
Anggita Larasati kabur dari pernikahan karena mengira dijadikan istri kedua laki-laki seusia ayahnya. Siapa sangka kaburnya justru terdampar di rumah suaminya yang tak lain adalah anak dari laki-laki seusia ayahnya tadi.
Simak ceritanya yuk.
Jangan lupa Subscribe ya teman. Tinggalkan komentar dan lovenya biar penulis semangat. Terima kasih sudah mengikuti ceritaku.
Mampir juga ceritaku tamat lainnya, tak kalah menarik.
1. Menikahi Suami Sahabatku
2. Jodohku Pak Dosen
3. Jodohku Pak Dokter
4. Terjebak Cinta CEO Duda
5. Sekantor dengan Mantan
6. Rahasia Suamiku
7. Dosen itu Mantanku
Jangan lupa subscribe dulu sebelum membaca ya teman-teman. Semoga menghibur dan bermanfaat. Happy reading
🍁🍁🍁🍁🍁
Bab 1 Malam Pertama
Di sebuah kamar yang sengaja dihias sebagai kamar pengantin, seorang laki-laki gagah dan berwajah tampan tengah memandang sepucuk kertas yang terletak di atas meja terselip di bawah vas bunga. Dibuka kertas putih berhiaskan tinta hitam itu, lalu dibacanya dengan seksama.
Maafkan saya tidak bisa menjalankan tugas sebagai istri. Izinkan saya pergi!
Meremas kertas hingga tak berbentuk, laki-laki itu menggertakkan giginya, membuat rahangnya mengeras. Kedua tangan terkepal hingga buku-bukunya memutih. Rasa panas di dada pun menyeruak.
"Kurang ajar, jangan sebut namaku Bintang Lazuardi Atmaja jika aku tidak bisa menghancurkanmu!"
Pernikahan ini memang bukan keinginannya, tetapi atas inisiatif kedua orang tuanya yang ingin membalas budi kebaikan mertuanya yang kini sedang dalam kondisi ekonomi terpuruk.
Bukan ini yang diharapkan Ardi sapaan akrabnya, istrinya telah menginjak-injak harga dirinya. Hati kian memanas, tak ada ampun bagi orang yang sudah mempermalukannya dengan meninggalkannya sendiri di malam pertama.
"Sampai ke ujung dunia, aku akan mencarimu dan membuatmu berlutut di hadapanku." Seringai licik tercetak di wajah Ardi yang telah merangkai siasat untuk membalas perbuatan wanita berstatus istri belum ada 24 jam itu.
Nama yang diberikan kedua orang tuanya sangat indah, tetapi tidak dengan perangainya. Sejak kuliah di luar negeri, Ardi menjadi anak liar dan susah diatur orang tuanya. Ayah ibunya menikahkannya dengan Anggita dengan harapan perangainya bisa berubah menjadi lebih baik. Tak disangka justru Anggita menorehkan luka yang semakin dalam pada Ardi.
*****
"Saya terima nikahnya Anggita Larasati binti Amran dengan mas kawin tersebut di atas dibayar tunai."
"Saksi, apakah sah?"
"Sah."
"Alhamdulillah."
Suasana haru mengiringi doa yang diucapkan setelah akad nikah. Kebahagiaan dirasakan keluarga Pak Amran yang derajatnya mulai sedikit terangkat. Namun tidak dengan putri sulungnya yang berperan sebagai mempelai wanita. Gadis berparas rupawan, hidung bangir dan bulu mata lentik itu tengah murung. Meski berbalut kebaya putih dengan bawahan kain jarik serta sanggulan rambut sederhana membuatnya tampak mempesona, tetapi tidak dengan hatinya. Rancangan demi racangan telah dirajut di otaknya. Bagaimanapun dia tidak menginginkan pernikahan ini. Dia ingin sekuat tenaga melarikan diri. Akad nikah berlangsung di ruangan yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Kedua mempelai bahkan tidak ada inisiatif saling bertatap muka karena sedari awal mereka tidak menginginkan acara ini.
Bahkan Gita sendiri belum tau dan tidak mau tahu siapa suaminya. Menghafal namanya pun tidak ada dalam pikirannya. Yang dia tahu suaminya adalah laki-laki bernama Atmaja, sudah punya istri dan anak sepuluh tahun lebih tua darinya.
Artinya Gita akan menjadi istri kedua dan sekaligus ibu tiri untuk anak usia 28 tahun.
"Yang benar saja? Ini sungguh gila. Aku harus kabur malam ini. Tapi kemana?"
Sibuk sendiri tanpa mempedulikan acara, Gita mencari Desi adiknya yang masih menginjak kelas 1 SMP.
"Desi, apapun yang terjadi jangan bilang siapa-siapa kalau kakak kabur ya! Ini demi kebaikan keluarga kita. Kakak ingin merubah hidup kita menjadi lebih baik. Kamu tidak mau membiarkan kakak terjebak pernikahan dengan orang yang sudah beristri, bukan?"
"Tapi, Mbak? Mbak Gita mau pergi kemana?"
"Mbak belum tahu, yang penting jauh dari rumah."
"Mbak yakin tidak apa-apa?
"Tidak ada waktu lagi, Des. Kamu cukup membawa tas ini dan minta tolong Toni untuk menungguku di gardu ronda. Mbak yakin dia mau menolong."
Desi mengangguk setuju, karena tidak tega dengan kakaknya yang bisa jadi akan menderita kalau menuruti pernikahan itu.
Selepas Isya, Gita sudah berhasil keluar dari rumahnya bertemu Toni teman SMAnya.
"Ta, kamu sudah berani mengambil resiko. Gimana kalau suamimu tidak terima?"
Deg,
Gita tidak berpikir sampai sejauh itu. Suaminya sudah punya keluarga pastinya tidak akan mengejarnya. Untuk apa mengejar anak ingusan yang hanya punya ijazah SMA.
"Ton, aku mau ke Yogya. Ela punya saudara di sana. Tolong rahasiakan semua ini ya. Aku mohon! Aku mau kuliah, semua berkas sudah aku bawa. Kalau kamu ke Yogya tolong kabari aku dan bantu mendaftar ya!"
"Ya, Ta. Apapun yang kamu perlukan pasti aku bantu. Hati-hati di jalan, jaga dirimu baik-baik!"
Perjalanan Karanganyar ke Yogya Gita tempuh dengan naik bis. Transportasi ini paling aman dari jejak yang mungkin bisa dilacak suaminya.
"Ah, suami, bahkan aku tidak tahu wajah suamiku. Namanya pun hanya nama belakang yang aku tahu. Aku tidak salah bukan, demi menghindari status istri kedua lebih baik aku kabur mengejar mimpiku."
Gita memantapkan niatnya dan bertekad meraih impiannya memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya.
Berbekal uang tabungan seadanya dan baju-baju secukupnya, Gita sudah berada di dalam bis jurusan Solo-Yogya.
Butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk sampai di terminal Giwangan.
Dia segera menghubungi Ela sahabatnya yang sedang tinggal di rumah tantenya.
"El, aku hampir sampai terminal. Bisa jemput aku di gerbang masuk terminal! Nomer ini segera aku nonaktifkan, kawatir terlacak. Aku nanti hubungi kamu pakai nomer baru."
"Ya, Ta. Tunggu di sana! Jangan kemana-mana!"
Gadis bercelana kulot dengan kaos motif floral dan berhijap instan tengah berdiri di gerbang masuk terminal setelah turun dari bis yang baru saja ditumpanginya. Jaket jeans yang melekat ditubuhnya mampu menghalau dinginnya udara Yogya di malam hari. Suasana tambah mencekam saat dua orang bermuka garang menghampirinya.
"Mau kemana, Neng?"
Gita bergidik ngeri, jam sudah menunjukkan angka 10 kurang lima belas menit, tetapi Ela belum juga sampai.
Dua laki-laki berwajah preman mendekat, membuatnya beringsut mundur. Tangan salah satunya meraih pundak Gita membuat gadis itu gemetaran.
Tanpa pikir panjang, berlari adalah satu-satunya jalan keluar.
"Hei, mau kemana? Ayo kejar dia! Jangan sampai lolos! Kita akan bersenang-senang dengannya," ucap salah satu laki-laki berambut gondrong. Gita semakin mempercepat langkahnya, bahkan sekuat tenaga berlari tanpa tujuan. Pikirnya yang penting menjauh dari dua orang bermaksud menggodanya.
"Dimana gadis itu? Pasti nggak jauh dari sini."
"Ya Rabb, inikah balasan atas perbuatanku meninggalkan suami. Sungguh ini awal kemalanganku. Tolonglah hamba-Mu ini!"
Prank,
Suara benda jatuh tak sengaja tersenggol Gita yang sedang bersembunyi di dekat tong sampah besar.
"Itu, dia. Tangkap, kak!"
"Mau kemana kamu gadis cantik? Ayo kita minum-minum dulu!"
Andai bisa beladiri, Gita pasti akan menghajarnya sekarang. Namun itu hanya dalam mimpinya.
"Jangan mengganggu wanitaku! Pergi dari sini!" Bentakan laki-laki tinggi besar membuat dua preman tadi kocar kacir.
"Terimakasih, Pak."
"Tak masalah, kamu mau kemana? Ini sudah malam, ayo saya antar!"
"Saya dijemput teman di gerbang masuk terminal."
"Ya sudah, ayo!"
Gita menurut saja masuk ke mobil sedan warna hitam. Tak terbesit dia orang baik atau jahat, Gita menganggapnya sebagai dewa penolong.
"Minum dulu, biar kamu tenang!" perintahnya.
Namun prasangka baiknya terpatahkan. Kenapa butuh lama untuk sampai gerbang terminal. Tiba-tiba mobil ditepikan di daerah jauh dari pemukiman. Rasa curiga Gita terbukti, laki-laki yang disangka dewa penolong memandangnya penuh seringai.
Pandangan Gita tiba-tiba sedikit kabur. Dia memegang kepala yang mulai terasa pening.
"Kenapa kepalaku pusing sekali."
Tangan laki-laki itu mulai menggerayangi tubuh Gita.
"Jangan, Pak! Tolong lepaskan saya!"
"Kamu pikir aku menolongmu dengan sukarela? Jangan mimpi! Di dunia ini tidak ada yang gratis."
"Ampun, Pak!" Gita memohon belas kasihan dengan sisa tenaganya. Namun sang pelaku tak berhenti melakukan aksinya.
Masih dengan sisa kewarasannya, Gita meraih parfum mobil, lalu menyemprotkan ke wajah lawannya.
"Aargh, wanita sial*an."
Buru-buru Gita meraih gagang pintu mobil dan berusaha kabur.
Namun badannya tak mampu berdiri tegak, pandangan pun seketika menjadi gelap.
Brukk.
Bab 2 Tempat Asing
Masih dengan sisa kewarasannya, Gita meraih parfum mobil, lalu menyemprotkan ke wajah lawannya.
"Aargh, wanita sial*an."
Buru-buru Gita meraih gangang pintu mobil dan berusaha kabur.
Namun badannya tak mampu berdiri tegak, pandangan pun seketika menjadi gelap.
Brukk,
"Hai, bangun! Ckk, menyusahkan saja."
*****
"El, mana temanmu? Sudah satu jam kita di sini nggak tampak juga batang hidungnya."
"Iya, Om, Maaf. Ponselnya nggak bisa dihubungi juga,nih. Gimana kalau terjadi apa-apa sama Gita, Om?"
"Ishhh, jangan berprasangka buruk dulu! Bisa jadi dia ada saudara di sini?"
"Nggak ada sama sekali, Om. Bahkan kenalan juga enggak punya."
"Mau nunggu berapa lama lagi? Kasihan tante sendirian di rumah menjaga baby yang lagi demam."
Perasaan bersalah menyelimuti Ela. Antara tak tega meninggalkan Gita juga tak enak dengan keluarga tantenya.
"Ya sudah, Om. Semoga saja Gita tidak kenapa-kenapa. Jangan-jangan suaminya membuntuti."
"Apa katamu?"
"Ah, tidak ada, Om. Mungkin dia memang minta dijemput saudaranya karena kita sedikit terlambat."
Ela tidak berani bercerita kalau Gita baru saja kabur dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Bisa-bisa om-nya menilai Gita bukan wanita baik-baik karena mengabaikan suami.
"Bintang, yang sabar, Nak! Mama nggak apa-apa kalau kamu nggak mau nerima istrimu. Tapi jangan sakiti dia! Mungkin dia belum siap." Hanya mamanya yang memanggil dengan sebutan Bintang sejak kecil tanpa mendapat balasan kemarahan Ardi. Kalau orang lain yang memanggil, Ardi pasti sudah murka, bahkan jika orang itu papanya.
"Ar, tolong cari dia! Kasihan ayah ibunya," titah sang papa.
"Aku pasti akan mencarinya sampai ketemu, Ma, Pa."
Lihat saja apa yang akan aku lakukan padanya.
Dua jam yang lalu.
Ardi menghadang seorang laki-laki bernama Toni yang merupakan sahabat Gita.
"Kamu temannya Gita, bukan?"
"Be...benar, Masnya siapa, Ya?" Toni menjawab terbata saat ditanya Ardi dengan muka dingin.
"Saya Bintang Lazuardi suami Anggita Larasati."
Toni membelalak tak percaya. Bagaimana bisa orang ini suami Gita. Katanya suaminya namanya Atmaja, sudah beristri dan punya anak. Kenapa yang ini masih seumuran kakaknya. Apa jangan-jangan ini anak tiri Gita.
"Kamu dengar saya!"
Lamunan Toni dibuyarkan oleh bentakan Ardi.
"Ma ...maaf, Mas. Tapi suami Gita."
"Tidak perlu basa-basi, katakan dimana Gita?"
"Saya tidak tahu."
"Perlu saya laporkan polisi kalau kamu membawa kabur istri orang?"
"Hah,saya tidak membawa kabur."
"Ya, hanya membantunya kabur, bukan?"
"Cepat katakan dimana Gita atau nama baikmu tercemar dalam hitungan menit!"
Tangan Ardi sudah mencengkeram kerah Toni yang tubuhnya gemetaran. Sejatinya dia tidak benar-benar takut dengan sosok di depannya. Dia justru takut kalau kakaknya tahu kelakuannya. Kakaknya pasti murka dan berimbas akses keuangannya dibekukan.
"Hmm, Gita pergi ke Yogya."
Ardi terbahak membuat Toni heran.
"Bagus, akan mudah bagiku menemukannya."
"Tolong jangan sakiti dia! Gita melakukannya karena terpaksa. Dia ingin kuliah untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya."
"Punya hak apa kamu? Aku suaminya. Jangan coba-coba ikut campur urusan kami!"
Ardi berlalu meninggalkan Toni yang terpaku karena merasa bersalah telah mengingkari janjinya pada sahabatnya.
"Maafkan aku, Gita! Aku harap hidupmu tenang dan bahagia," lirihnya seraya menunduk.
*****
Fajar menyingsing menelisik sebuah kamar dengan korden sedikit terbuka sinarnya menyilaukan mata membuat sang empunya bangun dan beberapa kali mengerjap.
Saat menyadari dirinya tidak berada di kamarnya, Gita terlonjak kaget. Dia meraba pakaiannya masih lengkap bahkan jilbabnya masih melekat, artinya tidak terjadi apa-apa semalam.
Dipijitnya pelipis untuk mengurangi pusingnya yang masih tersisa.
"Sudah bangun?"
Laki-laki ini siapa? Jelas bukan yang semalam mau melecehkan aku, juga bukan salah satu dari dua preman.
"Tuan siapa? Bagaimana saya bisa ada di sini?"
"Namaku Revando Saputra, panggil saja Revan. Aku menemukanmu tergeletak di pinggir jalan. Sepertinya kamu keluar dari sebuah mobil yang tidak jauh dari lokasi. Karena tidak ada yang mencarimu, lalu aku membawamu kemari."
Syukurlah ada yang menolongku semalam.
"Izinkan saya sholat subuh dulu, saya benar-benar sudah kesiangan."
Deg, Revan kebingungan. Baru kali ini dia tersentil. Biasanya pacarnya kalau menginap di rumah tidak mengingatkan kewajiban seorang muslim itu.
"Saya hanya punya sajadah, tetapi lupa naruhnya," ucap Revan malu-malu. Sebenarnya dia sudah lama tidak melaksanakan kewajibannya kepada Rabbnya. Apakah ini teguran untuknya, batinnya.
"Maaf sudah merepotkan Tuan Revan. Saya hanya perlu air untuk berwudhu."
Selesai sholat Subuh, Gita memilih keluar kamar karena merasa kurang nyaman hanya berdua saja, siapa yang tahu mereka bisa saja terjerumus oleh bisikan setan.
"Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih Tuan."
"Jangan panggil tuan, Revan saja! Siapa namamu? Dimana kamu tinggal?"
"Nama saya Laras, baru lulus SMA. Saya di Yogya mau cari kerja. Semalam ada teman mau jemput di terminal, tetapi ada preman yang ingin berbuat jahat pada saya."
Aku tidak berbohong bukan, Laras juga bagian dari namaku. Setidaknya sekarang aku perlu berhati-hati dengan orang asing. Aku tidak mau kena tipu muslihat lagi.
"Lalu kenapa kamu sampai pingsan di jalan?" Revan mendaratkan pant*tnya di sofa berseberangan dengan duduk Gita.
"Apa setelah aku cerita, kamu mau membantuku, Van?"
"Tergantung ceritamu."
Gita mendesah mendengar keraguan Revan.
"Ada laki-laki pemilik mobil sedan datang menolong dan berniat mengantar sampai gerbang terminal. Siapa sangka dia justru minta pamrih dan turut melecehkanku. Dia menawariku minum dan setelahnya aku sedikit pusing. Berusaha melarikan diri, aku hanya memegang ponsel. Baju dan uangku tertinggal di mobil."
"Malang sekali nasibmu Laras. Apa kamu juga percaya kalau aku orang baik-baik? Bisa jadi aku juga meminta pamrih karena telah menolongmu," ucap Revan dengan senyum menggoda.
"Tuan Revan, saya tidak punya uang. Saya bisa membalas kebaikan anda. Izinkan saya jadi pelayan di rumah ini!"
"Sudahlah jangan formal begini, aku suka gaya bicaramu yang santai tadi."
"Tapi, Van?"
"Nggak ada tapi. Aku senang aja kamu menjadi pelayanku kebetulan ART lagi cuti pulang kampung. Hanya saja pacarku bisa cemburu kalau kamu tinggal di sini."
Gita menunduk sedih karena Revan tidak mungkin menampungnya. Mendapatkan sesuatu yang kita harapkan memang tidak semudah membalikkan tangan. Perlu usaha dan doa pada Rabb pemilik segalanya.
Gita mengucap doa dalam hatinya. Semoga suaminya tidak mengutuk kepergiannya hingga banyak aral melintangi jalannya.
"Maafkan aku, Mas! Setelah aku mendapatkan kerja, pasti aku akan bersujud minta maaf padamu."
"Kamu jangan bersedih, aku ada ide. Bagaimana kalau kamu bekerja di tempat sahabatku saja. Dia pasti mau menampungmu. Tidak ada wanita yang cemburu kalau kamu tinggal disana karena dia tinggal sendiri ditemani satu ART seusia ibunya dan seorang satpam."
"Halo, Ar. Bisa tolong aku, ada saudara jauh datang dari kampung mau cari kerja. Biarkan dia kerja jadi ART di rumahmu."
"Kamu gil* ya? Rumahku bukan tempat penampungan, aku sudah punya Bi Irah cukuplah."
"Ayolah, Ar! Dia hanya lulusan SMA butuh pekerjaan. Kalau dia sudah punya keterampilan biar keluar dari rumahmu. Sebagai gantinya aku traktir minum besok malam."
Gita hanya menelan ludah, apakah Revan dan laki-laki di seberang sana tukang minum-minum. Bagaimana nasibnya kalau itu benar. Berbagai tanya melintas di benaknya.
"Baiklah kalau kamu memaksa."
Terdengar desah kesal dari seberang membuat Revan sedikit tertawa.
"Yes, berhasil. Besok aku antar kamu ke tempat Ardi."
Wajah Gita turut berbinar. Allah baru saja mendengar doanya. Pantang untuknya berputus asa. Dia harus berjuang demi keluarganya dan tentunya kembali pada suaminya untuk meminta maaf.
"Ingat pesanku, Ras! Jangan mencoba menggoda sahabatku! Dia baru saja menikah kemarin."
Deg,
Bab 3 Layani aku
Wajah Gita turut berbinar. Allah baru saja mendengar doanya. Pantang untuknya berputus asa. Dia harus berjuang demi keluarganya dan tentunya kembali pada suaminya untuk meminta maaf.
"Ingat pesanku, Ras. Jangan mencoba menggoda sahabatku! Dia baru saja menikah kemarin."
Deg,
Menikah? Kemarin? Mendengar kalimat itu membuat dada Gita nyeri. Rasa bersalah menyeruak dan menyesakkan. Tak ingin menjadi bulan-bulanan hidup dalam kubang kesalahan, Gita selalu meminta maaf dalam hati pada suaminya.
Dia ingat pesan ayahnya.
Ridho Allah tergantung ridho suaminya.
Kenapa baru sekarang logikanya jalan, kemana kemarin saat dia sedang dilanda kerisauan.
Gita bergidik ngeri, rasa takut mendapat murka suami bahkan murka Allah mendadak menghantuinya.
"Ada apa, Ras?" Revan heran melihat Gita yang diam dan melamun.
"Eh, tidak, Van. Aku hanya bingung karena cuma ini yang aku punya." Gita menunjukkan ponsel yang dipegangnya. Tas berisi baju dan uang masih tertinggal di mobil laki-laki brengsek semalam.
"Tenang saja, nanti aku minta Melia mengantarmu beli baju dan keperluanmu."
"Melia?"
"Dia pacarku, lebih tepatnya calon istriku. Tapi aku tidak tahu kapan kami siap menikah. Sudahlah, kita tidak perlu membahasnya." Ada gurat kesedihan di wajah Revan yang tertangkap oleh Gita.
"Tapi, Van? Aku sudah merepotkanmu"
"Tidak masalah, anggap saja seorang kakak sedang menolong adiknya."
"Baiklah, terima kasih banyak, Van."
"Ya."
"Siapa gadis ini, Van? Kamu mau terang-terangan selingkuh dariku?"
Seorang wanita cantik bergaun seksi dengan rambut panjang yang indah tergerai memasuki rumah Revan.
Gita dibuat terkejut karena keberadaannya menimbulkan pertengkaran diantara keduanya.
"Tenanglah dulu, sini aku ceritakan semuanya, Mel." Revan sudah membungkam mulut Melia supaya berhenti bicara.
Sungguh mereka melakukannya di depan Gita yang masih polos. Mata Gita seakan-akan ternodai pandangan yang baru saja disuguhkan sepasang anak Adam dan Hawa. Memilih memalingkan muka, Gita dibuat canggung karena melihat adegan nyata secara langsung.
"Eh, maaf, Ras. Kamu masih dibawah umur, ya?" ledek Revan membuat Gita jengah.
Melia segera duduk di sofa menempel Revan.
"Memangnya umurnya berapa? Belum pernah lihat orang berciuman?"
Gita menggelengkan kepala, bukan tidak pernah melihat. Di film-film juga mempertontonkan begitu, tetapi Gita sedikit terhenyak. Mereka bukan suami istri kan. Kalau mereka sudah terikat hubungan halal justru melakukannya akan bernilai ibadah.
Tak mungkin juga Gita menegurnya seperti pesan guru agamanya. Siapa dia, hanya orang asing yang sudah ditolong justru dengan berani mau mengguruinya.
"Kenalkan ini Melia, Ras. Mel, ini Laras saudaraku jauh dari kampung lereng gunung Lawu Karangnganyar. Entah kenapa tiba-tiba Revan meyakinkan dirinya mengaku Laras sebagai saudaranya.
Laras tersenyum mendengarnya.
"Laras, Mbak."
"Melia."
Keduanya bersalaman sesaat dengan senyum tulus terlukis di wajah Gita, tetapi sebaliknya senyum masam yang ditunjukkan Melia.
"Kamu jangan coba-coba menggoda Revan!"
"Ishh, nggak usah cemburu, Mel. Dia tidak mungkin tertarik dengan laki-laki sepertiku. Sudah sarapan belum?" Kalimat tanya yang disertai kedipan mata memiliki arti lain bagi Melia, sedangkan Gita hanya mengernyitkan keningnya.
Melia yang cemberut berhasil tersenyum dengan rayuan Revan.
"Mau di sini atau seperti biasa?"
Revan mengangkat alisnya, sementara Melia menoleh dan melototkan matanya.
"Di kamar saja."
"Ras, tunggu di sini ya! Jangan kemana-mana! Sepuluh menit, eh tidak paling lama tiga puluh menit."
Aww,
Melia sudah mencubit pinggang Revan hingga mengaduh. Gita hanya tercengang melihatnya.
Sarapan? Di kamar? Sepuluh sampai tiga puluh menit? Astaga, apa yang ingin mereka lakukan di kamar. Pikiran Gita sudah melanglang buana. Tubuhnya meremang, mengetahui keadaan sesungguhnya dunia luar.
Sejauh ini, dia hanya bergaul dengan Toni dan Ela tentunya yang lurus-lurus saja. Bukankah berteman itu bisa dengan siapapun, hanya saja berteman dengan orang yang baik atau buruk ada peluang kita mengikuti perangainya. Perlu selektif dalam memilih teman yang bisa menjadikan kita lebih baik atau justru semakin buruk.
Bergegas ke dapur, Gita tak mau berkutat dengan prasangka buruk. Melintasi kamar yang tertutup pintunya, terdengar jelas suara desahan wanita dan pria. Entah apa yang mereka lakukan di dalam, Gita hanya meneguk ludahnya seraya meraba tubuhnya yang merinding kaku.
"Astaghfirullah. Apa mereka melakukan itu? Revan menganggapku adik, mungkin suatu saat aku akan menegurnya, tidak sekarang, bisa-bisa aku diusir dari sini. Selama aku dekat dengannya yang sudah membantuku, aku akan berusaha mengajaknya bertaubat."
Sebaik-baik manusia adalah yang bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang dilakukan. Sehingga tidak ada dosa yang tidak diampuni Allah sebesar apapun itu. Karena Allah merupakan Maha Pengampun kepada siapa saja umatNya yang bertaubat. Bertaubat dalam artian tidak akan mengulangi lagi kesalahannya dan bersungguh-sungguh untuk kembali ke jalan yang diridhoi Allah.
Setengah jam berlalu, bahkan lebih dari yang dijanjikan Revan untuk Gita menunggu. Selama itu, Gita sudah selesai berperang dengan spatula dan teflon hingga tersaji beberapa menu makanan di meja. Revan dan Melia keluar dari kamar yang pintunya sempat tertutup. Tampak rambut basah menghiasi kepala dua insan yang sedang di mabuk asmara. Apa yang mereka lakukan sudah mengabaikan dosa yang harus dipertanggung jawabkan.
Revan melihat Laras mengenakan celemek yang biasa dipakai ARTnya. Senyum tersungging di bibirnya, lebih tepatnya dia menahan untuk tidak tertawa.
"Duduk dulu, Mel!"
Revan menggeser kursi bersebelahan dengan Melia.
"Sepertinya masakanmu lezat, Ras."
"Coba saja dulu! Semoga enak."
Senyum terlukis di wajah Laras, sementara wanita yang di samping Revan tampak cemburu dengan pujian yang diberikan tuan rumah untuk Laras.
Drrt,
Dering ponsel terdengar memaksa Revan kembali ke kamar.
"Halo. Gimana?"
"Barangnya ketemu, Pak."
"Bawa ke rumah Bos Ardi sekalian kita ketemu di sana saja!"
"Siap, Pak!"
"Ras, barang-barangmu sudah ketemu," teriak Revan dari arah kamarnya
"Benarkah? Alhamdulillah. Siapa yang menemukan, Van?"
"Anak buahnya Ardi."
"Oh, terima kasih banyak, ya."
"Nantilah, terima kasih sama Ardi."
"Kalau masih butuh barang-barang lainnya biar ditemani Melia belanja. Iya kan, Mel?"
Melia menampakkan wajah tak suka dengan keakraban pacarnya dengan wanita lain yang jauh lebih muda darinya.
"Ayolah, Mel! Anggap saja dia calon adik iparmu."
"Iya, iya," jawab Melia seraya memutar bola matanya jengah.
Gita mencoba tersenyum meski terpaksa.
*****
"Ini Pak barangnya."
"Terima kasih. Mana bosmu?" Revan menyerahkan tas milik Gita yang diterima oleh sang empunya dengan suka cita.
"Aku di sini. Mana orang yang mau ditampung? Mel, kamu nggak cemburu siapa tahu itu simpanan Revan," cibir Ardi.
"Sembarangan. Ini kenalkan Laras! Ras, ini Ardi calon majikanmu."
"Laras." Gita mencoba mengulurkan tangan, tetapi tidak mendapat balasan.
Hanya deheman yang diberikan hingga memaksa Gita menarik kembali tangannya ke pangkuan. Malu bercampur aduk dengan takut melihat aura dingin yang ditunjukkan calon majikannya. Memilih menundukkan wajahnya, Gita takut melihat mimik majikannya. Tampan iya, memiliki rahang tegas juga badan atletis pastilah dia rajin berolahraga.
"Astaghfirullah, jaga pandangan Gita," batinnya.
"Karena kamu sudah menyerahkan wanita ini untukku berarti aku berhak melakukan apa saja padanya, kan?" seringai licik ditunjukkan Ardi pada Revan.
"Terserah kamu," ucap singkat Revan membuat Gita tercengang.
"Tapi, Van," protes Gita seraya menautkan jari jemari di pangkuannya. Namun Revan cuma menganggukkan kepala meyakinkan Gita aman tinggal di rumah Ardi.
"Layani aku dengan baik, kamu akan mendapat bayaran yang pantas!" Ardi menatap tajam mata indah Gita, membuat gadis manis itu tersentak.
"Layani?"
Bab 4 Air mata ibu
"Layani aku dengan baik, kamu akan mendapat bayaran yang pantas!" Ardi menatap tajam mata indah Gita, membuat gadis manis itu tersentak.
"Layani? Maksudnya apa?"
Deg,
Ya Rabb, cobaan apalagi ini. Yang benar saja aku akan hidup seatap dengan manusia berperangai monster ini? Kelakuannya sepertinya lebih menyeramkan dari Revan.
"Jangan menakutinya, Ar!" larang Revan pada Ardi seketika meledakkan tawanya.
Bisa tertawa juga ternyata, batin Gita.
"Mel, pacarmu sudah ada tanda-tanda mencurigakan. Awasi dia!"
"Ckk, lama-lama bisa penat aku di sini. Ayo Sayang kita bersenang-senang saja! Baik-baik kamu di sini, Ras. Tolong jinakkan singa ini!"
Kini gantian Revan yang meledek Ardi membuat pemilik rumah bergaya modern itu melongo.
"Tunggu, Van! Terima kasih banyak, ya sudah membantuku. Aku berhutang budi padamu." Melia yang mendengar ucapan tulus Gita justru menatapnya sinis.
"Kedepan tidak usah merepotkannya lagi!" cegah Melia.
"Tidak masalah, cukup doakan saja aku awet bersama Melia!" ucap Revan seraya mengecup pipi mulus pacarnya hingga bersemu merah. Gita yang melihatnya hanya tersenyum kaku, ternyata mereka sudah biasa melakukannya di depan umum.
"Mudah-mudahan kalian segera bertaubat dan menikah!" ucap Gita dalam doanya.
Sepeninggal dua sejoli itu menyisakan Ardi dan Gita yang masih setia duduk di ruang tamu. Anak buah Ardi pun sudah melesat entah kemana.
Detak jantung Gita semakin bertalu-talu. Ditatap intens dari ujung kepala hingga ujung kaki membuat duduknya menjadi tak nyaman.
Melirik sekilas ke arah lawan, Gita segera menundukkan wajahnya saat matanya beradu dengan pemilik mata setajam elang yang duduk dihadapannya.
"Jadi, apa kamu sudah tidur dengan sahabatku?"
Gita tersentak mendengar pertanyaan gila yang dilontarkan majikannya. Memberanikan diri menatap wajah Ardi, Gita ingin berteriak tidak tetapi nyalinya sungguh menciut.
Aura dingin ditunjukkan majikannya dengan wajah penuh selidik masih menatap Gita.
"Apa kamu juga mau memberi pelayanan itu untukku, huh?" tegasnya membuat tubuh Gita meremang.
Benar saja dia lebih menyeramkan dari Revan.
"Ma...maaf, sesungguhnya saya takut."
Dengan tubuh masih gemetaran dan tenggorokan sedikit tercekat, air mata pun mengiringi ucapannya.
"Kamu sungguh takut?"
Tangan kanan Ardi sudah mencengkeram dagu runcing Gita. Wajah tanpa polesan itu aslinya memancarkan kecantikan alami jika dipandang dengan seksama. Bak berlian yang terlihat indah saat digosok.
"Saya takut sama Allah, saya belum pernah melakukannya dan tidak pernah mau melakukannya kecuali dengan suami saya."
Ardi tercengang dibuatnya. Sungguh ini tamparan pertama baginya. Gadis yang baru saja menjadi pelayannya justru dengan berani mengguruinya.
Sejatinya sudah lama dia melupakan Tuhannya. Lupa melaksanakan kewajiban seorang muslim.
Hampir sepertiga dari hidupnya dilewati dengan kesenangan dunia. Berkali-kali orang tuanya mengingatkan, tetapi dianggapnya sebagai angin lalu. Kini dengan beraninya ada sosok asing yang menyentilnya.
Menatap nyalang wajah ayu di depannya, begitulah perasaan dalam hati yang tidak bisa dipungkiri Ardi.
"Kita buktikan, apakah kamu bisa bertahan tinggal di rumah ini!" ucap sinis Ardi sambil melepaskan cengkeramannya.
"Saya berencana menjadi ART di rumah Tuan. Saya bisa bersih-bersih, mencuci dan juga memasak." Sedikit terbata Gita berusaha menjawab dengan mantap.
"Aku tidak butuh itu, semua sudah dikerjakan Bi Irah."
Ardi kembali mendekati Gita dan menguncinya dengan kedua tangan menopang di sofa.
Gita menyadari posisinya tak nyaman sedikit mundur hingga punggungnya membentur sofa.
"Tuan mau apa?"
Tubuh Gita masih gemetaran melihat wajah Ardi semakin mendekat hingga napas mereka beradu di udara. Parfum menyejukkan menyeruak menusuk hidung Gita.
Sungguh ini pasti parfum mahal. Aromanya begitu menggoda.
Astaghfirullah, kenapa aku justru mengagumi parfumnya. Jelas-jelas aku di depan singa yang siap menerkam, bisa-bisanya berpikiran konyol begitu, guman Gita dalam hati.
"Ternyata kamu masih polos, huh. Melihat penampilanmu saja tidak menarik sedikitpun. Jauh dibandingkan dengan Melia," ledek Ardi seraya beralu meninggalkan Gita yang masih terpaku.
"Alhamdulillah."
Sedikit lega, Gita menarik napas dalam dan mengelus dadanya.
Tersadar dari pikirannya yang berkelana, Gita segera menyusul Ardi.
"Tuan, apa yang bisa saya kerjakan sekarang?"
Ardi mendadak berhenti dan berbalik membuat Gita menabraknya.
"Aww. Ma...maaf Tuan."
Posisi Gita tak menguntungkan, kedua tangannya yang menyandar di dada bidang Ardi segera ditariknya.
"Kamu mau menggodaku?" seringai ditunjukkan Ardi membuat Gita beringsut.
"Tidak, Tuan."
"Bi Irah."
"Ya, Tuan."
"Tolong, siapkan kamar untuk dia di sebelah kamar Bibi!" titah sang majikan seraya menunjuk Gita.
"Baik, Tuan. Ayo Non, saya antar ke kamar!"
Wanita paruh baya itu menggandeng Gita. Seketika ingatannya terlempar pada wajah ibunya di kampung.
"Maafkan Gita, Bu! Nanti kalau sudah mapan, Gita hubungi."
Tak terasa cairan bening mengalir membasahi pipinya yang sedikit tirus.
Berada di kamar yang telah disiapkan Bi Irah, Gita merenungi nasibnya.
Terlempar ke masa lalu.
Esok hari, sepulang sholat Idul Fitri, Bu Hastuti segera menutup rapat pintu rumahnya.
Rasa kaget dan heran seketika menghinggapi kedua anaknya.
“Bu, kenapa pintunya ditutup?” tanya Desi dengan muka heran tak paham.
“Biar saja, Nak. Tidak akan ada yang datang ke sini. Kita sekarang jadi orang susah.”
Gita dan Desi memahami kegundahaan keluarganya. Hari lebaran yang biasa tertata kue kering di meja ruang tamu, opor ayam dan ketupat di meja makan, kini hanya menjadi bayangan semu. Tidak ada makanan khas lebaran yang bertengger di kedua meja itu membuat hati ibunya menjerit. Seketika Bu Hastuti mengusap air mata yang menetes di pipinya. Hal ini tak lepas dari pandangan Gita yang sedari tadi mencerna suasana.
Melihat Pak Amran ayahnya sedang beristirahat di kamar, entah benar-benar beristirahat atau sedang memutar otak memikirkan keluarganya. Menatap ibunya yang sedang menangis sungguh membuat hati Gita tersayat. Di saat tetangga sekitar berlomba-lomba menerima tamu, justru keluarga mereka bersembunyi dibalik pintu.
Sejak kondisi ekonomi terpuruk, keluarganya pun tersisih dari lingkungan. Bak bangkai yang ada disekitaran mereka yang dapat menimbulkan bau. Tak ada rasa simpati dari tetangga, mereka menganggap keluarga Pak Amran seakan tak ada. Rasa hati Gita ingin jauh membawa pergi keluarganya dari kampung.
Suara pintu dibuka membuyarkan lamunan Gita.
Tersentak itulah yang dirasakannya, majikannya mendapati dirinya yang sedang tafakur dengan hidup keluarganya. Isakan kecil tadi apakah dia mendengarnya. Malu dirasakan Gita seketika.
Memilih pura-pura mengusap wajahnya dengan jilbab kaos instan yang dipakainya.
"Kenapa? Meratapi nasib? Kalau ingin merubah nasib menjadi baik bukan di sini tempatnya," cibir Ardi.
"Maaf, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
Gita mencoba abai dengan apa yang dilontarkan sang majikan.
Tidak usah sakit hati dengan apa yang diucapkan, demi air mata ibu yang menetes setiap malam, aku akan bertahan.
Setidaknya itulah janji Gita yang tertanam dihatinya saat ini.
"Sebentar lagi wanitaku datang, kamu cukup di kamar. Kalau aku tidak memanggilmu, jangan pernah keluar. Jangan mencampuri urusan pribadiku, mengerti!"
"Apa istri Tuan yang datang?" tanya Gita dengan perasaan hati-hati.
"Diam! Jangan sebut kata yang aku benci."
Bentakan Ardi membuat Gita tergelak. Satu kesalahan telah dia buat hingga tuannya murka, mendekat dan mencengkeram bahunya.
Ya Rabb, jangan sampai Tuan Ardi mengusirku.
Bab 5 Ancaman
"Apa istri Tuan yang datang?" tanya Gita dengan perasaan was was.
"Diam! Jangan sebut kata yang aku benci."
Bentakan Ardi membuat Gita tergelak. Satu kesalahan telah dia buat hingga tuannya murka, mendekat dan mencengkeram bahunya.
Ya Rabb, jangan sampai Tuan Ardi mengusirku.
"Jangan sekali-kali menyebut kata itu di depanku! Mengerti!"
Tatapan Ardi menusuk tajam membuat Gita gemetaran.
"Ba...baik, Tuan."
Ardi berlalu meninggalkan Gita yang bergeming di tempatnya.
Gebrakan pintu kamar membuatnya tersadar lalu dia mengelus dada seraya beristighfar.
"Non, jangan membuat Tuan Ardi marah! Sabar ya kalau tinggal di sini!"
Wanita paruh baya yang bekerja sebagai ART menelusup ke kamar dan menghibur Gita.
"Iya, Bi. Apa tuan memang tempramennya begitu? Kalau marah seperti monster?"
"Tidak juga, Non. Malahan Tuan Ardi yang bibi kenal orangnya ramah. Sejak pulang dari rumah orang tuanya jadi sering emosi begitu."
"Tuan sudah menikah kan, Bi? Kenapa dia marah saat aku menanyakan istri karena ada wanita yang akan datang sebentar lagi."
"Bibi nggak tahu, Non. Istrinya belum pernah diajak ke sini. Kalau tentang wanita, Tuan Ardi memang beberapa kali mengajak wanita cantik dan seksi kemari. Kadang diajak minum-minum bersama Tuan Revan."
"Hah, Tuan Revan juga?"
Gita tercengang dengan fakta baru yang didapatnya dari Bi Irah.
Benar saja keduanya memang sudah biasa hidup di dunia gemerlap malam. Pantas saja Revan pernah bilang mau mentraktirnya minum.
Ya Rabb, rasanya aku ingin kabur saja dari sini, mencari Ela. Aku harus menghubunginya.
"Bi, Bi Irah." Terdengar teriakan Ardi yang menggema sampai ke telinga Gita dan Bi Irah.
"Bi, tuan memanggil, ada apa?"
"Biasa, Non. Tuan minta diambilkan khamr."
"Tuan juga menyimpannya di rumah?"
Bi Irah mengangguk, lalu melangkah keluar."
"Biar aku aja, Bi. Dimana tempatnya?"
"Tapi, Non. Nanti kalau tuan marah?"
"Coba dulu, Bi."
Gita memaksa untuk menggantikan Bi Irah. Sejatinya dia ingin tahu situasi di kamar tuannya. Dia melangkah menuju dapur, lalu mengambil satu botol yang tersimpan di lemari kitchen set.
Dengan sedikit gemetar, Gita membawa botol itu dengan hati-hati menuju kamar Ardi.
Mendekat ke pintu, jantung Gita semakjn berdetak tatkala mendengar suara perempuan yang mendayu-dayu dari dalam kamar. Diketuknya pintu kamar, terdengar suara mengizinkannya masuk.
Saat knop puntu di putar, pandangan yang mencengangkan hadir di depan mata kepala Gita.
Pyarr,
Tangannya bahkan tak kuasa memegang botol yang diminta tuannya. Melihat dua insan bercumbu mesra. Si wanita duduk di pangkuan tuannya sedang meluncurkan bujuk rayu. Si laki-laki pun turut menikmati sentuhan jari jemari lentiknya. Sampai denting botol pecah menghentikan aksi mereka. Gita tak tahan dengan apa yang dilihatnya. Tubuh meremang seketika, dipalingkan wajahnya agar aksanya tak ternodai untuk kesekian kali.
"Apa-apaan ini, Laras? Siapa yang menyuruhmu mengantarkan botol ini?"
"Siapa wanita ini, Ar?"
Wanita cantik bergaun seksi sadar akan posisinya segera berpindah ke sisi sofa mini yang kosong. Ya, kamar luas ini berisi ranjang kingsize serta sofa mini. Beberapa lemari baju dan satu lagi lemari besi melengkapi isi kamar Tuan Ardi.
Kamar yang indah harusnya, saat ditempati pasangan suami istri, bukan pasangan mes*m yang baru saja dipergoki Gita.
"Ma...maafkan saya, Tuan! Bibi sedang tergesa ke toilet karena sakit perut. Saya membantunya membawakan ke sini."
Dengan terbata Gita beralasan meski harus berbohong untuk menghindari tuannya menyalahkan Bi Irah.
"Lancang sekali kamu, siapa dia, Ar? Nggak mungkin kamu selingkuh dengan gadis yang tidak selevel denganku, kan?"
"Sembarangan, dia keponakan Revan?"
"Hah, yang benar saja keponakan Revan mirip ustadzah gini?" Dilihat dari penampilan Gita yang mengenakan gamis kaos serta jilbab instan menutup dada tak heran wanita itu menyebutnya ustadzah.
"Saudara jauh dari kampung. Sudahlah buang-buang waktu membahasnya. Laras, bersihkan pecahannya!" teriak Ardi membuat Gita bergegas ke dapur.
Astaghfirullah, apa yang telah kulakukan. Ini kesalahan keduaku, pasti Tuan Ardi bertambah tak suka dengan kerjaanku.
Bod*h sekali, hanya karena ingin menunjukkan aku benar-benar bisa kerja di sini justru mengacaukan kegiatan mereka.
Biar saja, setidaknya aku jadi tahu kelakuan majikanku yang harus aku waspadai.
Gita mulai membersihkan pecahan botol dengan sapu dan serok.
"Apa perlu kita pindah tempat saja, Ar?"
Suara menggoda wanita seksi terdengar di telinga Gita membuatnya sesekali melirik.
Tangannya membelai rahang tuannya yang duduk dengan kaki bersilangan.
Meski si wanita sudah merayu, tetapi Ardi tak menunjukkan respon yang menyenangkan.
Saat wanita yang dipanggil Jessy oleh majikannya menautkan bibirnya, Gita sontak merasa mual. Tak sengaja matanya melihat pemandangan yang tak seharusnya mereka lakukan.
Bahkan kelakuannya semakin jauh membelai sang majikan di depan matanya.
Gita hanya beristighfar seraya mengelus dada.
"Ckk, mereka anggap aku tidak ada, tanpa malu sedikitpun melakukannya di depanku. Apa Jessy tidak tahu kalau Tuan Ardi sudah punya istri."
Gita fokus membersihkan serpihan kecil yang tersisa. Terdengar desahan dari Jessy, ternyata Ardi mulai terpancing dan terang-terangan mencumbu mesra lawan mainnya.
Hoek, uhuk,uhuk.
Gita tak kuasa menahan gejolak perutnya. Gegas lari menuju kamar mandi yang ditunjukkan wanita itu dengan wajah jijik.
"Sial," ujar Ardi tak terima.
"Kita ke atas saja, Ar!"
Jessy mengajak pindah ke ruang kerja Ardi di lantai atas. Namun Ardi merespon lain.
"Kamu pulang saja, Jes! Aku sudah nggak mood. Sebentar lagi aku ada janji dengan klien."
"Baiklah. Jangan lama-lama menampung gadis kampung itu, kalau tidak mau seleramu hilang!" ungkap Jessy seraya melayangkan kecupan selamat tinggal.
Ardi hanya membalas dengan senyuman masam hingga Jessy berlalu tak tampak punggungnya.
Sementara itu, Gita masih di dalam kamar mandi. Berusaha menghentikan rasa mualnya, Gita baru tersadar kalau dia berada di kandang singa.
"Astaga, ini kan kamar mandi Tuan Ardi. Aku harus segera keluar dari sini."
Brakk,
Saat pintu dibuka Gita, saat itu juga Ardi masuk ke kamar mandi lalu menutup pintunya.
"Ma...maaf, Tuan! Sungguh ini kecerobohan saya." Masih dengan tangan mengusap mulutnya, Gita meminta belas kasihan tuannya dengan membungkukkan badan beberapa kali
"Kamu tahu apa kesalahanmu?"
Gita menggeleng, lalu mengangguk. Sejatinya dia tidak tahu pasti kesalahan yang mana yang dimaksud tuannya.
Bukankah seharusnya Tuan Ardi yang bersalah. Dia melakukan hal mes*m di depan matanya. Bahkan pasangannya bukanlah istrinya.
"Saya sudah memecahkan botol itu, saya akan menggantinya, Tuan bisa potong gaji saya."
Seketika gelak tawa mengejek keluar dari mulut Ardi.
"Laras, kamu polos sekali. Gaji sebulanmu tidak setara untuk 1 botol minuman itu."
Gita membelalak tak percaya, benarkah harha khamr tadi bernilai lebih dari gajinya.
"Kamu tahu kesalahan lainnya?"
"Tidak tuan." Masih dengan tangan gemetaran, Gita waspada bisa jadi singa di depannya siap menerkam.
Tangan Ardi lagi-lagi mencengkeram dagu Gita. Mendekatkan wajahnya ke wajah pucat gadis di depannya. Mata elangnya menusuk ke dalam manik mata Gita. Bak daging segar siap di santap, Ardi menatapnya penuh seringai.
"Kamu sudah merusak moodku bersama Jessy. Kamu harus membayarnya, Laras."
"Ampun Tuan. Maafkan saya!"
Gita menutup bibirnya dengan kedua tangan sebagai tameng. Tak ingin bibirnya ternoda laki-laki yang suka bermain dengan wanita bukan istrinya, Gita berusaha mendorong tubuh Ardi. Namun badannya yang mungil tak sebanding dengan tenaga laki-laki yang dikuasai amarah.
"Oh, di sini tak nyaman ya?"
Ardi menyeret Gita yang sudah meronta, lalu menghempaskannya ke ranjang king size.
Gita sudah menangis dan sekuat tenaga melawan tuannya.
"Ya Rabb, tolonglah hamba!"
Rintihan Gita tak menyurutkan kelakuan Ardi hingga membuat gadis itu pasrah dan perasaan bersalah pada suaminya melintas di benaknya.
Nantikan eps berikutnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
