
“Risiko menjadi pasangan aparat negara, ya, seperti ini, Nadia.” Laras memandang situasi ini dari kacamata netral. “Lagipula, apa yang membuatmu begitu tidak bisa berpisah jauh darinya? Kamu dan Fathan tidak pernah melakukannya, kan?”
Bab 6. Gelisah, Galau, Merana
Nadia sudah berkemas untuk pulang, lalu tak lama ponselnya berdenting sekali, ada pesan masuk yang diterima. Gadis yang sudah matang itu langsung meraih benda pipih tersebut, kemudian membuka pesan yang dikirimkan oleh Fathan. Sejak hubungan mereka membaik, komunikasi pun kembali lancar. Fathan sering mengirimkan pesan di sela istirahatnya. Terkadang, pria itu juga menghubungi meski hanya untuk mengucapkan selamat malam.
Fathan masih di sini, tetapi Nadia sudah merasa lelaki itu telah berada di negara itu. Mereka tak pernah bertemu karena Fathan ternyata sibuk selama masa pratugas. Atau bisa jadi, pria itu ingin membiasakan diri untuk tak bertemu Nadia hingga masa keberangkatan benar-benar terjadi.
[Nad, apa kamu sudah pulang?]
Nadia kembali duduk di kursi untuk membalas pesan Fathan.
[Iya, Fath. Mau siap-siap pulang. Ada apa?]
Tak ingin munafik, setiap hari Nadia selalu berharap Fathan dapat keluar dari sana sebentar saja untuk menemuinya.
[Aku hanya ingin tahu. Kamu sehat-sehat aja ‘kan? Nanti kalau udah sampai di rumah jangan lupa kabari aku.]
Gadis itu menempelkan kepala pada sandaran kursi. Fathan tak bisa memahami keinginannya? Atau apa semua lelaki seperti ini, tidak peka terhadap keinginan wanitanya? Ingin rasanya tidak membalas pesan tersebut, tetapi Nadia tidak bisa. Alasannya cuma satu, tak ingin kehilangan Fathan.
[Iya, aku akan kasih tahu. Aku jalan dulu, ya.]
Ini kode, supaya Fathan jangan membalas pesan itu lagi. Ternyata apa yang diharapkan oleh Nadia terwujud. Ponsel itu hening. Ia pun berdiri kembali, lalu membuka pintu ruangan. Asisten dokter yang selalu menemani, juga telah sama-sama beranjak untuk pulang.
Saat berada di lobi rumah sakit, seseorang menyapa Nadia. Namanya Dokter Dionandri, seorang duda tanpa anak berusia tiga puluh delapan tahun, yang baru saja bercerai dari istrinya karena kasus perselingkuhan oleh sang istri. Dokter karismatik yang akrab disapa Dio, merupakan salah satu dokter spesialis penyakit dalam yang juga bekerja di rumah sakit yang sama dengan Nadia.
“Nadia, sudah mau pulang?” tanya Dio mengejutkan Nadia.
Gadis yang memikat meski tak bersikap menggoda di hadapan banyak pria, menoleh ke asal suara. Ia tersenyum, lalu mengangguk.
“Apa kamu ada acara?” Dio kembali mengajukan pertanyaan. Ada maksud tersirat yang mudah saja tertangkap oleh lawan bicaranya.
Nadia menggeleng. “Enggak ada, sih, Dokter Dio, tapi aku memang harus segera pulang.” Jawaban Nadia juga cukup jelas memberikan penolakan secara halus.
“Oh, begitu. Baiklah. Hati-hati di jalan, Nad.”
Sebagai pria dewasa, Dio tentu saja bisa memahami sikap Nadia tersebut. Ia mengurungkan niat dari rencana awal yang untungnya belum tersampaikan. Menurut Dio, itulah pentingnya berbasa-basi. Bisa menyelamatkan dari situasi memalukan karena sebuah penolakan.
“Terima kasih, Dokter.”
Nadia mengangguk sekilas, lalu beranjak menuju parkiran. Masalah percintaannya saat ini sungguh memberat di benak. Sebentar lagi Fathan akan selesai pratugas, lalu ia akan menjalani masa karantina, sebelum akhirnya mendapatkan jadwal pasti gelombang keberangkatannya. Sementara Nadia, tetap berada di tanah air, menunggu kekasih hati pulang untuk menepati janji menikahinya.
Gadis itu mengangguk. Iya … dia pasti bisa melakukan itu. Bukankah hampir sebulan ini, hubungan yang mereka jalani sama saja dengan long distance relationship. Meski di negara yang sama, tetapi tak pernah bertemu sekali pun.
*
Sesampainya di rumah, Nadia langsung masuk ke dalam kamar. Ia selalu menghindari pertanyaan Papa dan Mama yang ingin tahu tentang Fathan; semua tentang Tentara yang mulai membuat mereka bangga, karena bakal calon menantu adalah salah satu pasukan Kontingen Rajawali.
Ketukan di pintu kamar membuat Nadia terkejut. Tak lama, suara wanita yang sudah melahirkannya terdengar.
“Mama boleh masuk, Nad?”
“Boleh, Ma. Nggak Nadia kunci, kok.”
Detik kemudian, pintu terbuka. Nadia yang masih merebahkan diri di atas ranjang, menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. Senyum wanita itu begitu syahdu. Ia sudah duduk di sisi pembaringan sang anak. Satu tangan mengusap lembut kepala Nadia.
“Kamu kenapa, Nadia? Kok akhir-akhir ini Mama perhatikan kayak ada masalah gitu? Cerita dong sama Mama. Siapa tahu Mama bisa bantu.”
Nadia mengalihkan pandangan untuk menatap plafon kamar yang diukir motif bunga pada bagian-bagian tertentu. Lalu, gadis itu menghela napas dalam.
“Fathan akan pergi sebentar lagi, Ma.”
Larasati—mama Nadia—tersenyum lembut menanggapi kegundahan hati sang anak. Wanita yang telah berusia enam puluh tahun yang dulunya berprofesi sebagai salah satu Dokter Kandungan senior di rumah sakit ternama Jakarta, bisa memahami perasaan Nadia saat ini.
“Menurut pandangan Mama, ini akan lebih bagus, Nadia. Semakin cepat Fathan berangkat, kepulangannya juga sudah pasti jadwalnya. Sehingga, kamu hanya perlu menghitung hari saja. Berbeda dari sekarang. Fathan tetap akan pergi, tetapi waktunya masih lama, sehingga penantianmu juga akan kian panjang.”
Nadia bangkit. Ia tak sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Laras.
“Mama setuju kalau dia pergi meninggalkan Nadia se-lama itu?”
Laras mengangguk. “Fathan pergi karena tugas, bukan meninggalkanmu tanpa sebab.”
“Tapi Nadia nggak siap, Ma.”
“Risiko menjadi pasangan aparat negara, ya, seperti ini, Nadia.” Laras memandang situasi ini dari kacamata netral. “Lagipula, apa yang membuatmu begitu tidak bisa berpisah jauh darinya? Kamu dan Fathan tidak pernah melakukannya, kan?”
“Mama jangan berpikiran seperti itu. Fathan pria baik. Dia sama sekali enggak pernah nyentuh Nadia secara berlebihan. Dia selalu menjaga Nadia dengan baik.” Gadis itu berdecak. Sungguh, ia takkan pernah bisa jika harus kehilangan Fathan. Bayangan gadis-gadis cantik berparas timur tengah sudah mengotori pikirannya. Bisa saja Fathan merasa kasihan awalnya, lalu lama-lama saling memberikan perhatian, kemudian terpikat, lantas menikahi salah satu dari mereka atas alasan kemanusiaan.
“Nadia hanya takut, kalau Fathan digaet oleh gadis-gadis di sana.” Lemahnya kepercayaan diri Nadia saat ini tengah diuji.
Laras tertawa kecil. Ia tak percaya putri cantiknya yang digilai banyak lelaki di sini, sampai kalah dengan pikiran buruknya sendiri, yang belum terjadi sama sekali.
“Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau Fathan adalah pemuda baik. Lantas, kenapa kamu sampai takut hal itu terjadi. Lelaki baik, pasti akan menjaga hati wanita yang dicintai, di mana pun berada.”
“Justru karena kebaikannya itu, Ma. Nadia takut gadis-gadis di sana akan tergila-gila sama dia.”
“Hei, jangan bicara seperti itu, Nadia. Percayakan saja semuanya sama Fathan, doakan dia juga. Minta sama Allah supaya menjaganya untuk kamu.”
Nadia terdiam sejenak. Ia ingin sekali bisa melakukan hal tersebut, tetapi hingga saat ini, ia belum mampu.
Tak lama telepon genggam yang tergeletak di atas kasur, berdering. Tanpa melihat pun Nadia tahu itu Fathan. Ia sudah menyetel nada khusus untuk kekasih hati, supaya dapat dikenali dengan mudah, seperti saat ini.
“Fathan, ya?” tanya Laras ketika melirik ke arah ponsel yang sudah diraih oleh Nadia.
“Iya, Ma.”
“Ya sudah, Mama keluar dulu. Salam buat Fathan. Suruh main ke rumah sebelum berangkat.”
Nadia mengangguk lemah. Siapa pun takkan bisa memahami kegundahan yang ia rasakan saat ini.
***Bersambung>>>
Masih ada yang nungguin enggak, ya. Pokoknya terima kasih banyak buat yang sudah baca.
Bab 7. Gulu, Sudan
Iklim di Gulu, bagian pedalaman Sudan begitu ekstrim. Cipa berkali-kali mengalami mimisan. Akan tetapi, ia tetap tidak ingin menyerah menjalankan kewajiban sebagai peacekeeper Polri untuk dunia. Cipa mendapatkan tugas sebagai Pasukan Taktis pada Pleton Charlie. Mereka terbagi ke dalam tiga regu. Satu regu berjumlah sembilan personel gabungan antara Polwan dan Polisi.
Cipa termasuk ke dalam regu B Charlie yang bertugas mengawal petinggi PBB yang ingin memantau situasi sekitar camp dan berkunjung ke daerah terpencil, hari ini. Meski kondisinya kurang baik, sebab baru saja mengalami mimisan lagi, gadis tangguh itu tetap siap berangkat. Siang ini rasanya terlalu panas dari yang sebelum-sebelumnya. Mungkin sudah mencapai suhu di atas 450C.
“Cipa, are you oke?” tanya Gionino, salah satu abang leting Cipa yang cukup dekat dengannya, karena berasal dari Polda yang sama.
“Aman, Bang,” jawab gadis itu sudah siap naik ke atas mobil patroli yang akan mengawal sebentar lagi.
Gionino hanya mengangguk, meski ia merasa khawatir akan kondisi gadis itu.
Pada akhirnya tim tetap berangkat. Sebab kunjungan dari petinggi PBB merupakan salah satu hal membanggakan bagi mereka.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja rombongan dicegat oleh beberapa pasukan bersenjata dengan menaiki kuda. Mereka benar-benar membawa senjata api lengkap dan brewokan pula, persis seperti yang ada di televisi. Sebagai pasukan pengamanan, Kontingen Garuda Bhayangkara tidak boleh salah dalam bertindak. Ingat akan tugas awal dikirim ke negara konflik adalah, untuk menjalankan misi menjaga perdamaian dunia, bukan malah mengangkat senjata lalu mengumumkan perang.
Rata-rata dari mereka yang dikirim ke Sudan memang mahir dalam berbahasa Inggris. Akan tetapi, rakyat Sudan apalagi yang ada di wilayah terpencil seperti Gulu ini, tak akan memahami apa yang mereka katakan. Beruntung sekali, setiap regu selalu memiliki satu orang yang dinamakan Liasion Officer atau yang disingkat LO. Merekalah yang akan bicara dengan masyarakat setempat, seperti yang terjadi saat ini, untuk melakukan negosiasi.
Namanya, Briptu Burhan, teman seangkatan Cipa. Ia memang menguasai beberapa bahasa, di antaranya Bahasa Arab yang digunakan oleh masyarakat Sudan pada umumnya. Burhan maju ditemani oleh Kapten regu.
Setelah berbincang beberapa saat, Kapten regu berbalik menuju mobil patroli, lalu mengambil air mineral kemasan yang masih bersegel di dalam kardus, untuk diberikan kepada mereka.
Kapten regu berbisik kepada Burhan. “Kita tidak bawa rokok.”
Burhan pun mengangguk. Ia lantas mengatakan hal tersebut dengan didahului permintaan maaf kepada mereka yang mencegat. Salah satu dari pasukan berkuda yang berada di posisi paling depan, terlihat bisa mengerti kondisinya. Ia pun mengangguk dan menerima air mineral yang diberikan oleh Burhan. Setelah itu, mereka pun pergi. Perjalanan jadi dapat dilakukan kembali.
Petinggi PBB sampai memuji sikap santun dan ramah yang tetap dijaga oleh Kontingen dari Indonesia. Hal ini sudah terdengar gaungnya sejak lama. Nama Indonesia di mata United Nations memang sudah harum sejak dulunya.
Tidak ada pembahasan apa pun selama perjalanan dilakukan, hingga mereka kembali ke kawasan camp UN.
Selama berada di Gulu, HP tidak ada gunanya. Tak ada sinyal atau pun internet di tempat ini. Jika ada yang ingin menghubungi keluarga di tanah air, harus melalui peralatan khusus yang disediakan, tetapi dengan sistem piket, hanya satu kali dalam seminggu.
Awal-awal bergabung dalam pasukan FPU ini, Cipa memang sedikit susah beradaptasi. Ia berasal dari polisi umum biasa, tahu-tahu terpilih masuk ke dalam Pasukan Taktis yang harus siap berjaga dua puluh empat jam dalam kondisi apa pun sambil membawa senjata api. Namun, bukan Asyifa Ashri namanya jika tak bisa menaklukkan tantangan ini.
Gadis itu tengah berbelanja di tempat yang tersedia, di dalam kawasan camp. Ia membeli sebotol minuman, sebab yang paling dibutuhkan saat ini hanyalah minuman saja.
“Gimana kondisi kamu, Cipa? Tadi Abang lihat sempat mimisan lagi?”
Gionino mendekati. Ia juga ingin membeli air. Cuaca yang ekstrim membuat mereka harus lebih banyak minum supaya tidak mudah dehidrasi. Air yang boleh dikonsumsi pun mestilah yang berlabel, tidak diperkenankan minum dari air di sekitar camp secara sembarangan.
“Alhamdulillah udah baik, Bang. Udah biasa juga, kan.” Cipa tersenyum sembari membuka botol air minum. Mereka sama-sama berdiri di depan sebuah … sebut saja mini market khusus pengungsi dan petugas yang berjaga.
Gionino ikut tersenyum. “Udah satu bulan di sini, Abang nggak pernah lihat kamu nelepon keluarga. Apa nggak kangen?”
Cipa menggeleng pelan. “Kangen? Menurutku, itu hanya untuk mereka yang perasaannya halus. Aku kan beda, Bang.” Lagi, gadis itu tersenyum.
“Kalau gitu, Abang termasuk mereka yang berperasaan halus dong?”
Cipa mengangguk. “Kalau diterawang, sih, kayaknya, iya.”
Lantas keduanya tertawa bersama.
Meski berada di lokasi rawan, tak lantas membuat para petugas dilarang untuk tertawa. Keberadaan mereka di sini diharapkan dan dirindukan selalu oleh masyarakat sekitar terutama yang berada di dalam camp pengungsian. Bagaimana tidak, para tentara dari luar negeri selalu memberikan kebahagiaan bagi masyarakat yang mentalnya harus dibangkitkan kembali akibat perang saudara yang tak pernah habis. Terutama anak-anak dan para wanita.
Selain melindungi, para peacekeeper ini juga bertugas memberikan penyuluhan yang berkaitan dengan keamanan, kesehatan, pendidikan serta tentang kesetaraan gender. Mereka butuh itu semua. Dan, setiap petugas sudah memiliki posisi dan porsi tugasnya masing-masing.
*
Cipa terbangun ketika mendengar suara tembakan bersahutan di kawasan luar camp. Hal itu sudah menjadi sesuatu yang biasa. Mereka terus saja berperang menggunakan senjata api.
Sekalinya terbangun, Cipa tak lagi bisa tidur. Ia lantas mengambil senjata dan duduk di luar. Mereka bertugas dan membagi waktu piket masing-masing. Meski Pasukan Taktis harus siap dua puluh empat jam dalam penjagaan, tetapi mereka tetaplah manusia yang butuh istirahat.
Malam ini, regu A Charlie yang piket. Cipa mampir ke pos jaga yang berada di dekat lapangan. Di sana ada Lisa, namanya. Salah satu teman angkatan Cipa yang berasal dari Polda Sumatera Barat.
“Kamu nggak tidur lagi, Cip? Besok harus piket pagi.” Lisa mengingatkan.
“Susah, Lis. Kalau udah bangun, mataku susah banget buat ditutup lagi.”
Lisa tertawa. “Backsound di sini, ajib banget, ya. Beruntung negara kita aman dan damai. Semoga aja nggak akan pernah menjadi seperti di sini kondisinya.”
“Amin.” Cipa mengaminkan dengan cepat.
Setiap petugas yang pulang dari negara konflik, selalu saja mengucapkan syukur atas hal itu; memiliki kondisi negara yang aman dari perang yang berkepanjangan seperti di sini.
“Eh, tadi aman dicegat?” tanya Lisa penasaran. Walau sudah mendengar cerita lengkapnya, tetapi tetap saja ia ingin mendengar langsung dari Cipa yang berada langsung di lokasi kejadian.
“Aku cemas, dong. Kupikir ada demo atau apa gitu kan? Mana tampang mereka seram-seram. Tahunya, kata Burhan, mereka cuma minta rokok sama air aja.”
Cipa tertawa. Ia selalu seperti ini setiap kali ada teman yang bisa diajak bicara. Berbeda saat sendiri. Mungkin tak terhitung sudah berapa banyak air mata yang tumpah dengan percuma.
***Bersambung>>>
Bab 8. Tidak Pernah Padam
Fathan sudah memasuki masa akhir pratugas. Ia dan yang lainnya akan segera menjalani karantina sebelum berangkat ke Lebanon. Pekerjaan besar telah menanti mereka di sana, sebab kontingen sebelumnya sudah akan mengakhiri masa tugas mereka.
Selama satu bulan, tak sekali pun Fathan keluar dari PMPP TNI. Ia benar-benar fokus untuk mempelajari semua modul dan melatih fisik setiap hari. Selain karena ada faktor lain yang lebih penting, melatih diri agar terbiasa tak bertemu dengan Nadia dalam kurun waktu yang lama. Akan tetapi, komunikasi yang dijalin justru semakin intens. Di sela waktu, Fathan menyempatkan untuk menghubungi, minimal mengirimkan pesan untuk Nadia, seperti yang ia lakukan malam ini; menelepon gadis itu.
“Kamu lagi apa, Nad?” tanya Fathan sembari duduk di beranda kamar mess.
“Nggak ada. Lagi main HP aja. Kamu lagi apa? Bukannya udah selesai pratugas, ya?” tanya Nadia menyelidiki. Ia ingat betul Fathan pernah bilang mengenai jadwal kegiatannya.
“Iya, baru tadi penutupan pratugas. Tapi kami masih harus tetap di sini, langsung di karantina.” Fathan menjelaskan sebelum Nadia berharap lebih kepadanya.
Pria itu memang sudah merencanakan untuk menemui Nadia setelah semua proses ini selesai, mungkin lebih tepatnya sebelum masa keberangkatan. Ia ingin mengucapkan salam perpisahan dengan gadis pujaan hati sekaligus hendak berpamitan juga kepada orang tua Nadia.
“Langsung, ya? Apa enggak boleh keluar dulu?”
“Semuanya baru diperbolehkan keluar, setelah menyelesaikan masa karantina. Aku akan datang menemuimu.” Fathan paham yang diinginkan oleh Nadia hanya ini, bertemu dengannya. Sejujurnya lelaki itu pun sama, tetapi ia lebih ingin menahan diri. Terbiasa tak berjumpa dengan Nadia akan membuat hatinya menjadi lebih baik saat bertugas di Lebanon nanti.
“Kapan, Fath?”
“Waktunya yang belum bisa kupastikan. Yang jelas, sebelum berangkat, aku akan menemuimu.”
“Aku kangen sama kamu,” lirih gadis itu kemudian. Ia berhasil membuat Fathan seketika merasa bersalah dengan keadaan yang terjadi di antara mereka saat ini. “Aku tahu, kamu emang sengaja melakukan semua ini. Nggak mungkin setiap hari pratugas, pasti ada masa liburnya walau cuma sehari. Tapi kamu malah memilih berdiam diri di sana.”
“Enggak, bukan begitu ….”
“Kita kenalnya udah cukup lama, Fath. Sedikit banyak, aku juga udah pahamlah gimana kamu.”
Fathan mengangguk pelan. Kepalanya ditengadahkan ke langit, menatap bintang yang menemani rembulan berbentuk sabit. Banyak juga teman-teman yang tengah duduk di beranda, mengobrol, menelepon orang tua, istri, pacar—seperti yang dilakukan Fathan saat ini. Ya, karena hanya ketika malamlah, waktu mereka jadi lebih banyak untuk bisa berkomunikasi panjang dengan orang-orang yang dikasihi.
“Jangan terlalu berburuk sangka sama apa yang nggak sepenuhnya kamu ketahui, Nad,” ujar Fathan setelah melempar senyum kepada Rizki yang kebetulan lewat, lalu menyapanya. “Aku memang tidak memiliki banyak waktu untuk keluar. Aku mendapatkan pelajaran khusus yang tak banyak didapatkan oleh yang lain.”
Nadia menghela napas dalam. Ia tak ingin berdebat dengan Fathan. Malam ini terlalu melelahkan buatnya. Bergulat dengan rasa rindu setiap hari cukup menyita tenaga, padahal kekasihnya masih dapat digapai sebenarnya. Namun … ya, sudahlah.
“Aku capek banget, Fath. Besok aja sambung teleponnya, ya.”
“Kamu sakit?”
“Enggak. Aku cuma banyak kegiatan aja tadi.” Nadia hanya beralasan. Sejatinya, gadis itu hanya ingin menenangkan hati dan pikiran.
“Ya udah. Kamu istirahat, ya.”
“Ya.”
“Aku tutup dulu teleponnya.”
“Ya.”
Tak ada lagi kata yang dapat diucapkan hingga Nadia pun memutuskan sambungan telepon terlebih dahulu.
Fathan tak ingin berpikiran buruk. Ia mencoba memahami kondisi Nadia. Seorang Dokter terkadang memang memiliki satu masa yang membuat aktivitasnya bisa menjadi begitu padat, dari hari-hari sebelumnya.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, pria itu pun menghubungi Rahayu. Sudah lama tak mendapatkan kabar dari bibi tentang ibunya.
“Bibi apa kabar?” tanyanya sesaat setelah telepon dijawab oleh Rahayu.
“Alhamdulillah, Fath. Kamu juga gimana? Udah dapat jadwal berangkatnya?” Rahayu selalu semringah jika berkomunikasi dengan Fathan. Sejak lama, ia memang telah menganggap pemuda matang yang berusia 33 tahun itu sebagai anaknya sendiri.
“Udah, Bi. Awal November nanti, dapat gelombang kedua.”
“Alhamdulillah. Nanti kamu di sana, jangan pernah lupa salat. Jaga kesehatan juga.”
“Iya, Bi.”
Fathan tak pernah mendapatkan kasih sayang yang kurang dari Rahayu. Hanya saja, sebagai seorang anak, ia tetap rindu dengan pelukan hangat ibu kandungnya sendiri. Sekali pun belum pernah Fathan melihat Neyna tersenyum kepadanya.
Lelaki yang bernama Wawan, benar-benar telah menancapkan duri tajam yang membuat ibunya terus sakit saat melihat dirinya. Apakah lelaki jahanam itu begitu mirip dengannya, hingga menyebabkan Neyna terus histeris ketika mereka berpapasan?
“Ibu, apa kabar, Bi?” tanya pemuda itu akhirnya. Suaranya selalu saja sendu ketika menanyakan kabar Neyna.
“Ibumu, alhamdulillah sehat, Fath. Kamu nggak usah khawatir soal itu.”
Tak lama, sayup-sayup Fathan mendengar suara Neyna bersenandung kecil; seperti tengah berbahagia.
“Nelepon sama siapa, Yu?” tanya perempuan itu kepada Rahayu, seperti orang normal. Ya, karena Neyna memang normal jika Fathan tidak ada di sekitarnya.
Rahayu sudah sering membawa Neyna untuk berobat, lalu tak jarang berkonsultasi ke Psikolog.
“Fathan, Mbak.” Rahayu pun sering menyebut nama Fathan agar Neyna terbiasa, berharap lambat laun pun ia jadi bisa menerima kehadiran anaknya sendiri.
Tak terdengar lagi oleh Fathan tanggapan dari Neyna saat Rahayu menyebut namanya. Selalu seperti itu, jika mereka kedapatan tengah teleponan oleh Neyna.
“Ibu pasti senang, saya tidak lagi berada di rumah, kan, Bi?” Mata Fathan mengerjap, lalu menunduk. Satu bulir air jatuh tanpa ada yang tahu. Sekuat apa pun dirinya menegarkan hati, selalu saja dapat dihancurkan oleh sikap ibunya sendiri.
“Jangan berkata begitu, Fath. Kamu harus bisa bersabar. Akan ada masanya, kelak, ibumu dapat menerima kehadiranmu, Nak.”
“33 tahun, Bi. Bukan waktu yang sebentar. Sepertinya saya memang harus lebih serius lagi mencari pria bernama Wawan itu!” ucap Fathan dengan emosi tertahan.
“Fath. Kamu itu aparat negara, lho. Jangan terlalu menuruti amarahmu. Bibi takut jika kamu memang berhasil menemukannya, lalu kamu salah langkah. Kamu sendiri yang akan rugi, Nak.”
“Saya hanya ingin membawanya untuk bersimpuh di hadapan Ibu!” tegas Fathan masih berusaha menekan suara, agar yang lain tak terusik lalu menoleh ke arahnya.
“Ibumu takut kepadanya, Fath. Bertemu dengannya hanya akan membuat traumanya kian parah. Tidak usah lakukan hal bodoh seperti itu. Biarkan begini aja. Bibi akan terus membawa ibumu konseling, supaya dia bisa keluar dari trauma itu.”
Sebagai seorang bibi yang juga telah menjadi ibu pengganti untuk Fathan, tentu saja Rahayu memikirkan dampak buruk yang akan ditimbulkan dari setiap tindakan mengundang bala yang direncanakan keponakannya tersebut. Sejak lama, Fathan memang sudah pernah bilang tentang hal itu; membawa Wawan ke hadapan Neyna untuk memohon pengampunan. Hanya saja, Rahayu terus melarang hingga kesibukan dinas sebagai seorang TNI AD membuat Fathan melupakan semua itu.
Rahayu hanya tidak tahu, sampai detik ini pun, Fathan tak pernah urung akan niatnya untuk mencari keberadaan Wawan. Sebagai anak yang menjadi korban atas perbuatan jahanam itu, Fathan bahkan pernah ingin membunuh Wawan—ayah biologisnya—jika sempat bertatap muka suatu saat nanti.
***Bersambung>>>
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
