh otot di tubuhnya pun tak jauh berbeda. Penolakan Nala semakin membuat laki-laki itu geram, pasca siuman di Singapura tanpa Nala sudah berhasil membuat kepalanya mendidih. Dan sekarang, saat dirinya pulang wanita itu justru menolaknya?
"Kamu benar-benar gila, Ham."
Nala menyerah, memberanikan diri untuk berjalan melewati Arham lalu membuka pintu rumah kontrakan. Nala tahu laki-laki itu mengekor di belakang, bahkan hingga masuk ke dalam kamar. Nala membuka lemari kayu tanpa kunci, namun belum sempat menemukan apa yang ia cari, Arham memeluknya dari belakang.
"Aku kangen kamu, Naa. Kangen bangeet," ucap Arham sambil mengendus kulit Nala yang ia gilai sejak dulu.
"Arham, lepas!" Nala memberontak, sekuat mungkin mencoba melepaskan belitan tangan mantan suaminya.
Nala merasakan sapuan bibir tebal di tengkuk, ciuman lembut dan menuntut dari arah belakang yang berhasil membuat Nala meremang. Lama tidak pernah berinteraksi dengan laki-laki, godaan sekecil apapun berhasil mempengaruhinya.
Nala mendorong tubuh Arham sekuat mungkin, hal yang membuat Arham memasang wajah terluka. "Ham, beri aku kesempatan bicara."
"Panggil aku dengan panggilan 'mas', seperti biasa kamu memanggilku." Arham sengaja menekan kata panggilan Nala untuknya, panggilan yang paling Arham rindukan.
"Nggak! Dengarkan aku dulu," tolak Nala.
Arham diam, masih belum menerima penolakan Nala.
Nala mengabaikan pikiran yang berkecamuk di kepala. Wanita itu kembali teringat dengan apa yang hendak dilakukan. Ia mengambil barang dari dalam almari, lalu meletakkan berkas perceraian di ranjang kamar. "Baca," titah Nala.
"Apa ini?"
"Berkas perceraian kita."
Arham tersenyum sinis. "Aku tidak mungkin—."
"Baca, Arham!"
Mata Arham melihat Nala malas, laki-laki itu meloloskan desah nafas panjang sebelum akhirnya melakukan apa yang Nala minta. Tanpa ketertarikan laki-laki itu membuka berkas bermap biru yang terletak di atas ranjang, satu persatu memahami isi di dalamnya. Kedua mata Arham membelalak, ketika fakta yang didapat jauh berbeda dengan apa yang ada di otaknya selama ini.
"Tidak ada lagi kita, Arham dan Nala sudah bercerai tiga tahun lalu."
Arham kembali terhenyak, tiba-tiba kepalanya terasa berat dan sakit. Dia baru saja pulih setelah lebih dari satu bulan koma, hampir dua bulan dia menjalani perawatan di Singapura tanpa ada Nala di sisinya. Dia pulang ke Indonesia mendahului kedua orangtua dan wanita yang sama sekali tidak Arham kenal, namun selalu mengaku sebagai kekasihnya.
Tentu Arham menolak mentah-mentah semua itu, bagi Arham cintanya sudah habis untuk Nala Nirmala! Tidak ada lagi tempat di hati Arham untuk wanita lain. Arham berontak hebat di rumah sakit, murkanya menjadi-jadi saat semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam.
Tak mau menunggu, laki-laki itu pulang terlebih dahulu dan berniat bertemu dengan istrinya. Bukan suatu hal yang sulit untuk menemukan Nala, namun ketika berhasil bertemu Nala, Arham justru dihadapkan dengan fakta yang mengejutkan.
Arham dan Nala sudah bercerai, hal yang tidak mungkin dilakukan seorang Arham—, dulu.
"Aaaarrrgghh ..."
Arham merasakan kepalanya berdenyut hebat, sakit terasa di sebagian kepalanya yang baru saja sembuh. Nala yang biasa melindungi dan merawatnya justru menghindari Arham dengan wajah penuh ketakutan.
"Aku cari bantuan."
Arham buru-buru menahan tangan Nala yang hendak pergi keluar kamar. Dia tidak ingin wanita itu meninggalkannya sendirian, dia hanya butuh Nala di dunia ini, apakah wanita itu bodoh sampai tidak bisa melihat itu semua?
"Aku tidak butuh bantuan, yang aku butuhkan adalah kamu, Nalaa!" teriak Arham di tengah kesakitannya.
Nala menuli, menghentakkan tangannya dengan kasar agar terlepas dari cengkeraman Arham. Beruntungnya laki-laki itu sedang menahan sakit, jadi cekalan tangan Arham tidak terlalu kuat untuk bisa terlepas. Nala kembali melangkah pergi, meninggalkan Arham yang kesakitan seorang diri.
Di luar rumah, Nala berlari ke ujung gang. Kemungkinan besar orang-orang Arham menunggu di sana karena mobil memang tidak bisa masuk ke depan kontrakan. Nala berlari dengan sedikit kesulitan, beberapa kali tubuhnya terjatuh karena terlalu ceroboh. Bulir keringat membasahi dahi Nala, dengan nafas yang hilang timbul akhirnya Nala berhasil menemukan mobil mewah yang Nala kenali adalah milik keluarga Wijaya.
Di langkah keduanya mendekati mobil, Nala kembali terkejut saat menemukan Utari dan Ambar yang keluar dari mobil. Utari—, mantan ibu mertua yang berkepribadian tegas, seorang wanita yang kuat dan penuh kontrol. Dia adalah istri dari Pak Wijaya, ayah Arham.
Wanita itu berjalan menghentak, menekan dalam setiap langkah yang dibuat. Utari mendekatkan wajah, sengaja berbicara sambil berbisik tepat di telinga Nala. "Jangan harap kamu bisa mengambil keuntungan dari kondisi Arham saat ini, jika kamu berani main-main, kami tidak akan segan membuatmu menyesal hidup di dunia."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
