
Kikan merasa hidupnya hancur ketika suaminya selingkuh dan memilih untuk menceraikannya. Dia mencoba menjalani hari dengan terbiasa tanpa pria itu yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun itu. Menjual segala barang yang berhubungan dengan pria itu dan memilih pindah bahkan keluar dari pekerjaannya karena tidak tahan dengan tatapan mengasihani yang ditujukan padanya. Tetapi ketika dia sedang memperbaiki diri dan menata kehidupannya, seseorang tiba-tiba datang dan meminta hatinya yang telah hancur berkeping-keping. Mampukah Kikan memberikan kesempatan kedua untuk dirinya?
Matahari masih enggan muncul di balik awan-awan kelabu yang meneteskan air. Heck, bahkan anak kecil saja tahu itu tidak mungkin karena sekarang sedang hujan. Orang-orang ada yang menggerutu karena hujan yang tiba-tiba, ada juga yang mengeluarkan payungnya dan melenggang keluar dari kedai kopi itu, ada juga seorang wanita yang masih setia dengan tatapan menerawangnya.
Desahan kasar keluar dari wanita itu ketika melihat pasangan yang tengah dimabuk kasmaran di seberang mejanya. "Ck, sok-sok muji-muji, nanti juga selingkuh itu laki-laki," nyinyirnya yang tentu saja dapat didengar oleh pasangan tersebut karena suara wanita itu yang besar.
Pasangan tersebut sepakat bahwa wanita itu gila dan mengabaikannya. Tentu orang-orang akan berpendapat demikian ketika melihat seorang wanita dengan rambut berantakan yang terlihat sangat lepek, setelan piyama yang entah bisa dikatakan pakaian lagi atau tidak, karena sudah sangat buluk dan bolong di beberapa bagian serta sendal bulu-bulu berwarna merah muda dengan boneka babi di depannya.
Ya, ia sekacau itu. Ralat. Sangat kacau jika dibandingkan dengan dirinya yang dulu selalu tampil dengan modis karena tuntutan pekerjaan.
Pandangannya kembali menerawang. Kilasan-kilasan tentang hubungan yang hampir sepuluh tahun dijalaninya kembali menghantuinya.
Ia masih ingat awal pertemuan mereka karena mereka berada dalam satu lingkungan tempat tinggal. Bagaimana awal kedekatan mereka, bagaimana ia mempertahankan hubungan itu saat orang tuanya menentang, bagaimana bahagianya ia saat hubungan selama delapan tahun itu berakhir di pelaminan.
Siapa yang tidak bahagia ketika bisa menua bersama orang yang kita cintai? Melihat wajah itu ketika bangun tidur dan menjadi wajah terakhir yang kita lihat sebelum tidur setiap harinya. Membayangkan akan memiliki anak bahkan sampai rambut memutih dan memiliki cucu.
Semua itu sudah berakhir satu bulan lalu ketika hakim memutuskan bahwa mereka sudah resmi berpisah. Pria itu bahkan tidak tampak sedih. Ia justru tampak bahagia dengan menggandeng seorang wanita berperut buncit keluar ruang persidangan begitu putusan dijatuhkan.
Iya, ia selingkuh.
Bagaimana jadinya jika kamu kehilangan poros duniamu? Ketika bertahun-tahun hidupmu berpusat pada orang yang sama, tetapi orang tersebut tidak lagi menjadikanmu pusat dunianya, apa yang akan kamu lakukan?
Ketika untuk menyenangkan pusat duniamu kamu mempelajari dan melakukan hal-hal yang tidak pernah kamu lakukan sebelumnya, tetapi ia justru memilih untuk pergi meninggalkanmu, apa yang akan kamu lakukan?
Ah, coba kita permudah saja. Apa kamu pernah mencintai sebegitu dalam sehingga kamu rela mempertahankannya dan menentang orang yang melahirkanmu?
Atau ... apa kamu pernah menjatuhkan cintamu sejatuh-jatuhnya sehingga tidak ada tempat lagi untuk orang lain?
Atau ... ketika untaian kata tidak lagi dapat menguraikan perasaanmu sehingga kamu memilih untuk menunjukkan dengan perbuatan dengan memberi tanpa mengharapkan balasan?
Atau seperti puisi Sapardi Djoko
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sesederhana dan sedalam itu.
Ketika semua itu hilang dan kamu kehilangan pijakanmu serta arahmu, apa yang akan kamu lakukan?
Kikan masih terus menuliskan hal-hal yang berlari-lari di otaknya tanpa bisa ia ucapkan. Ia menolak untuk membicarakannya dengan orang lain karena itu akan membuatnya menangis tiada henti dan itu akan membuatnya terlihat lemah dan masih mengharapkan mantan suami sialannya itu.
Terlihat lemah adalah hal terakhir yang akan ia lakukan. Tidak ketika orang yang sangat ia benci sekaligus ia cintai sedang berbahagia dengan selingkuhannya dan calon bayi mereka.
Kikan lebih memilih untuk menuliskan untaian kata yang hendak ia ceritakan kepada orang-orang lain yang tidak ia kenal. Bukan, ia bukan penulis. Ia hanya butuh tempat untuk mencurahkan perasaan yang menyesakkan dadanya dan siap untuk meledak setiap saat.
Seorang pelayan mengantarkan kopinya dengan senyum. "Silakan, Mbak Kikan.” Kikan mengalihkan matanya dan menatap wanita mungil yang mengantarkan kopinya. "Thanks, Rin.”
Terlalu sering mengunjungi kedai kopi itu membuat Kikan dikenal oleh beberapa pelayan di sana. Ya, siapa juga yang dapat melupakan orang yang datang ke kedai kopi dengan penampilan 'ajaib', kan?
Ini sudah bulan keempat setelah perceraiannya dan Kikan masih hanyut dalam perasaan yang menyesakkan dada itu. Tidak, ia tidak menjadi pendiam atau menjadi pemurung. Kikan masih menunjukkan Kikan yang ceria dan selalu dapat membuat guyonan tidak penting dan garing.
Sekali lagi, pantang baginya terlihat mengenaskan akibat manusia dungu itu. Sudah cukup ia terlihat mengenaskan pada saat ia berupaya menyelamatkan pernikahannya seorang diri selama tiga tahun umur pernikahan mereka, sementara pria dungu itu justru berusaha melepaskan dirinya.
Kikan menyesap kopinya perlahan. Pandangannya menyapu kedai kopi dengan desain rustic itu. Ramai seperti biasa, banyak pasangan romantis yang akan jadi sasaran nyinyir Kikan, ada juga beberapa keluarga kecil dengan bayi mungil yang membuatnya iri.
Setelah keluar dari pekerjaan lamanya dan memilih berjalan-jalan sendirian selama empat bulan terakhir akhirnya Kikan memutuskan untuk kembali bekerja karena uang tabungannya sudah sekarat.
Kantor barunya di daerah Thamrin. Alasannya keluar dari kantor lamanya adalah karena tatapan mengasihani teman-teman yang ditujukan padanya. Kikan sangat membenci tatapan itu dan juga ucapan mereka sedih mendengar apa yang terjadi padanya dan mereka paham betapa sakitnya Kikan.
Apa kalian bercanda? Tidak ada yang tahu betapa remuknya hati Kikan. Mereka tidak mengalami apa yang ia rasakan, bagaimana mereka bisa tahu dan bisa paham?
Omong kosong!
Kikan hanya tersenyum masam ketika mengingat hal itu.
"Heh, Mbak! Ngapain lo senyum-senyum gitu?" ucap seorang perempuan dengan rambut panjang itu langsung duduk di bangku seberangnya lalu langsung memanggil pramusaji dan memesan makanan dan minuman seperti biasa.
Lemon tea, spaghetti carbonara, kentang goreng, dan garlic bread.
Dasar perut karung. Tapi herannya ia masih memiliki badan yang ideal. Pernah dulu Kikan menanyakan hal ini dan mengatakan Tatiana cacingan, yang hanya dibalas toyoran olehnya.
"So, what's up? Gimana hidup setelah lepas dari orang gila itu? Sudah ada gebetan belum?" lanjut wanita itu setelah jeda beberapa saat setelah ia memperbaiki rambutnya yang berantakan karena ke sini menggunakan ojek online.
"Dikata lupa sama orang dungu itu gampang kali," ucapnya sambil mengeluarkan dengkusan keras.
"Time will heal, Mbak, time will," ucapnya sambil bergumam terima kasih kepada Karin yang mengantarkan pesanannya.
Tanpa basa-basi Tatiana langsung melahap makanan yang sudah tersaji, bahkan sekadar melakukan courtesy menawari makanan secara basa-basi saja tidak.
"Lo gak makan berapa abad, sih, sampe maruk gini?"
"Gue baru bangun dan langsung meluncur ke sini, habis terima telepon lo. Ngeri gue baca berita kalau telat. Kan gak lucu kalo head linenya ‘Ditemukan wanita gila berjalan-jalan di sekitar Sudirman dengan ciri-ciri bogel dan rambut pendek.’"
"Setan!" Makian kecil Kikan hanya disambut kekehan oleh Tatiana sambil terus mengganyang makanannya.
"Udah siap masuk kantor baru, Mbak?”
"Udah."
"Traktiran gaji pertama fine dining ya, Mbak!"
"Gundulmu!"
Kikan diterima bekerja di perusahaan tempat Tatiana bekerja dan atas rekomendasinya. Tati, panggilan Tatiana, bekerja di perusahaan dalam bidang perbankan dan ia menjabat sebagai sekretaris direksi.
Dengan koneksinya yang banyak itu, ia bisa menyempilkan satu nama ke bagian HRD untuk menjalani tes. Jangan pikir Kikan tidak menjalani tes, Tati hanya memberikan kenalannya CV Kikan dan sisanya atas hasil usaha Kikan.
Sore itu dihabiskan dengan celotehan Tati mengenai incaran barunya dan bagaimana bosnya sangat menyebalkan.

Pulang dari kafe, Kikan memilih langsung mandi dan bersandar di dipan kasurnya. Ia tidak kembali ke rumah orang tuanya pasca perceraian. Ia tidak punya keberanian untuk menghadapi ibunya yang dulu mati-matian menentang pernikahannya. Ketika rumah yang jadi miliknya dari harta gono-gini ia dapatkan secara resmi, ia langsung menjualnya dan membelikan apartemen yang untungnya dekat dengan kantornya yang baru. Ia juga menjual mobil lamanya yang penuh dengan kenangan busuk itu. Buang sial menurutnya.
Bagian yang paling menyebalkan dari ditinggalkan seseorang adalah kenangan. Walaupun semua barang-barang yang berkaitan dengan pria dungu itu sudah dibuang, tetapi kenangan selama bertahun-tahun itu, tidak bisa ia hapus.
Seperti sekarang, kenangan itu menghantam kepala Kikan tanpa ia sadari. Ya Tuhan, ia merindukan Si Dungu itu. Terlepas dari segala luka yang diberikan, Kikan masih menyimpan cinta untuknya.
Katakan ia bodoh, tapi sampai detik ini hatinya masih untuk Si Dungu itu.
Kikan menggeleng-gelengkan kepalanya ketika wajah Si Dungu menari-nari di kepalanya disertai gambaran hal-hal yang dulu membuatnya bahagia.
Ia memilih untuk segera menjemput mimpi. Semoga di dalam mimpi itu ia bisa menendang bokong Si Dungu dan mencekik mati bayangannya.
Semoga esok perasaannya lebih baik. Semoga.
Bahagia itu pilihan. Kau bisa memilih untuk menjadi bahagia dengan hal-hal sederhana seperti sinar matahari, hujan atau jika kau mau sedikit realistis kau bisa melihatnya melalui materi seperti kebahagiaan ketika kau bisa berbelanja barang-barang yang kau mau.
Kau juga bisa memilih untuk menjadi bahagia dengan menggantungkan kebahagianmu pada orang lain seperti orang yang kau cintai dan menjadikan kebahagiannya sebagai kebahagianmu.
Yang terakhir berbahaya.
Sungguh.
Karena kau menggantungkan banyak sekali kepercayaan pada orang itu.
Kepercayaan adalah benda langka. Sangat langka bahkan jika boleh dikatakan. Bahkan, orang-orang banyak yang mengatakan bahwa kepercayaan seperti cermin. Bila kau sudah merusaknya maka bila diperbaiki seperti apa pun retaknya akan tetap terlihat dan bayangan yang terpantul tidak akan utuh lagi, tapi ... beberapa orang dengan dasar cinta, yang mereka pikir berada pada fase hubungan itu, mencoba untuk memperbaiki pecahan cermin satu per satu. Menjadi bodoh dengan mengatas- namakan cintanya pada orang lain, tapi tidak mencintai dirinya sendiri.
Kau tahu bahwa dasar untuk mencintai orang lain adalah cintai diri sendiri terlebih dahulu dan sebelumnya adalah cintai Tuhanmu. Menyadari bahwa kau pantas untuk diperjuangkan dan tahu bahwa kau pantas menjadi satu-satunya wanita yang kelak anak-anaknya akan memanggilmu ibu dalam hidup seorang pria. Dan ketika pria itu yang sudah menjanjikan hal suci di hadapan Tuhanmu yang kau cintai, tetapi justru mengkhianatinya berulang kali di setiap kesempatan yang kau berikan maka kau harus memikirkan ulang mengenai cintamu terhadap pria itu.
Namun, sekali lagi, cinta itu bodoh. Kau akan terus menunggu pria itu hingga sadar atau pria itu yang mendepakmu keluar dari kehidupannya dan meninggalkanmu dengan selingkuhannya. Anggap saja itu salah satu jalan dari Tuhan agar kau menjadi bahagia dengan orang yang tepat.
Namun, menjalin hubungan bagi Kikan sekarang ini hanya seperti lolos dari kandang buaya, kemudian bersembunyi di kandang harimau, singa, gorila, dan bahkan dinosaurus. Mengerikan dan ia tidak mau berada di posisi itu dalam waktu dekat.
“Mbak, lo gak mau nyoba aplikasi dating online? Gue lagi pakai nih, Tind*r namanya. Kalau gak buat cari pacar juga bisa buat cari temen, tapi temen satu malam,” kikik Tati sambil memainkan ponselnya.
Mereka kini tengah berada di kantin kantornya yang berada di basemen. Sebenarnya kantor mereka yang terhubung dengan salah satu pusat perbelanjaan sehingga pilihan makanan lebih beragam, tapi di tanggal tua mereka lebih memilih makan di kantin untuk menyambung hidup. Gaji sekretaris tidak sebesar yang dibayangkan hingga bisa berpesta pora dan makan di restoran fancy setiap hari. Meskipun bonusnya besar, tapi tetap saja itu hanya ada setahun sekali.
“Kenapa? Lo lagi pakai itu, ya? Dapet inceran?”
Tati menganggukkan kepalanya dengan semangat. “Iya, Mbak. Lumayan buat ngabisin waktu biar ponsel gue gak sepi. Masalah dari putus itu kan biasanya akan teringat ketika ponsel sepi. Berasa banget jomlonya.”
“Emang ponsel lo pernah sepi, Ti?”
Tatiana hanya menyunggingkan cengiran lebar yang dibalas dengkusan oleh Kikan. Kikan tahu betul wanita itu selalu mempunyai cadangan pria untuk diajak kencan.
“Cari pangsa pasar baru, Mbak. Perlu perluasan pasar.”
“Emang lo barang dagang apa, perlu pangsa pasar baru segala.”
“Cinta gue perlu pangsa yang baru, Mbak. Kantor kita gak ada yang menarik buat dijadikan pacar.” Ia menepuk dahinya dengan pelan. “Eh Mbak, Lo inget gak yang dulu gue pernah bilang, gue punya temen ganteng dan jomlo?”
“Inget, lo pacaran aja gih sama dia. Ganteng dan kaya kan tipe lo!”
“Dia carinya istri, Mbak, bukan cari pacar. Gue masih belum mau menikah dalam waktu dekat, jadi gue kasih lihat foto lo ke dia. Dan dia tertarik mau ketemu lo katanya.”
“Sudah bilang kalau gue janda?”
“Sudah dong. Kali ini gak bakalan lo lihat muka aneh dari laki-laki yang gue kenalin.” Tatiana berucap dengan yakin.
Ini memang bukan pertama kali wanita itu berupaya mengenalkan Kikan pada pria. Ini percobaan kali keduanya setelah yang pertama gagal minggu lalu. Kikan mengatakan dirinya janda. Raut pria itu langsung berubah dan kabur dengan alasan ada pekerjaan. Pekerjaan di hari Sabtu malam? Yang benar saja, dia bukan anak kemarin sore yang tidak paham penolakan.
“Jadi gimana? Mau gak, Mbak? Gue kasih nomor lo ke dia, ya?” lanjut Tatiana dengan muka memelas yang membuat Kikan tidak enak untuk menolak. Ia sangat terbantu dengan tawaran pekerjaan Tatiana dan niat baik wanita itu, jadi ini salah satu caranya untuk mengucapkan terima kasih.
“Ok.”

“Halo, Fer?” ucap Tatiana ketika nada sambung itu berubah jadi suara seorang pria.
“Ya, Ti?”
“Jadi minta nomor yang kemarin gak?”
“Oh, Ikan?”
“Kikan, dodol. Kalau ikan yang di air.”
Pria itu tertawa mendengar ucapan Tatiana yang berujar dengan gemas bercampur kesal di seberang sana.
“Iya, itu. Dia mau?”
“Iya, setelah gue paksa.”
“Lo bilang apa memangnya?”
“Gue bilang lo tampan dan kaya raya.”
“Dia tertarik karena itu?”
“Gak lah. Mantan suaminya juga kaya raya minus tampan aja. Dia gak enak sama gue, makanya dia mau gue kenalin,” jawab Tatiana. Ia teringat muka Kikan yang sebenarnya tidak mau sama sekali dikenalkan dengan orang baru.
“Okay, kirimkan kontaknya aja yah! Nanti ketika gue luang, gue hubungin.”
“Ketika lo luang atau ketika lo lagi gak ada cewek?”
Pria itu kembali tertawa, Tatiana memang selalu berujar tanpa disaring terlebih dulu dan hal itu sudah menjadi kebiasaannya.
“Luang dan pas gak ada cewek juga … haha ....”
“Lo ada niat buat mempermainkannya? Gue amuk ya lo! Gue acak-acak kantor lo nanti!”
“Galak banget, Neng. Sudah ya? Gue masih ada kerjaan! Thank you by the way.”
Kikan
Hari ini seorang teman bercerita tentang permainan hatinya. Ia bercerita dengan muka berseri-seri mengenai sang lelaki pujaan.
Ia berbicara mengenai sang lelaki yang tidak bisa berkomitmen dan menganggapnya angin lalu.
Lalu ... muncul pertanyaan mengenai komitmen ini. Apa seseorang yang tidak menganggap komitmen dengan suami dan Tuhannya sebagai suatu yang sakral mempunyai hak mempertanyakan komitmen orang lain terhadapnya? Apa semudah itu melanggar komitmen yang sudah ada bertahun-tahun?
Begitu banyak pertanyaan muncul, tetapi aku tak punya keberanian untuk menyuarakannya. Kau tahu rasanya mengetahui kesalahan seseorang, tetapi tidak berani mengungkapkannya karena tidak terlalu dekat? Itu tidak enak.
Sebagai seseorang dengan pengalaman gagal berumah tangga karena diselingkuhi tentu mendengar cerita perselingkuhan membuat emosi muncul seketika.
Aku pernah membaca kalimat dari salah seorang penulis yang aku lupa namanya:
“There's no excuse for a cheater. Dalam berkomitmen kamu hanya punya dua pilihan. Be loyal or leave it. Tidak ada, setia atau selingkuh. Itu bukan pilihan.”
Aku rasa itu benar. Selingkuh bukan pilihan ketika kamu sudah berkomitmen. Menurutku jika kamu sudah berkomitmen maka kamu harus menjatuhkan dirimu sedalam-dalamnya, sehingga tidak ada celah untuk orang lain.
Sebagai manusia pasti kita akan berharap menemukan pasangan yang sesuai dengan harapan kita. Terlebih ketika pacaran, kita akan melihat hanya sisi baiknya saja. Menikah dan pacaran adalah dua hal yang jauh berbeda.
Sungguh.
Sangat jauh.
Ketika pasangan itu ternyata tidak berlaku sesuai dengan yang kita harapkan maka godaan-godaan akan lebih terasa. Terlebih di lingkungan pekerjaan. Bukan menakut-nakuti, tetapi pasangan akan bertemu teman-temannya lebih lama daripada kita. Tidak menutup kemungkinan dari tempat lain, tapi entah mengapa cerita perselingkuhan di lingkungan kerja itu lebih santer terdengar.
Dan ya. Aku juga salah satu korban perselingkuhan di kantor. Jadi, percaya saja kalau korban sudah beraksi.
Rekan kerja berubah menjadi rekan gulat kasur.
Ha!
Hal-hal itu juga terjadi di kantor baru. Ralat, kantor yang-tidak-terlalu-baru-lagi. Perselingkuhan terjadi di sana-sini dan membuat Kikan semakin skeptis untuk menemukan pasangan lagi.
Bagaimana bisa mempercayai orang baru ketika yang telah kita percayai selama bertahun-tahun mengkhianati?
Kikan masih terus mengetikkan isi kepalanya. Di umur Kikan yang hampir kepala tiga, pacaran bukanlah menjadi pilihan lagi. Lebih baik sendiri daripada terikat lagi pada suatu hubungan yang menyesakkan. Namun, bukan berarti Kikan tidak ingin memiliki pendamping.Ia ingin memiliki seseorang untuk menjadi tempatnya bersandar, tetapi ia butuh waktu. Dan waktu terlalu sombong untuk diminta menyembuhkan luka dengan segera.
Beberapa lelaki di kantor baru itu pun mulai mendekatinya. Dari yang sudah beristri, beristri dan beranak, bahkan beristri, beranak dan bercucu mulai mendekatinya. Gelar janda memang menggoda sepertinya. Tentu saja itu juga mengundang cibiran para wanita. Gelar janda gatel sudah tersemat pada Kikan.
Kikan tidak ambil pusing. Tidak peduli pada omongan orang. Tentu saja. Peduli pada mereka tidak menghasilkan uang.
Ketikannya terganggu ketika ada bunyi notifikasi aplikasi pesan singkat. Kikan melirik dan menemukan nama Ferdinand.
Lelaki baru yang mendekatinya. Umurnya sudah kepala tiga, tetapi masih betah melajang. Entah karena pilihan atau nasib. Untuk tampang bisa dinilai 8/10, pekerjaan sebagai pengacara ternama membuat pundi-pundinya bengkak sehingga melajang karena nasib sudah pasti dapat dicoret.
Namun, itu saja tidak cukup. Percayalah, jika pernah gagal maka tampang dan kemapanan tidak masuk priority list lagi. Bukan berarti tidak penting tapi lebih ke arah .... apa ya? Ah! Kebutuhan papan! Ada syukur tidak ada ya sudah.
Ia bertemu dengan pria itu dua bulan lalu setelah Tatiana memberikan nomor ponselnya pada Ferdinand. Pertemuan mereka dua bulan lalu sebenarnya tidak meninggalkan kesan dan seperti kopi darat biasa yang terjadi di kedai kopi.
Pria itu muncul dengan dandanan dandynya, sedangkan Kikan muncul dengan kaos polos berwarna hitam dan legging berwarna senada dengan sneakers berwarna putih.
Saat pertama masuk saja Kikan dapat langsung mengenali pria itu yang sudah menunggunya di kursi dekat jendela. Duduk dengan memegang ponselnya. Kikan dapat melihat beberapa gadis muda melirik ke arah pria itu dengan cekikikan.
Ia melangkah mendekati meja itu. “Ferdinand?” ucapnya pelan yang membuat pria itu mendongakkan kepalanya dan melihat ia sesaat sebelum tersenyum lebar.
“Kikan, kan?” Pria itu berdiri sambil mengucapkannya, lalu ia mengangsurkan tangan.
“Ferdinand.”
Kikan menjabat tangan pria itu, jabatannya erat. Tipe jabatan yang ia suka, bukan hanya sekadar menempelkan tangan.
“Kikan.”
“Mau pesan apa?” tanyanya setelah Kikan duduk.
“Aku ke sana saja buat pesan. Tunggu sebentar, ya!” Kikan pergi dan kembali tidak lama kemudian dengan es cokelat di tangan kanannya.
“Nunggu lama, ya?”
“Gak kok, baru datang juga.”
Kikan melirik gelas kopi yang sudah tandas di meja. “Bohong banget, kopinya sudah habis begitu. Sorry, ya, tadi harus ke rumah orang tua sebentar.”
Ferdinand tertawa mendengar cibiran Kikan. “Gak masalah, sambil nunggu tadi juga ada yang bisa saya urus kok.”
“Jadi, apa yang harus kita bicarakan? Aku sudah lama tidak memasuki pasar jadi sudah lupa.”
Ferdinand tersenyum. “Kamu menyindirku?”
“Tidak, sih, sebenarnya. Kalau kamu merasa, ya bukan salahku.” Kikan menyesap es cokelatnya sambil menatap Ferdinand yang masih santai dengan ucapan sinisnya.
“Kata Tatiana, kamu mau ke sini karena gak enak sama dia.”
Kikan sedikit terkejut mendengar ucapan Ferdinand. “Serius dia bilang gitu?” ringisnya di akhir kalimat.
“Dari ucapan kamu barusan, aku jadi bisa mengambil kesimpulan kalau itu benar.”
“Sorry, tapi aku benar-benar tidak tertarik sekarang ini. Sudah Tatiana bilang, kan, kalau aku janda?”
“Sudah.”
“Saya tidak butuh belaian kalau malam tiba sayangnya.”
Ferdinand terkekeh. “You sound so bitter. Aku hanya mau berkenalan. Menambah teman tidak masalah ‘kan? Status kamu janda atau single atau apa pun tidak berpengaruh padaku.”
Yang Kikan ingat hanya sampai di sana karena setelah itu pembicaraan basa-basi seperti biasa dan dia sudah melupakannya. Dan pria itu menghubunginya lagi kali ini, padahal Kikan dengan jelas memberikan sinyal bahwa ia tidak menginginkan ada kontak lagi di antara mereka.
Ferdinand
Dinner with me?
Me
Do you take no as an answer?
Ferdinand
Well, you know how persuasive I can be right?
Lelaki satu ini tidak bisa menerima penolakan. Semakin ditolak maka semakin penasaran dan semakin semangat untuk melakukan pendekatan. Semacam tertantang untuk menaklukkan, sehingga cara terbaik agar ia cepat bosan adalah dengan mengikuti kemauannya.

Kikan sudah selesai menyantap makan malamnya, sedangkan Ferdinand yang sudah selesai terlebih dahulu tengah menyesap wine di gelasnya. Mereka sekarang tengah berada di restoran fine dining salah satu gedung di Thamrin. Alunan musik yang lembut menambah kesan romantis di restoran itu.
Jika ini terjadi padanya dulu ketika bersama mantan suaminya, maka ia akan memekik kegirangan karena suaminya mengajak makan malam romantis. Ah, kepikiran Si Otak Selangkangan lagi, jadi lapar lagi. Kikan memanggil pelayan dan memesan strawberry cheese cake dua slice dan segelas air mineral.
Ferdinand menaikkan sebelah alisnya melihat pesanan Kikan yang datang. Kikan sekarang masih merasa lapar dan cheese cake terlalu menggoda untuk dilewatkan.
"Jadi tujuan makan malam ini apa, ya? Kamu terlalu kebanyakan uang sehingga mau traktir orang makan atau gimana?"
"Siapa yang bilang aku traktir kamu makan?"
"Well, karena kamu yang ajak jadi asumsiku, kamu yang membayarkannya," ucap Kikan sambil sibuk mengunyah cheese cakenya.
Senyum Ferdinand terbit mendengar Kikan yang ceplas-ceplos dan tidak sibuk menjaga image dengan makan sedikit. Wanita itu bahkan terlihat lebih tertarik pada cheese cakenya daripada Ferdinand.
"Hanya mau bertemu. Terakhir kali bertemu dua bulan lalu dan setelah itu kamu sibuk menghindar."
"Oh, tahu aku menghindar? Lumayan peka juga ternyata."
Kikan bergumam agak kencang yang tentu saja dapat didengar oleh Ferdinand. Ferdinand menaham tawanya. Wanita ini bahkan tidak repot-repot membuat alasan. Kikan mengelap mulutnya setelah menyantap semua makanan penutupnya.
“Kalau begitu kenapa setuju untuk bertemu sekarang?” tanya Ferdinand.
“Karena kamu tidak akan berhenti hingga aku menyetujuinya, bukan? Kamu akan terus penasaran dan sekarang aku di sini menuntaskan rasa penasaran kamu.”
“Rasa penasaranku lebih dari sekadar makan malam, Kikan.”
“Oh ya? Lalu apa?”
“Akuingin mengenalmu.”
“Untuk?” tanya Kikan kali ini. Tanda alarm bahaya di kepalanya mulai berbunyi dan ia mulai tidak nyaman dengan perbincangan ini. Ferdinand yang sudah terbiasa berhadapan dengan orang pun menyadarinya.
“Aku rasa Tati sudah bilang aku mencari apa.”
“Kamu salah orang kalau begitu. Aku tidak ada niatan menjalin hubungan dalam waktu dekat ini. Aku baru bercerai, ingat?”
“Itu sudah delapan bulan lalu kalau tidak salah ingat.”
“Kamu bisa mencari gadis atau wanita lainnya yang tidak pernah menikah atau tidak menyandang status janda bukan? Kenapa merepotkan diri sendiri dengan seorang janda?”
“Kenapa kamu selalu mengatakan status jandamu, sih? Apa yang salah dengan janda? Kalau hubungan kalian tidak berhasil apa harus dipaksakan?”
Kikan terdiam sesaat. Selama ini ia selalu menggunakan statusnya itu untuk menjauhi pria-pria. “Biasanya berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menghilangkan seseorang dari pikiranmu?”
“Tidak pernah. Bagaimana kamu menghilangkan seseorang dari pikiranmu? Mereka akan terus berada di sana karena kamu memiliki kenangan dengan mereka. Yang bisa kamu lakukan hanyalah menimbun kenangan lama itu dengan kenangan baru dan orang yang baru.”
Kikan terdiam mendengar penuturan Ferdinand. Tidak ada pembicaraan, ia memilih mengalihkan pandangannya mengitari restoran itu hingga matanya berhenti pada satu titik.
Ada mantan suami bodohnya dengan wanita selingkuhannya, eh ralat, dengan istrinya sedang makan malam. Mereka terlihat romantis dengan pria yang mengelus tangan wanita lembut dan tatapan penuh cinta, lalu ada buket bunga mawar di samping wanita.
Kikan coba mengingat kapan terakhir kali mantan suaminya itu menatap penuh cinta kepadanya atau bahkan memberikannya bunga.
Tidak ingat. Atau tidak pernah? Bahkan Kikan tidak yakin mantan bodohnya itu tahu bunga kesukaannya apa.
Mata Kikan beralih ke perut wanita. Ah, sudah kempes, sudah melahirkan sepertinya. Iyalah ini sudah berapa lama dari perpisahan mereka? Rutuk Kikan dalam hatinya. Jika dulu ia hamil apa semuanya akan berbeda? Atau mantan suaminya itu tidak akan berselingkuh? Atau ia akan mendapatkan tatapan penuh cinta itu? Atau mendapatkan bunga? Atau bahkan makan malam romantis seperti itu?
Berbagai macam pertanyaan melintas di otaknya dan matanya masih menatap mereka. Ferdinand mengikuti arah tatapan Kikan yang terlihat sendu itu, tetapi ada tatapan cinta yang terselip di sana.
"Mantan suami?"
Pertanyaan itu membuat Kikan mengalihkan pandangannya kepada Ferdinand lalu mengangguk.
"Masih mencintainya?"
Kikan mengangguk.Lalu, tidak lama kemudian menggeleng. Ia menghela napas panjang.
"Belajar melupakan.” Ferdinand berujar dengan pelan.
"Tidak mudah ketika orang itu satu-satunya yang ada dalam rencana masa depan dan menjadi tempat pulang selama bertahun-tahun. Rasa sakitnya sama besar dengan rasa cintanya."
Ferdinand tersenyum. Kikan yang melihat itu merasa diremehkan.
"Kamu yang sibuk keluar masuk selangkangan wanita tahu apa soal cinta?"
"Hanya karena kamu sekarang berada di titik terendah dalam hidupmu bukan berarti kamu bisa meremehkan hidup orang lain."
Masa lalu.
Kata yang terdengar sederhana, tetapi berapa orang dapat melangkah dari masa lalu yang membelenggunya? Tidak, bukan membelenggu, tetapi tidak mau beranjak dari masa lalu.
Enggan bergerak.
Masih dengan segala pengandaiannya. Dan segala pengandaian itu menghasilkan penyesalan yang mendalam. Pernah merasakannya? Seharusnya mudah melangkah karena terlalu banyak luka yang menganga di sana, tapi ternyata tidak.
Seperti banyak orang bilang, bahwa hidup adalah pilihan. Apakah kau mau terus berkubang di masa lalu atau kau mau melangkah dan membiarkan masa lalu tetap menjadi masa lalu. Masa lalu dengan ruangan tersendiri di hatimu. Tutup pintunya, lalu kunci. Sekali lagi, itu tidak mudah.
Kikan tengah menarikan jari-jarinya di keyboard. Menuliskan apa yang dipikirkannya tanpa mampu diucapkan.
"Oi, Mbak!"
Tangan Tati melambai-lambai di hadapannya. Kikan langsung mengerjabkan matanya. Menulis sekarang menjadi penawar tersendiri. Kamu bebas menuliskan apa pun perasaanmu tanpa perlu merasa takut akan tanggapan orang lain, jika kamu menyamarkan dirimu tentunya.
"Apa sih, Ti? Ganggu deh, ah."
"Nulis lagi?" Tati melongokkan kepalanya yang langsung disambut dengan layar komputer yang mati oleh Kikan.
"Kepo deh."
Tatiana hanya bisa memanyunkan bibirnya. "Mau ajak Mbak makan siang. Gue tahu Mbak gak punya temen di sini,jadi gue berbaik hati mau ajak Mbak makan siang."
Kikan melotot tajam yang disambut cekikikan ala kuntilanak oleh Tati. Memang, meskipun sudah bekerja lebih dari enam bulan di perusahaan ini, Kikan tidak mempunyai teman selain Tati. Alasannya sederhana, Kikan malas berbasa-basi dan terlalu malas meladeni orang bermuka dua.
Tati lalu menggandeng Kikan jalan menuju kantin yang berada di lantai tujuh. Sepanjang jalan banyak yang menyapa Tati dan dibalas dengan ramah, sedangkan Kikan hanya menganggukkan kepalanya sedikit.
Ketika mereka sampai di kantin, Tati langsung memesan makanan untuk mereka berdua, sedangkan Kikan memilih tempat duduk di ujung ruangan. Tidak lama Tati membawa nampan berisi pesanan mereka, untuk Tati bakso dan untuk Kikan nasi goreng gila, siomay, dan rujak untuk dessert.
Semenjak perceraiannya berat badan Kikan susah sekali untuk naik meskipun ia melahap semua makanan. Untuk itu Kikan bersyukur, setidaknya ia bisa melakukan hobinya tanpa perlu memikirkan timbangan dengan jarum yang mengarah ke kanan. Ya, setidaknya Si Otak Selangkangan berguna untuk hal itu.
Kikan tengah mengunyah dengan khidmat ketika Tati bertanya mengenai Ferdinand. Kikan memang menceritakan sekilas mengenai makan malamnya dengan Ferdinand yang berakhir canggung karena pernyataan Ferdinand yang menohok yang berakhir dengan Kikan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dan pergi melangkah dari meja itu meninggalkan Ferdinand.
Lelaki itu tidak mengejarnya, pun menghubunginya lagi selepas pertemuan itu dan Kikan tentu saja tidak ambil pusing. Baginya, kehilangan Ferdinand berarti hilang satu orang pengganggu. Dan itu sangat bagus.
"Dia tidak menghubungi lo lagi, Mbak?"
"Tidak."
"Gue tebak lo juga gak meminta maaf, kan?"
Kikan berhenti memakan siomay, kemudian menatap Tati sambil menaikkan alis.
Why should I? katanya dalam hati.
"Yang dia katakan benar, Mbak. Masalah yang lo hadapi memang berat. Kalau itu terjadi sama gue, belum tentu gue bisa sekuat lo, tapi bukan berarti juga, Mbak bisa bilang Ferdinand tahu apa soal cinta dengan kebisaannya yang bergonta-ganti rekan gulat. Ia pasti punya masalah tersendiri dan ia pasti punya alasan buat kelakuannya itu. Mbak paling tahu rasanya dianggap sebelah mata karena masa lalu itu seperti apa, jadi Mbak jangan berbuat kayak gitu ke orang lain."
Itu menohok sekali.
Betul. Kikan paling tahu bagaimana rasanya dianggap sebelah mata karena statusnya. Rasa bersalah menggerogoti hatinya tetapi ia berpura-pura untuk tidak peduli dan memilih melanjutkan makan sedangkan Tatiana hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sikap cuek Kikan.

Jam pulang kantor merupakan jam rawan untuk pulang bagi Kikan. Selama bekerja,ia lebih memilih untuk pulang di atas pukul tujuh malam, jadisetelah jam kantor, ia akan menunggu di salah satu kedai kopi sambil memainkan jarinya di keyboard.
Ia menatap lamat-lamat pada layarnya dengan sepuluh jari siaga di keyboard. Nihil. Pertama kalinya setelah perceraian, ia kehilangan kata-kata untuk dituliskan. Kikan menyandarkan bahunya di kursi sambil memejamkan matanya.
Sedikit banyak perkataan Tati mempengaruhinya dan membuatnya merasa bersalah. Ia benci merasa bersalah seperti ini. Ia tidak akan berhenti memikirkannya sampai ia meminta maaf.
Namun, menghubungi Ferdinand untuk meminta maaf atas perkataannya tidak mungkin dilakukannya. Ego Kikan yang menyaingi lelaki, tidak akan mengizinkannya. Apalagi perkataan lelaki itu tidak bertanggungjawab. Ia membiarkan Kikan pulang sendiri.
Prinsip Kikan adalah meskipun ia seorang wanita, pulang atas kehendaknya sendiri. Setidaknya tarik dan paksa ia untuk pulang bersamamu untuk memastikan ia aman. Wanita dan pikiran rumitnya.
Padahal, jika ia mau bicara semuanya akan lebih mudah dan ia juga tidak perlu memikirkan banyak hal seperti sekarang. Kikan mengacak rambutnya dengan sebal dan memilih untuk pulang dan beristirahat saja.
Matanya kembali melihat pesan terakhirnya dengan Ferdinand ketika ia sudah merebahkan dirinya di ranjang. Rasa bersalah itu semakin menggerogotinya. Ia sudah berulang kali mengetikkan pesan, tetapi dihapusnya lagi karena egonya melarang ia mengirimkan pesan.
Ia memilih melemparkan ponselnya di sisi ranjang yang kosong dan menutup mata. Kemudian berdoa semoga mimpi menjemputnya dengan cepat sehingga ia tidak memikirkan rasa bersalahnya lagi.
Jika sudah berumur, kalian akan merasakan bahwa hubungan tidak hanya mengenai dua orang saja, tetapi dua keluarga. Dan sungguh hal itu tidaklah mudah. Apalagi jika berbeda kebudayaan.
Percaya saja dengan orang yang sudah berpengalaman. Aku menikah dengan orang yang berbeda suku, untung saja masih satu agama. Jika berbeda juga maka kelarlah hidupnya.
Tetapi, sekali lagi kata orang-orang, cinta itu buta sehingga tai ayam bisa berasa cokelat.
Buta matamu!
Sungguh, manisnya pernikahan hanya terasa sebentar, lalu muncullah kebiasaan-kebiasaan yang mulai terlihat berbeda yang mulai membuat pertengkaran kecil. Lalu, merambat ke berbagai hal. Namun, pernikahan adalah soal belajar mencintai kekurangan pasanganmu dan menerimanya.
Bukan menakuti, tapi pernah mendengar bahwa lima tahun pertama di dalam pernikahan adalah tahun yang terberat? Well, ya memang berat karena berbagai perbedaan yang membuat perdebatan yang berujung pada pertengkaran dan teriakan.
Menurutku, lima tahun pertama berat karena tingginya ekspektasimu terhadap pasangan. Wajar. Setiap orang selalu berharap, jadi lima tahun pertama adalah waktu untuk beradaptasi sehingga percekcokan tidak bisa dihindari.
Namun, setelah lima tahun pertama masih berantem terus, well, you already choose him/her as your life partner so all you can do is suck it up. Pernikahan adalah proses belajar terus menerus tanpa henti.
Belajar mencintai orang yang kadang, atau sering, membuatmu kesal selama terus menerus sampai maut memisahkan. Terdengar buruk ‘kan? Tapi tenang saja, jika kamu menemukan orang yang tepat itu akan terasa lebih baik.
Temukan orang yang tepat, temukan waktu yang tepat, ambil waktu sebanyak mungkin untuk memikirkan apakah ia orang yang tepat untuk menemanimu seumur hidupmu?
Jemari Kikan terhenti. Ia membaca tulisannya lagi dan tersenyum miris. Rangkaian kata yang menggambarkan ceritanya. Ralat. Cerita yang diinginkannya. Akhir bahagia yang ia idamkan.
Sudah beberapa minggu ia lewati setelah bertemu dengan Ferdinand yang tidak pernah lagi terlihat batang hidungnya ataupun mengiriminya pesan. Jadi bisa disimpulkan bahwa Kikan sangat ahli dalam mendepak pria-pria yang ingin singgah di hidupnya.
Tunggu, apa Ferdinand benar mau singgah di hidupnya atau hanya menjadikan Kikan pemberhentian sementara? Karena tahu, kan, predikat janda yang lebih menggoda?
Semenjak predikat itu tersemat padanya, tidak sedikit pria yang mendekatinya karena mengira ia haus belaian. Belaian kepalamu! Yang ada ia mau menonjok pria-pria yang menatapnya sebelah mata itu.
Waktunya banyak senggang ketika menjanda, jika dulu ia akan sibuk di dapur dan keluarga suami serta keluarganya ketika akhir pekan, maka kesibukannya saat ini hanyalah ponsel, laptop, tidur di apartemennya, menonton TV atau bermain dengan anak sepupunya yang kembar.
Untuk yang terakhir, ia sering melakukannya jika sedang rindu kepada si double kembar. Terkadang ia sangat iri dengan keluarga sepupunya, tetapi jika menilik ke belakang maka Kikan tahu bahwa ia tidak akan sanggup jika menjalani masa lalu seperti istri sepupunya itu.
Hari ini pun ia berencana bermain dengan si kembar. Ia sudah menyiapkan banyak camilan agar si kembar kecil mau bermain bersamanya. Entah kenapa si kembar kecil, Ery dan Bry, sangat susah menempel padanya. Kalau Ata dan Aga tidak perlu disuruh pasti akan mengintilinya ke mana pun.
Kikan masuk ke rumah bercat putih dengan muka riang. Ia mendengar tawa si kembar kecil dari pintu masuk dan senyumnya mengembang. Ketika sampai di ruang keluarga, di sana ia melihat si kembar kecil tengah asyik bermain bersama seorang pria.
Pria itu juga tidak tampak canggung ketika menggendong si kembar di tangan kanan dan kirinya sedangkan Ata menggelendot di kakinya. Lelaki itu tidak tampak kewalahan, ia malah terlihat bahagia.
Ini adalah pemandangan yang ia angan-angankan sejak dulu. Rumah dengan tawa anak dan suami yang menikmati waktu dengan anak mereka. Pemandangan itu membuatnya mematung hingga tak menyadari istri sepupunya yang datang dari arah dapur.
"Kikan? Lho kok diem aja di situ? Sini masuk, kenalan sama Tara!"
Kikan mengikuti istri sepupunya itu, Sera, masuk ke dalam rumah. Masih dengan menatap pria itu yang sibuk dengan balita di kedua tangannya.
“Tara, ini kenalkan sepupunya Daniel, Kikan. Kikan ini Tara, sahabat saya.” Sera menerangkan sambil mengambil Ery dan Bry dari gendongan Tara agar pria itu dapat bersalaman dengan Kikan yang kini sudah berada di hadapannya.
“Tara,” sapa pria itu dengan senyuman sambil mengangsurkan tangan kanannya yang bebas dari gendongan Ery yang sudah beralih pada Sera. Tidak dengan Bry, bocah manis itu masih menempel terus pada Tara, enggan berpindah pada pelukan Sera.
“Kikan.” Kikan hanya dapat menjabat tangan itu sesaat sebelum Ata berlari ke arahnya lalu menabrakkan diri pada Kikan dengan kencang hingga wanita itu hampir terpelanting ke belakang jika tidak dipegang oleh Tara.
“Ata! Hati-hati dong, Tante Kikan nanti jatuh!” sergah Sera yang hanya bisa menatap heran pada anak laki-lakinya yang menempel pada Kikan.
“Tante Ikan! Lama gak main ke sini!” ujar bocah kecil itu, mengabaikan Sera yang kini melotot ke arahnya.
“Iya, Tante ada kerjaan sedikit di kantor.” Sera membungkukkan badannya untuk membalas pelukan Ata dan menanamkan kecupan di pipi gembul anak itu.
“Tante ...,” panggil suara lain, mukanya mirip dengan Ata tetapi tidak ada kilatan nakal di mata anak itu.
“Aga, sini. Tante kangen!” panggil Kikan sambil merentangkan sebelah tangan kanannya yang tidak memeluk Ata pada Aga. Anak kecil itu berjalan cepat ke arahnya lalu memeluk Kikan dengan erat.
“Kangen Tante Ikan,” ujarnya pelan.
“Tante juga kangen sama Aga.”
“Manjanya sama Tante Ikan,” gerutu Sera ketika melihat anak-anaknya masih asyik berebut pelukan dari Kikan, wanita itu hanya bisa terkekeh ketika melihat sekarang Bry sudah menggerak-gerakkan badannya, meminta turun dari gendongan Tara.
Ketika ia turun, ia langsung berjalan tertatih-tatih ke arah Kikan. Hendak bergabung dengan kedua abangnya yang berebutan pelukan. Kikan tidak cukup kuat untuk menerima pelukan dari tiga orang anak lalu terjatuh sambil tertawa-tawa.
“Sudah-sudah. Kalian itu berat-berat semua, kasihan Tante Kikan ditiban kalian.” Sera menarik Bry yang berada paling atas dari tumpukan manusia itu, diikuti dengan Aga dan Ata hingga menyisakan Kikan yang terbaring di lantai. Uluran tangan Tara membantunya berdiri diiringi dengan ucapan terima kasih.
“Sering bermain dengan si kembar?” Kikan mencoba membuka percakapan setelah hening beberapa saat.
“Dulu sebelum Sera menikah, sekarang sudah jarang, karena saya juga baru kembali setelah tugas lama di luar kota.”
“Pantas, saya tidak pernah melihat kamu. Saya cukup sering datang ke sini untuk bermain dengan mereka. Kamu terlihat sangat akrab dengan Ata dan Aga.”
“Mereka dulu memanggil saya ayah, karena hanya saya sosok laki-laki dewasa yang mereka kenal sebelum bertemu dengan papanya.” Tara berucap pelan sambil memandang Sera yang sibuk menggiring keempat anaknya untuk ke ruang makan. Sudah pukul dua belas, sudah waktunya mereka makan siang.
Meski hanya sebentar, Kikan dapat melihat kilat kerinduan di mata Tara. Salah lihat, kan? pikirnya. Tiba-tiba Sera membalikkan badannya untuk menatap dua orang yang masih asyik berdiri di belakang mereka.
“Kalian juga, ayo cepat jalan! Kita makan siang bersama.”
“Mas Daniel ke mana, Mbak?”
“Sebentar lagi Masmu balik, tadi habis ada ketemuan dengan rekan kerjanya sebentar. Ayo jalan, jangan mojok terus!”
Kikan terkekeh mendengar gerutuan istri kakak sepupunya itu dan berjalan mengikutinya ke dapur untuk membawa makanan ke meja makan. Anak-anak sudah duduk rapi di kursinya masing-masing sambil sesekali melemparkan godaan satu sama lain.
Ketika melihat ayam goreng tepung yang dibawa oleh Kikan, Ata langsung berhenti mengoceh dan fokus kepada makanan. Kikan yang melihat itu mengulum senyumnya.
“Tunggu Papa bentar, ya? Sudah deket sini, dua menit lagi paling sudah parkir mobil di depan,” ucap Sera sambil membereskan piring makan.
Aga yang mendengar hal itu langsung memukul tangan kecil Ata yang sudah hendak mencomot remahan tepung di piring.
“Tunggu sebentar dong, Ta. Papa bentar lagi balik kok.”
“Tapi laper, Ga.”
“Nunggu dua menit gak bakalan bikin kamu busung lapar.”
Ata memutar bola matanya, interaksi mereka membuat Kikan tertawa pelan sambil menggoda Ery dan Bry yang duduk di high chair mereka.
“Maaf Papa terlambat.” Daniel muncul dengan pakaian santai dan kunci mobil di tangan kanannya. Ia langsung menuju Sera dan memberikannya kecupan sesaat lalu ke keempat anaknya.
Ini aneh, karena biasanya Daniel tidak menunjukkan hal-hal intim jika ada orang lain. Pria itu tampak tersenyum sesaat sambil menganggukkan kepalanya ke arah Tara dan duduk di kursinya yang berada di samping Sera.
“Banyak kerjaan, ya?” tanya Sera seraya mengangsurkan piring ke hadapan Daniel.
“Iya, aku pecat mereka semua nanti kalau buat aku ke kantor atau ada pekerjaan hari Sabtu lagi.” Daniel berujar dengan kesal, sepanjang yang Kikan tahu, sepupunya itu memang lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarganya daripada bekerja.
Sera terkekeh pelan sebelum mengusap kepala suaminya. “Jangan gitu, kalau gak penting banget juga mereka gak bakalan hubungin kamu, kan.”
“Kamu jangan belain mereka terus,” gerutu Daniel.
“Gak membela, cuma kalau kamu jatuh miskin nanti anak-anak sama aku makan apa?” canda Sera yang membuat Daniel memanyunkan bibirnya.
Sepanjang percakapan itu mata Kikan tertuju pada Tara yang kini tidak henti-hentinya menatap kepada interaksi kedua orang itu. Matanya tampak menyimpan sedikit rindu dan ia tersenyum ketika melihat bagaimana Daniel memperlakukan Sera barusan.
Pria itu mengelus sayang surai istrinya dan mengecup pipinya pelan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
