RANIA Gadis Kecil di Masa Lalu (Part 5-9)

4
0
Deskripsi

Ikuti kisah lanjutan Rania, yuk.

Bab 5 Gara-gara Motor

"Kapten? Apa posisi Mas Agha atasan mereka?" Rania tertunduk malu, semakin minder dibuatnya. Dia tidak tahu menahu pangkat di anggota kepolisian. Dia bisa melihat berbagai badge terpasang di seragam orang-orang yang berdiri tegap di depan Agha. Ada tanda balok berwarna emas tersemat di sana. Namun Rania jelas tidak bisa menemukan tanda itu di pakaian Agha, karena belum memakai seragam. Mencoba mengingat-ingat saat bertemu di Polda, Rania menyayangkan dirinya saat itu tidak fokus melihat badge pada seragam yang dipakai Agha.

"Mas, Mas Agha jabatannya apa sih?" bisiknya sembari mendekat. Agha sedikit merendahkan badannya, karena tinggi Rania hanya sebatas pundaknya.

"Nggak usah tahu, Ra, kalau itu hanya akan membuatmu menjauh dariku," balasnya dengan tak kalah berbisik.

Deg,

"Perasaan macam apa ini? Kenapa aku jadi segugup ini."

"Ckk, menyebalkan. Kita juga nggak sedekat itu kali," gerutu Rania yang disambut gelak tawa Agha.

"Yang pasti kita tetangga dekat," bisiknya lagi ditelinga Rania.

"Hah." Jantung Rania berdebar kembali, padahal tadi sudah sempat normal. Setiap mencium aroma citrus membuat perasaan nyaman itu hadir.

"Maaf ya, aku nggak bisa anter kamu sampai kos. Ini kunci motornya. Kamu bawa aja dulu, nanti malam aku ambil motornya. Share lokasi aja ke ponselku!"

Setelah Agha memberi balasan hormat, anak buahnya membubarkan diri dari barisan. Beberapa dari mereka masih meyaksikan tingkah keduanya. Bahkan ada yang berbisik-bisik sambil tersenyum. Rania meliriknya sekilas, wajahnya tiba-tiba memanas. Tanpa pikir panjang dia pun mengiyakan ucapan Agha.

"Dah ya, aku mau bersiap pakai seragam. Kamu hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa hubungi ponselku. Ingat!" Rania masih terpaku tetapi segera memberi jawaban dengan anggukan.

Dia menatap lama kunci motor yang diberikan Agha.

"Ya, Rabb. Ini pertama kalinya aku naik motor di jalan raya di Yogya. Mau menolak, nggak enak sama Mas Agha kalau harus mengantarku selepas upacara. Masak iya aku harus nunggu di asrama cowok." 

"Mau saya antar, Mbak?" goda salah satu dari mereka yang duduk berjongkok membetulkan tali sepatu.

"Jangan macam-macam dengan wanita milik Kapten!" ungkap laki-laki yang masih duduk santai memasang badge di seragamnya.

"Ng...nggak usah, Mas. Makasih."

Rania bergidik mendengarnya, lalu memutuskan membawa motor sendiri ke kos dengan mengucap bismillah selamat di jalan sampai kos.

Sepanjang perjalanan membawa motor dengan tas punggung di belakang dan cooler bag ditumpangkan di depan, Rania tak henti berdoa. Dia berharap tidak terjadi masalah seperti motor macet atau salah jalan.

Terpaksanya motor macet atau apa, dia yakin Agha bisa mengatasi toh pemilik motornya adalah anggota kepolisian yang bertugas di Polda DIY.

Motor melaju dengan tenang, Rania lega jarak kosnya semakin dekat tinggal satu kilometer lagi. Saat ingin menyeberang ke jalur yang berlawanan untuk masuk ke gang menuju kosnya, Rania tampak ragu. Dia masih kaku mengendarai motor dengan rem cakram yang membuatnya gagap.

Brakk, 

Begitu berhasil melintas, Rania tidak menyadari telah menabrak sesuatu segera melanjutkan perjalanannya.

"Sial tuh cewek main lari aja! Motorku jadi korban begini, dia nggak mau tanggung jawab. Aku doain tuh cewek menjomblo seumur hidup!"

"Astaga, Bi! Segitunya kamu menyumpahi cewek tadi. Kasian kalau dia cantik menjomblo seumur hidup."

Laki-laki pemilik nama Abimanyu Nareswara mengumpat karena motornya menyenggol trotoar. Dia sedang berboncengan dengan Irvan sahabatnya tiba-tiba ada motor melintas tanpa lihat kanan kiri. Alhasil dia terkejut dan menginjak rem mendadak serta sedikit oleng kekiri hingga bagian bawah motor ada yang mencium trotoar. Terlihat goresan di motor sportnya.

"Biarin dia tanggung jawab, Van."

"Ya kalau dia tahu masalahnya. Kalau enggak?!"

"Aku yang akan bikin dia tahu andai ketemu lagi. Aku sudah catat nopolnya. Wajahnya juga sempat aku lihat tadi, kebetulan kaca helmnya terbuka. Aku sudah merekamnya dalam memoriku."

"Cih, buat apa, sih? Uangmu nggak akan habis untuk benerin tuh goresan," decih Irvan membuat Abi kesal.

"Aku nggak masalahin uang, hanya butuh permohonan maaf darinya."

Irvan menyerah, sahabat satunya ini kalau sudah kekeh bilang A nggak bisa dibujuk suruh B. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan kembali menuju tempat tujuannya.

Rania berhenti tepat di halaman kos tetangga. Dia harus sedikit menuntun motor untuk masuk ke wilayah kosnya melalui gang sempit. Sesuai peraturan, mesin motor harus dimatikan supaya tidak mengganggu kenyamanan penghuninya.

"Nia..., kamu bawa motor siapa?!" teriak histeris Cika di ambang pintu rumah berlantai satu yang menjadi tempat tinggalnya juga Rania. Rumah sederhana tetapi bersih dan asri memiliki taman kecil di bagian depan. Rumah khusus untuk kos putri berisi sepuluh kamar berukuran 3x3 sebanyak enam kamar dan sisanya berukuran lebih luas lagi. 

"Sstt, jangan teriak-teriak, Ci. Malu-maluin aja, dikira orang nanti aku bawa motor curian."

"Hush, kamu malah ngomong jelek gitu, sih."

Rania memarkir motornya berjajar rapi dengan motor milik teman kos lainnya. Ada juga motor Cika tepat di sebelahnya.

"Gila, Nia! Motorku kalah bagus, nih."

"Hmm, ini bukan motorku, Ci. Aku cuma dipinjami. Nanti malam juga sudah diambil balik," ungkap Rania santai sembari mengangkat cooler bag berisi susu murni.

"Sini aku bantuin! Kamu sudah bawa tas punggung pasti berat." Rania mengulas senyum. Tak lupa berterima kasih pada teman kosnya sekaligus sahabat di kampusnya itu. Suka duka sudah mereka alami bersama selama hampir mau empat semester. Sahabat yang selalu mengingatkan supaya Rania tidak terlalu lelah bekerja part time dan lebih fokus dengan belajar. Namun Rania tak mengindahkan, dengan dalih dia sangat butuh uang untuk membayar hutang, terutama hutangnya pada sosok yang ditakutinya di kampus.

"Sebentar lagi aku berangkat, Nia. Mau aku anterin sekalian ke kafe?" tawar Cika pada Rania yang wajahnya terlihat mengantuk.

"Tidak perlu, Ci. Aku bisa berangkat sendiri pakai motor Mas Agha."

"Dih, jadi ini motornya pak polisi? Baru kali ini aku dengar ada cowok yang bisa mengambil hati sahabatku ini?" canda Cika. Dia tahu Rania tak mudah diluluhkan hatinya. Keinginannya mutlak tidak ingin menikah sebelum sukses membawa keluarganya bangkit dari keterpurukan. Bukan karena wajah yang tak laku, kesederhanaannya justru menambah pesonanya.

"Bukan siapa-siapa, Ci. Mas Agha tetanggaku yang baik dan senang membantu," terang Rania tak mau terjadi salah paham meskipun dia tak juga mengelak kalau terjadi yang sesungguhnya.

"Ya, ya. Tetangga dekat. Dari tetangga jadi suami. Dunia terasa tak selebar daun kelor," ucap Cika bak seorang sastrawan sedang beraksi di panggung. Rania pun memukul bahu sahabatnya.

"Aargh, sakit, Nia. Ayo jangan mengelak! Aku penasaran kayak gimana orangnya kalau lagi jalan sama kamu. Pasti dia alim, ya? Hmm kalem kayak ustadz."

"Astaga, Cika. Mas Agha itu seorang polisi cerewet." Rania mengucap lirih sambil mengedarkan pandangan manatahu ada anak kos mendengarnya bisa jadi gosip hangat.

"Apa?!" teriak Cika histeris.

"Sstt, jangan keras-keras!"

Reflek Cika menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Cerewetnya sama kamu doang, kan?" lirihnya diikuti kerjapan mata membuat Rania jengah.

"Aku nebeng dari rumah. Maunya turun di halte bus, tapi dia maksa nganter sampai Yogya."

Cika senyum-senyum mendengarnya.

"Itu modus biar dia bisa deket sama kamu, Nia."

"Ishh, nggak usah berlebihan, Ci."

"Serius, Nia. Mas Agha pangkatnya apa? Mungkin aku bisa tanyakan Arif, kakak sepupunya juga polisi di Yogya. Rumahnya sih satu desa sama aku di Magelang. Pas pulang bisa aku cari info tentang Mas Agha."

"Ya ampun, Ci. Ngapain jadi panjang amat ceritanya. Siapa yang mau cari infonya? Dia itu dipanggil Kapten sama temannya."

"Hah? Fix nih, nggak main-main, Nia. Mas Agha orang penting. Jangan ditolak kalau dia mau jadi pacar...., eh calon suamimu!"

"Udah ah, nggak usah ngajakin aku bermimpi!"

Rania nyelonong ke kamar dan menghempaskan badannya di kasur. Dia ingin istirahat barang sejam sebelum berangkat ke kafe. Cika berdecis kesal karena Rania tak sepakat dengan pendapatnya.

"Ya udah, Nia. Aku berangkat dulu ya! Kamu hati-hati bawa motornya, jangan sampai lecet kasian pemiliknya," kelakar Cika yang disambut lambaian tangan Rania dengan posisi badan telungkup.

Selesai salat Magrib, Rania bersiap ke kafe sekalian membawa cooler bag berisi susu. 

Dia shift malam hari ini. Melajukan motor milik Agha dengan hati-hati, Rania datang ke kafe penuh semangat. Harapannya, usaha menyalurkan produk susu dari daerahnya akan berhasil. Sebelumnya dia hanya kerja sebagai pelayan di kafe yang menyediakan minuman berbahan kopi dan susu serta aneka cemilan kawula muda. Sekarang dia dipercaya pemilik kafe untuk mensuplai susu dari daerahnya. 

"Selamat malam Pak Aldo," sapa Rania pada manajer kafe. Laki-laki berusia matang seorang duda dengan satu putri semata wayang sedang duduk di ruang kerjanya. Jika diperhatikan lekat, wajahnya begitu tegas dan berwibawa. Tak heran para karyawan sangat menghormatinya. Beberapa dari karyawan kadang menggosip tentang bosnya yang betah menduda.

"Masuk, Nia!"

"Ya, Pak. Ini saya bawakan produk susu murni dari daerah saya. Semoga kualitasnya memuaskan."

"Sip, Nia. Bagus ini barangnya, langsung masukkan lemari penyimpanan. Pastikan suhunya sesuai aturan, ya!"

"Siap, Pak!"

Rania kembali ke dapur untuk menuju ruang storage. Di sana sudah ada dua karyawan lain. Belum selesai memasukkan botol bening berisi susu, salah satu temannya bernama Budi meneriakkan namanya.

"Nia, tolong bantu bertugas di depan! Pengunjung mulai berdatangan!"

"Siap, Mas!"

"Sini, aku yang lanjutin! Kamu bantu di depan." Rania mengangguk, bergegas merapikan penampilannya serta pasmina yang diikat ke belakang.

"Selamat datang di kafe Ceria, kafe romantis untuk kawula muda."

Rania memasang senyum semanis madu dengan suara dibuat semerdu seruling, tetapi apa daya sedikit malu masih dirasanya.

"Hmm, sepertinya kita pernah bertemu Nona?"

"Eh." Rania gelagapan mendengarnya.

 

Bab 6 Nggak Sadar

"Selamat datang di kafe Ceria, kafe romantis untuk kawula muda."

Rania memasang senyum semanis madu dengan suara dibuat semerdu seruling, tetapi apa daya sedikit malu masih dirasanya.

"Ehmm, sepertinya kita pernah bertemu Nona?"

"Eh." Rania gelagapan mendengarnya. Wajahnya tampak mengingat-ingat sesuatu tetapi tak juga ketemu siapa sosok di hadapannya sekarang. Dua laki-laki salah satu masih berpakaian olahraga lengkap dengan sepatu dan menenteng tas berisi raket. Sementara itu, satunya lagi memakai celana denim dan kemeja kasual serta sneakers hitam menghiasi kakinya.

Tak bisa berbohong, Rania sempat takjub melihat paras laki-laki yang menyapanya duluan. Tampan iya, pesonanya tak kalah dengan Agha. Postur tubuh sedikit lebih tinggi Agha, karena tinggi Rania melebihi pundaknya. Mengenai parfum, fix pasti sama mahalnya dengan parfum milik Agha. Hanya saja aromanya mint lebih segar. Rania pun menyukainya. Dia bisa mengenal macam-macam parfum dari Cika. Sahabatnya itu suka membelikan parfum untuk Arif.

"Astaghfirullah, kenapa aku jadi membandingkan parfum laki-laki ini dengan milik Mas Agha." Rania tak sadar menepuk kepalanya.

"Hai, Nona!" Lambaian tangan di depan wajah mengagetkan lamunan Rania.

"Maksud, Mas apa ya tadi? Saya nggak ngerti. Silakan duduk dulu, mau pesan apa?" Rania mengernyitkan dahi. Dia segera menyodorkan buku menu pada dua laki-laki yang sudah mendaratkan pant*tnya di kursi besi lengkap dengan meja bundar.

"Motor biru yang terparkir di depan punya Nona, kan?"

"Maaf, tolong panggil saya Mbak saja, Mas! Saya hanya pelayan di sini," pinta Rania masih dengan wajah polos tak mengerti.

"Ya. Jadi..."

"Sudahlah, Bi!" cegah Irvan memperingatkan.

"Diam, Van! Jadi tadi sore motor Mbak menabrak saya. Eh tidak, tepatnya menyerempet motor saya sampai ada bagian yang lecet," terang Abi dengan suara tegas.

"Tapi  saya tidak merasa nabrak orang, Mas. Apalagi nyerempet. Kalau benar, pasti saya berhenti untuk tanggung jawab."

"Tuh, kan dianya aja nggak sadar, Bi. Kamu mempermalukan diri sendiri tahu, nggak?"

"Pokoknya kamu harus minta maaf, atau ganti rugi motor saya yang rusak!" seloroh Abi kesal melihat wajah santai Rania tanpa rasa bersalah.

"Mau minta maaf gimana, Mas. Saya nggak tahu salah apa?" Masih setia dengan berdiri, Rania berusaha tak terpancing emosinya. 

"Tadi sore, Mbaknya melintas masuk gang area kampus dan kos pakai motor itu, bukan?"

Seketika Rania ingat saat mengendarai motor Agha. Dia mengangguk mengikuti alur bicara laki-laki di depannya. Tak mau berdebat dengan pelanggan hingga nanti berujung kinerjanya kurang bagus, Rania segera memberi penawaran.

"Baiklah, saya minta maaf, Mas. Sebagai gantinya silakan menikmati minuman di sini gratis," ungkap Rania sedikit membungkukkan badan. Tidak memikirkan berapa nanti uang yang dikeluarkan yang penting Rania tidak membuat masalah dengan pelanggan kafe.

"Bagus, akhirnya kamu mau bertanggung jawab juga."

"Bi!" Irvan menyikut lengan Abi supaya menghentikan kejahilannya. Namun bukan Abimanyu namanya kalau dia tidak bisa membalas gadis yang membuatnya kesal tadi sore.

Rania segera menyiapkan pesanan. Baru beberapa langkah, netranya memicing ke arah pelataran kafe. Dua orang laki-laki berbadan tegap menuju posisinya. Dia segera mengucapkan kalimat sapaan seperti biasa. Seulas senyum terbit di bibirnya hingga membentuk bulan sabit.

"Silakan duduk, Mas!" Terlihat Rania mengobrol dengan Agha yang baru datang bersama temannya.

"Mbak, kenapa tidak melayani kami yang datang lebih dulu!" protes Abi dengan nada kesal membuat Agha mengernyitkan kening.

"Iya, tunggu sebentar!"

"Pelayannya kan banyak, Mbak. Kalau sudah melayani satu pelanggan, selesaikan dulu. Jangan biarkan menunggu lama!" 

"Jangan bikin keributan, Bi! Mereka orang penting," cegah Irvan. Dia tahu dua laki-laki yang baru datang adalah anggota kepolisian. Mereka kerap berlatih badminton bareng di gedung olahraga. Tidak kenal dekat, mereka hanya sebatas kerap latihan di waktu yang bersamaan.

"Apa, sih. Kamu mengenal mereka?"

"Mereka polisi," bisik Irvan membuat Abi sedikit terkejut, tetapi langsung tercetus ide.

"Jadi Mbak mau lapor polisi? Kebetulan saya yang laporkan saja." Tiba-tiba Abi berdiri mendekati meja tempat Agha dan temannya duduk.

"Ada apa, Ra? Kamu ada masalah dengannya?" Masih dalam posisi duduk, Agha bertanya pada Rania layaknya petugas sedang menginterogasi.

"Hmm, itu, Mas. Tadi aku nggak sengaja menyenggol motornya sampai lecet. Dia mau aku bertanggung jawab. Tapi beneran aku nggak tahu kejadiannya. Jadi, aku nggak berhenti," ucap Rania sembari tertunduk merasa bersalah.

"Mas minta ganti rugi?" Nada tegas reflek keluar dari mulut Agha.

"Nggak perlu. Dia sudah minta maaf, jadi impas," balas Abi penuh percaya diri.

"Itu motor saya. Kalau minta ganti rugi, Mas bisa hubungi saya!"

Abi mengangguk dan tidak mempermasalahkan lagi goresan di motornya.

Masing-masing pelanggan di dua meja berdekatan itu telah mendapatkan pesanan. Rania kembali ke counter minuman untuk menggantikan sementara temannya yang izin ke toilet.

Abi terlihat menikmati pesanan yang baru saja disuguhkan. Ini kali pertama dia diajak Irvan mengunjungi kafe Ceria. Setelah studinya di Eropa selesai, Abi kembali mengabdi di tanah air hingga rezekinya diterima sebagai dosen sastra di salah satu kampus ternama di kota pelajar.

"Tempat ini nyaman, menunya juga tak kalah dengan resto sebelah, Van."

"Jelas, Bi. Kafe ini dah dua tahun berdiri selalu ramai terutama anak muda."

"Cewek tadi dah lama kerja di sini juga?"

"Hmm, mulai deh kepo. Kenapa? Tertarik, buat ngilangin statusmu yang jomblo akut?"

"Ckk, kayak situ dah laku aja ngatain orang lain jomblo," decih Abi. 

"Wew, jangan salah. Aku dah punya calon, bulan depan lamaran."

"Serius?"

"Dalam mimpi."

Plak.

"Ough. Sakit, Bi."

Selesai menikmati minuman, Abi tak lupa menghampiri counter.

"Terima kasih traktirannya, Nona...," Abi mengulas senyum sambil menjeda ucapannya.

"Rania, Mas."

"Oh, ya Rania terima kasih. Lain kali saya yang akan mentraktir."

"Tidak perlu, Mas. Terima kasih kembali saya tidak perlu mengganti biaya servis motornya." Rania menangkup kedua tangan diikuti anggukan kepala.

"Tambahkan minumannya ke tagihanku, Ra!" Agha turut berdiri mendekati counter saat melihat Abi lama mengobrol dengan Rania.

"Anda kenapa ikut campur urusan orang lain?! Suara Abi bernada tinggi membuat Irvan dan teman Abi bernama Adam turut mendekat. Mereka mulai was-was saat terjadi adu pandang dengan sorot tajam antara keduanya.

"Itu motor saya, jadi tanggung jawab Nona ini saya yang menanggungnya."

"Apa Anda pacarnya?" ucap ketus Abi sambil membuang muka. Irvan sudah mengingatkan sikapnya yang kurang mencerminkan seorang akademisi. Namun Abi tetap mengandalkan egonya sebagai seorang laki-laki berusia 28 tahun, jiwa mudanya masih bergejolak. Jelas di tak mau kalah dengan lawan bicaranya meski seorang polisi. 

"Mas Agha," seru Rania memberi kode dengan gelengan kepala. Dia khawatir orang yang dikenalnya menjadi biang masalah hingga menyebabkan pelanggan lain tak nyaman. Beberapa pasang mata jelas melihat ke arah mereka. Beberapa karyawan di dapur pun turut mencuri dengar dari balik pintu masuk ruang bertuliskan staff only.

Rania semakin kalut, segera keluar dari counter dan mendekati Agha.

"Sudah Mas, jangan diteruskan! Aku yang salah. Aku sudah minta maaf dan sebagai gantinya aku mentraktirnya minum," ungkap Rania.

"Laki-laki macam apa dia sampai minta dibayarin perempuan," ejeknya.

"Saya tanya lagi, apa Nona ini pacar Anda?" cecar Abi dengan tatapan tajam mengarah ke Agha.

"Ya, dia calon istri saya. Jangan sekali-kali mengganggunya atau Anda harus berurusan dengan saya!" 

"Mas Agha!" Rania membelalakkan matanya. Bisa-bisanya Agha mengklaimnya sebagai calon istri. Senang sejujurnya iya, tetapi kalau ucapan itu hanya menjadi sebuah fatamorgana tentu saja amat menyedihkan baginya.

Mendengar ungkapan tegas Agha membuat Abi mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Akhirnya dia mengeluarkan dua lembar uang dan menyodorkan di meja kasir. 

"Kembaliannya ambil saja, Nona! Nona perlu bersyukur memiliki calon suami seperti dia," ucap Abi tak acuh.

"Makasih," jawab Rania tersenyum masam. 

"Calon suami dalam mimpi, hufh."

Nantikan kelanjutannya. Jangan lupa komentar dan tap lovenya ya. Dukung juga cerbungku sampai tamat, subscribe atau share.


Bab 7 Pelayan Kafe

Detik berlalu makin cepat tergerus oleh menit hingga menit berlalu termakan oleh jam. Suasana ruang kuliah tampak riuh saat pelajaran Linguistik berlangsung. Pasalnya,  mahasiswa mendapat tugas meneliti tentang cara berkomunikasi dengan anak berkebutuhan khusus.

Ya, Rania mengambil jurusan sastra Indonesia sejak dua tahun yang lalu. Dia memiliki hobi membaca dan menulis, meski baru sebatas menulis di buku harian. Itupun sesekali saja, saat kesedihan yang tak terbendung melandanya.

Baginya meluapkan segala emosi dalam bentuk tulisan mampu menyembuhkan luka yang tanpa disadari sedikit banyak menyayat hati. Rania teringat pesan seseorang di masa lalunya. Laki-laki yang meninggalkan kenangan sebuah tali rambut keropi beserta buku harian itu untuknya. 

"Jangan biarkan kesedihan menggerogoti hatimu. Ungkapkan resahmu dalam buku ini!" ucapnya kala itu.

Senyum mengembang di bibir Rania setiap mengingat masa itu. Bayangan wajah laki-laki itu sungguh tidak bisa diingatnya. Tidak ada foto yang tersemat di buku itu, hanya beberapa kalimat penyemangat yang digoreskan. 

Sebenarnya ada foto dokumentasi KKN sepuluh tahun silam. Namun, saat keluarganya harus berjuang habis-habisan mempertahankan hidup, barang-barang banyak dijual ke pedagang barang bekas. Satu-satunya kenangan album foto itu turut dalam karung bersama barang bekas yang terjual. Sungguh miris, Rania hanya bisa mengingat kenangan lewat dua barang yang ditinggalkan.

Kini, Rania usianya sudah menginjak dua puluh tahun semakin menikmati perjuangannya kuliah di jurusan sastra. Suatu saat jika Allah mengizinkan, dia ingin menjadi pengajar dan juga penulis. Dia amat serius mengikuti mata kuliah Linguistik kali ini.

Linguistik merupakan salah satu mata kuliah di jurusan sastra Indonesia. Linguistik adalah ilmu yang berfokus pada bahasa dan penggunaannya sebagai alat komunikasi. Linguistik juga mempelajari struktur bahasa dan segala aspek yang melingkupinya, termasuk psikologi dan sosiologi. Salah satu manfaat pengetahuan linguistik yakni akan memberi tuntunan bagi penulis dalam menyusun kalimat yang tepat, memilih kosa kata yang sesuai dengan jenjang usia pembaca tersebut.

"Yah, kita nggak sekelompok, Nia," keluh Cika setelah mendapat hasil pembagian tugas kelompok penelitian.

"Ishh, nggak masalah, Ci. Nggak harus sama aku juga kali. Mereka teman-teman kita juga." Rania mengarahkan pandangan ke teman-teman sekelas untuk meyakinkan Cika.

"Stt, aku malas satu kelompok sama mereka," bisik Cika, matanya fokus memandang dua temannya bernama Sherly dan Manda.

"Yang ada aku malah jadi suruhan mereka. Mana mau mereka mengerjakan tugas. Kemarin saja pas Pak Herman kasih tugas, hanya satu anggota yang ngerjain. Eh, mereka berdua dapat nilai bagus. Ngeselin nggak, tuh?"

Mendengar nama dosen senior disebut, memori Rania terlempar di saat kejadian malam itu. Cika heran melihat sahabatnya hanya bergeming.

"Hai, Nia.... Rania?" Cika mengibaskan tangannya di depan wajah Rania membuat gasis itu terkesiap.

"Apaan sih, Ci?" omelnya.

"Lagian diajak ngomong kamu malah melamun, huh." Ucapan bernada kesal Cika membuat Rania mengulas senyum.

"Iya-iya bawel amat. Biasa juga ada Arif yang bantuin. Jangan khawatir!"

"Benar juga katamu, Nia. Arif satu-satunya dewa penolong."

Rania tertawa lucu melihat wajah ditekuk Cika tiba-tiba berubah jadi berbinar. Rania lega sahabatnya sudah tidak ada masalah dengan tugas kelompok. Sementara itu, dirinya jelas sudah terbiasa menjadi anggota kelompok siapa saja. Rania pandai bergaul dengan teman manapun, sehingga tidak masalah baginya bertemu orang baru.

"Cika, nih tugasnya buat besok!"

"Ckk. Mulai kan kelihatan menyebalkan," bisiknya mendekati Rania.

"Sstt, jangan gitu, Ci. Dia teman kita juga!" balas Rania dengan berbisik pula.

Cika tak sudi menerima buku catatan untuk tugas kelompok Linguistik. Memilih tak acuh dengan keduanya, Cika justru mengajak Rania menjauh. Tingkah Cika justru membuat Sherly dan Manda menghentakkan kakinya kesal.

"Tunggu!" teriak Sherly dengan muka merah padam. Dua mahasiswi berpenampilan modis itu mendekat ke arah Rania dan Cika.

"Oke, kita bahas tugasnya nanti sore di taman kampus!" Nada ketus keluar dari mulut Sherly. Manda berseringai seakan turut menindas Cika. Namun sahabat Rania yang satu itu bukanlah seperti mahasiswa lain yang tunduk pada dua gadis centil suka tebar pesona itu.

"Siapa takut!"

"Oya, aku heran sama kamu, Nia. Sejak kapan kamu dekat dengan Pak Herman?" tanya Manda dengan senyum mengejek.

Deg,

Rania gugup, bagaimana Manda bisa berpendapat seperti itu.

"Maksud kalian apa?"

"Nggak biasanya Pak Herman nyari-nyari gadis polos seperti kamu. Iya kan, Sher?" Sherly mengangguk setuju ucapan Manda.

"Tuh ditungguin di ruangnya sekarang. Kalau kamu nggak datang, katanya nama baikmu jadi taruhan. Aku jadi penasaran ada masalah apa kamu sampai dipanggil Pak Herman."

Reflek Rania dan Cika membelalakkan mata. Khawatir ucapan Manda benar adanya, Rania segera menuju ruang kerja Pak Herman ditemani Cika. Di sepanjang koridor kampus, debaran jantung Rania kian berpacu. Panik pun mendera, ini sudah memasuki jatuh tempo yang diberikan yakni selama seminggu. Namun, Rania belum juga mengumpulkan utuh uang yang diberikan Pak Herman malam itu.

Baru dua puluh persen yang dia dapatkan dari hasil memasarkan susu ke kafe tempatnya bekerja. Masih sangat banyak kurangnya. Ingin Rania meminjam pada Agha, tetapi naluri meruntuhkan keberaniannya. Teringat sikap Bu Sastro, budhe Agha yang melarangnya mendekati ponakannya itu. Bagaimana dengan sikap keluarga inti, jika tahu dia memanfaatkan Agha demi mendapat pinjaman uang. Rania memutar otak, sesekali saling pandang dengan Cika. 

"Nia, sebisa mungkin kamu minta undur waktu lagi! Kalau bisa seminggu atau bahkan sebulan, kita kumpulkan lagi uangnya."

Rania menatap tak yakin wajah Cika. Mereka menghentikan langkah sejenak tak jauh dari ruang Pak Herman.

"Aku usahakan, Ci. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa membela diri."

"Yah, aku yakin kamu bisa."

Dari kejauhan tampak mahasiswa berlari menghampiri. Dengan napas terengah-engah, laki-laki berambut keriting itu menarik lengan Cika.

"Suamimu, eh bukan. Pacarmu jatuh dari pohon," ucapnya masih dengan napas naik turun dan kedua tangan memegang lutut, tubuh sedikit membungkuk.

"Apa?! Arif kenapa?!" Wajah kaget Cika mendengar kekasihnya terkena musibah. Rania pun tak kalah terkejutnya segera menenangkan dengan mengusap lengan sahabatnya.

"Ayo ikut aku sekarang! Nanti aku ceritakan. Maaf ya Rania, aku bawa dulu ini cewek." Rania mengangguk. Dia membiarkan Cika melihat kondisi kekasihnya.

Langkah sepelan siput mengiringi Rania menuju ruang keramat menurutnya. Terjadi perang batin antara masuk atau tidak mengingat dirinya hanya seorang diri. Awalnya dia mantap melangkah karena ada Cika yang menemani. Sekarang justru dia hanya sendiri.

Cukup lama Rania berdiri di depan pintu masuk, tangannya hampir memegang knop pintu. Namun, seseorang telah membukanya lebih dulu.

Wajahnya terbelalak saat melihat sosok yang membukakan pintu. Aroma mint menguar di hidungnya, sama persis saat di kafe semalam.

"Kamu?!" sosok di depannya tak kalah terkejut juga memandang gadis berpasmina floral dari ujung kepala sampai ujung kaki berdiri di depannya. Tak menyangka kalau Rania mahasiswa di kampusnya.

"Hah. Kenapa Anda ada di sini?" ucap Rania terbata. Seketika Abi menetralkan keterkejutannya dengan terkekeh pelan.

"Ini ruang saya, memangnya kenapa? Kamu mahasiswi kampus ini?"

"Bukan, saya pelayan kafe," ketus Rania. Jelas-jelas dia di kampus masih ditanya mahasiswa atau bukan, sungguh mengesalkan pikirnya. Abi hanya berdecak kesal,dalam hati dia sebenarnya kagum. 

"Bekerja menjadi pelayan kafe di sela kuliahnya, hmm gadis menarik."

"Bapak mau minggir nggak? Saya ingin menghadap Pak Herman." Abi segera menggeser posisinya menyilakan Rania masuk ke ruangan. Di sana sudah duduk dengan tegap di kursi kebesarannya sambil berputar ke kanan kiri entah sibuk mengerjakan apa. Kaca mata yang bertengger di wajah sedikit diturunkan untuk memastikan kedatangan Rania.

"Masuk!"

Deg,

Kegugupan tak berhenti melanda hati Rania saat mendengar suara bariton nan tegas itu.

"Pak Abi, tolong tinggalkan kami!" titahnya.

Namun, Rania justru menatap wajah Abi penuh permohonan. Seakan Rania memintanya tinggal untuk menyaksikan obrolan keduanya. Sorot mata Rania ditangkap Abi sebagai sebuah permintaan mutlak. Namun, sikap tak acuh Rania barusan di ambang pintu membuatnya urung memenuhi pintanya. Dia ingin membalas Rania dengan sikap tak menghiraukannya tadi.

"Silakan Nona Rania, sudah ditunggu Pak Herman! Saya keluar dulu," ucapnya setengah mengejek. Hati Rania memanas, tangannya mengepal keras, ingin rasanya mengumpat dalam hati.

"Dasar laki-laki tak berperasaan. Bagaimana bisa dia meninggalkanku di ruangan bersama monster itu." Rania menatap nyalang kepergian Abi yang sempat menolehnya dengan sudut bibir sedikit terangkat saat di ambang pintu.

Nantikan kisah selanjutnya.

 

Bab 8 Menyebalkan

Masih dengan perasaan dongkol, Rania menarik napas panjang. Netranya memicing ke arah meja di sudut ruangan, ada papan nama, Dr. Abimanyu Nareswara. Namanya seperti tidak asing di benaknya. Setelah kepergian laki-laki yang dipanggil Abi itu, Rania fix menaruh dendam padanya. Bisa-bisanya laki-laki itu tidak bisa membaca bahasa tubuhnya.

Benar adanya, bagi laki-laki, perempuan seringkali dipandang tidak jelas atau suka berputar-putar daripada langsung mengarah ke apa yang dimaksud. Kadang-kadang seorang laki-laki merasa seakan-akan dia disuruh menebak-nebak apa yang diinginkan si perempuan, atau dia diminta menjadi seorang pembaca pikiran.

Ya, sepertinya Rania sia-sia saja mengandalkan kontak matanya untuk meminta pertolongan laki-laki yang baru pertama kali ditemuinya semalam di kafe. Pertemuan pertama yang buruk, karena terjadi adu pandang dan adu mulut dengan Agha.

Satu-satunya harapan kini hanyalah membela diri sekuat tenaga jika monster di hadapannya kini mengaung.

"Maaf, Pak Herman. Saya mohon beri kesempatan beberapa hari lagi. Saya belum bisa mengembalikan uangnya secara utuh." Rania memohon dengan liri disertai kedua tangan yang menangkup di dada. Pak Herman sontak berdiri dan melewatinya begitu saja.

Deg, 

Jantung Rania kembali berpacu, pandangannya mengikuti langkah Pak Herman menuju pintu.

Cklek,

Fix, ruangannya terkunci dari dalam. Reflek Rania mengelus dada dan otaknya sedang bekerja keras memikirkan cara untuk mempertahankan diri seandainya ada kejadian tak diinginkan muncul.

Mengharap pertolongan sosok pemilik meja di sudut ruangan jelas tidak mungkin. Orangnya telah pergi tanpa menghiraukan pintanya.

"Rania! Saya sudah bilang berapa kali padamu. Saya tidak butuh uang itu asal kamu membayarnya dengan yang kamu janjikan malam itu. Kalau ada yang mudah, kenapa pilih jalan yang sulit, huh?" 

Dengan berkacak pinggang dan senyum licik, Pak Herman mengikis jarak hingga berhasil mendekati Rania yang masih berdiri kaku di dekat meja kerjanya. Melihat tangan Rania yang meremas tunik polosnya, Pak Herman segera meraihnya. 

"Bagaimana? Apa kamu menerima tawaranku?" ujarnya seraya mencium kedua punggung tangan Rania. Namun, belum sampai bibir menjijikkan itu menyentuh punggung tangan, Rania segera menghempaskannya.

"Jangan macam-macam, Pak! Saya bisa melaporkan tindakan Bapak sebagai pelecehan terhadap saya," ucap Rania dengan keberanian yang dikeluarkannya mati-matian.

Gelak tawa keluar dari mulut laki-laki yang tidak hanya berprofesi sebagai pengajar itu, melainkan juga punya jabatan penting di kampus. Rania semakin kalut, mengedarkan netranya mencari celah untuk kabur. Suatu kejadian tak diinginkan pun tiba-tiba menimpanya. Pak Herman mendorong keras hingga punggung Rania membentur almari besi tempat buku berjajar rapi.

"Kamu butuh uang, saya butuh kesenangan. Impas, bukan? Bagaimana kamu mau lapor kalau keduanya saling membutuhkan? Coba saja kalau berani, yang ada kamu akan kena getahnya." Pak Herman mencengkeram kuat dagu Rania diiringi sebuah ancaman yang mengerikan. Rania ingin melawan, tetapi tenaga laki-laki monster dihadapannya cukup kuat. Nafsu telah merajainya hingga lupa ada gadis yang memasang wajah menyedihkan.

"Jangan, Pak! Saya mohon! Saya janji akan mengembalikan uangnya seminggu, ah tidak, tiga hari, Pak. Sungguh." Tiada guna melawan cengkeramannya dengan kekuatan yang tak sebanding, Rania mencoba mengiba.

"Kamu tidak sadar, kalau kamu itu cantik?" Sapuan telapak tangan di wajah Rania membuatnya gemetar hebat. Ingin berteriak sekencangnya, tetapi hanya tertahan di dalam hati. Dia tidak mau menimbulkan kegaduhan hingga berujung skandal yang tersebar.

Sepasang mata menatap penuh nafsu bibir ranum Rania. Telapak tangan pun segera Rania gunakan untuk menutupinya dari serangan tak terduga. Semakin mengikis jarak hingga napas menyapu wajah, Rania pasrah, cairan bening sudah membasahi pipinya. Memilih menutup kedua matanya, Rania membunuh rasa ketakutannya.

Cklek,

Terdengar pintu dikunci dan dibuka dari luar, tepatnya ada sosok yang membukanya. 

"Pak Herman! Apa yang sedang Bapak lakukan?!" teriak Abi tercengang di ambang pintu. Reflek Pak Herman menjauh dari Rania dan berusaha bersikap normal. Sementara itu Rania jangan ditanya, dia masih gemetar dilanda ketakutan. Terlebih lagi ada orang lain yang memergokinya bersama Pak Herman dalam posisi seperti tadi.

"Eh, Pak Abi, cepat sekali kembali ke sini?"

"Ya, Pak. Saya ingin mengambil buku untuk mengajar. Apa yang terjadi dengan mahasiswi itu?" tunjuk Abi pada Rania yang sedari tadi menunduk. Tangannya meremas kedua tunik bagian bawah.

"Oh itu, Dia kurang enak badan. Katanya sakit kepala. Tolong Pak Abi antarkan ke klinik kampus! Saya masih ada pekerjaan."

Abi yang ditodong merasa tertegun, perasaan tadi Rania baik-baik saja.

"Ya, Pak, biar saya yang antar. Ayo!"

Rania berjalan seperti manekin yang menuruti kemana Abi melangkah. Pandangannya sayu, napaspun masih kembang kempis seakan oksigen yang dihirup tak sanggup memenuhi rongga dada.

"Apa aku terlihat sangat menyedihkan," gumannya berulang.

"Hah," Abi terkesiap dengan racauan beberapa kali yang keluar dari mulut Rania. Wajahnya penuh tatapan kosong, tetapi racauan tidak surut.

"Apa di dunia ini uang adalah segalanya? Orang kaya bisa menindas siapa saja yang kekurangan?"

"Kamu ngomong apa, sih? Apa sakit kepala bisa tiba-tiba membuat orang menjadi tidak waras?" ejeknya. Namun, Rania tidak menghiraukan. Beberapa langkah, otaknya baru sadar saat netranya memicing ke samping kanan. 

"Bapak ngapain ikutin saya!" tuduhnya sambil menghentikan langkah dan berkacak pinggang. Abi pun terbelalak menyadari kebodohannya. Empatinya tidak dihargai, sungguh mengesalkan pikirnya.

"Sial nih cewek makin ngelunjak," umpatnya dalam hati. Merasa kesal atas ucapan Rania, Abi pun berbisik ditelinga gadis itu. Aroma mint menguar sampai indra penciuman, membuat jantung Rania berdebar.

"Kamu mau saya tutup mulut dengan apa yang terjadi di ruang Pak Herman tadi? Jadilah gadis yang penurut! Atau aku akan membeberkannya ke calon suamimu yang polisi itu," ucap Abi berseringai, lantas berbalik dengan terlebih dulu mengerlingkan sebelah matanya. 

"Menyebalkan. Siapa yang calon suami? Kenyataan tidak ada ucapan dari Agha setelah semalam mengklaimnya." Rania menghentakkan kakinya kesal. Gegas dia mencari sahabatnya yang melihat kondisi Arif jatuh dari pohon.

Sampai di klinik kampus, Rania melihat kondisi Arif sedang terbaring dan diperiksa petugas kesehatan. Wajah khawatir Cika menandakan bahwa Arif terluka serius. Rania melupakan sejenak masalahnya untuk menghibur Cika.

"Gimana kondisi Arif, Ci?"

"Ckk, aku kesel tahu nggak? Arif jatuh dari pohon apanya. Orang dia baru mau manjat trus terpeleset. Bisa-bisanya tuh orang melebih-lebihkan berita." Cika dengan wajah merah padam menunjuk mahasiswa berambut keriting yang tadi berlari ngos-ngosan mencarinya.

Rania terkekeh pelan. Dia menahan diri untuk tidak meledakkan tawanya, bisa-bisa Cika tambah mengamuk.

"Syukurlah, yang penting Arif nggak apa-apa, Ci. Itu tandanya kamu memang perhatian sama Arif, sampai-sampai dia ngerjain kamu untuk menguji perasaanmu."

Rania mengulas senyum menenangkan Cika. 

"Kamu temani Arif dulu, Ci. Aku balik dulu ya, ada urusan mendadak." Cika yang mendengarnya lantas menatap lekat Rania.

"Masalahmu?"

"Tenang saja, nanti aku ceritain di kos." Rania mengucap santai supaya Cika tak mengkawatirkannya. Sejatinya pikirannya sedang kalut. Memikirkan cara mendapatkan kekurangan uang membuat Rania meremas pasminanya frustasi. Andai itu di bukit, Rania ingin berteriak kencang meluapkan isi hatinya.

Drrt,drrt

Melihat layar ponsel tertera nama Bapak, bahu Rania melorot. Sudah bisa dipastikan ada kabar yang akan mengejutkannya. Ya, Rania selalu was-was jika ponselnya berbunyi dengan layar bertuliskan nama salah satu anggota keluarganya. Selalu berprasangka buruk itulah yang dilakukan Rania.

"Halo, Pak. Ada apa?"

"Gimana kabarmu, Nak? Kamu sehat, kan?"

"Syukurlah, Bapak bukan memberi kabar tak sedap melainkan perhatian tentang aku," batinnya.

Namun, Rania belum sampai mengakhiri obrolannya, Pak Joko berkata lirih.

"Ra, ibumu butuh uang. Akhir pekan bank plecit datang menagih utang. Kalau tidak dicicil angsurannya, khawatir nama baik ibumu dijelek-jelekkan ke tetangga."

Deg,

Selalu itu, akhir dari sebuah panggilan yang sedikit banyak membuat trauma untuknya. Ya, Rania tidak menyalahkan kedua orang tuanya. Dia hanya menyalahkan keadaan dirinya sendiri yang belum bisa memberi solusi sepenuhnya. Dalam keadaan begini, Rania ingat Allah. Dia tidak bisa meminta banyak bantuan pada manusia, solusinya hanya berserah diri di tengah usahanya mengumpulkan uang. Dia ingin segera bersujud mengadukan segala keluh kesah agar hatinya tenang. Menuju mushola kampus Rania menyapa Rabbnya di waktu Dhuha, lalu berencana pulang lebih dulu dengan berjalan kaki menuju kos. 

"Hai, Nia!" Sebuah seruan menghentikan langkah Rania menuju gerbang keluar kampus. Dia berbalik dan mendapati Trio Sherly, Manda dan Almira. Sepupu Agha bernama Almira memang beda kelas tetapi ketiganya bagaikan inai dan kuku, kemana-mana selalu bersama.

"Aku dengar kamu ada job baru sekarang?" cibir Almira dengan tatapan meremehkan.

Rania paham betul mereka terendus mau merundungnya. Sebisa mungkin dia menahan emosinya supaya tidak terpancing.

"Apa maksdumu?" Rania bertanya balik dengan sorot mata mengharap jawaban.

"Apa sepupuku juga salah satu korbanmu, huh?" Rania tercengang mendengarnya. Dia menoleh ke kanan kiri berharap tidak ada orang lain yang menangkap pembicaraan mereka.

 

Bab 9 Syok

"Aku dengar kamu ada job baru sekarang?" cibir Almira.

"Apa maksudmu?" Rania bertanya balik dengan sorot mata mengharap jawaban.

"Apa sepupuku juga salah satu korbanmu, huh?" Rania tercengang mendengarnya. Dia menoleh ke kanan kiri berharap tidak ada orang lain yang menangkap pembicaraan mereka.

"Jaga bicaramu, Al! Kalian tidak punya bukti apa-apa hingga menuduhku seperti itu."

"Haha, bukti?! Jelas-jelas Sherly dan Manda lihat malam akhir pekan lalu kamu diantar Pak Herman. Benar begitu, bukan? Tidak usah mengelak, kalian sama-sama menjalin hubungan mutualisme. Ada yang butuh uang dan ada yang butuh kesenangan."

Memilih pergi, Rania tidak ingin meladeni mereka yang berujung ricuh. Merasa Rania tak acuh, Almira kesal setengah mati. Dia tidak rela kalau sepupunya memberi perhatian lebih pada gadis yang dianggapnya pesaing dalam hal prestasi sejak.di bangku sekolah hingga di kampus.

"Lihat saja, Nia. Aku akan membuktikan kalau kamu wanita yang tidak pantas untuk sepupuku. Mas Agha akan menjauhimu." Seringai terlukis di wajah Almira dan kedua temannya sambil berlalu menuju kantin kampus.

Rania menghempaskan badan ke ranjang begitu sampai di kos. Tidak seperti biasanya, Rania akan jarang di kos kalau sudah selesai kuliah. Berbeda dengan hari ini, suasana hatinya sedang tidak baik. Memilih meredamnya dengan istirahat, Rania memikirkan solusi masalahnya dengan Pak Herman. Dia tidak mungkin minta bantuan pada Agha mengingat baru saja ujaran kebencian didapatnya dari Almira.

Sudah bisa dipastikan orang tua Agha pun juga memiliki pendapat yang sama jika benar dia menjalin hubungan dengan putranya. Dalam kegalauannya, Rania segera membuka kotak kecil berisi tali rambut keropi, segera dipakainya untuk mengikat surai panjang yang tergerai. Tangan meraih buku harian dan membuka perlahan. Tepat di halaman bertuliskan kalimat yang menyentuh hatinya.

"Jika kamu berpikir bisa, maka kamu pasti bisa. Jika kamu berpikir tidak bisa, maka kamu juga tidak bisa."

Mata Rania tiba-tiba berembun. Sungguh setiap pesan yang dituliskan orang di masa kecilnya dulu amat menyentuh hatinya. Lebih tepatnya kalimat itu menguatkan dirinya untuk semangat berjuang demi hidup yang lebih baik.

Menelisik kalimat penutup di bagian bawah lembaran, Rania makin tergugu.

"Kamu lebih kuat dari apa yang kamu kira."

"Ya, aku tidak akan menyerah begitu saja. Pun tidak akan putus asa hanya karena sebuah masalah. Aku yakin, aku pasti bisa meraih impianku dan mengatakan pada masalah bahwa aku punya Allah yang Maha Besar. Selagi aku berjalan di jalan-Nya, pasti semua akan dilalui dengan baik." Rania menyemangati dirinya sendiri. Kemudian dia menuliskan apa yang ingin diluapkan ke dalam buku itu. Keinginan bertemu kembali sosok yang memberikan sekeping kenangan berharga itu menjadi salah satu doanya yang dituliskan di lembaran putih sebagai penutupnya.

Kala itu.

"Tolong! Jangan sakiti aku! Aku bersedia menuruti apa mau kalian. Sungguh aku tidak bisa berenang. Jangan minta aku masuk ke tempat itu. Aku takut!" Teriakan gadis kecil berkuncir dua tak mampu menghentikan rundungan anak-anak seusianya. Mereka berjumlah lima orang, dua perempuan salah satunya Almira dan tiga lainnya laki-laki. Hanya karena Rania anak Pak Joko yang sedang sukses bisnisnya di masa itu membuat dua temannya iri hati.

Memang sejak kecil Almira iri hati padanya hingga sekarang pun masih. Dengan meminta bala bantuan tiga teman lainnya laki-laki, mereka memberi rundungan pada Rania gadis polos dan penurut. Mereka awalnya mengajak berenang di sungai. Rania merasa tidak curiga. Dia tidak menyangka jika sungai yang didatangi bukan sungai seperti biasanya melainkan sungai yang ada air terjun deras alirannya.

Byurr,

Mereka memaksa Rania masuk ke dalam terlebih dulu. Namun, begitu Rania terjun dan berteriak minta tolong karena tidak mampu berenang, mereka meninggalkannya.

Rania pikir dia tidak akan selamat. Ketakutan melanda hingga kesadaran pun melemah. Entah berapa lama Rania tidak sadarkan diri. Begitu bangun kepalanya amat pusing menyengat, pandangan setengah kabur. Dia mendapati seorang laki-laki duduk menungguinya.

"Saya di mana?"

"Tenanglah, kamu aman di sini. Nanti saya antar kamu pulang kalau sudah merasa enak."

"Kemana mereka?"

"Siapa?"

"Teman-temanku? Mereka jahat meninggalkanku sendirian, padahal aku tidak bisa berenang." Rania tergugu memalingkan wajah ke kiri.

Abimanyu Nareswara memperkenalkan diri dengan nama Ares di kampung tempat KKN saat menjadi mahasiswa jurusan Sastra. Dia tinggal selama dua bulan di kampung sebelah tempat tinggal Rania. Dia mengantarkan pulang ke rumah dan menceritakan kejadian pada orang tua Rania. Sejak itu Rania merasa rendah diri, psikis terganggu akibat dirundung teman-teman dekatnya.

Pak Joko dan Bu Minah meminta bantuan mahasiswa KKN memberi pendampingan pada putrinya karena terlihat menyedihkan. Putri yang pintar dan penurut telah kehilangan kepercayaan diri. Dengan senang hati, Ares menerima tawaran itu karena hanya dirinya dari jurusan yang mendekati kecocokan. Jika ada yang dari jurusan psikolog mungkin lebih tepat. Namun, Ares tetap mencoba membantu semampunya.

Hari demi hari Ares lalui dengan memberi pendampingan pada Rania berupa semangat untuk bangkit dan mengembalikan kepercayaan dirinya.

Satu bulan penuh yang tersisa di tempat KKN nya, Ares telah mendampingi Rania dengan progres yang dibilang lumayan. Meski belum sepenuhnya sembuh, Rania sudah mampu mempertahankan diri jika ada yang mengganggunya lagi.

Ares memberikan sebuah barang untuk gadis kecil berkuncir dua yang menyita perhatiannya selama satu bulan. Sebuah tali rambut keropi dan buku harian berisi beberapa kalimat penyemangat yang ditulisnya untuk kesembuhan Rania.

"Kenapa tali rambutnya cuma satu, Mas?" protes Rania.

"Biar rambutmu nggak dikuncir dua terus," jawab Ares setengah meledek. Keduanya tertawa bersama di akhir perpisahan Ares harus kembali ke kota asalnya Semarang.

Rania berjanji pada Ares akan melanjutkan semangat hidupnya tanpa membiarkan orang bebas merundungnya. Dia juga tertarik belajar sastra mengikuti Ares.

Senyum terukir di wajah Rania saat menutup buku hariannya. Dia rindu dengan sosok penyelamatnya di masa lalu.

"Mas Ares sekarang di mana? Pasti sudah menikah dan punya anak. Ah, bolehkah aku egois memikirkan sesuatu yang mustahil. Kenapa juga bukan Mas Agha yang dulu menolongku. Tapi sama saja, mau Mas Ares atau Mas Agha yang menolongku, mereka tidak mungkin menjadi pendamping hidupku. Sia-sia aku menyediakan ruang hati untuk mereka, yang ada hanya mimpi belaka. Aku harus kembali ke tujuan awal hidupku. Kebahagiaan bapak dan ibu."

Rania mendapat pesan di ponselnya. Tampak di layar bertuliskan Pak Aldo. Bosnya meminta datang ke kafe lebih awal untuk membicarakan perihal suplai susu murni dari daerahnya.

Hati Rania mengembang, harapannya semoga usahanya kali ini berjalan lancar hingga bisa mengumpulkan uang dengan segera.

Selesai mengerjakan tugas kuliah, Rania bersiap berangkat ke kafe. Seperti biasa Rania mengenakan tunik floral dan celana panjang bahan denim serta pasmina polos. Aroma sabun lavender memberi kenyamanan untuknya melewati hari yang melelahkan. Sampai di kafe tak lebih dari dua puluh menit dengan menaiki ojek. Rania segera menuju ruang kerja Aldo. Mengucap salam dan mendapat jawaban, Rania bersiap masuk ke ruangan berukuran 5x6 meter itu.

"Selamat sore, Pak Aldo."

"Sore, Nia. Silakan duduk!" Rania mengangguk lalu mendaratkan pant*tnya ke kursi.

"Jadi, begini tentang persediaan susu sepertinya perlu ditambah, Nia. Mengingat pelanggan kita banyak yang berminat pada minuman berbahan itu."

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Rania bisa memiliki kesempatan meminta bantuan pada bosnya.

"Siap, Pak!"

"Kerja bagus. Kedepan semoga kafe ini bisa melebarkan sayap dengan menawarkan menu baru, Nia."

Rania mengangguk setuju. Senyum terukir di wajah keduanya.

Rania tidak menyangkal kalau bosnya memang pandai berbisnis. Namun sayang perihal cinta, kehidupan bosnya sangatlah rumit. Berpisah dengan sang istri, anaknya dimana tidak ada yang tahu masalah pribadinya.

"Hmm, Pak Aldo. Apa boleh saya minta bantuan?"

"Katakan saja! Apa yang kamu butuhkan?"

"Saya bermaksud meminjam uang muka dulu sebesar 15 juta. Hmm maaf, kalau terlalu banyak 12 juta juga tidak apa-apa, Pak." Rania menunduk malu pada bosnya. Belum juga melakukan tugasnya Rania dengan lancang meminjam uang. Jika karyawan lain tahu, bisa saja mereka iri padanya yang mendapat perlakuan khusus dari bosnya.

"Banyak itu, Nia. Uangnya mau untuk apa?" tanya Aldo penuh selidik. Dia tidak mau diperdaya karyawannya, meski Rania termasuk karyawan yang dipercayainya. Tidak sedikit orang memasang wajah iba untuk menghalalkan segala cara.

"Keluarga saya di kampung butuh uang untuk membayar angsuran yang menunggak, Pak." Tidak salah alasan yang dilontarkan Rania, meski juga tidak sepenuhnya benar. Lebih tepatnya uang akan digunakan Rania untuk membayar hutangnya pada Pak Herman.

"Maaf Rania, saya tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Saya khawatir jika memberikannya maka karyawan lain akan memandangmu sebelah mata. Mereka bisa saja iri sama kamu."

Deg,

Seperti tersengat, hati Rania nyeri tak terkira. Bosnya yang baik hati baru saja melambungkannya ke langit tiba-tiba menghempaskannya ke bumi. Mata Rania sudah berkaca-kaca. Menghela napas dalam, Rania berusaha menguatkan hatinya.

"Baiklah, tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti." Rania tertunduk ingin segera pergi dari ruangan yang membuatnya tampak menyedihkan.

"Tunggu dulu!" Rania hampir beranjak, tetapi kembali duduk setelah bosnya memanggil.

"Saya ada pekerjaan ekstra jika kamu mau."

Wajah sendu Rania sedikit memudar. Hatinya yang nyeri sedikit terobati mendengar kalimat itu.

"Apa, Pak?"

"Kamu bekerja melayani saya!" 

"Hah?" Mata Rania membola, kenapa tidak di kampus atau di luar kampus tawaran macam ini yang didapatnya. 

"Saya bisa memberi berapa yang kamu butuhkan, bahkan saya bisa memberi bonus tambahan jika pelayanannya memuaskan." Rania tercengang mendengarnya.

 

Nantikan episode berikutnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Rania
Selanjutnya RANIA Gadis Kecil di Masa Lalu (Part 10-19)
3
0
Ikuti kelanjutan kisah Rania, yuk.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan