
Pengantar dan Konsep
Manusia selalu memiliki sikap yang dapat terpengaruhi oleh ratapan dirinya sendiri maupun dari pandangan manusia-manusia lainnya. Laju nasib seorang manusia selalu saja bermikro-mikrodetik ada di dalam pilihan yang diambil oleh manusia itu sendiri, sayangnya pilihan itu tidak selalu sepenuhnya berasal dari dalam dirinya, sekalipun dari dalam diri manusia itu sendiri masih ada layer-layer yang menentukan apakah itu dari akal dan hatinya, ataukah dari perut dan nafsunya? Semua...

Cerita Pendek Lomba Cerita dan Rasa Indomie x Karyakarsa
Dialog Cerita dan Rasa
Penulis: David M. Makruf
Namaku Prosa, tepat hari ini Jumat 29 Juli 2022 aku berusia lima belas tahun, banyak orang mengira kalau aku terlalu cepat mengalami pendewasaan, mulai dari yang kubuat status di Whatsapp hingga yang aku tulis di Twitter selalu saja mengenai kenapa banyak manusia di usiaku harus berpacaran? Kenapa manusia di usiaku rela meluangkan waktu hanya untuk duduk diam, padahal saling asik berselancar di dunia imajinasi melalui social media mereka masing-masing, tanpa ada kalimat-kalimat inti dan mendalam, yang ada hanya pembukaan salam dan penutup salam sebagai tanda datang dan pamit pulang? Aku berharap saat lulus SMP bisa lebih bijak dalam memikirkan hal ini, karena aku sendiri mulai sadar, bahwa setiap manusia memiliki cara pandang dan sisi baik menurut cakrawalanya sendiri. Namun untuk saat ini aku tidak bisa menerima hal itu, mata dan pikiranku tertutup oleh kabut yang pekat dan pada akhirnya aku menghindari segala basa-basi di usia remajaku. Ya, saat ini hampir semua manusia remaja terasuki oleh monster yang bernama basa-basi dan itu sangat aneh bagiku.
Di pagi yang dingin ini aku mengulangi hal yang selalu sama, yaitu memikirkan hal-hal yang rumit mengenai kehidupan remaja, selalu saja aku skeptis terhadap pola pergaulan yang ada disekelilingku, mataku terpana ke langit-langit kamar sembari kasur busa yang memanjakanku diantara dinginnya kota Malang, kemudian kutarik selimut yang seakan enggan menyelimutiku lagi, dingin sekali hari ini, seperti dinginnya sikapku terhadap nilai sempurna dari ujian Matematika dan Bahasa Indonesia di ujian kelulusan kemarin, banyak pesan di Whatsapp yang menyanjung pencapaianku, namun itu hanya aku anggap kicauan burung belaka, karena semuanya hanyalah nilai diatas kertas, pasti mereka yang menyanjung memiliki maksud-maksud tertentu supaya aku antusias menatap mereka dan kemudian aku dijadikan tameng status sosial untuk pamer ke temannya yang lain, “eh, tau Prosa yang dapat nilai sempurna tidak? Dia temanku lo!” Ya begitulah, tapi harus bagaimana lagi, ini bukan dunia dengan kisah yang ideal, jadi selalu ada hal seperti itu, biarkan semuanya berhembus selayaknya angin yang menerpa keriput pipi petani tua di sawah.
Seperti biasa, setiap aku terlambat untuk keluar kamar, ibu selalu meneriakiku dan aku membalas dengan teriakan juga, mungkin terdengar tidak sopan, tapi itulah kearaban kami sebagai orang tua dan anak.
“Prosa, sudah jam 7, ayo bangun! Jangan bermimpi saja!” Teriak ibu dari luar kamarku.
“Mataku sudah terbuka, aku sudah bangun, bu!” Jawabku dengan teriakan yang lebih keras.
“Katamu matamu terbuka, dan suaramu aku dengar, tapi wujudmu tidak ada di depanku, jangan-jangan kau sudah menjadi hantu?” Kelakar ibu.
“Aahhh… Ibu selalu saja! Hari ini aku sudah libur panjang, biarkan aku berselimut diantara hawa dingin ini!” Jawabku sambil setengah terbangun.
“Kalau itu maumu, kau akan melewatkan Indomie yang baru saja matang!” jawab ibu.
Sebagai lelaki yang suka Indomie, aku langsung merapikan kamar saat ibuku menawari Indomie yang baru dibuatnya, hawa yang dingin sudah tidak aku hiraukan karena terlena oleh api keinginan merasakan hangatnya Indomie di pagi hari. Segera aku menuju meja tempat Ibu menyiapkan Indomie dan air putih hangat, Ibu dan aku makan Indomie dengan lauk telur bersama-sama, pada saat itulah Ibu dan aku mengawali sebuah dialog yang tidak biasa. Di meja kayu tempat kami menikmati Indomie, aku dan ibuku seakan berada pada ruang dan waktu yang paling berkualitas dalam hidup.
“Prosa, apa ada yang kau pikirkan tentang rencana hidupmu kedepan?” Tanya Ibu.
“Aku belum merencanakan hal yang spesifik apapun, yang ada dipikiranku hanya berharap masuk SMA dengan lingkungan yang lebih baik, bu” Sambil menyantap Indomie aku menjawab ibu.
“Bagaimanapun juga, orang-orang disekelilingmu lah yang membentukmu menjadi seperti ini, Prosa. Lagipula lingkungan yang seperti apa yang kau inginkan?” Tanya Ibu dengan Indomie yang sudah tinggal setengah.
“Entahlah, bu…” Aku bingung sambil mataku menghadap ke arah yang lain dan aku berhenti mengunyah mie yang kenyal, kemudian aku menghela nafas untuk menyiapkan kata-kataku selanjutnya kepada Ibu.
“Saat ini aku terkesan hanya seperti tangki yang diisi bahan bakar untuk perjalanan panjang menuju garis akhir, aku merasa banyak hal yang harus aku pikul sebagai bekal perjalanan itu, bu” Jawabku.
“Menurutmu seberapa panjang perjalanan itu?” Tanya Ibu.
“Setahuku, tidak ada yang tahu seberapa panjang perjalanan menuju garis akhir, tapi bagaimana cara untuk menuju garis akhir itu ditentukan dari isi kepala dan tingkat budi masing-masing” Jawabku sambil bibirku bergetar.
“Dunia itu selalu berputar, peradaban juga selalu berganti, saat ini ibu tidak begitu tahu tentang apa yang ada di masamu, tapi setidaknya ibu juga hidup di masa ini, jadi ibu bisa mengatakan bahwa ibu pun selalu mengisi bahan bakar hingga garis akhir, tangki yang kau bayangkan bisa saja tak sebanding dengan perjalanan yang kau tempuh, jadi harus selalu mengisi ulang bahan bakar yang telah berputar menjadi energi lain” Ibu menatapku dengan serius saat menjelaskan kalimat panjang ini, kemudian dia meneguk air putih hangat hingga tiga tegukan.
“Aku masih ingat kalimat yang selalu ibu ucapkan, kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian adalah cakrawala…” ucapku.
“Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata…” sahut Ibuku.
“Bagaimana jika saat ini matahari sudah tertutupi mendung yang pekat? Bagaimana jika bumi sudah menjadi sumber mata api, bukan lagi mata air? Bagaimana jika cakrawala tak sanggup dipandang lagi karena banyak kepulan asap? Bagaimana jika semua orang tak lagi berkata-kata?!!” mataku sambil berbinar berusaha berkata dan memandang Ibu.
“Aku sudah lama tidak mengucapkan kalimat itu, aku tidak mau membahas hal ini!” dengan nada yang sedikit mendalam, Ibu berkata sambil menghabiskan Indomie miliknya.
“Pagi ini sudah berubah menjadi begitu panas, setelah ini aku ingin ke ruang kerjaku, kau juga sebaiknya segera menuntaskan project liburanmu!” tambah Ibuku.
“Apa ibu tidak ingat! Aku dibully dan dijauhi karena aku berbeda dengan yang lainnya! Aku ingin tahu mengapa matahari begitu tertutupi oleh kabut tebal! Apa arti itu semua? Aku nyaris tidak ada tempat bercerita selain ke Ibu dan Ayah! Mereka semua yang ada diluar sana sudah tidak ada lagi yang bermain lari-larian di halaman, semuanya memandang layar persegi panjang yang ada di tangannya! Apa aku akan selamanya hidup di dalam kesepian?!!” Nada bicaraku semakin memuncak dan tak sengaja aku hampir menetestan air mata.
“Lalu kau ingin menjadi kabut tebal juga?! Haa?” Tanya ibuku santai.

“Aku ingin semua orang melihat terangnya pagi, aku hanya ingin semua orang melihat indahnya bumi, dan bisa memandang luasnya cakrawala” Jawabku dengan nyali yang sedikit menciut dan menghabiskan Indomie yang tinggal seperempat, lalu aku minum air putih hangat buatan ibu.
“hmm… Ayahmu berpesan, setelah selesai pertunjukan Teaternya di luar kota, akan membawakan jawaban tentang hal-hal yang kau alami” Jawab ibuku.
“Kenapa ibu tidak ikut pertunjukan Teater ayah juga?” Tanyaku.
“Lalu siapa yang akan menyelesaikan project ilustrasi dan desain baliho?” Jawab ibuku dengan sedikit tersenyum separuh.
“Indomieku sudah habis, bu” Bilangku
“Biarkan saja, biar aku yang merapikan semuanya!” Jawab Ibuku
Percakapan yang sangat mengesankan, tapi aku dan ibuku sudah terbiasa membicarakan hal sampai titik emosi setinggi itu. Aku masih duduk di tempat yang sama sambil melihat ibu merapikan piring dan gelas bekas kami makan Indomie bersama. Aku tidak membawa handphone, jadi aku hanya memandang ibu yang saat ini mencuci piring dan gelas.
“Prosa, kau nanti sore ada jadwal latihan Karate?” Tanya ibuku sambil mencuci piring dan gelas.
“Nanti jam empat sore” Jawabku.
“Kenapa tidak kau hajar saja teman yang membullymu?” Tanya Ibuku.
“Karena aku tahu bisa menang dengan mudah, aku masih punya hati” Jawabku
“Meskipun kau tersiksa hingga saat ini?” Tanya Ibu lagi.
“Lagi pula dia sudah mengucapkan selamat atas pencapaianku kemarin, mungkin dia melakukan bully karena dia iri atau mungkin juga dia dirundung penyesalan karena kemalasannya sendiri, lalu tidak rela hal yang dia inginkan menjadi milikku” jawabku panjang.
Ibuku menyelesaikan cuci piringnya, kemudian menghampiriku kembali sambil duduk ditempat yang tadi didudukinya. Kemudian dia mengambil sesuatu di sakunya, ternyata itu adalah handphone yang sedang berdering karena ada pesan masuk. Ibuku membacanya, aku melihat dia membaca sambil tersenyum seakan mendapat kabar dari surga.
“Ini aku mendapat Whatsapp dari ayahmu, dia saat ini juga mengeluhkan hal yang sama sepertimu, ternyata yang kau keluhkan tidak hanya ada pada remaja, orang-orang dewasa juga mengalaminya, tapi sepertinya dia menyadari, peradaban itu bagaikan arus yang tak terbendung” Ibuku berkata sambil melihat handphone miliknya.
“Lalu apa hubungannya, bu?” Tanyaku
“Perubahan kebiasaan global itu sangat mungkin terjadi, mungkin menurut kita kurang tepat, tapi kenapa kita tidak memposisikan diri ditengah, semua akibat kebiasaan, kebiasaan membentuk budaya, budaya membentuk peradaban. Kebiasaan lahir dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Ada dua pilihan yang dapat diambil, menjadi budaya tanding, atau berada di dalam peradaban itu namun tetap memiliki inti jiwa yang terang” Baca Ibuku kepadaku.
“Lalu apa yang harus dilakukan, bu?” Tanyaku lagi.
“Kita tidak bisa menyalahkan apa yang ada diluar diri kita terus menerus, kita hidup di dalam zaman, bukan diluar zaman, kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan esensi akan menjadi seni yang sangat indah, itu kata ayahmu” Ibuku mengakhirinya seperti seorang yang sangat tua sekali sedang memberi petuah pada anak kecil.
“Aku sempat berasumsi semua orang yang ada disekelilingku terasuki monster basa-basi, dimana mereka hanya mengucapkan salam diawal dan diakhir, tanpa ada isi dan inti yang jelas, berkumpul tapi hanya saling memandang layar handphone masing-masing, apa waktu tidak sepenting itu?” Ucapku
“Berteman itu adalah salah satu cara berada di dalam zaman, namun teman itu juga harus saling mengerti satu sama lain, kenapa tidak saling menerima saja, kecenderungan itu berbeda-beda” Tegas ibuku.
“hmm… Ini adalah zamanku, peradaban yang terbentuk pun juga salah satunya karena remaja-remaja seusiaku juga” Jawabku.
“Peradaban akan terus berjalan dan entah akan seperti apa kedepan, namun rasa didalam jiwa akan tetap sama, seperti Indomie dari masa ke masa tetap mampu memberikan rasa yang lezat, dan bisa memenuhi selera lidah di seluruh penjuru dunia, dulu ibu suka Indomie rasa soto, sekarang pilihan rasa semakin banyak, itu adalah perwujudan dari berdialog dengan peradaban” Analogi dari Ibuku.
“Selalu hidup di dalam zaman, menjadi pilihan berkat nilai dan estetika rasa yang tinggi, tidak mudah terkikis oleh keadaan” Tambahku.
“Kita bisa belajar banyak dari apa yang sudah kita makan tadi, Indomie.” Ibuku mencoba membuka cakrawala yang lebih lebar.
“Dari Indomie aku belajar memiliki daya fleksibilitas terhadap zaman dan terhadap keadaan yang sedang aku alami, aku terlalu skeptis berlebihan terhadap sekelilingku, disisi lain sekelilingku adalah perwujudan dari zaman tempatku hidup diantara ruang dan waktu” Kesimpulanku terhadap analogi ibuku tentang Indomie yang baru saja dibahasnya.
“Indomie juga selalu tepat dan pas takaran rasanya, dari situ kita juga belajar tentang tepat waktu dan kedisiplinan terhadap apa yang kita lakukan, ngomong-ngomong disiplin, karena sudah waktunya ibu ke ruang kerja, maka ibu harus disiplin dan profesional terhadap waktu, kau juga harus begitu, menjadi manusia Indomie berarti menjadi manusia bereputasi tinggi” Ucap ibuku sambil setengah berdiri lalu beranjak ke ruang kerjanya untuk mengerjakan project ilustrasi. Ya, ibuku adalah seorang tukang gambar digital, tapi juga seorang pegiat Teater, dulu waktu kecil sering sekali aku diajak latihan Teater dan diajari untuk memaknai sebuah tulisan.
Sedikit demi sedikit aku cerna dialog yang sudah terjadi dan aku menemukan nilai dari semua yang berjalan begitu saja, kini aku merasa lebih seimbang dalam memaknai zaman dan tidak terlalu skeptis terhadap semua yang ada di sekelilingku. Seperti Indomie yang selalu memberi kadar rasa yang seimbang, hidup juga harus seimbang dalam menyikapi segala hal yang datang, agar menjadi cerita yang indah dan bisa dikenang. Cerita dan Rasa Indomie memberiku peluang untuk bisa hidup lebih bermakna.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
