Surat Cinta dari Tetangga untuk Suamiku (Free: Bab 1)

4
0
Deskripsi

Bagai ditusuk ribuan jarum, nyeri terasa, dada Alin kembang kempis saat membaca surat yang ditujukan untuk sang suami. Haruskah dia melepaskan atau lebih baik mempertahankan?

Simak ceritaku, yuk.

Mampir cerbungku yang sudah tamat, yuk.

  1. Menikahi suami sahabatku (best seller)
  2. Jodohku Pak Dosen
  3. Jodohku Pak Dokter
  4. Dosen itu mantanku
  5. Terjebak cinta CEO duda
  6. Runaway
  7. Sekantor dengan mantan
  8. Rahasia suamiku
  9. Kencan Palsu (ongoing)

Selamat datang di dunia imaginasi DLista. Semoga suka dengan ceritaku kali ini. Happy reading.


 

BAB 1

 

"Mbak Alin, ada titipan surat dari Mbak Mira untuk Mas Tulus," kata Pak Rahmat tetangga sebelah. Alin mengernyitkan dahinya heran. Kenapa Mira tidak memberikan secara langsung saja atau bahkan bicara langsung seperti biasanya. Alin merasa ada yang aneh.

"Terimakasih, Pak." Alin memasuki rumah setelah punggung Pak Rahmat tak terlihat.

Hari ini rumah Alin memang tak berpenghuni. Tulus suaminya pagi-pagi sudah mengantarkan Cici putri semata wayangnya ke sekolah dasar yang berjarak sekitar dua kilo dari rumahnya. Setelah mengantar ke sekolah, Tulus tidak langsung pulang, tetapi memilih berkelana memasukkan lamaran kerja. 

Alin merasa debaran jantungnya meningkat. Pikirannya berkelana, ada apa sebenarnya. Dibaca lekat-lekat surat itu setelah Alin mendaratkan tubuhnya di kursi kayu di ruang tamu. Rumahnya minimalis, ruang tamu hanya berisi kursi kayu lengkap dengan mejanya. Seperangkat barang itupun bukan dibeli baru, melainkan beli bekas karena dijual murah oleh juragan tempatmya bekerja.

Teruntuk Mas Tulus.

Hanya coretan tinta hitam singkat itu yang tertulis di amplop putih yang dipegang Alin sekarang.

Kata hatinya berperang. "Buka, enggak, buka, enggak." Alin berdiri lalu mondar-mandir dengan napas naik turun. "Haruskah aku membukanya." Kalau tidak dibuka, Alin merasa begitu penasaran. Ada hubungan apa antara Mira dengan suaminya. Sejak kapan mereka surat menyurat. Bukankah berkirim pesan lewat ponsel saja lebih efektif. Tanya itu yang kini menari-nari diotak Alin. 

Tanpa berpikir panjang, Alin segera menyobek bagian tepi amplop. Dia membuka dengan hati-hati dan membaca dengan seksama.

"Mas Tulus, tolong nikahi aku! Sekarang aku mengandung anakmu. Aku tidak mau anak ini lahir tanpa ayah, seperti anak sulungku yang tidak mendapat kasih sayang seorang ayah."

Dari: Mira, wanita yang pernah menghangatkan hari-harimu.

 

Membaca kalimat akhir, Alin merasa dadanya bagai ditusuk ribuan jarum. Pun juga kepalanya bagai dihantam palu. Bisa-bisanya Mira tetangga dekatnya berusaha merebut suaminya. Sejenak badannya terasa terhuyung, Alin segera meraih kursi dan duduk kembali. Meremas kertas surat itu hungga tak berbentuk, Alin meraup oksigen berulang untuk memenuhi rongga dadanya yang sesak.

"Mas Tulus teganya kamu menghianati kepercayaanku. Namamu tidak mencerminkan perangaimu." Suara gemeretak gigi pun terdengar, Alin mengepalkan tangannya. Niat hati pulang awal dari tempatnya bekerja berujung mendapat kabar duka. Alin bekerja sebagai penjaga toko swalayan sembako lumayan besar milik Juragan Sastro. Dia pulang ingin mengambil bekal makan siangnya yang tertinggal di rumah. Sudah menjadi kebiasaan Alin untuk menghemat uang, dia membawa bekal daripada jajan di warung makan. 

Keuangan keluarga kecilnya sedang surut mengingat suaminya baru saja kena PHK dari kantor penerbitan. Hidup di daerah ujung timur ibukota harus pandai-pandai mengatur keuangan. Tak pelak dia dan suami harus mengencangkan ikat pinggang untuk menstabilkan kondisi ekonomi rumah tangganya. Namun usahanya kini terasa dinodai oleh ulah sang suami. 

"Bu, boleh minta tolong jemput Cici? Biarkan dia menginap tiga hari di rumah ibu. Setelah itu, Alin akan menjemputnya."

"Memangnya ada apa, Lin?"

Alin yang merasa ibunya curiga, segera mencari alasan masuk akal.

"Pak Sastro kulakan banyak barang, Bu. Alin harus lembur, kasian kalau Cici diajak ke toko, bising soalnya." Alin merasa bersalah telah berbohong pada ibunya. Dia bukan tak sengaja, hanya saja menunjukkan masalah rumah tangganya justru akan menyakiti hati ibunya. Memilih menutupinya, Alin berharap bisa menyelesaikannya dengan tuntas bersama suaminya.

"Baiklah, Lin. Jam berapa Cici pulang sekolah?"

"Jam 11, Bu." Alin merasa lega, setidaknya tiga hari ini dia akan menyelesaikan urusan dengan suaminya tanpa didengar atau dilihat anaknya.

Alin merasa tenggorokannya kering setelah emosi yang memuncak di ubun-ubun. Dia menuang air putih dari teko dan segera menenggaknya habis. Baru sedetik meletakkan gelas di meja, terdengar suara motor butut miliknya. Tepatnya dibeli dengan uangnya dan uang suami. Hanya satu motor dan satu sepeda mini untuk alat transportasi. Alin memilih naik sepeda saat bekerja supaya suaminya bisa leluasa memasukkan lamaran kerja.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Kali ini bukan suara lembut yang diucapkan Alin, melainkan nada ketus yang terdengar. Entah kenapa tiba-tiba Alin merasa jijik mendengar ucapan salam suaminya. Suami yang sudah dianggapnya sebagai laki-laki taat agama ternyata dibalik itu semua telah membawakan bencana untuk rumah tangganya.

"Lin, tumben pulang cepat?"

"Hmm," Alin bergeming di posisinya duduk di kursi.

"Lin, ada apa? Wajahmu suntuk begitu? Apa ada masalah di toko?"

Kedua tangan Tulus memijit pundak Alin. Bukannya merasa nyaman karena lelah yang berkurang akibat pijitan, melainkan napasnya kembang kempis seperti menyiapkan meriam yang ingin segera diledakkan.

"Lin." Sekali lagi Tulus membuyarkan lamunan Alin.

"Brakk!" 

Alin menggebrak meja bersamaan dengan surat yang sudah kucel karena diremasnya tadi.

"Apa ini, Lin?"

"Baca!" teriak Alin dengan nada tinggi. Tulus terhenyak, istrinya yang sabar luar biasa, bahkan lemah lembut tiba-tiba berubah bak singa yang mau menerkam mangsa.

"Surat apa?" Alin acuh berniat tak menanggapi.

Tulus membulatkan matanya sesaat setelah membaca surat yang dikirim Mira. Dia merobek-robeknya menjadi serpihan tak bisa terbaca lagi. Menghela napas panjang, Tulus sejenak diam. Seperti sudah sadar dengan kesalahannya.

"Lin, Tolong dengarkan penjelasanku dulu!"

Tulus berucap pelan dan halus berharap tak memicu kobaran api amarah istrinya.

"Lin!" Tulus mendekap tubuh Alin yang bergeming di tempatnya.

Tak ada pergerakan sama sekali, bahkan ucapannya pun tak ditanggapi. Alin justru meracau sendiri.

"Alin, Sayang. Maafkan, aku! Tolong dengarkan dulu penjelasanku. Kamu harus percaya padaku!" Detik berlalu menjadi menit,  tak ada yang berubah. Tulus tak berhenti membujuknya untuk mendengarkan penjelasan. Alin merasa semakin kacau karena suaminya tak reflek mengelak sama sekali. Hanya bulir bening yang mewakili hati Alin yang patah.

 

Dukung ceritaku,yuk. Nantikan next episode ya. Rencana nggak panjang2 babnya kecuali khilaf. hehe.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sambal Pindang (Aku Cemburu)
18
9
Cerita mini tentang suami yang cemburu pada istri, karena mendapat panggilan dari teman lama mereka.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan