Pasien Baru Keluarga Mualimah

3
0
Deskripsi

pertemuan pertama Pram dengan Kluarga Ustadzah Nur Azzizah ibu dari Fitria yang terkenal taat beribadah tapi percaya mitos2 ke agamaan

“ bukan Rasis Cuman Sekedar Pemanis Cerita untuk Memperlancar Crottannya ”

 

Buat yang Suka Cerita2 saya 
Mau yang Murah Meriah Muncrats ?
 Gabung ke Paket 
“ Sobat Lendir Kental ”
Hemat Bangets

Kesesokan harinya di kampus
 
Steven:
"Eh, Din, semalam itu seriusan? Silvie langsung sembuh
gitu aja?"
 
Adinda:
"Iya, beneran, Steve. Aku juga kaget. Tadi pagi dia
udah ceria lagi, malah ngepel-ngepel kamar."
 
Steven:
"Padahal kemarin sore jalan aja dia kayak mau pingsan,
kan?"
 
Adinda:
"Iya. Mukanya pucet, badannya dingin. Tapi begitu Bang
Pram dateng, dia cuma mijit sebentar... langsung bangun, senyum-senyum."
 
Steven:
"Nyokap gue juga, loh. Tadi malem udah bisa makan
lahap. Nggak ada lagi tuh cerita keram perut sampe menggeliat-geliat."
 
Adinda:
"Aku juga bingung. Soalnya Bang Pram bilang dia bukan
dukun, cuma terapis. Tapi rasanya... beda."
 
Steven:
"Emang beda. Gue merhatiin pas dia ngobatin Mak gue...
hawanya adem, tenang gitu. Padahal dia cuma nyentuh pelan."
 
Adinda:
"Aku ngerasain juga. Kayak... ada yang masuk, tapi
bukan ngeri. Malah bikin nyaman."
 
Steven:
"Lo sampe merinding nggak?"
 
Adinda:
"Banget. Tapi bukan takut. Lebih ke... kagum."
 
Steven:
"Makanya gue penasaran, tuh orang sebenernya siapa,
sih?"
 
Adinda:
"Nah, itu. Aku tuh jadi kepikiran mau ngenalin Bang
Pram ke kakakku."
 
Steven:
"Kakak lo? Yang guru ngaji itu?"
 
Adinda:
"Iya, Fitria. Udah lima tahun nikah, tapi belum punya
anak."
 
Steven:
"Oh... yang suaminya itu, si Ahmad?"
 
Adinda:
"Iya. Mereka udah coba macem-macem. Dari medis, herbal,
sampe doa-doa. Tapi... belum berhasil."
 
Steven:
"Dan lo pikir Pram bisa bantu?"
 
Adinda:
"Bukan yakin sih, tapi... siapa tahu. Aku tahu ini
kayak nekat banget, tapi aku ngerasa Bang Pram bukan orang sembarangan."
 
Steven:
"Kakak lo setuju?"
 
Adinda:
"Belum aku omongin. Aku pengen ngobrol dulu,
pelan-pelan. Soalnya Kak Fitria orangnya lugu, gampang takut. Tapi dia juga
udah mulai nyerah."
 
Steven:
"Gue ngerti, Din. Kadang, yang kayak gitu justru butuh
hal di luar logika."
 
Adinda:
"Iya... dan aku pengen dia bahagia. Aku pengen dia
ngerasain jadi ibu."
 
Steven:
"Ya udah, kalau lo yakin, kenalin aja. Tapi jangan
dipaksa, ya."
 
Adinda:
"Iya, Steve. Aku pelan-pelan aja. Tapi... entah kenapa,
aku punya perasaan... Bang Pram itu bukan cuma bisa nyembuhin."
 
Steven:
"Maksud lo?"
 
Adinda:
"Aku nggak tahu. Tapi dia bikin orang ngerasa... hidup
lagi."
 
Pagi itu, matahari belum tinggi, tapi Togar sudah sibuk
mondar-mandir di depan rumah.
 
Togar:
"Pram, udah siap, kan? Gue mau survei lahan di
Ciherang. Tapi jujur aja, gue butuh mata lo juga."
 
Pram:
"Survei aja kan..?"
 
Togar:
"Yah... begini. Lahan itu gede, deket aliran sungai,
dan katanya sering kejadian aneh. Warga sana bilang ada yang nggak beres. Gue
butuh pandangan... dari sisi gaib juga."
 
Pram: (senyum kaku)
"Aduh, Pak Togar... saya tuh bukan dukun. Saya nggak
bisa lihat yang begitu-begitu."
 
Togar:
"Justru itu,  gue
percaya. Aura lo itu adem, Pram. Yang lo sentuh langsung pulih. Lo mungkin
nggak sadar, tapi lo punya 'mata' yang nggak semua orang punya."
 
Pram: (ragu)
"Saya ikut, Pak... tapi jangan berekspektasi tinggi ya.
Saya cuma ikut bantu-bantu liat tanah, paling gitu aja."
 
Togar: (menepuk bahu Pram)
"Tenang. Yang penting lo ikut dulu. Kalo cocok biar
kita beli kupercayakan samamu "
 
---
[Berpindah ke rumah Adinda – suasana siang yang tenang dan
hangat]
 
Di dapur rumah sederhana itu, suara gelas dan piring
terdengar halus. Fitria duduk di meja makan, menyeruput teh hangat. Adinda
sedang memotong buah, dan ibunya, Bu Nur — seorang ustadzah yang kharismatik
tapi ramah — sedang menyetrika sambil nimbrung.
 
Fitria:
"Din, itu beneran? Silvie sembuh gara-gara sentuhan
satu orang aja?"
 
Adinda:
"Iya, Kak. Aku liat sendiri. Badannya udah dingin,
pucat... tapi begitu Bang Pram nyentuh, Silvie langsung buka mata, bahkan bisa
ketawa."
 
Bu Nur: (berhenti menyetrika, ikut nimbrung)
"Yang mijet itu? Pram, ya? Aku juga denger dari Tiur.
Katanya langsung plong perutnya."
 
Fitria:
"Kak Tiur? Masa sih?"
 
Adinda:
"Iya. Mungkin kedengarannya aneh. Tapi aku ngerasain
sendiri... hawa dari Bang Pram itu... bikin tenang. Adem."
 
Bu Nur:
"Hmm... Umi jadi penasaran. Soalnya Umi belakangan ini
juga sering lemas. Badan kayak kosong. Suami Umi udah ngira Umi kena gangguan,
padahal Umi rasa cuma... hilang gairah."
 
Fitria:
"Umi kan masih muda, baru empat puluh empat..."
 
Bu Nur: (menarik napas panjang)
"Iya. Tapi rasanya... seperti ada yang menyedot energi.
Umi sampai mikir, ini bukan sekadar capek biasa."
 
Adinda:
"Makanya aku kepikiran juga, Kak. Bang Pram tuh mungkin
bukan sembarangan orang. Waktu dia mijet Silvie... itu beda. Kayak sentuhan
yang... menyentuh dalam banget."
 
Fitria: (perlahan)
"Aku udah capek nyoba ini-itu. Tapi kalau kamu
yakin..."
 
Bu Nur:
"Coba ajak dia ke sini. Nggak harus langsung ngobatin.
Ngobrol aja dulu. Umi pengen lihat sendiri orangnya."
 
Adinda: (menatap Fitria penuh harap)
"Kalau Kakak setuju... aku bisa coba atur ketemuan.
Pelan-pelan aja, nggak usah langsung ngomong soal... anak."
 
Fitria:
"Entahlah, Din. Tapi... mungkin aku memang harus nyoba
jalan lain."
 
Bu Nur: (menatap lembut)
"Kadang, yang tak masuk akal justru datang sebagai
jawaban. Kalau hatimu tenang saat dekat seseorang... itu bukan kebetulan."
 
Mobil SUV hitam itu terparkir di sisi jalanan berbatu. Angin
pegunungan Ciherang menyapu wajah, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang
belum dijamah aspal.
 
Togar:
"Ini dia, Pram. Lahan 2 hektar, deket sungai, udaranya
segar. Tapi warga bilang... angker. Makanya harga anjlok."
 
Pram: (menatap hamparan tanah yang hijau dan luas)
"Rumornya dari mana, Pak? Warga sekitar?"
 
Togar:
"Katanya dulu bekas tempat persembunyian zaman
penjajahan. Ada kuburan massal. Kata temenku juga fengsuinya buruk makanya di
tawarin ke aku."
 
Pram: (diam sejenak, lebih karena bingung harus jawab apa)
"Hm... saya sih nggak liat apa-apa, Pak. Tapi dari
posisi, ini tanah bagus banget. Deket aliran air, kontur tanahnya rata. Kalau
buat resort atau glamping, cocok."
 
Togar: (mengangguk-angguk)
"Lo yakin? "
 
Tepat saat Togar hendak lanjut ngobrol, ponsel Pram
bergetar. Nama Steven muncul di layar.
 
Pram: (angkat telpon, suara agak pelan)
"Steven, ada apa, Dek?"
 
Steven (di telpon):
"Bang, bisa ke rumah Adinda sekarang? Kakaknya lagi di
rumah, katanya pengen ngobrol soal sesuatu yang... penting."
 
Pram:
"Hah? Ngobrol? Sama siapa?"
 
Steven:
"Kak Fitria. Dia denger dari Adinda soal kejadian
semalam. Kayaknya tertarik sama... pengobatan abang."
 
Pram: (menoleh ke Togar, nyari alasan buat cabut)
"Aduh, Bang Togar... barusan Steven telpon. Saya
diminta ke rumah temennya. Katanya urgent."
 
Togar: (senyum maklum)
"Wah, ya udah. Tugas spiritual selalu lebih penting.
Tapi sebelum lo pergi... beli atau enggak nih, menurut lo?"
 
Pram: (ragu-ragu sebentar, lalu akhirnya bicara jujur)
"Kalau saya pribadi, saya beli, Pak. Lahannya bagus.
Justru karena orang takut, harganya jadi murah. Tapi prospeknya, besar
banget."
 
Togar: (tertawa kecil)
"Pram... lo ini ya. Sakti, beneran Ya udah, cabut aja
dulu. Doain aja tanah ini berkah."
 
Pram:
"Siap, Pak. Makasih pengertiannya."
 
 
---
 
[Adegan berpindah – Rumah Adinda, ruang tamu yang sederhana
tapi bersih, Fitria duduk menanti sambil menggenggam gelas teh]
 
Adinda: (dari dapur, setengah berteriak lembut)
"Dia otw, Kak. Barusan aku telpon Steven, katanya Bang
Pram udah di jalan."
 
Fitria:
"Aku... agak deg-degan, Din. Takut kecewa sih,
sebenarnya."
 
Adinda: (muncul sambil bawa cemilan)
"Tenang aja. Bang Pram tuh bukan orang yang suka
janji-janji. Dia malah lebih sering diem... tapi yang disentuhnya, jadi
sembuh."
 
Fitria: (tersenyum simpul)
"Kadang... aku capek disuruh sabar. Disuruh pasrah.
Tapi makin pasrah... makin kosong rasanya."
"Mungkin ini jalannya, Kak. Atau... setidaknya langkah
baru. Siapa tahu."
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Keluhan Membuka Jalan
3
0
Buat yang Suka Cerita2 saya  Mau yang Murah Meriah Muncrats ?  Gabung ke Paket  “ Sobat Lendir Kental ” Hemat Bangets
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan