Nek, Maafkan Saya

1
1
Deskripsi

Luka yang akan menuntunmu menuju maaf atau sebaliknya

Saya tahu, tidak semestinya saya melakukan ini. Sudah 10 tahun saya mengabaikannya. Rasanya tidak pantas untuk melanjutkan bersikap dingin seperti ini. Lagi pula, saya tidak mau hidup dalam penyesalan dikemudian hari. Toh, tidak ada yang tahu berapa lama manusia dapat hidup. Semoga keputusan yang saya ambil ini benar dan melegakan banyak pihak. Terutama ibu yang selalu sedih melihat tingkah saya. Maafkan saya, Bu. Mulai hari ini saya akan berubah. 

Hari ini rasanya tenang sekali. Sepertinya semesta sedang berbaik hati dengan niat baik saya. Sepanjang perjalanan radio menggemakan lagu yang riang hingga membuat saya bernyanyi dengan semangat. Polisi cepekan yang biasanya terlihat menyebalkan pun nampak ramah. Tangan saya tergerak memberikan upah baik untuk senyumnya kali ini. Ajaib sekali. 

Jalanan cukup lenggang hari ini. Kenapa ya? Padahal ini kan hari Minggu. Tak biasanya jalan besar ini membuat saya bebas berkendara. Ah, mungkin suasana sendu hari ini membuat kebanyakan orang untuk enggan melangkahkan kaki keluar rumah. 

Saya mengarahkan mobil memasuki komplek pertokoan yang sudah saya hafal di luar kepala. Melewati portal pintu masuk dan berjalan lurus. Barisan toko di kanan kiri terlihat sepi. Saya membelokkan mobil ke kanan dan melaju 200 meter. Mobil berhenti tepat di depan toko dengan dinding berwarna coklat muda. Saya meluruskan mobil. Menurunkan gigi pada angka 0, menaikkan rem tangan dan mencabut kunci. Saya menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Seperti ada yang kurang. 

“Bapak tukang parkirnya kemana ya?” tanya saya heran mengedarkan pandangan mencari sosoknya dalam keheningan jalan.

Saya keluar mobil dan berjalan memasuki toko dengan santai. Membuka pintu dan disambut dengan aroma kue yang menggoda. Aroma vanila, coklat, dan beberapa aroma manis lainnya semerbak memanjakan hidung saya.  

“Selamat da…… Eh Mbak Rasya. Mau beli kue atau roti nih mbak?” kata pramuniaga yang sudah sangat saya kenal begitu ramah. 

Chocomaltine Cheesecake ada, Mbak?” tanya saya mengampiri etalase kue tart.

“Oh, ada, Mbak. Baru aja selesai bikin. Ini fresh banget. Sebentar saya ambilkan di belakang,” kata pramuniaga yang bernama Sari itu berlari kecil ke dapur. “Nih, Mbak. Mau nambah yang lain?” tanyanya ramah yang saya jawab dengan gelengan beserta senyum singkat. 

Saya memandang kotak kue di pangkuan dengan senyum sumringah. Kenapa tidak semenjak dulu saya melakukan ini. Ternyata sangat amat melegakan. Nyatanya butuh waktu bertahun-tahun untuk melakukan semua keberanian ini. Lamunan saya tersadarkan oleh dering telepon genggam saya. Saya tersenyum melihat nama pemanggil yang tertera di layar.

“Halo, Bu?” sapa saya terlebih dahulu kepada ibu.

“Mbak, jadi ke rumah Nenek?” tanya ibu dengan nada ragu.

“Iya, Bu, jadi. Ini habis beli kue kesukaan nenek hehe,” jawab saya santai untuk menunjukkan pada ibu bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

Kalau dipikir-pikir, ibu memang berhak untuk ragu dengan keputusan saya. Selama 10 tahun saya tak pernah bertegur sapa dengan nenek meskipun sempat satu rumah. Kehadirannya selalu membuat saya terganggu. Semua pertanyaan basa-basi yang diajakuannya pun tak pernah sekalipun saya jawab. Jangankan ditanya, melihatnya saja saya enggan. 

Semua bermula di hari itu. Saat nenek mengusir ibu dari rumah. Tanpa memberi tahu apa kesalahan ibu. Ah, padahal meskipun ibu ada salah tetap saja ibu adalah anak nenek. Mana ada ibu yang tega mengusir anaknya? Sejak saat itulah gumpalan hitam pada hati saya mulai di tanam. Hingga semakin lama, gumpalan itu semakin besar dan menciptakan sarang. 

Ibu selalu salah di mata nenek. Semenjak ayah meninggal, nenek menyuruh ibu menikah dengan lelaki yang ia pilihkan. Yang jelas lelaki itu pasti kaya. Karena memang hanya itu yang nenek pikirkan. Tidak peduli ibu suka atau tidak. Ibu yang selalu setia pada ayah menolak semua lelaki itu. Waktu itu usia saya 18 tahun. Terlampau belum paham bagaimana harus mengahdapi dunia. 

“Buat apa kamu punya wajah cantik kalau kamu tidak memanfaatkkanya untuk mendapatkan uang? Kamu mau hidup seperti ini terus? Kamu tidak mau membalas budi kepada ibumu ini, hah?!” kata-kata nenek yang masih terngiang-ngiang di kepalaku. Seringkali saya heran, bagaimana ibu bisa sesabar itu menghadapi nenek?

Tak jarang ibu menerima tamparan dan pukulan dari nenek. Semenjak saat itu kebencian saya terhadap nenek semakin menjadi. “Meskipun begitu, itukan ibunya ibu,” ujar ibu suatu ketika saat saya menyarankan untuk pergi dari rumah itu. Saya sangat marah melihat ibu diperlakukan semena-mena. 

Saya mengurangi kecepatan dan melihat deretan rumah yang saya lewati. Seperti dapat melihat suasana saat saya masih tinggal di sana. Bapak penjual sayur yang selalu berhenti di depan rumah Bu Maidah, Pak Surya yang selalu menyiram tanaman dipekarang rumahnya sore hari, dan beberapa bocah berlarian bermain bersama. 

Mobil berhenti tepat di depan rumah berpagar coklat. Rumah ini tak berubah sedikitpun. Saya hanya berharap, tidak demikian dengan manusia di dalamnya. Saya turun dan disambut oleh Bibi Ara.

“Yaampun Mbak Rasya!” serunya girang meihat saya. 

“Pagi,Bi,” jawab saya menyapanya dengan senyum. 

“Masuk, Mbak. Nenek di dalam lagi nonton tv,”

Perlahan saya berjalan di belakang bibi. Seolah menonton film, satu persatu memori kembali menghinggapi. Nenek menampar ibu di depan pintu saat menolak kehadiran seorang lelaki, nenek melempar ibu dengan makanan yang dibuatnya, dan saat nenek berteriak mengatakan ibu tak berguna memiliki wajah cantik. Kepala saya terasa berat seketika. Sial. Mengapa harus kenangan buruk yang hadir. Saya kembali melurukan niat dan mengingat semua hal baik yang pernah nenek berikan pada kami. 

Pandangan saya tiba-tiba tertuju pada sebuah foto keluarga yag terpasang di ruang tamu. Ah, bagaimana pun ia tetap nenek saya dan darahnya mengalir pada tubuh saya, kata saya dalam hati. 

Saya melihatnya duduk membelakangi saya di ruang keluarga. Tubuhya tak berubah. Hanya rambutnya saja yang beruban semakin banyak. Saya menarik napas sejenak dan berjalan duduk di sampingnya. 

“Nek,”  sapa saya lembut.

“Eh, kamu, Sya!” ujar nenek kaget menatap saya. “Yaampun sudah lama sekali kamu nggak kesini,”

“Iya, Nek. Maaf baru sempat,” kata saya sambil memeluknya. “Oh, iya. Ini ada kue kesukaan nenek,” 

“Kamu nggak perlu repot-repot bawa kue. Kamu datang saja nenek sudah senang sekali. Maafkan nenek ya selama ini kalau jahat sama kamu dan ibumu,” kata nenek terbata dan mulai menangis. 

 “Nggap apa-apa, Nek. Toh, semuanya juga sudah berlalu. Rasya sudah maafin kok. Sebentar ya Rasya ambilkan piring dulu,” saya bangkit ke dapur untuk mengambil piring. 

Saya berjalan menuju dapur dan terhenti di tengah ruangan. Badan saya bergetar dan kepala saya terasa berat hingga tak mampu berdiri. Tiba-tiba pandangan saya menjadi gelap. Saya kehilangan kesadaran sementara. Setelah tersadarkan kembali saya terkejut melihat nenek di hadapan saya dengan berlumur darah. Tangan saya menancapkan pisau tepat di jantungnya. Alih-alih berteriak, anehnya saya malah tersenyum puas. Hari ini semesta baik sekali kepada saya. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Cerpen
Selanjutnya Resign #CeritadanRasaIndomie
4
1
Bekerja pada perusahaan yang nggak bisa menghargainya membuat Rosa muak. Sayangnya, ia selalu berusaha bertahan setiap harnya karena ia tak memiliki keberanian untuk melepas status sebagai ‘pekerja kantoran’. Bayang-bayang kebebasan selalu menghantuinya setiap malam. Kapan ia bisa memiliki kebebasan dalam hal waktu, uang, dan tenaga? Meski begitu tersiksa dan ingin bebas, tapi apakah ia memiliki keberanian untuk memutuskan?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan