
Bab ini bakal dipublish di Wattpad. Di sini cuma lapak buat yang pengin baca lebih dulu.
Berisi bab 43: “Calon Mantu Buat Mama” Dan bab 44: “Rasanya Berbakti Pada Suami”
Bab 43: Bawa Calon Mantu Buat Mama
"Kenapa kalian semua ada di sini malam ini? Semuanya udah janjian ya?"
Aku curiga kejadian saat ini juga sudah direncanakan. Maksudku, kami sekarang tengah berada di
meja makan. Ada papa, mama, oma, sampai Caesar yang hampir tak pernah pulang ke rumah pun ada.
Karena kejadian di tempat Heidi tadi aku jadi curiga apakah ini juga salah satu rencana mereka.
"Lo benar-benar gak ingat?" Caesar menggeleng meremehkan. "Separah-parahnya gue, gue gak pernah ngelupain hari ini. Ya, gimana mau lupa juga kalau dari H-30 udah disentil-sentil mulu. Yang ada guenya yang pura-pura lupa."
Aku semakin tidak mengerti. Memang ini hari apa.
"Apa sih?"
"Ini hari ulang tahun Mama."
Mataku mendelik. Kulirik Mama yang sedang berbinar-binar berbincang dengan Aksara. Mama adalah orang yang senang mengadakan perayaan. Namun dia termasuk orang yang gengsi mengadakan perayaan untuk dirinya sendiri. Namun secara aktif akan terus memberikan kode pada kami semua.
"Semalam teman Mama ulang tahun. Padahal udah tua tapi anak-anaknya tetap aja ngerayain."
"Kayaknya semalam teman Mama dapat hadiah tas kayak gini. Hadiah hari ibu gitu."
Dan banyak kode lain yang membuat kami menyadari dengan amat sangat hari ulang tahunnya dan hari-hari yang dia anggap penting lainnya. Contoh nyatanya, seperti yang Mama lakukan padaku beberapa saat lalu. Menyuruhku pulang dengan alasan Papa yang merasa bersalah. Padahal kulihat sekarang Papa santai saja duduk di kursinya.
"Ayo, makan yang banyak!" suruh Mama pada Aksara yang tubuhnya kaku.
Sebenarnya aku merasa lucu melihatnya yang seperti ini. Selama ini Aksara selalu terlihat menawan penuh percaya diri. Kukira dia adalah orang yang tak akan pernah menunduk selama berjalan. Yang langkah-langkahnya tegap dan pasti. Namun kali ini untuk pertama kalinya, aku melihatnya gugup dan waspada.
Tapi di satu sisi aku juga kasihan, Mama sepertinya suka sekali dengannya. Dan tak ingin membiarkannya sendiri.
"Oh, iya, Ma," Caesar menginterupsi saat kami sudah selesai makan. "Ini hadiah dari aku. Happy Birthday, My Angel," ucapnya sambil mendatangi Mama lalu memeluknya dari belakang. Tentu Mama tergelak mendengarnya.
"Kamu ini. Malu tau masih peluk-peluk mamanya padahal udah tua gini."
Cih. Aku tahu sebenarnya Mama senang sekali dipeluk begitu oleh Caesar.
Tak lama kemudian Caesar melirik padaku dan mengedipkan sebelah mata. Aku tahu apa maksudnya itu. Dia mengejekku. Mendeklarasikan dirinya telah menang dariku.
Sial. Sial. Sial. Dia pasti bangga sekali karena menjadi orang pertama yang memberi hadiah pada Mama. Sementara aku adalah orang yang bahkan tidak mengingat ulang tahun ibunya sendiri.
Aku cemberut. Caesar melepaskan rangkulannya dari Mama sambil tertawa riang. Lalu satu per satu orang mulai memberi hadiah.
"Makasih ya, Ma," ucap Mama pada Oma. "Padahal Mama gak perlu repot-repot."
Aih, padahal memang ini kan yang Mama harapkan.
"Bukan apa-apa kok. Masa anak mama sendiri yang ulang tahun gak dikasi apa-apa."
Dalam hati aku tersenyum mendengarnya. Walau Oma adalah orang tua kandung Papa, tapi Oma memperlakukan Mama layaknya putri sendiri. Tak pernah sekalipun Mama mengeluh diperlukan berbeda oleh Oma. Membuatku juga berharap mendapat perlakuan yang sama di keluarga suamiku kelak.
Selanjutnya Papa yang memberi hadiah. Papa yang sok cool hanya menyodorkan sebuah kotak hitam tanpa ada basa-basi selamat ulang tahun dan sebagainya. Namun senyum Mama tampak semringah sekali.
Jangan salah paham. Papa bukannya tak peduli. Tapi dia memang tidak terlalu pandai menunjukkan perasaannya. Mama selalu cerita kalau Papa di luar dan di kamar tidur itu berbeda. Jangan berpikir macam-macam dulu, maksudnya perkataannya dan perlakuannya. Papa lebih romantis dan terbuka saat hanya berdua saja.
Sebenarnya dulu aku pernah berpikir apa Mama hanya membual tentang Papa karena tak ingin kami berpikir bahwa Papa tak mencintanya. Tapi aku pernah tak sengaja menyaksikan sendiri bagaimana Papa menggombal pada Mama.
Sejak itu aku tak pernah meragukan cinta Papa ke Mama lagi.
"Nora, lo gak ngasih apa-apa ke Mama?" tanya Caesar dengan wajah kaget penuh pura-pura selepas semuanya selesai memberi hadiah.
Meski keinginanku untuk menumpahkan sayur asam di atas kepalanya sangatlah kuat, aku hanya tersenyum. "Apa maksudnya aku gak bawa hadiah?"
Ayo, putar otak Cenora. Kamu gak boleh kalah dari biji nangka ini. Dia bukan apa-apa selain biji-bijian
Cih, biji-bijian biasa pun masih terlalu bagus. Caesar hanyalah biji kempot yang tak akan bisa bertunas jadi apa pun.
Dia setidakberguna itu.
"Oh, kalau gitu kamu ngasi Mama apa?" Dia tersenyum mengejek. "Hadiah kamu pasti besar banget ya. Sampe gak bisa dibawa ke sini sendiri. Soalnya aku gak ada liat apa-apa."
"Apa maksudnya gak liat? Kamu buta? Hadiahnya kan ada di sini?"
Tampang mengejek Caesar berubah bingung. "Di mana?"
"Ini di sini!" Tunjukku pada Aksara. "Aku bawa calon mantu buat Mama. Memangnya hadiahku bisa dibandingin sama tas kulit biawak punya kamu."
***
Dasar mulut sialan.
Apa tadi kataku. Bawa mantu buat Mama?
Hua... Lemparkan saja aku ke Saturnus.
Dan apa lagi ini? Kenapa suasana di sini mendadak sepi. Semua orang terdiam. Yang artinya semua mendengar kata-katku tadi.
Aku meneguk ludah. Masih memandang Caesar yang terpelongo mendengar kata-kataku. Takut-takut kulirik yang lain dan mendapati tatapan heran yang sama.
Skhajwjsnsshebdhdnsud...
Aku berdeham. Lalu tertawa seceria mungkin. "Bercanda. Hahaha... ha, ha, ha..."
Sial. Tertawaku kaku sekali. Kelihatan sekali dibuat-buatnya. Tampak jelas kalau aku sedang malu dan mencari-cari alasan agar tidak malu. Tapi nyatanya malah tambah malu.
Oke, aku tutup mulut sekarang. Menciut dan tak berani memandang siapa pun.
"Mantu?" Papa bersuara serak. Tak melihat ke siapa pun. Sial. Aku mulai keringat dingin. "Memang kalian sudah pasti akan menikah?" Dia bergantian menatap kami berdua. "Saya lihat yang ada hubungan kalian ini tidak jelas. Malah setelah kamu melamar anak saya, Nora jadi kabur-kaburan dari rumah."
Kini Papa hanya menatap Aksara. "Kamu serius sama dia? Kalau serius seharusnya jaga baik-baik. Kalau hubungan kalian kayak gini terus, mending gak usah ketemu lagi."
Aku bagai tersambar petir di siang bolong. Mulutku kaku seketika. Apa maksudnya ini?
"Saya gak pernah main-main," jawab Aksara mantap. Aku tertegun. Gestur gugupnya telah menghilang. Dia menjawab dengan sangat serius.
"Tapi apa yang saya lihat sekarang gak keliatan serius sama sekali."
"Kalau saya gak serius, saya gak akan pernah menjumpai Bapak secara langsung. Kalau Cenora benar-benar sudah menerima saya, saya akan datang melamar dengan resmi."
KYAAA...
Apa maksud perkataan yang diucapkan dengan amat sangat serius itu?
Papa terdiam. Mungkin kaget dengan jawaban Aksara. Tidak. Tidak hanya aku dan Papa yang kaget dengan jawaban Aksara. Semua orang di sini kaget mendengarnya. Bahkan Mama sudah menutup mulutnya seolah menahan jeritan.
"Jadi anak saya belum ngasi jawaban?" tanya Papa akhirnya.
Aksara melirikku, lalu menjawab, "Belum, Pak." Nada suaranya terdengar agak layu dan serat. Membuat sebagian hatiku terasa teremas-remas. "Saya akan menunggu sampai dia siap."
Kini semua orang yang ada di sini menatapku. Papa bertanya, "Kamu belum jawab mau terima dia atau enggak?"
Aku menelan ludah. Aku tak tahu harus bagaimana dan masih memiliki segudang keraguan.
"Sampai kapan kamu baru siap?" tanya Papa.
Lalu kulihat Aksara juga menatapku. Tampak sorot putus asa di sana. Seolah dia berpikir aku tak akan menerimanya.
Kemudian dia tersenyum maklum. Membuat hatiku semakin tidak keruan.
"Saya sudah siap," jawabku tak kalah mantap.
Entahlah, yang kutahu, sekarang aku tak ingin melihatnya begitu putus asa.
"Kalau Aksara memang mau datang melamar secara resmi, saya sudah siap."
***
Bab 44: Rasanya Berbakti pada Suami
"Sampai kapan kamu baru siap?" tanya Papa.
Lalu kulihat Aksara juga menatapku. Tampak sorot putus asa di sana. Seolah dia berpikir aku tak akan menerimanya.
Kemudian dia tersenyum maklum. Membuat hatiku semakin tidak keruan.
"Saya sudah siap," jawabku tak kalah mantap.
Entahlah, yang kutahu, sekarang aku tak ingin melihatnya begitu putus asa.
"Kalau Aksara memang mau datang melamar secara resmi, saya sudah siap."
Suasana mendadak berubah sunyi kembali. Aku merasakan setiap orang tersentak kaget. Kutatap mereka satu per satu. Aku curiga mereka sudah tidak bernapas lagi sekarang
Lalu Aksara yang berada di sampingku pun tak kalah kagetnya. Dia memandangiku aneh. "Kamu serius?"
"Serius," ucapku mantap.
"Cenora, ini bukan main-main. Saya berniat melamar kamu dengan tujuan untuk menikah, apa kamu benar-benar sudah yakin?"
Aku kembali berpikir. Aku tahu tujuan pertunangan memang untuk menikah nantinya. Tapi jika ditanya tiba-tiba seperti sekarang... Ternyata aku bingung juga menjawabnya.
"Kalau memang belum siap jangan asal menjawab," sambung Papa. "Jangan menjawab sesuatu hanya karena terdesak. Tanpa berpikir matang lebih dulu." Papa bangkit dari kursinya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Oma, yang sejak tadi diam, pada papa.
"Mau balik," sahut Papa.
"Memangnya ini waktunya kamu pergi gitu aja padahal udah membuat suasana jadi kayak gini?"
Sebagai anak yang penurut Papa langsung duduk kembali.
"Cenora Sayang," ucap Oma. "Kenapa kamu tiba-tiba menjawab seperti itu? Kamu gak merasa terpaksa kan?"
"Enggak," jawabku. Sungguh aku tak merasa dipaksa oleh siapa pun. Memangnya siapa yang bisa memaksaku.
"Walau Oma dan mamamu sangat berharap kamu bisa segera menikah, tapi yang terpenting tetap kebahagiaan kamu. Aksara juga bilang dia mau menunggu kamu sampai benar-benar siap. Kami gak pernah berniat memaksa walau kadang kelihatan begitu. Jadi jangan merasa terbebani."
Dulu mungkin aku akan sangat merasa terbebani dengan lamaran Aksara ini dan tingkah mereka semua yang mendukung. Tapi sekarang, jika kupikirkan lagi, aku sama sekali tak merasa tertekan. Aku tak membenci kenyataan dia ingin melamarku. Malah, kurasa aku sedikit menantikannya.
"Nora gak merasa terbebani kok, Oma."
"Yakin?"
Aku mengangguk mantap. "Iya."
Entah kenapa aku melihat kelegaan di seluruh wajah mereka. Aksara yang sejak tadi tampak tegang pun perlahan mulai santai kembali.
Ketika kulirik sedikit, dia pun melakukan hal yang sama, lalu tersenyum sedikit.
Ya Tuhan, gantengnya.
***
Setelah makan bersama, Papa dan Aksara pergi berdua saja. Mereka duduk di teras samping. Entah membicarakan apa. Aku bisa melihat mereka sebab berbatasan dengan kaca. Namun tak bisa mendengar apa pun yang mereka katakan. Sementara itu aku, Mama, dan Oma duduk bersama.
"Kamu benar-benar yakin?" tanya Mama lagi.
Aku mulai lelah dengan pertanyaan ini.
"Iya, Ma, Nora yakin."
"Yakin banget?"
Ya tuhan...
"Iya, yakin banget."
Lalu mendadak Mama menangis.
"Mama kenapa?" panikku. Sementara Oma hanya menepuk-nepuk pundaknya saja.
"Mama sebenarnya sedih."
Aku jadi bingung. "Sedih kenapa? Bukannya ini keinginan Mama. Bukannya Mama senang banget sama Aksara."
"Ya, Mama senang. Tapi Mama juga sedih."
Aku tersenyum. Pasti Mama sedih karena akan melepas anak perempuannya untuk menikah. Ya, aku paham perasaannya.
"Bisa-bisanya kamu bikin keputusan sebesar ini tanpa diskusi dulu sama Mama."
Aku terdiam. "Mama sedih karena aku gak diskusi dulu sama Mama?"
"Ya iyalah. Biasanya kan anak perempuan curhat dulu sama ibunya tentang laki-laki yang melamar dia."
Aku tersenyum lagi mendengar jawaban Mama. Walau lebih suka meng-kode, Mama bisa blak-blakan juga seperti sekarang.
"Habis kayaknya kalau cerita ke Mama pasti Mama cuma nyeritain yang baik-baiknya doang tentang Aksara."
"Ya kan dia memang anak baik," Mama mulai ngegas tanpa sadar. "Mama gak pernah ngeliat anak sebaik dia. Bahkan Mas kamu aja gak ada setengahnya."
Wah, Mama jujur sekali. Tak pernah aku mendengar Mama membandingkan kami dengan anak lain. Walau tak pernah memuji juga sih. Tapi sekarang Caesar sudah dibanding-bandingkan. Hahaha...
"Cih, Mama jahat." Caesar tiba-tiba muncul. "Bisa-bisanya bandingin anak sendiri." Dia cemberut. Lalu memeluk Oma. "Oma aku mau jadi cucu Oma aja. Gak mau jadi anak Mama lagi." Lalu seperti yang sudah kuduga, tongkat ajaib Oma mendarat di atas kaki Caesar.
"Au..." jeritnya. "Jahat banget sih Oma."
"Kamu mau apa? Minta uang?" tuduh oma jahat.
"Astaga, Oma. Pikirannya jelek terus ke cucu sendiri."
Aku tetawa melihatnya. Aku tahu Oma senang-senang saja dengan perlakuan Caesar, tapi dia hanya gengsi.
Semua orang di keluarga ini memang tukang gengsi.
"Kamu juga," Mama ikut menambahi. "Kalau gak mau dibandingkan ya mulai hidup bagus-bagus. Gak pernah Mama liat kamu bawa pacar ke sini."
"Waktu itu mau aku bawa gak Mama kasi."
"Ya, dandanannya kayak gitu. Tali bajunya udah mau lepas saking tipisnya."
"Gak mudah lepas kok, Ma, udah pernah aku coba. Tapi gak bis--"
Plak. Tongkat sakti beraksi kembali. Sementara itu Caesar sudah melarikan diri.
"Cari cewek baik-baik. Jangan bawa yang bertindik-tindik bibirnya itu lagi," ucap Mama.
Pacar Caesar memang tidak pernah beres. Mau bagaimana lagi, dia terlalu mudah untuk mendapatkan mereka sampai tak mengerti bagaimana cara memilihnya dengan baik.
Mama kembali menumpahkan isi hatinya, "Teman-teman Mama yang lain anak-anaknya selalu curhat ke mamanya. Jangankan masalah tunangan begini, tentang hal-hal sepele juga diceritakan. Tapi kamu..."
Aku tarik kata-kataku yang mengatakan Mama tak suka membandingkan kami. Ternyata mayma suka sekali membandingkan anaknya.
Akhirnya curhatan panjang lebar Mama selesai. Dan Papa pun telah kembali dari pembicarannya dengan Aksara.
"Papa ngomong apa tadi?"
Aksara tersenyum. "Bukan apa-apa. Cuma hal-hal biasa aja."
Aku penasaran sekali. Tapi sepertinya dia tak akan memberitaku mau bagaimanapun juga. Oke, anggaplah itu percakapan antara dua laki-laki saja.
"Tapi... kamu benar-benar yakin kan?"
Aku memutar bola mataku malas. "Serius tahuuu... Dari tadi nanya itu mulu. Apa saya seenggakmeyakinkan itu ya?"
Aksara tertawa. "Ya, cuma susah dipercaya aja. Habisnya selama ini kamu kelihatan ogah sekali menikah sama saya."
Tapi sekarang aku sama sekali tidak ogah. Malah kalau membayangkan Aksara akan menikah dengan orang lain rasanya aku kesal bukan main.
Ya, coba bayangkan itu.
Di sebuah acara pernikahan yang mewah. Aksara menjabat tangan penghulu dan mengucapkan nama wanita lain.
Argh...
Tidak boleh! Hal itu tidak boleh terjadi!!!
Jika ditanya kapan siap, kita tak akan pernah siap. Selalu akan muncul keragu-raguan. Jadi daripada menunggu kapan siap, buat dirimu siap.
Eaakkk. Duh... Setelah berpotensi akan menjadi istri orang aku berubah bijak begini. Ekhem, apa ini tanda-tanda aku adalah ibu yang baik.
"Ya, gimana gak ogah kalau baru kenal udah ngajak nikah. Tapi sekarang aku serius kok. Jadi jangan gak percaya gitu."
Jujur aku sedih melihatnya yang berpikir aku tak mau menikah dengan dirinya. Rasanya seolah aku sudah jahat sekali.
Aksara tersenyum. "Kalau gitu saya senang sekali."
Jawaban jujurnya pun membuatku tertawa.
Tak lama setelah itu Aksara pamit pulang.
Sebagai calon istri yang baik aku mengantarnya sampai depan teras. Tapi Mama iseng sekali mengintili.
"Hati-hati di jalan ya, Aksa," ucapnya. "Kamu bisa datang kapan aja."
"Iya, Tante."
"Duh, jangan Tante lagi dong. Panggil Mama aja."
Aku cukup terkejut dengan keagresifan mama. Namun tak berkata apa-apa. Jujur aku senang-senang saja dia memanggil mamaku "mama".
"Iya, Ma," jawab Aksara membuat Mama kegirangan.
"Nah, gitu dong."
"Kalau gitu aku pulang dulu, Ma." Duhhh, kenapa rasanya malu sekali mendengar Aksara berkata begitu. "Cenora, saya juga pamit ya," sambungnya lagi.
"Iya," jawabku dan aku langsung berbalik. Namun seruan Mama menghentikannya.
"Kok cuma gitu aja?"
Aku tidak mengerti.
"Jadi kami harus gimana?" tanyaku bingung. Masa iya Mama mau kami cipika-cipiki dan sebagainya.
"Ya, salim dong calon suaminya, Nora."
What? Apa tadi! Salim?
Ingin sekali aku membantah kata-kata Mama karena malu. Tapi jika dipikirkan lagi, Mama ada benarnya.
Aksara adalah calon suamiku. Sosok yang harus kuhormati. Dan... Aku harus salim tangannya... Kyaaa...
Kok senang sih?
Duh, gak sabar.
Jadi aku pun mendekati Aksara. Kami sama-sama tersenyum malu. Aksara memberikan tangannya yang langsung kusambut dan arahkan ke dahi.
Ya Tuhan, jadi begini rasanya berbakti pada suami.
***
Sincerely,
Dark Peppermint
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
