
Pernah menyukai orang dalam waktu lama? Ayolah, setidaknya pasti pernah cinta satu pihak, kan? Pernah ada usaha untuk menyatakan perasaanmu?
Ditolak?
Hahahaha, maafkan aku. Tapi caramu salah, Kawan, cinta itu bukan dikejar atau dimimpikan, tetapi cinta itu harus dijebak!
Betul, dijebak.
Pernah mendengar cinta ada karena terbiasa? Well, kalau tidak ada juga padahal sudah terbiasa bertemu, maka jebaklah ia!
Sungguh.
Jadilah apa pun yang dia inginkan, buatlah dia tertawa dan mengandalkanmu lalu menjadikanmu...
Nada dering di ponselnya mengganggu kenikmatan tidur wanita itu. Dengan enggan ia membuka matanya dan mengintip nama yang tertera dengan huruf kapital dan tanda seru di belakangnya.
IBUNDA RATU!
Ya, Tuhan kalo gak gue angkat bisa-bisa dikutuk gue jadi batu. Tapi pagi-pagi gini dengerin celotehan emak rasanya gak sanggup ... bodo ah, angkat saja daripada disamper emak.
“Selamat pagi, Bundo Kanduang.”
“Selamat pagi matamu! Sudah jam berapa ini, Keira Rangkabumi?!”
“Jam sebelas, Ma,” jawab Keira dengan santai, masih dengan mata terpejam.
“Jam sebelas sudah siang, Kei! Astaga!”
“Kalo di luar negeri sebelum jam 12 masih AM, Ma, berarti sekarang masih pagi.”
“Kamu di Indonesia, Kei! Ya Tuhan!”
“Iya, Ma, iya, aku bangun,” ucapnya sambil tertidur dan masih saja terpejam.
“Bangun, Kei! Jangan ngomong di kasur sambil merem!”
Buset, ini emak gue taruh CCTV apa di kamar kosan? Kok tahu gue nelepon sambil tiduran, ucapnya dalam hati sambil celingukan mencari sudut yang mungkin diselipkan kamera kecil untuk mengawasinya.
“Mama gak menaruh CCTV, Kei, gak usah celingukan.”
“Iya, Kei sudah bangun. Kenapa sih, Ma? Ini Sabtu lho, Ma, waktunya Keira hibernasi setelah banting tulang kerja Senin sampai Jumat.”
“Pantes jomlo. Hari Sabtu gini bukannya pergi keluar malah mendem di kamar aja. Kei, Mama ulang tahun lho Rabu depan.”
Keira mendelik mendengar ucapan mamanya. Namun, ia memilih tidak menanggapi, akan panjang urusan kalau sampai menjawabnya. “Iya, Kei ingat kok. Mama mau kado apa?”
“Rumah.”
“Yang murahan dan gampangan dikit gak ada, Ma?”
“Ya sudah, mau mantu saja!”
“Oke, aku belikan rumah saja, ya.”
“Emangnya kamu punya duit? Buat pulang ke rumah saja sulit.”
“Astaga, nyinyir banget sih jadi orang tua, Ma.”
“Kei, Mama mau mantu sama cucu. Umur Mama sudah cukup tua buat nimang cucu,” ucap wanita tua itu dengan sendu tapi Keira tahu itu hanya akal-akalan mamanya saja yang mencoba menarik rasa ibanya.
“Ya sudah, Keira langsung bikin cucu saja, ya. Lebih cepet tanpa keluar uang banyak, cukup ngangkang.”
“Kamu mau Mama kerangkeng? Sembarangan, ya, kalo ngomong!” hardik mamanya dari seberang sana. Beliau tidak habis pikir mengenai otak anaknya yang seperti itu.
“Ya, lagian Mama juga asal aja sih ngomongnya. Emang siapa lagi, sih, yang nikah sekarang?”
Ibunya terdiam cukup lama sebelum memberikan jawaban. “Anaknya Bu Zubaidah yang genit itu.”
“Lho, Ma, umur anaknya bukannya dua puluh tahun?”
“Iya, calonnya umur segitu juga. Lagi ngetren, ya, nikah muda kayaknya. Kamu malah yang tua gak laku-laku.”
“Ya Tuhan, Ma! Ngomongnya gak pakai rem, ya? Gas plong bener! Biarkan aja sih, Ma. Siapa tahu emang jodohnya sudah ketemu duluan. Lagian nikah bukan karena takut umur, Ma, tapi karena emang sudah merasa siap. Mama tahu berapa banyak orang yang bercerai setelah menikah? Atau hidupnya merasa tidak bahagia setelah nikah muda? Banyak, Ma! Meskipun gak semua, sih, tapi jangan jadikan cerita orang jadi patokan.” Keira merasa bangga sudah mengutarakan pendapatnya yang dirasa sangat bijak saat ini. Dia merasa cukup memberikan argumen untuk meyakinkan mamanya ini.
“Halah, kamu ngomong gitu karena sudah tua tapi belum nikah saja.”
SLEDING JANGAN NIH EMAK MACAM GINI?
“Omongan orang tua itu doa, lho, Ma. Mama doakan Keira gak nikah-nikah ini namanya,” gerutu Keira.
“Pokoknya Mama gak mau tahu. Minggu depan saat acara makan-makan bawakan Mama mantu!”
Mama mengabaikan gerutuan Keira dan melanjutkan pembicaraan dengan nada ultimatum yang sudah sering Keira dengar semenjak ia kecil.
“Ya sudah, nanti Kei comot di jalan satu biji buat dibawa ke rumah.”
“Kei! Kamu pikir itu sampah?!”
“Lho, yang bilang sampah siapa? Mama mau Kei bawa laki-laki dengan cepat untuk Rabu besok, kan? Mana ada yang buru-buru hasilnya bagus, Ma? Kalau mau yang bagus, ya, tunggu agak lamaan, indent dulu biar Tuhan siapkan.”
“Kamu pikir itu mobil?!”
“Lho, gak ada hal indah yang datang dengan cepat, Ma.”
“Kamu bukannya sudah terlalu tua buat bilang gitu? Kamu bukan anak muda lagi.”
“Apalah artinya umur, Ma? Hanya di bibir saja.” Keira mulai bersenandung di akhir kalimat yang membuat mamanya berteriak dengan keras di seberang sana hingga dia harus menjauhkan ponselnya dari kuping.
“KEIRA RANGKABUMI!”
Ceramah panjang kali lebar ibunya membuat Keira mengurungkan niat untuk hibernasi sepanjang hari ini. Bukannya Kei tidak ingin menikah, tetapi calonnya yang belum mau Kei dekati.
Jangankan mendekati. Keira sapa saja, dia langsung judes dan pergi. Gimana mau memprospek masa depannya kalau begitu caranya? Padahal dia sudah tampil paripurna cetar membahana dan siap untuk dibuahi.
Keira membuka album foto di ponselnya. Dia menatap lama foto itu. Foto lelaki dengan kemeja biru langit yang lengannya dilipat hingga siku. Pria itu tampak tengah menjelaskan grafik yang berada di sampingnya dengan wajah yang amat serius.
Foto itu tentu saja candid. Keira mengambilnya secara diam-diam ketika pria itu sedang presentasi, tetapi sialnya kamera ponselnya berbunyi. Hal itu mengakibatkan pria yang sedang presentasi tadi menatapnya dengan tajam dan menyuruhnya keluar ruangan karena dianggap tidak serius bekerja dan mengganggu yang lain. Padahal dia tidak ingin menganggu yang lain.
Ini bukan pertama kalinya Keira jatuh cinta, tetapi ini pertama kalinya Keira mengagumi sosok lelaki selain papanya yang menjadi cinta pertamanya. Keira suka ketika lelaki itu tampak serius dengan pekerjaannya dan menikmati pekerjaan itu.
Tetapi ... kalau Mama tahu latar belakang pria itu apa mereka masih mau, ya?
Keira menggelengkan kepalanya lalu membekap mukanya dengan bantal sebagai upaya menghilangkan bayangan pria itu dari kepalanya. Namun, bukannya hilang dari otak Keira, wanita itu justru megap-megap karena kehabisan napas. Dia dengan malas membuang bantal itu lalu kembali memandangi ponselnya. Mengulirnya untuk menemukan foto-foto pria itu yang sebelum-sebelumnya sudah pernah dia ambil tanpa ia tahu.
Ganteng? Iya.
Mapan? Iya.
Pintar? Iya.
Dewasa? Iya.
Ia merasa tiga kriteria teratas menjadi pacarnya dimiliki oleh pria itu. Hanya satu yang dimiliki oleh pria itu yang membuat Keira meragu sampai sekarang dan mengurungkan niatnya bercerita pada sang mama.
Kei, belum tentu dia mau sama lo! Dapatkan dulu kemudian pikirkan yang lain! Duh, laki-laki seperti ini dijebak saja atau jangan?
“Selamat pagi, Rakyat Jelata!”
Teriak Kei ketika membuka pintu masuk ke ruangannya yang terisi beberapa kubikel. Waktu menunjukkan pukul 07.30 dan ruangan itu sudah terisi beberapa orang.
Ada Sarah, sekretaris Pak Bos, Adhit, dan Fina yang merupakan kacung kampret seperti dirinya. Bedanya mereka memiliki jabatan lebih tinggi daripada dirinya. Tapi yang namanya bekerja di kantor milik orang lain tetap saja namanya kacung korporasi.
Ada satu lagi yang satu derajat dengan dirinya, Reno.
“Kei, semangat amat sih pagi-pagi?” sungut Mas Adhit yang terbangun dari tidurnya karena mendengar sapaan atau lebih tepatnya teriakan dari Keira.
Keira terkekeh mendapati muka bangun tidur Adhit yang terlihat jelas terganggu olehnya. “Mesti semangat dong, Mas, menyambut minggu baru.”
“Halah, perez lo. Bilang saja semangat mau lihat muka Pak Bos!” Kini Fina yang menyahut sambil terus berkutat dengan komputernya. Bukan, bukan bekerja, tapi dia menonton drama koreanya.
Dia selalu menyempatkan diri menontonnya ketika ada waktu luang karena dia tidak sempat melakukannya jika berada di dalam rumah. Tahu, kan, tempat-tempat yang memungkinkan dia melakukan kegiatannya itu? Ketika di jalan menuju kantor atau pulang kantor, sebelum jam kerja, saat istirahat atau bahkan di toilet sambil you-know-what ketika dia sangat penasaran dengan ceritanya.
“Mbak! Ih kok cablak banget sih?! Aku kan malu,” ucapnya sambil berjalan ke kubikelnya yang berada tepat di samping kubikel Fina. Ia lalu meletakkan barang-barangnya dan memeriksa penampilannya di kaca yang dia letakkan di meja kerja.
Rambutnya sudah rapi, eyelinernya tidak berantakan, alisnya cetar membahana, pipinya merona dan memberikan kesan segar padanya. Yang terakhir bibirnya sudah teroles lipstick berwarna nude kesukaannya. Dia sudah tampil cantik hari ini dan siap berhadapan dengan Pak Bosnya itu.
“Masih punya urat malu, Kei? Bukannya sudah putus?” Kali ini Reno yang menggodanya.
“Tytydmu yang kuputuskan mau?!”
Ucapan Keira spontan mengundang tawa seisi ruangan, terlebih melihat Reno yang langsung menutupi kemaluannya sambil meringis ngilu memikirkan bagaimana jika dia kehilangan pusakanya itu.
“Selamat pagi,” ucap suara berat yang tengah berjalan menuju ruangannya tanpa menoleh ke arah mereka sama sekali.
Semua kompak mengucapkan “Selamat pagi, Pak Samudra” kecuali Keira ya mengucapkan “Selamat pagi, Calon Kepala Rumah Tanggaku,” dengan pelan, tetapi cukup terdengar oleh teman-temannya dan langsung dihadiahi lemparan bola kertas dan apa pun yang dapat mereka jangkau.
Sementara si Pak Bos, yang mereka sapa, hanya menganggap sapaan mereka sekadar basa-basi dan langsung berlalu menutup pintu ruangannya.
“Kei, sumpah ya lo najis banget ganjennya. Ingat woy kelas curut gak bisa masuk kasta Brahmana!”
“Ih, Mbak Fina! Love conquers all!”
“PRET!”
Mereka mulai bekerja ketika waktu menunjukkan delapan tepat. Bunyi keyboard terdengar jelas, terkadang bunyi panggilan masuk dari telepon yang berada di meja mereka masing-masing, mesin printer dan mesin fotokopi.
“Kei, Pak Bos minta laporan proyeknya sekarang.”
“Mati gue, Mbak Sarah! Itu proyek ada keterlambatan dari kontraktornya. Mati gue,” ucapnya sambil merapikan dokumen dan melesat ke ruangan Pak Bos.
“Permisi, Pak, memanggil saya?” tanya Keira setelah mengetuk pintu tiga kali lalu membukanya. Kepalanya melongok sesaat sebelum masuk ke dalam. Lelaki itu menghentikan pekerjaannya dan melihat Keira.
“Duduk, saya mau lihat laporan proyek Adi Karyo.”
Keira meletakkan laporannya di meja sambil membuka bagian pengerjaan dan menunjukkannya kepada Samudra.
“Kenapa ada keterlambatan?” tanya pria itu sambil membolak-balik laporan yang ia pegang.
Dia tidak suka keterlambatan yang mengganggu proses pekerjaannya.
“Dari pihak kontraktor ada keterlambatan, Pak. Percetakan mengalami beberapa kendala pada saat mencetak warna yang kita inginkan.”
“Berapa lama lagi prosesnya?”
“Minggu depan paling lambat, Pak,” jawab Keira mantap.
“Laporkan kepada saya kalau ada keterlambatan!”
Kalau saya terlambat datang bulan lapor ke Bapak juga gak, Pak?
“Baik, Pak.”
Keira duduk diam sambil terus memandangi wajah Samudra. Samudra yang sudah asyik dengan dunianya sendiri menyadari anak buahnya itu masih duduk terdiam di ruangannya dan tidak terlihat mau pergi dan melanjutkan pekerjaannya juga.
“Kamu ngapain masih di situ?”
“Lho, udahan, Pak? Cepat begitu, yakin gak ada lagi yang mau dicek?”
Misalnya ngecek kabar saya gitu, Pak.
“Gak ada. Saya cuma mau tahu proyek tadi saja. Kamu mau ngapain lagi di sini?”
Bikin anak boleh, Pak? Duh itu lengan kok ya mengundang bener.
“Eh, saya permisi, Pak,” ucapnya lalu berdiri dan keluar ruangan dan menutupnya. Dia lalu melipir ke meja sekretaris bosnya yang terlihat tengah sibuk dengan beberapa dokumen di mejanya.
“Mbak ....”
“Hmm,” jawab Sarah sambil melanjutkan membaca email yang harus ia balas.
“Mbak Sarah ...,” panggil Keira lagi dan kali ini Sarah sudah kesal.
“Apa sih, Kei?!”
“Mbak, Bapak itu ibarat mie instan ya ....”
“Maksudnya?” Dia menghentikan kegiatannya dan melihat ke arah Keira kali ini. Dia sebenarnya malas meladeni ucapan absurd wanita di depannya ini tapi ia penasaran sekarang.
“Seleraku.” Keira bersenandung ketika mengucapkannya dan habislah sudah kesabaran Sarah hingga dia melempar Keira dengan pembolong kertas.
“BODO AMAT, KEI!” teriaknya ketika melihat Keira berhasil berkelit dan kabur dari dia sejauh mungkin. Sedangkan wanita itu tertawa-tawa sambil mengeluarkan lidahnya.
“Kenapa, Pak Bos?” tanya Reno sambil melongokkan kepalanya agar dapat melihat Keira.
“Biasa, kangen sama calon istrinya. Suka gitu, kan, emang dia. Suka malu-malu tapi langsung tujes!”
“Pak Bos gue yakin sudah gila kalau mau sama lo.”
“Iya, dia gila. Gila karena mencintai gue.”
Reno mengabaikan wanita itu dan memilih meneruskan pekerjaannya daripada melayani Keira yang sudah sibuk dengan dunia khayalan babu yang tidak ada habisnya.
Samudra berjengit kaget ketika mendengar teriakan sekretarisnya dari depan ruangan. Itu dapat dipastikan akibat perbuatan salah satu anak buahnya yang baru saja keluar dari ruangannya tadi.
Dia mengurut pangkal hidungnya dengan pelan. “Kenapa coba dulu gue terima dia? Bikin pusing!” ucapnya pelan karena tidak pernah habis pikir dengan tingkah ajaib anak buahnya itu.
Secara pekerjaan, manusia satu itu memang tidak memiliki masalah. Dia cekatan, rapi dan selalu mengerjakan pekerjaannya dengan apik dan tepat waktu. Kesalahan pun hanya kesalahan minor saja yang masih bisa diperbaiki dengan cepat. Dia tidak terlalu perfeksionis karena dia tahu kesempurnaan itu hanya milik Tuhan. Jadi untuk kesalahan minor dia masih dapat menolerir mereka. Namun, sikapnya yang tidak tahu malu itu sering membuatnya pusing.
“Calon Kepala Rumah Tangga?” Samudra mengulang ucapan wanita itu yang tadi ia dengar sambil memejamkan matanya lalu menggelengkan kepala.
Dasar sinting.
Sebagai kacung kampret maka istirahat makan siang adalah waktu untuk bergosip ria atau sekadar curhat tidak jelas. Maksudnya tidak jelas ada yang mendengarkan atau mungkin tidak jelas saran yang diberikan berguna atau justru membuat kesal.
Seperti saat ini, Keira, Fina, dan Reno tengah makan bertiga di dalam ruangan karena alasan akhir bulan. Padahal sekarang tengah bulan saja belum sedangkan yang lain memilih untuk makan di luar.
Ketika Reno yang tengah galau mengenai pesannya yang tak kunjung dibalas oleh pujaan hati maka jawaban Keira adalah “Sabar Ren, mungkin dia bukan jodoh lo. Mungkin jodoh lo lagi dibuat sama Tuhan! HAHAHA”. Ia langsung dihadiahi lemparan tisu kotor.
“Bangsat! Itu tisu bekas sambel, gila!” Keira mengelap pipinya yang terkena lemparan tisu dengan tisu basah.
“Mampus lo. Makanya jangan suka ngetawain orang.” Fina yang dari tadi hanya diam karena sedang makan, mau gak mau mengomentari muka Keira yang kesal karena dilempar tisu bekas sambel oleh Reno. “Itu cewek yang lo kenal dari tind*r, Ren?”
“Iya, Mbak,” jawab Reno dengan lesu.
“Cantik banget, ya?”
“Cantik banget, Mbak.”
“Lo pernah ketemu?” Kali ini Keira bertanya, karena dia benar-benar tidak percaya dengan foto profile zaman sekarang ini.
“Belum sih, cuma foto aja,” jawab Reno pasrah.
“Lo tahu gak kalau kamera sekarang itu kamera penipu semua? Dari yang bulet tiba-tiba bisa jadi runcing dagunya macam piramida. Dari yang matanya sipit bisa jadi belok dan yang paling cetar dari yang kulitnya gelap bisa jadi seputih salju macam artis Korea.”
“Lagian, Ren, sekarang banyak, kan, kasus penipuan yang modus operandinya kayak gitu? Yang cari pacar tapi gak pernah ketemu tapi minta ini-itu terus tahu-tahu yang lo pacarin laki-laki juga yang cuma mau memanfaatkan doang.”
Reno bergidik ngeri mendengarnya. “Serius lo, Mbak?”
“Makanya baca koran sama nonton berita dong, jangan nonton bokep sama mesum mulu kerjaan lo!”
“Bagus lo selama ini gak pernah ketemu yang kayak gitu ya, Ren. Ketemunya yang sama-sama mau mesum doang.” Keira tertawa ketika mengatakannya tanpa memedulikan tatapan sinis Reno.
“Makanya lo pergi ke bar atau kedai kopi. Kenalan sama orang secara langsung biar lihat chemistry secara nyata bukan dari pesan singkat gitu. Iya sih teknologi emang sudah maju banget bikin yang jauh jadi dekat tapi terkadang yang dekat jadi jauh banget. Berkenalan dengan cara lama tetap menyenangkan kok. Duh gue jadi teringat dulu ketika kenalan sama suami pake senyum-senyum najis gitu awalnya, terus debaran sama butterfly di perut emang gak bohong.”
“Mbak, muka lo sudah senyam-senyum najis lagi. Sudah mau pulang cepat, ya, lo buat malam Jum’atan!” Keira bergidik melihat muka Fina yang senyam-senyum mesum.
“Makanya lo jangan expertise di teori saja. Praktik dong! Malu sama otak lo yang isinya penuh dengan kemesuman itu!”
Keira berdecak. “Nanti, tunggu Pak Bos.”
“Nunggu saya kenapa?”
“Nunggu Bapak mau gue iya-iyain lah, Mbak. Kira-kira Pak Bos suka gaya apa, ya? Woman on top? Cowgirl? Eh, tapi kalau lihat dari muka lempeng Pak Bos kayaknya missionary saja, ya? Gak apa-apa deh, ntar gue kasih Kamasutra biar bisa praktik bareng.” Keira masih asyik dengan minumannya tanpa memerhatikan Fina dan Reno yang sudah menahan tawanya, lalu kesadaran menghantamnya.
“Mbak, suara lo kok tiba-tiba mirip sama suara Pak Bos, ya?” ucapnya sambil menengadah melihat kedua orang di depannya yang kini tengah menahan tawa sambil menutup mulutnya sampai terbungkuk-bungkuk dengan bahu yang bergetar.
“Shit! Jangan bilang ….” Keira merasakan aliran darah tidak menjalar sepenuhnya ke muka. Wajahnya kini sepucat mayat. Dia lalu merapalkan banyak doa ketika menoleh ke belakang.
Matanya melihat tepat ke mata hitam kelam yang selalu dia suka. Bedanya kali ini dia berharap tidak melihat mata itu atau seseorang untuk menguburnya hidup-hidup sekarang juga.
Dia akhirnya terkekeh sebelum bertanya, “Pak Bos dari kapan di situ?”
“Jangan bawa-bawa saya ke obrolan mesum kalian! Sekarang saya minta laporan pekerjaan kalian bertiga sampai minggu depan ada di meja saya sore nanti!” ucap Samudra lalu melenggang memasuki ruangannya.
Keira hanya bisa menatap nelangsa pada punggung yang sudah tertutupi pintu ruangannya itu. Reno juga tidak jauh menderita karena pekerjaannya yang menumpuk kini harus bertambah lagi akibat dari obrolan mereka.
“Keira! Sumpah, ya, gara-gara lo waktu nonton gue jadi semakin berkurang!” teriak Fina.
“Lo gak kasih tahu juga ada Pak Bos di belakang gue, Mbak! Ya sudah, sih, kita setia kawan untuk lembur saja beberapa hari ini,” gerutu Keira. Dia tidak mau disalahkan sepenuhnya atas kesialan mereka sekarang ini.
Fina memang berniat memberikan pelajaran Keira, tetapi ia tidak pernah mengira ini akan menjadi senjata makan tuan. Dia harus merelakan waktu nontonnya berkurang lagi pekan ini.
Suara tawa menggema di ruangan itu. Semua orang tertawa terbahak-bahak bahkan Adhit sudah jatuh di lantai sambil memegangi perutnya yang keram tapi tentu saja ada satu orang yang memanyunkan bibirnya kesal karena ditertawakan secara sadis seperti itu oleh semua orang.
Kei menolehkan kepalanya melihat ruangan yang ditempati bosnya sudah kosong. Ah, Pak Bosnya itu memang jarang lembur seperti para kacungnya dan dia bersyukur karena tidak harus berhadapan dengan bosnya itu lagi hari ini karena tiba-tiba saja beliau pergi rapat di luar kantor.
Kei tidak tahu mau ditaruh ke mana mukanya yang cantik itu jika masih harus berpapasan setelah bosnya melengos pergi tanpa menjawab pertanyaannya yang basa-basi tadi.
“Udah sih, Mas. Ketawanya biasa saja!”
“Lo beneran epic, Kei, makanya itu mulut dipasang rem jangan asal ngomong gitu! Malu sendiri kan lo!” ucap Adhit begitu dia sudah bisa mengendalikan tawanya. Dia bahkan harus menghapus air mata yang terlihat di ujung matanya karena kebanyakan tertawa.
“Udah ah, gue pulang dulu, ayang gue sudah nunggu mau malam Jum’atan. Langsung pulang, ya, Kei, tapi jangan praktik sendiri atau sama dildo. Lo gak sedesperate itu, kan, sampe lepas perawan sama dildo?” Kali ini Sarah menimpali sambil melenggang pergi yang diikuti tawa membahana lagi.
Di antara mereka yang belum menikah hanyalah Keira dan Reno, sehingga setiap malam Jum’at mereka akan pulang lebih cepat untuk meminta jatah. Padahal tanpa embel-embel malam Jum’at Keira yakin mereka juga akan meminta jatah.
Terutama Sarah yang hobi belanja, dia akan melayani suaminya habis-habisan jika ada tas atau sepatu keluaran terbaru yang ia incar. Tidak urung Keira sering menemani Sarah dan Fina membeli lingerie untuk kebutuhan perang mereka.
Lucu ya, orang-orang perang pake armor, eh, mereka pake lingerie.
Dasar memang orang-orang di sini tidak berpericungpretan! Makinya dalam hati. Dia terlalu malas untuk berbicara hari ini karena kejadian tadi. Namun, ia sedikit bersyukur karena atasannya itu pergi keluar sehingga dia bisa menyelesaikan pekerjaan yang dia minta.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan? Toh, orangnya tidak ada di tempat juga. Jadi sama saja.
“Kei, mau balik bareng gak?” tawar Reno ketika mereka di lobi kantor. Arah rumah Reno dan kosan Keira memang sama sehingga mereka sering kali pulang bareng.
“Gak deh, Ren. Gue mau mampir dulu, ada yang mau dibeli.”
Keira berjalan keluar dari gedung perkantoran itu menuju salah satu mall terdekat. Bahan makanannya habis, sehingga ia harus berbelanja. Setidaknya begitu agar ketika Ibunda Ratu datang, kulkasnya tidak kosong dan menjadi bahan omelan lagi. Seusai berbelanja, Keira memutuskan untuk mampir ke salah satu kedai kopi. Dia mengingat perkataan Fina mengenai jodoh dan kedai kopi, sehingga ia ingin mencobanya. Tidak ada salahnya, kan, mencoba?
Jika Keira membawa atasannya ke rumah Ibunda Ratu sangat tidak mungkin, dia perlu rencana cadangan. Reno akan menjadi pilihan terakhirnya nanti, jika dia tidak menemukan kandidat lain. Mungkin pria itu yang akan dibawa ke rumah orang tuanya dengan iming-iming makan siang di suatu restoran.
Keira sedang sibuk dengan pikirannya ketika ada anak kecil tampan mendekat. Bocah ini sungguh ganteng biarpun umurnya Keira taksir tidak lebih dari enam tahun. Pasti akan mematahkan banyak hati ketika besar nanti, pikirnya.
“Ganteng, lagi ngapain di sini?”
“Nemenin Tante. Tante sendiri? Kata Papa gak baik perempuan sendiri.”
“Anak kecil juga gak boleh sendiri lho!” sahut Keira sambil menatap bocah kecil yang memakai kemeja berwarna biru langit dan celana pendek berwarna hitam serta sepatu berwarna senada.
Mata anak itu belok dengan kulit putih. Tampaknya anak ini jarang bermain di taman atau bermain di luar rumah. Ia dapat memastikan bahwa anak tersebut hanya keluar rumah menuju tempat perbelanjaan. Rambutnya berponi ke depan seperti helm membuatnya semakin terlihat lucu dan menggemaskan.
“Tapi aku bukan anak kecil! Kata Papa, aku sudah besar!”
“Kamu masih kecil, kaya kutu begini ngaku-ngaku besar ... hehe ....”
Anak itu menatap Keira dengan kesal kemudian berdecak. “Pantes Tante sendiri. Tante nyebelin gini.”
Ketika Keira hendak menjawab terdengar suara yang sangat familier di telinganya dan juga mimpinya.
“Sam, Papa cariin kamu dari tadi lho!”
Sumpah, gue mau cari jodoh tapi kenapa malah ketemunya sama dia lagi-dia lagi.
“Sam nemenin tante ini, Pa. Kasihan sendiri kaya jomlo,” bocah yang dipanggil Sam itu menoleh ke asal suara sambil menunjuk ke arah Keira yang terlihat pucat sekarang.
Samudra sudah berdiri di depannya tanpa jas yang membalut tubuhnya, sehingga yang terlihat sekarang hanyalah kemeja yang menutup dada bidangnya dengan sempurna. Lengan kemejanya telah tergulung dan memperlihatkan tangan kekarnya dan nyaman ketika dipegang apalagi dipeluk. Kemejanya tidak terlihat rapi lagi, tapi tidak mengurangi ketampanan lelaki itu.
“Errrr, malam, Pak Bos.”
Lelaki itu mengernyit dahi ketika melihat anak buahnya yang didatangi oleh Sam.
“Malam.” Dia lalu mengalihkan tatapannya kepada Sam. “Ayo pulang, Sam!”
“Tapi Tante ini kasihan sendirian, Pa.”
Woy, Bocah! Jangan diulangin mulu kali!
“Tante itu lagi cari orang buat diajak kenalan di sini, Sam.”
“Lho, Tante ini gak punya teman ya sampe harus kenalan di tempat ngopi gini, Pa?”
“Bukan gitu, Tante ini gak punya pacar. Makanya sekarang lagi lihat-lihat mana yang bisa dijadikan pacar.”
Woy! Ini Bapak sama anak kok sama ngeselinnya!
Tentu saja Keira hanya bisa tersenyum melihat bosnya tahu mengenai pembicaraannya tadi siang. Berarti Si Bos sudah lama di sana. Matilah dia sekarang. Dia tidak tahu harus ditaruh ke mana mukanya yang cantik nan rupawan ini.
Anak kecil itu mengeluarkan ponsel berlambang apel digigit keluaran terbarunya. Astaga, jiwa kemiskinan Keira rasanya ingin berteriak. Dia saja masih harus menabung untuk membeli ponsel itu.
“Pa, sudah pukul tujuh, Sam lapar. Nyemil di sini dulu sambil ditemani Tante ini, boleh?” Si bocah kecil ini menatap papanya dengan mata bulatnya yang Keira yakini pasti menjadi senjata utamanya ketika meminta sesuatu.
Papanya hanya menghela napas lalu menyuruh anaknya untuk duduk. Kemudian, ia menurutinya. Ia memilih duduk di samping Keira sedangkan ayahnya duduk di seberang anaknya.
“Asyik! Terima kasih, Pa!”
“Kamu mau cokelat dingin atau panas?” tanya Samudra sebelum ia beranjak memesan minuman.
“Dingin, Pa! Pakai choco chips yang banyak, ya!” pinta anak itu dengan girang.
Samudra menganggukkan kepalanya, dia beralih kepada Keira. “Kamu mau pesan lagi gak?” tanyanya.
“Gak usah, Pak Bos. Terima kasih.”
Samudra segera berlalu ketika mendengar jawaban itu dan kembali ketika pesanan mereka sudah ia bawa.
Ketika sedang menikmati muffinnya sambil mendengarkan celotehan bocah itu tanpa sedikit pun berani menatap bosnya dan kemudian ponselnya berbunyi.
Reno
Kei, dia bilang kangen gue!
Me
Iya, kangen ke lo tapi sayang ke orang lain!
Reno
Bangsat!
Me
Sono buka tind*r lagi, sudah ya gue lagi prospekin orang.
Keira tertawa melihat balasan Reno yang mencak-mencak sehingga tawanya terhenti ketika dikejutkan dengan ucapannya.
“Bisa taruh ponselnya kalau lagi makan?”
“Eh, kenapa, Pak Bos?”
“Ponsel kamu taruh kalau lagi makan! Saya tidak mau Sam mencontoh kamu yang main ponsel saat makan.”
“Baik, Pak.” Keira menurut saja pada ucapan bosnya itu, padahal mereka yang menumpang meja padanya tapi apa daya. Bos tetaplah bos mau di kantor atau luar kantor.
“Tante, kerja sama Papa, ya?”
“Tante ini kerja di kantor yang sama dengan Papa, Sam, bukan kerja sama Papa,” jelas Samudra sambil meminum kopinya. Dia tidak memesan camilan apa pun dan hanya meminum kopi itu.
Sam menganggukkan kepalanya sebagai tanda dia mengerti akan ucapan papanya.
“Enak gak kerja bareng Papa?”
Jawab apa nih? Mau bilang enak tapi belum pernah digarap sama Pak Bos.
“Enak kok, Pak Bos baik di kantor.”
“Penjilat,” desis Samudra yang masih dapat didengar oleh Keira dan itu membuat dia kesal setengah mati tapi tetap memilih mengabaikannya.
Mau menolak seperti apa pun dia tetap berakhir di sini. Keira berada di dalam mobil atasannya tersebut dengan dimeriahkan celotehan anaknya yang asyik duduk di samping ayahnya tersebut. Seusai makan Kei sudah beranjak ingin pulang karena sudah pukul delapan lewat. Namun, setelah itu Sam memaksa papanya untuk mengantarkan Kei karena sudah malam. Ia pun hanya bisa mengiyakan. Kalau tidak melihat muka bosnya yang super judes, mungkin dia sudah mencium Sam dengan gemas.
Sungguh, banyak perempuan yang akan patah hati karena anak ini. Lalu anak itu mengatakan bahwa sejelek apa pun Tante Kei pasti ada saja yang akan khilaf. Kei sungguh-sungguh ingin mendeportasi anak itu ke Timbuktu.
Kei duduk di belakang kursi penumpang, tepatnya di belakang Sam. Perempuan itu dapat melihat Pak Bos yang berada di posisi menyerong dengan amat sangat jelas.
Ya Tuhan, tangannya yang mencengkeram kemudi sangat seksi! Kira-kira kalo bagian tubuhnya disentuh oleh tangan itu apa akan lembut, ya, perlakuannya?
KEI, SADAR, KEI!
Keira memukul pelan pipinya sendiri. Bisa-bisanya ia memikirkan hal yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang judes sepanjang hari padanya. Muka atasannya tersebut sarat dengan penolakan ketika anaknya memberikan ide untuk mengantarkannya.
Pria itu pasti tidak suka dengan tipe perempuan extrovert sepertinya. Keira meringis, ketika mengingat bagaimana dia sangat terang-terangan menunjukkan ketertarikannya kepada bosnya tersebut, bahkan rasanya jika seseorang melakukan itu padanya dia akan merasa tidak nyaman.
Pikirannya hilir mudik hingga mobil yang dikemudikan atasannya tersebut berhenti tepat di depan rumahnya.
“Terima kasih, ya, Pak, Sam. Kakak pulang dulu, ya, Sam dan terima kasih sudah mengantarkan, Pak Bos.” Keira memang dengan seenaknya memutuskan dirinya adalah kakak karena memang umurnya yang masih dua puluh lima tahun dan wajahnya yang ia yakini cukup baby face.
Ia menuruni mobil atasannya tersebut sambil membawa beberapa kantong belanjaannya kemudian membuka pintu rumah. Ketika hendak menutupnya ia dikejutkan dengan keberadaan Pak Bos yang menghampirinya.
“Ini tertinggal.” Pak Bosnya itu mengangsurkan dokumen yang membuat kening Keira berkerut karena ia tidak yakin meninggalkan dokumen apa pun di mobilnya tadi.
“Oh, sorry, Pak. Terima kasih.” Keira tersenyum dengan sopan dan memilih menerima dokumen itu saja. Mungkin ia benar-benar lupa tadi. Tidak ada nada menggoda sama sekali meskipun yang ia ingin lakukan adalah menggoda habis-habisan makhluk ganteng di hadapannya ini.
Samudra tiba-tiba menundukkan kepalanya. Persis di samping telinga Keira.
“Saya sukanya reverse cowgirl. Di buku Kamasutra kamu ada?”
Samudra membentuk senyum menggoda. Dia merasa harus membalas anak buahnya yang sering kali menggodanya ini. Hell, umurnya sudah tiga puluh lima tahun dan ia terus saja digoda oleh bocah berumur dua puluh lima tahun. Pakai mau tahu posisi favoritnya pula! Keira benar-benar tidak tahu pengalamannya dulu dan dia pun enggan terus-terusan menjadi korban godaan perempuan satu ini.
Sebenarnya pengalamannya dengan berbagai tipe wanita sudah tak asing lagi baginya. Namun, setelah ia bertemu dengan seseorang, almarhumah istrinya, dia benar-benar telah berhenti. Sudah lebih dari tiga belas tahun.
Sementara Keira terdiam di tempatnya. Wangi parfum atasannya tersebut bercampur keringatnya membuat kepalanya pening karena godaan yang menghantam dengan keras.
Keira melihat senyum menggoda yang ditunjukkan oleh Samudra. Ekspresi yang baru pertama kali ditunjukkan olehnya setelah beberapa tahun ia bekerja dengan Samudra. Tentu saja membuat tampang lempeng Pak Bos menjadi sangat menarik dan menggoda.
Keira tersenyum kemudian mendaratkan tangan kanannya di dada Samudra lalu mengelusnya pelan.
“Saya cepat belajar kok, Pak. Bapak, pulang gih. Kalau saya khilaf ngapa-ngapain Bapak, emangnya Bapak mau tanggung jawab?”
Wajah Samudra berubah seratus delapan puluh derajat. Ia langsung berjalan mundur dan berbalik. Pria itu tampak tidak menoleh sama sekali ke arahnya dan langsung memasuki mobil, mengabaikan tatapan bingung dari anaknya.
Keira yang melihat itu tertawa terbahak-bahak walaupun merasa terhina karena Samudra menampilkan ekspresi ketakutan dan terkejut. Ini juga ekspresi yang tidak pernah dilihat oleh Keira dan ia menikmatinya.
“Hati-hati ya, Pak, nyetir mobilnya!” teriak Keira ketika melihat Samudra sudah menstarter mobilnya dengan buru-buru.
Samudra langsung menancapkan gas tanpa niat membalas perkataan perempuan itu.
Jika ia kira Keira adalah tipe wanita yang hanya suka menggoda dan ketika digoda balik ia akan malu-malu kucing, maka itu adalah hal yang sangat keliru. Amat sangat keliru. Keira justru akan menggoda kembali dengan intensitas yang lebih dari sebelumnya karena menganggap bahwa Samudra telah mengetuk pintu yang tadinya sudah Keira tutup.
Keira kini benar-benar akan mengejar pria itu. Pak Bos, I'll come and get you!
Samudra tertawa pelan di ranjangnya. Dia sudah sampai di rumah dan Sam sudah tidur di kamarnya sehingga dia bisa memiliki waktu untuk sendiri dan sibuk dengan pikiran-pikiran di kepalanya.
Terutama memikirkan perempuan yang baru saja diantarkannya tadi. Perempuan gila yang membalas godaannya. Perempuan yang sepertinya membuat Sam tertarik karena anak itu tidak henti-hentinya menanyakan Keira sepanjang perjalanan.
Tante Kei mau main sama aku gak, ya, Pa?
Tante Kei suka main apa, ya, Pa?
Tante Kei itu, Tante Kei anu dan lain sebagainya hingga dia pusing mendengar ocehan Sam.
Namun, hal itu membuatnya mengingat bagaimana Sam memiliki karakter yang tidak mudah dekat dengan orang lain karena terbiasa dijadikan alat untuk mendekatinya selama ini oleh para wanita. Sam jadi terbiasa menjaga jarak dengan semua orang terutama dengan wanita.
Menjaga kewarasannya tidak mudah beberapa bulan terakhir ini dan untuk itu ia entah harus berterima kasih atau mengomeli perempuan tadi yang selalu menggodanya dengan ucapan atau dengan tatapan.
Yang terbaru adalah tadi, sentuhan tangan Keira di dadanya serasa membangunkan sesuatu yang sudah ia tahan selama semenjak kematian sang istri hampir enam tahun yang lalu.
Samudra memegang dada yang tadi disentuh oleh Keira lalu mengelusnya pelan seraya menutup mata. Sentuhannya tentu saja berbeda dengan tangan Keira yang jauh lebih mungil dari tangannya.
Dia menyukai sentuhan itu. Sentuhan menggoda disertai dengan tatapan dan juga ucapan yang sama menggodanya. Samudra menjalin kedua jemarinya lalu menjadikanya penutup mata.
“Mandi lalu tidur,” ucapnya pelan, tetapi yang terbayang justru Keira yang tengah tersenyum membalas pesan di ponselnya tadi. Dan tiba-tiba saja dia merasa kesal.
Apa yang ia ucapkan ketika melarang Keira memegang ponselnya saat makan hanyalah alasan yang ia karang. Dia bahkan sering membalas pesan dan email ketika makan bersama Sam dan anaknya tampak tidak keberatan dengan hal itu.
Tertarik dengan perempuan itu, Samudra? tanyanya dalam hati dan dia bahkan tidak bisa mengatakan tidak sebagai jawaban.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰