
Selamat datang di cerita Gidan dan Kinanti, mantan sepasang suami istri. Setelah lama berpisah, Kinanti dihadapkan kembali dengan mantan suami yang teramat membenci dirinya.
Cerita ini adalah spin off dari karya berjudul : Not a Wedding Disaster, tapi sangat bisa dibaca terpisah. ❣️ Selamat membacaa …

BAB 1 - Pertemuan pertama, Gidan & Kinanti
"Pergi dari rumahku, hiduplah tanpa uang dari keluargaku. Aku tidak ingin menemukan kalian berdua di sekitarku—, lagi."
"Emran tidak akan terima mendengar keputusan sepihakmu!"
Gidan meringis masam. "Justru, mendiang papaku tidak akan tenang sebelum melihat kalian menderita."
Sekelibat bayangan menyakitkan hadir kembali melalui mimpi, Gidan terhenyak dalam tidur, nafasnya putus-putus lantas merubah posisi duduk sambil memegangi dada. Irama jantungnya tak teratur, keringat dingin mengucur di dahi. Gidan memutuskan beranjak dari ranjang, mengambil sebungkus rokok di meja dan berjalan menuju balkon kamar.
Berdiri di tembok pembatas setinggi pinggang, lima detik dari sekarang, suara langkah kaki yang mendekat tak akan lagi berjarak. Tangan lentik melingkari perutnya yang rata, lalu punggung Gidan yang polos mulai menghangat setelah bertemu kulit lembut milik wanita beraroma manis di belakang tubuhnya.
"Kenapa belum tidur?" tanya Gidan, jarinya mengusap pelan punggung tangan wanita itu dengan pola abstrak.
"Karena kamu tidak berada di sampingku," bisik wanita dari arah belakang.
Tangan wanita itu mulai tak bisa diam, mempermainkan bulu-bulu halus di sekitar perut bawah Gidan yang tidak tertutup pakaian. Laki-laki itu hanya mengenakan celana berbahan kaos polos yang menggantung rendah di pinggang. "Aku tidak suka tidur sendiri, Gi," ucap si wanita bernada manja.
"Masuklah, lima menit lagi aku nyusul ke kamar," janji Gidan, sambil menunjukan batang rokok diantara sela jari yang sudah hampir habis dimakan api.
"Ini sudah pagi, kita—, kamu lebih tepatnya, butuh istirahat cukup sebelum pagi nanti terbang ke Jakarta."
"Aku butuh udara segar, sebentar." Gidan menanggapi dengan santai, meskipun dirinya sendiri pun sadar tidur adalah pilihan yang paling tepat saat ini. Bahkan rencana yang sama pun ia susun sebelum masuk ke kamar, sebelum mengganggu kekasihnya yang sudah tidur mendahului.
Gidan ingin tidur, fisiknya lelah tapi otaknya tak memiliki niat yang sama. Kedatangannya esok hari ke Jakarta bukan keputusan yang mudah, setelah dua tahun memilih menjauh dari ibu kota dan semua kenangan buruk di dalamnya. Laki-laki itu terpaksa kembali datang, menyapa semua riuh yang membekas di kota itu.
"Apa 'teman' ini begitu penting? Sampai akhirnya membuatmu mau kembali menginjakkan kaki di Jakarta?"
Gidan tersenyum penuh makna, kembali mengingat kenangan bersama seorang wanita polos yang berhasil menyempurnakan permainannya. "Dia spesial—, sangat. Keberadaannya membantu rencana besarku."
"Seorang wanita?" Ada nada sumbang yang terdengar, diikuti gerakan tubuh menjauh.
Gidan menyerongkan kepala, menemukan Listy yang menatapnya dengan sebuah tanda tanya besar di atas kepala. "Ya, dia wanita, tapi ... sudah bersuami, jangan cemburu."
Pramesti Anindita, kabar kepulangannya dari Jepang terdengar sampai di telinga Gidan. Laki-laki itu berniat menemui Pramesti, sekedar bertanya kabar dan memastikan wanita itu hidup bahagia bersama mantan selingkuhan mantan istrinya. Selingkuhan terkesan creepy, tapi bagi Gidan—, hal-hal yang menyebabkan kehancuran rumah tangga, apapun jenisnya tetap dianggap sebagai pengkhianatan.
"Come on, Honey. Aku ke Jakarta juga karena pekerjaan."
Bukan hanya Pramesti satu-satunya alasan kembali ke Jakarta, melainkan beberapa urusan bisnis yang pada akhirnya tak mampu lagi dikontrol dari jarak jauh, Gidan perlu turun tangan langsung.
"Ck ..." Listy mengerucutkan bibir, satu kakinya dihentak ke lantai.
"Sudah-sudah, ayo aku temani tidur," putus Gidan akhirnya, tak ingin kekasihnya merajuk.
Selama pelarian diri di Bali, Gidan membawa Listy tinggal bersama, memberi satu-satunya pilihan dengan tidak tinggal di Jakarta. Bagi Gidan, Jakarta adalah kolam menyeramkan yang ketika dia menyelam di dalamnya—, tak ada lagi jalan ke luar. Gidan bisa mati kehabisan oksigen, trauma menusuknya dari dalam. Jika bukan karena ingin menemui Pramesti dan hal-hal mendesak lainnya, Gidan tidak akan sudi menginjakkan kaki di kota itu.
Bahkan sampai pagi menjelang, mata Gidan tetap terjaga.
Keesokan hari yang cukup landai, Gidan sampai di area bandara tepat waktu. Dibantu ajudan dan petugas bandara, Gidan diarahkan untuk masuk melalui pintu executive yang langsung menuju lounge VIP Bandara.
"Berapa hari kita tinggal di Jakarta?" tanya Gidan pada ajudannya yang bernama Lukas.
"Tiga hari, Tuan."
"Ada berapa tempat yang perlu dikunjungi?"
Lukas membuka catatan penting di ipad miliknya, membaca satu persatu schedule yang sudah ia susun rapi. "Empat, lima dengan kediaman Adiwijaya."
"Kenapa banyak sekali? Tiga hari waktu yang sangat lama," decih Gidan, kedua alisnya menyatu geram. "Seharusnya kamu bisa memadatkan jadwal jadi sehari atau maksimal dua hari, kamu tahu kan aku tidak suka berada di kota itu?!"
"Jadwal ini sudah kita padatkan, Tuan. Acara pertama menemui Bu Pramesti, waktunya dua jam, malamnya ke Gold Bar dan Jakarta NightClub— dua tempat itu mengalami penurunan performa dalam satu kuartal terakhir, lalu—."
"Ssstt, cukup! Atur saja-lah, kamu dibayar memang untuk mengurus schedule-ku."
Lukas hanya menjawab dengan anggukan kepala singkat, sambil memberi kode untuk sopir memulai perjalanan. Tidak ada yang berjalan di luar rencana, Gidan mengunjungi Pramesti lalu survey dadakan ke beberapa lokasi bisnis yang tersebar. Dua klub sesuai rencana, Gidan melakukan evaluasi langsung dengan kunjungan lapangan.
Klub malam adalah bisnis lain yang selama ini ia kontrol di balik layar, bisnis yang tidak diketahui umum, karena nama Gidan terkenal sebagai mantan politisi muda yang memilih undur diri dari dunia politik dan fokus dengan perusahaan keluarga Baskara yang bergerak di bidang timah dan batu bara.
Tidak ada bisnis yang tidak kotor, Gidan pun ikut meramaikan bisnis dunia malam dengan segala gemerlap nafsu di dalamnya.
Di ruang tertutup yang serba gelap, barang-barang berserakan di lantai. Gidan baru saja melepas amarah, mengetahui adanya tangan licik yang sedang menghancurkan bisnisnya dari dalam karena keserakahan.
"Aku tidak akan melepaskanmu," ucap Gidan di depan sosok laki-laki berusia tak lagi muda yang bersimpuh di hadapannya dengan kedua tangan terikat.
Wajah laki-laki itu tak lagi berbentuk, darah bercucuran di dahi dan sudut bibir, lebam tak lagi terhitung, bagi Gidan—, pengkhianatan adalah harga mati hati nurani, dia tidak akan melihat manusia yang terbukti berkhianat dengan cara yang sama.
"Aku akan menghancurkan hidupmu," janji Gidan pasti.
"Maafkan saya, Tuan. Saya memiliki keluarga, dua orang anak—."
"Shut your mouth!" Jari telunjuk Gidan menunjuk tepat di depan mata laki-laki itu—, nyaris menembus kornea mata hitam yang memerah karena air mata. Aura di dalam ruangan semakin mencekam, kemarahan Gidan tercetak melalui derik mata tajam yang gelap. "Jangan mencoba menutupi keburukan atas nama keluarga, aku sudah menyelidiki kebusukanmu, perempuan yang kamu simpan di apartement Kelapa Gading juga akan segera kusingkirkan."
Gidan mendekat, menunjukan urat-urat yang menonjol di sekitar dahi. Keringat mengalir pelan meskipun berada di ruangan yang dingin, kedua lengan kemejanya dilipat sampai siku, menyelipkan gambar tato yang bersembunyi di balik kemeja.
"Sekalinya pengkhianat, akan tetap berkhianat di manapun berada." Gidan berpaling, mengelap keringatnya sendiri dengan tangan. "Enyahkan laki-laki itu dari hidupku," titah Gidan pada pengawalnya.
Seribu ucapan maaf dan permohonan tak sedikitpun menggoyahkan hati Gidan. Mendengar pintu besi ditutup, Gidan menarik singgasananya dan duduk membelakangi pintu. Netra tajamnya menatap langit hitam yang gelap, beberapa detik kedua mata itu mulai terpejam mencari ketenangan. Baru satu hari dirinya tinggal di Jakarta, tapi kota ini selalu berhasil mengingatkannya dengan segala sumber kesakitan dan kemunafikan.
"Ambilkan whisky," titah laki-laki itu tanpa berpaling.
Lima menit setelahnya, pintu diketuk dari luar dan suara sepatu berhak tinggi mendekat. Aroma strawberry menyeruak bersama dengan suara langkah kaki mendekat, Gidan kembali tersesat dalam pekatnya rasa yang tertahan. Kedua matanya sepakat kembali terpejam, mengusir rasa asing yang menyusup melalui hawa dingin di sekitar.
Dua detik sebelum berlalu, Gidan membuka kedua mata. Melalui pantulan dinding kaca ia menemukan sketsa sosok pelayan wanita di klub malamnya yang sedang meletakan minuman di meja. Kedua mata itu mengikat tajam, bersama cengkeraman tangan yang terbentuk di ujung kursi berbahan besi.
Tiba-tiba dada Gidan terasa sesak, ruang penglihatannya menyempit yang hanya tertuju pada satu tempat yang sama.
"Apa ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya wanita di belakang yang suaranya mengingatkan Gidan tentang luka.
"Tidak ada, pergilah," jawab salah satu ajudan Gidan.
Sontak Gidan menelan ludah, nadi di sekujur tubuhnya menegang.
"Saya permisi." Suara wanita itu kembali terdengar.
"Berhenti." Gidan tak berhasil menahan diri, logikanya menolak untuk tetap diam sampai wanita itu menghilang, lalu kembali mencoba lupa dengan segala kenangan buruk yang pernah terjadi seperti sebelum-sebelumnya.
"Ada lagi yang Tuan butuhkan?" tanya Lukas sambil mendekat, namun langkah kaki laki-laki itu berhenti ketika satu tangan Gidan bergerak ke udara.
Mengais sisa-sisa akal sehat, Gidan berdiri lalu memutar badan hingga matanya yang gelap bertemu dengan si pelayan wanita. Bola mata laki-laki itu membulat lebar, dan hidupnya berhenti sesaat.
"Apa yang kamu lakukan di tempat ini?" tanya Gidan berusaha menekan nada bicara.
BAB 2 - Kinanti Renggani.
Di bawah hujan rintik-rintik, seorang wanita berlari tanpa alas kaki, membiarkan telapak kakinya bertemu langsung dengan aspal yang berlubang, sesekali terpeleset hingga lecet dan berdarah. Sepanjang jalan melewati lorong-lorong sepi tanpa cahaya untuk mencari selamat.
Lelah dan kehabisan nafas hingga akhirnya wanita itu bersembunyi diantara celah tembok bangunan tua bekas toko besi di pasar yang tak lagi beroperasi. Kinanti menyesali tubuhnya yang jarang berolahraga dan tidak memiliki fisik yang kuat.
"Itu dia!"
Suara pekikan seorang laki-laki yang tadi mengejar Kinanti terdengar seperti pecut yang mematikan. Laki-laki yang menjadi alasannya berlari—, dan alasannya saat ini kembali berjuang untuk melarikan diri. Dia dipaksa lagi, memaksimalkan fungsi tubuh yang sudah mulai lemah setelah seharian bekerja lembur.
Ini sudah kali kelima selama dua tahun terakhir Kinanti terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal, demi melindungi Harsa dari komplotan penagih hutang ayahnya. Kontrakan yang ia tinggali sekarang cukup nyaman dan murah, terlebih—, Kinanti memiliki tetangga baik hati yang selalu bersedia ikut membantu merawat Harsa.
Malam ini, Kinanti tidak boleh kembali tertangkap, atau dia harus kembali mencari tempat tinggal yang belum tentu senyaman dan semurah kontrakan sekarang.
"Aaaww," desis Kinanti pelan, ketika gelapnya malam membuatnya menabrak tumpukan barang tak berarti di jalan. "Sial."
Wanita itu hendak kembali memulai langkah, sebelum tiba-tiba pelukan kuat dia dapatkan dari arah belakang.
"Kena kauuu, dasar wanita belut, licin kali tubuh kau itu!"
Suara serak dan bau alkohol yang kuat menyapa indera penciuman Kinanti, menusuk ke dalam hidung yang membuatnya ingin muntah. "Lepasin gue, Brengsek!" teriak Kinanti, tangan dan kakinya bekerja sama melepaskan diri.
"Lo pikir semudah itu, Esmeralda?! Hah?! Bayar dulu hutang-hutang bokap lo!"
"Gue nggak punya duit, dan gue udah sering bayar hutang ghoib yang kalian maksud selama ini!"
Hutang pada renteiner seperti lintah darat yang siap menyedot darahmu habis-habisan. Bahkan ketika seluruh hutang sudah dibayar, bunga akan tetap terus berjalan. Kinanti tidak sudi lagi membayar, toh hutang ini milik Harun—, ayahnya yang suka judi dan main perempuan setelah kematian mamanya.
"Jangan gila dooong, hutang Bapak kau banyak, nggak bisa dibayar dengan cicilan satu juta perbulan."
Kinanti membenci aroma itu, mulut laki-laki berambut kuning seperti jagung itu tepat berada di belakang leher, sesekali menempelkan bibir manyunnya ke kulit Kinanti, bahkan tangan laki-laki itu tak tinggal diam mengambil kesempatan pada tubuhnya.
"Lepasin guee!" pekik Kinanti, berniat meminta tolong pun terasa percuma karena mereka berada di bangunan pasar yang sudah tak lagi beroperasi.
Sialnya ia memilih jalan pintas untuk pulang ke kontrakan setelah bekerja sebagai buruh pabrik pakaian dalam wanita. Sialnya juga—, yang memutuskan mengambil lembur sampai malam hanya demi mendapatkan uang yang lebih banyak.
"Lo cantik banget, Sayang. Meskipun lusuh dan lepek, kenapa lo nggak mau jadi gundik Si Bos?"
Beberapa kali tawaran itu datang, tapi Kinanti menolak. Tidak banyak yang Kinanti ketahui tentang Bang Bonar, seorang laki-laki berpawakan gendut dan menyeramkan, memiliki tato di seluruh tubuh, Sang Ketua genk preman yang digunakan sebagai alat untuk mencari Kinanti.
"Dia nggak punya duit," jawab Kinanti.
"Dih, kata siapa?"
"Kata gue."
"Lo bisa jadi lacur-nya, kalau mau. Pasti banyak yang berani bayar mahal buat icip tubuh seksi lo."
Preman-preman ini selalu berhasil merendahkan Kinanti. "Nggak sudi!"
Jawaban Kinanti diikuti gigitan kuat di lengan preman itu, dengan sekuat tenaga Kinanti menekan rahangnya sampai si preman kesakitan dan melepaskan tubuhnya. Kesempatan yang tidak disia-siakan Kinanti, wanita itu kembali berlari. Namun sialnya, teman komplotan si preman datang dari sisi berlawanan.
"Tahan wanita sialan itu!" perintah si Preman di belakang.
Senyum miring dan gerak langkah mendekat dari preman di hadapan Kinanti membuat langkah wanita itu berhenti seketika.
Mati gue, batin Kinanti dalam hati.
Tidak menunggu waktu lama, Kinanti kembali berada dalam kendali dua preman itu.
Seperti biasa, beberapa pukulan ia dapatkan di wajah hingga perut. Laki-laki preman seperti mereka hanyalah cupu karena berani dengan perempuan, apalagi dua lawan satu sepertinya tidak sebanding. Tapi Kinanti tetap perlu bersyukur, karena dirinya bisa pulang ke kontrakan dengan nyawa yang ada, dan tanpa perlu singgah ke klinik terdekat.
"Kinaaaaan, kamu kenapa lagi toooh???!" Pekikan Gendhis—, tetangga pintu samping kontrakan. Wanita yang selalu siap membantu Kinanti menjaga Harsa.
Bola mata wanita itu melebar menemukan Kinanti dengan lebam-lebam di wajah, Gendhis menangis tanpa merasa perlu bertanya alasan dari semua luka yang didapatkan Kinanti.
"Kamu ketangkap di mana?" tanya wanita itu tersedu.
Gendhis tahu semua cerita Kinanti, bahkan Kinanti juga sempat berpesan pada Gendhis untuk tidak mencarinya jika sewaktu-waktu dirinya menghilang, dan meminta untuk membantu merawat Harsa dengan baik, ataupun jika Gendhis tidak berkenan, Kinanti meminta tolong untuk menitipkan Harsa ke panti asuhan.
"Di bekas pasar yang kebakaran."
"Itu kan sepi banget tempatnya, kenapa lewat situ toh?"
"Karena lebih cepat sampai kontrakan." Kinanti memutuskan duduk di atas lantai tanpa alas, sedang Gendhis masuk ke dapur.
"Lain kali ambil jalan yang ramai, cari teman pulang barengan, kalau perlu naik ojek nggak apa-apa daripada jalan kaki sendirian."
Meskipun terpisah ruang, tapi Kinanti masih bisa mendengar dengan jelas kecerewetan Gendhis. Suara-suara yang enggan didengar Kinanti, karena wanita itu fokus dengan rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya.
"Besok, cari tebengan pulang aja. Itu anaknya si Mpok Rumlah kan juga kerja di pabrik yang sama." Gendhis kembali membawa air hangat dan handuk kecil untuk mengompres luka lebam Kinanti.
"Percuma, kartu kartu ATM gue juga udah diambil, plus uang di dompet. Nomer PIN-nya pun diminta sambil tangan gue yang ini diinjak." Kinanti memperlihatkan tangan kanannya yang juga lebam. "Sekarang gue kerja tanpa upah."
"Kamu bisa cari kerjaan lain, Kii."
"Gue nggak punya kompetensi apapun, Dhis. Gue nggak bisa dapat uang banyak selain kerja yang mengandalkan tenaga dan waktu."
"Tawaran kerja dari Bang Roy, gimana?" tanya Gendhis, mengingatkan tawaran tetangga mereka yang sempat datang menghampiri Kinanti.
Bekerja di sebuah klub malam karena melihat potensi Kinanti yang cantik dan bertubuh langsing. Roy menegaskan, tidak ada yang perlu ditakutkan bekerja sebagai pelayan wanita di klub malam eksklusif, ada petugas keamanan yang siap berjaga untuk menghindari pelecehan karyawan, bahkan uang yang didapat bisa sangat banyak karena bekerja di malam hari meskipun tanpa lembur.
"Apa gue bunuh diri aja ya, Dhis?"
"Huush, jangan ngawuuur, dosa tau, Kii!" Gendhis memukul pelan mulut Kinanti, sebal mendengar kalimat wanita itu yang ngawur. "Arwahmu nggak tenang, gentayangan dan hidupmu tambah nggak jelas," tutur Gendhis dengan logat jawanya yang medok.
"Orang mati kok hidup," celetuk Kinanti asal, yang membuat Gendhis kembali kesal lalu memukul lengan wanita itu. "Aduh."
"Eh, eh maaf, sakit ya?"
Kinanti meringis pura-pura, sakit yang ia rasakan di tubuh tidak sebanding dengan beberapa lebam yang ia temukan di hati. Hidup yang kacau dan tak tenang membuat Kinanti hancur. Rencana bagaimana lagi yang akan ia ambil untuk menghindar? Jika bukan karena keberadaan Harsa, Kinanti tidak mungkin bisa bertahan sampai sejauh ini.
"Harsa sudah tidur? Tadi nyariin gue nggak?" tanya Kinanti antusias. Sore tadi ia mengirim pesan pada Gendhis untuk meminta bantuan menjaga Harsa karena ada tawaran lembur.
Gendhis sudah bersuami, tapi belum dikaruniai anak setelah delapan tahun usia pernikahan. Gendhis dan suaminya tinggal di kamar kontrakan samping Kinanti. Suami Gendhis yang bekerja di proyek jarang pulang, sedangkan Gendhis sendiri tidak bekerja. Alhasil, wanita itu dengan senang hati ikut membantu merawat Harsa sehari-hari atau jika Kinanti mengambil jatah lembur.
"Sudah tidur dari jam tujuh, sepertinya kelelahan main. Dia juga nggak nyari kamu tadi sore," jawab Gendhis sambil telaten mengkompres luka di tubuh Kinanti.
"Dia pasti seneng banget kalau punya orangtua seperti kalian, Dhis," celetuk Kinanti tiba-tiba, merasa dirinya gagal menjadi ibu yang baik.
"Hush, aku belum tentu bisa sekuat kamu, Kii."
Kinanti mencebik, air matanya mulai lolos membasahi pipi. Harsa—, adalah sosok yang menjadi korban keserakahannya. Anak laki-laki yang kehilangan sosok ayah karena kesalahan ibunya. Seandainya Harsa tidak terlahir dari rahimnya, anak itu pasti menjadi anak yang beruntung.
"Kamu butuh perlindungan, Kii. Preman-preman itu tidak akan berhenti nguras uang kamu meskipun hutangmu sudah lunas sekalipun."
Gendhis mengusap pelan bekas-bekas darah di sudut bibir dan telapak kaki Kinanti. Dia tahu alasan Kinanti tidak membawa lukanya ke klinik untuk berobat, karena demi menghemat uang yang sebagian sudah diambil si Preman.
"Siapa yang mau ngelindungin wanita kaya gue, Dhis?"
"Minta perlindungan ke ayahnya Harsa, setidaknya jika bukan buat kamu, yaa ... buat anaknya," jawab Gendhis.
Kinanti hanya tersenyum masam, teringat ayah dari anaknya. Gidan Baskara—, laki-laki yang menghilang tanpa kabar sejak perceraian ditetapkan. Persetujuan perceraian dan hak asuh dimiliki Kinanti, dengan catatan Gidan akan memutus segala macam jenis hubungan dengan Kinanti, termasuk Harsa—, anak mereka berdua.
"Gue yang salah, Ndhis. Gue yang bikin ayahnya Harsa nggak menganggap Harsa anaknya."
Gendhis sudah selesai membersihkan beberapa luka yang terlihat, lalu meletakan tangannya di bahu wanita yang sudah ia anggap sebagai teman—, bukan hanya tetangga. "Namanya anak, akan tetap menjadi anak, Kii. Ada darah laki-laki itu yang mengalir di tubuh Harsa, dan ... semua itu tidak akan berubah, sebenci apapun ayah Harsa ke kamu."
Gendhis menghapus air mata Kinanti, menarik ujung bibir wanita itu ke atas dengan jari. "Akan ada masa, di mana kamu kembali menemukan kebahagiaan. Jangan putus harapan, karena apa yang sedang kamu lewati hari ini hanyalah ujian untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di esok hari."
Kinanti menarik tangan Gendhis yang hendak menjauh, menahannya di dada. "Makasih ya, Ndhis. Lo itu anugrah yang dikirim Tuhan buat bantu gue, buat ngasih tau ke gue kalau selalu ada harapan di dalam hidup sekacau apapun itu."
Gendhis memberi pelukan hangat sambil mengusap punggung Kinanti yang bergetar hebat. "Sabar ya, Kii."
Kinanti mengangguk cepat, lalu menyesali keputusasaan yang sempat hinggap di kepalanya. Dia tetap harus bertahan, dia tetap harus berjuang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
