
๐๐๐๐๐
Dua orang anggota agen rahasia yang saling menyembunyikan identitasnya.
Mampukah keduanya menguak rahasia masing-masing setelah menjalani pernikahan?
Simak kisahnya yuk!
๐๐๐๐๐
Mampir cerbung saya lainnya ya:
1. DOSEN ITU MANTANKU
2. MENIKAHI SUAMI SAHABATKU
3. JODOHKU PAK DOSEN
4. TERJEBAK CINTA CEO DUDA
5. SEKANTOR DENGAN MANTAN
6. JODOHKU PAK DOKTER
๐๐๐๐๐
PROLOG
Malam pertama setelah ijab qobul usai membuat jantungku berdetak tak normal. Ini kali pertama aku berada satu kamar dengan laki-laki. Yudha Pratama, teman sekantor di bagian produksi kini resmi menyandang status sebagai suamiku.
"Dha, Terima kasih ya sudah membawaku sampai di titik ini."
"Sttt, jangan bilang seperti itu. Harusnya aku yang berterima kasih padamu, Malika."
Jari telunjuk Yudha sudah menempel di bibirku menambah desiran tak menentu di dada ini.
Sepertinya aku berharap meminta lebih dari ini? Perasaan patah hati pada Ardian seakan memacu adrenalinku untuk segera menguburnya dengan bermesraan bersama pasangan halalku.
Namun siapa sangka Yudha justru menahan diri untuk tidak menyentuhku.
Apa dia tahu alasanku mengajaknya menikah atau dia mengira aku memanfaatkannya sebagai pelarian.
"Sebaiknya kamu istirahat, ini sudah malam!"
"Tapi, Dha?"
"Bukankah ini yang kamu harapkan, Ka. Kamu ingin menanggalkan status lajang untuk menutupi sakit hatimu pada Ardian, bukan? Selamat, kamu sudah berhasil."
Aku hanya tercengang dibuatnya. Air mata ini meluncur tanpa penghalang. Pun tubuh ini luruh menyentuh dinginnya lantai kamar.
"Maafkan aku, Dha!" Tertunduk malu, aku meratapi nasib ini.
๐๐๐๐๐
Bab 1 Patah Hati
"Patah hati itu seperti luka yang tak berdarah"
"Kenalkan ini Rani pacarku, Ka!"
Bagaikan disambar petir, orang yang aku harapkan menjadi pasangan hidup tiba-tiba mengenalkan pacarnya. Bukan orang lain yang tidak aku kenal, melainkan rekan kerja satu kantor denganku.
Kami bertiga bekerja di perusahaan penerbitan buku di wilayah kota pelajar Yogyakarta. Ardian di bagian marketing, sedangkan aku dan Rani di bagian editor kepenulisan buku.
"Eh, sejak kapan kalian jadian, Ar?" tanyaku dengan terbata karena menahan sesak di dada. Ardian laki-laki berwajah putih dan hidung mancung datang menghampiri ruanganku seperti biasa setiap jam makan siang.
"Sudah seminggu ini. Kami juga akan berencana menikah jika tidak ada aral. Iya kan, sayang?" ucap Ardian tanpa dosa yang diangguki Rani. Dia memang tidak tahu kalau aku menyimpan rasa kagumku padanyadengan rapi selama setahun mengenalnya.
Sungguh mencintai dalam diam itu menyakitkan. Aku memang punya prinsip tidak mau pacaran. Kalau cocok ya ayo menikah, pacarannya setelah halal.
"Selamat ya Ardian dan Rani. Kalian pasangan yang cocok. Aku tunggu undangannya."
Sungguh munafik sekali aku, sekuat tenaga mengucapkan kalimat selamat dengan lancar meski tidak sejalan dengan hatiku.
Remuk redam hati ini, ingin berteriak tetapi aku sedang tidak di gunung melainkan di kantor.
"Terima kasih, Mbak Ika," ujar Rani yang satu ruang divisi denganku.
Sedikit kesal aku rasakan, perasaan aku lebih muda dari Rani, kenapa sejak awal kenal dia menuakan aku.
Jadi, selama ini aku keliru. Menilai Ardian yang sering menyambangi ruang divisiku ternyata untuk ngapelin Rani bukan aku.
Ya Rabb, salahku yang tidak menyatakan perasaan lebih dulu pada Ardian.
Sebagai perempuan aku malu memulai duluan. Harusnya kalau Ardian juga suka padaku, aku berharap dia yang mengambil inisiatif lebih dulu. Pada kenyataannya tidak, Ardian justru selangkah lebih dulu di depanku mengumumkan kalau sudah jadian dengan Rani.
"Ayo, Ka, makan siang bareng! Aku yang traktirdeh," usulnya dengan wajah berbinar tetapi sungguh menambah panas hatiku. Apalagi senyum Rani yang ditujukan padaku terasa mengejek. Ah, mungkin hanya perasaanku yang sedang tidak baik-baik saja. Orang yang sedang jatuh cinta pastilah berbunga-bunga, hiburku dalam hati.
"Maaf, Ar. Aku harus menyelesaikan kerjaan dulu. Takut bos besar marah."
Aku mencoba beralasan yang masuk akal.
Padahal kenyataannya aku hanya tidak kuat menahan diri melihat kemesraan mereka dihadapanku.
Cukup sudah, hari ini aku Malika Saraswati mengikrarkan tidak akan berharap lagi Ardian Airlangga jadi pasangan hidupku.
Emosi yang menumpuk segera aku luapkan dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan hingga lupa rasa lapar. Jam istirahat hanya aku gunakanuntuk sholat lalu kembali lagi berkutat dengan berkas naskah yang harus diedit.
"Ka, sudah makan?" tanya Ardian heran karena melihat aku seperti tidak beranjak dari kursi setelah mereka kembali darikantin.
"Mbak Ika kenapa nggak makan?"
"Iya, Ka, nanti lambungmu kambuh lho," Ardian pun turut protes.
Hufh, kenapa juga kalian harus perhatian sama aku. Aku tambah kesal, kan, padahal kalian nggak salah apa-apa.
"Sudah kok, aku bawa bekal."
Aku memang tidak berbohong karena ada bekal cemilan yang kubawa.
Setelah Ardian berlalu dari ruang divisi, aku sesekali melirik Rani. Ya, dia cantik dan berkelas dilihat dari penampilannya. Tentu saja Ardian yang berwajah tampan tertarik padanya. Sementara aku, jangan ditanya, mau beli make up yang bagus saja berpikir puluhan kali.
Gaji bulanan nominal jutaan untuk bayar kontrakan dan makan hanya bersisa tak lebih dari lima ratus ribu. Belum lagi aku harus mengirim sebagian untuk emak dan adik dikampung. Beliau tidak bekerja, hanya bapak yang kerja serabutan. Kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah adik menanti kiriman dariku.
Memikirkan masalah seperti ini biasanya membuat kepalaku mau meledak.
Kapan siap nikahnya, hatiku pun menjerit.
Satu jam berlalu, aku hanya melamun dan naskah di depanku teronggok sempurna. Aku berinisiatif ke pantry membuat minuman, siapa tahu bisa menghangatkan suasana hatiku yang tak menentu.
"Ran, aku ke pantry dulu."
Rani mengangguk tersenyum, tetapi tidak dengan hatiku yangmembeku.
Kulangkahkan kaki menuju pantry dengan sesekali menghirup udara secara kasar untuk membuang sesak di dada.
Aku merasa efek tidak makan nasi mulai tampak. Jalanku sempoyongan seperti tak bertenaga, bahkan kaki terasa tidak mampu menopangtubuh. Aku mencoba meraih dinding luar pantry dan berjalan tertatih-tatih.
Brukk,
Apa yang kubayangkan pasti pant*tku sakit karena menghantam lantai. Tubuhku pun terasa gemetar tak berdaya.
Namun kenyataannya, aku tidak merasakan sakit itu. Sebuah lengan kekar menopangku.
Aku sudah bermimpi sosok pahlawan yang menolongku ini adalah dia, ya dia Ardian.
"Kamu tidak apa-apa, kan?" ujarnya.
Astaga, kenapa harus orang ini yang menolongku.
Sungguh aku merasa hariku buruk, sudah patah hati ditambah ketemu teman karyawan seperti kulkas. Dia adalah Yudha Pratama karyawan bagian produksi. Muka jelas lumayan tidak kalah tampan dengan Ardian, bahkan kalau dilihat dari jarak dekat Yudha jauh lebih tampan. Sayangnya, laki-laki ini minim senyum dan cueknya minta ampun.
Eh, tunggu dulu kenapa kali ini dia tersenyum padaku. Senyum yang jarang-jarang di perlihatkan pada teman-teman terutama karyawan perempuan.
"Hmm, aku tidak apa-apa."
Mencoba berdiri tegak dan membetulkan posisi, aku segera melangkah masuk ke pantry.
"Kelihatannya wajahmu pucat, kamu sakit, Ka?"tanyanya dengan kening berkerut.
Aku melirik sekilas wajahnya, lalu memalingkan ke arah dispenser. Wajahku terasa memanas hanya karena perhatiannya. Sungguh memalukan, dia sampai tak berkedip melihatku. Tidak biasanya aku jadi salah tingkah begini.
Saat mataku menatap manik matanya tadi, jelas ada secercah sinar yang menentramkan jiwa.
Astaghfirullah, kenapa otakku sudah tidak waras malah membayangkan ketampanan Yudha dibandingkan Ardian.
Jantungku pun seketika berdesir, apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, tidak mungkin aku menyukai karyawan dari bagian produksi. Apa kata teman-teman, seperti tidak ada pilihan lainsaja.
Di kantor, kadang hubungan antar karyawan dari berbagai divisi sangat dipertimbangkan bak sebuah kasta dalam kehidupan sosial. Bagian editor kepenulisan dan marketing jelas lebih tinggi daripada bagian produksi kalau dilihat dari gaji. Selain itu, status karyawan bagian editor sebagai pegawai tetap, sedangkan bagian produksi hampir semuanya pegawai kontrak.
****
Seminggu berlalu, tepat akhir pekan, aku sengaja menginap dirumah Cici temanku. Dia karyawan satu divisi dengan Yudha. Aku memilih liburan di rumahnya yang dekat dengan pantai selatan. Aku ingin menenangkan diri.Terlepas dari masalah patah hati, aku ingin mancari tahu tentang Yudha dari Cici. Entah kenapa hati ini tergerak melakukannya.
Pagi-pagi sekali, aku dan Cici sudah duduk di hamparan pasir pantai selatan. Menghirup udara segar dari angin yang berhembus. Sinar mentari menelisik malu-malu menambah keagungan alam ciptaan-Nya.
"Ci, kamu tahu Ardian jadian sama Rani?"
"Iya tahu."
"Ckk, kenapa kamu nggak cerita. Aku seperti orang bodoh di depan mereka berdua."
Aku sudah mendengus kesal dengan Cici yang memasang muka santai.
"Lha aku tahunya juga dari kamu barusan," ujarnya.
"Apa? Kamu mau meledekku ya."
"Beneran, aku mikirnya Ardian dekat dengan kamu, Ka. Kenapa dia malah jadian sama Rani?"
Hatiku mencelos mendengar kejujuran Cici. Jangan-jangan seantero kantor tahu kalau Ardian dekat dengan aku dan sekarang justru pacaran dengan Rani.
Ya Rabb, aku kian merasa malu bagaimana menjalani hari esok di kantor. Apalagi pasangan itu sudah mulai menunjukkan kemesraannya.
Di kantor memang tidak ada larangan menikah asalkan lintas divisi.
Aku memijit pelipis yang terasa berdenyut karena terlalu jauh membayangkan pernikahan Ardian dan Rani.
"Ci, kamu kenal dekat dengan Yudha?"
Cici terkesiap mendengarnya.
"Yudha Pratama?"
Aku mengangguk seraya menatap ekspresinya yang tidak biasa.
"Menurutmu, dia orangnya seperti apa?"
Cici sahabatku sejak menginjakkan kaki di kantor setahun yang lalu mulai curiga dengan tanyaku.
"Kamu tertarik sama Yudha, Ka?" ujarnya seketika membuatku terperangah.
********
Bab 2 Nekat Tingkat Dewa
๐๐๐๐๐
"Kamu tidak akan tahu rasanya ditolak, jika belum mencoba menyatakan perasaan padanya."
___________
"Kamu tertarik sama Yudha, Ka?" ujar Cici seketika membuatku terperangah.
"Hmm, entahlah Ci. Aku merasa tidak baik-baik saja melihat Ardian dan Rani. Aku ingin mencari sandaran untuk bertahan atau kalau tidak ya aku resign saja."
"Jangan gegabah, Ka! Kamu sudah mati-matian cari kerja demi penghasilan yang tidak sedikit untuk membantu keluargamu, bukan?"
Aku tertunduk malu, biasanya Cici yang mendapat cerocosan nasehatku. Kini berbalik dia yang menasehatiku.
Perkataannya benar, kenapa aku sepicik ini ingin lari dari kenyataan. Aku harus membuktikan bisa berdiri tegak meski tidak bersamanya. Bukan aku tidak mau berjuang, melainkan aku tak ingin menang diatas penderitaan teman.
Biarlah Ardian memilih kebahagiaanya, aku pun bisa bahagia tanpa dia.
"Ini kalau mau stalking Yudha."
Cici tersenyum menggoda seraya menyodorkan benda pipih ke tanganku. Layarnya memperlihatkan akun sosmed Yudha."
Astaga, kenapa jantungku berdetak kencang. Apa aku sudah tidak waras, mengambil tindakan diluar nalarku. Dulu waktu kuliah, aku tidak perlu mendekati lawan jenis justru mereka yang mengejarku. Usaha mereka tak terbalas karena aku ingin mengejar mimpi lebih dulu. Aku mengabaikan kisah asmara demi mendapatkan kembali masa indah bersama keluarga besarku. Namun sampai saat ini pun aku tidak tahu kapan bisa berada di titik itu. Angan yang tak kunjung datang masihmenari-nari di otakku.
Saat tersadar betapa perlunya menjalin asmara, asaku kandas sebelum memulainya.
Aku menscroll layar ponsel Cici, menyelami akun medsos Yudha.
"Oh, tidak. Ini di luar dugaanku. Yudha yang dingin ternyata diam-diam menghanyutkan."
Mataku membelalak sempurna. Selama ini aku di mana? Aku sudah memandang sebelah mata laki-laki itu.
"Ada apa, Ka?" Cici membuyarkan lamunanku menatap foto-foto di medsos Yudha.
Aku hanya bergeming, lalu Cici mendekat dan mengusap lembut lenganku.
"Kaget melihat medsos Yudha?"
Aku mengangguk, ucapan pun tertahan di tenggorokan karena menanti lontaran kalimat dari Cici.
"Dia orang yang asyik, meski di luar kelihatan dingin dan cuek tetapi di medos sebaliknya."
Seketika aku yang percaya diri menjadi minder dibuatnya. Apa yang harus aku lakukan, menyerah sebelum berjuang? Jelas itu bukan aku. Melihat follower Yudha ribuan, hampir 80 persen perempuan. Satu lagi, dilihat dari chatnya pun Yudha orang yang ramah tak terkira.
"Haruskah aku mencoba mendekati Yudha, Ci?" lirihku dibalas senyum smirk Cici.
Aku segera memandang jauh ke tengah laut. Angin berhembus kencang mengurai rambut panjangku yang tergerai. Aku segera mengikatnya dengan tali rambut keropi kesukaanku.
"Ckk, masih seperti anak kecil," dengusnya.
"Apa katamu?"
"Ini,tali rambut keropi."
"Oh..."
Aku kira Cici merespon tentang aku yang minta pendapatnya.
"Terserah kamu, Ka. Jika kamu yakin ini yang terbaik, aku akan mendukungmu."
Sudut bibirku terangkat, saat ini pasti aku kelihatan berbinar.
Aku memeluk sahabatku yang siaga saat suka duka. Dia paling mengerti aku.
Lalu kuberanikan menstalking akun Yudha melalui ponselku.
Follow, tidak, follow. Argh....
Aku menyugar rambutku untuk menenangkan diri.
Jari ini gemetar hanya satu ketukan saja pasti warna biru akan berubah jadi putih.
"Hwaaa,Cici...."
Aku sudah berteriak saat Cici menyenggol lenganku yang berakhir kata follow berganti menjadi following dalam hitungan detik.
Aku mengetuk beberapa kali dahiku, nekat sekali pikirku.
Beberapa detik kemudian terdengar notifikasi masuk di ponselku. Cici terbahak gara-gara ponsel yang kulemparkan padanya. Aku hanya bisa menatapnya horor.
"Gimana ini, Ci? Yudha follback." Aku menelungkupkan kepalaku di kedua lututku. Semua gara-gara Ardian, aku melakukan hal nekat tingkat dewa.
"Nih, pintu udah terbuka. Kamu mau masuk atau keluar saja sebelum tau dalamnya."
Sindiran Cici seakan menantangku. Bukankah aku orang yang pantang menyerah. Aku segera meraih ponselku dan mengutak-atik kembali. Cici ternyata tersenyum simpul saat aku meliriknya.
Dia beranjak pamit ke toilet menyisakan aku yang termangu menatap layar ponsel.
Kuberanikan diri mengirim komentar di salah satu postingan Yudha yang ramai supaya tidak ketahuan mencurigakan.
Demi berhati-hati mengirim komentar, aku berpikir ulang mengetik dan menghapus, kalimat apa yang cocok aku lontarkan.
Aku gagap sekali dengan medsos ini.
Saat komentar pertama terkirim, jantungku seakan bertalu-talu. Dibalas enggak ya? Tak berselang lama balasan itu datang.
Senyum terukir di wajahku karena komentar yang berbalas.
Tanpa sadar aku menjadi seorang yang candu bermedsos dalam hitungan detik.
Alhasil komentar yang aku kirim justru menjadi bumerang bagiku.
Astaghfirullah, malunya aku dengan komentar terakhir yang terkirim. Ada notifikasi DM yang kuterima ternyata dari Yudha.
"Maaf, chatnya pindah sini saja ya. Aku nggak enak kalau komentarmu dibaca yang lain."
Deg, hatiku merasa sedikit tersentil. Apa dia sedang menegurku secara halus.
"Iya, maaf aku sudah keterlaluan. Komentar sembarangan di akunmu, Dha."
Aku menelan ludah saat balasan terkirim.
Apa dia akan memarahiku.
"Aku hanya ingin berterima kasih, kamu sudah menolongku saat di pantry."
"Tidak masalah, Ka. Sebagai manusia wajib tolong menolong, bukan? Oya apa kabar Ardian, aku dengar dia jadian sama Rani. Aku pikir Ardian pacar kamu, Ka?"
Perih terasa semakin menyayat di dalam dada, ternyata Yudha pun tahu berita itu.
"Bukan, gimana kalau sama kamu aja, Dha. Aku merasa nyaman di dekatmu. Bukan pacaran yang kuharapkan, tetapi kalau sudah cocok ya lebih baik menikah saja."
Astaga pesan terkirim, apa aku sudah benar-benar putus asa. Tanpa pikir panjang aku berani mengajak Yudha menjalin hubungan serius.
Aku teringat tausiyah dari ustad ternama, tidak masalah perempuan menyatakan perasaan lebih dulu kepada laki-laki.
Ibunda Khadijah pun dulu yang pertama melamar Nabi Muhammad SAW. Khadijah mengutus seorang perantara untuk menyampaikan niatnya kepada Nabi. Dalam Tarikh Ibn Hisyam disebutkan Khadijah berkata, "Wahai anak saudara pamanku,sesungguhnya aku telah tertarik kepadamu dan kekeluargaanmu, sikap amanahmu,kebaikan akhlakmu, dan benarnya kata-kata mu."
Merasa diabaikan, aku beranjak dan melangkahkan kakiku menyusuri pantai. Sesekali aku menendang pasir atau air yang datang bersama ombak meluapkan kekesalan karena tingkah konyolku.
Notifikasi akhirnya muncul membuat jantungku berdebar kembali. Aku tidak langsung membuka pesan dari Yudha. Lebih baik aku menentramkan diri lebih dulu dan memikirkan baik buruknya pesan itu.
Dengan menghela napas panjang, aku memberanikan diri membaca pesannya.
"Aku rasa kita perlu bertemu untuk membicarakan masalah serius ini. Aku pikir kamu pasti sedang patah hati. Jangan sampai kamu salah mengambil keputusan. Besok sepulang dari kantor kita ketemu di kafe saja."
Hatiku mencelos, apa dia sedang berencana menolakku secara halus? Bagaimana kalau dia benar-benar tidak tertarik padaku. Apa aku sudah siap dengan konsekuensinya jika dia menerimaku. Dulu aku berharap Ardian menjadi sosok penyemangat hidupku. Sering mendapat tugas bareng dari bos menjadikanku bertemu intens dengannya. Komunikasi kami tergolong lancar. Ardian orang yang ramah dan suka menolong. Dia pandai memulai percakapan membuat aku kagum padanya. Ternyataselama ini aku salah mengartikan perhatiannya.
Aargh...
*****
Tiba saatnya sepulang dari kantor, aku menuju kafe yang telah disebutkan alamatnya oleh Yudha.
Aku heran Yudha bisa tahu tempat nongkrong seperti ini. Sungguh Yudha laki-lakiyang diam-diam menghanyutkan.
Aku berjalan menyisiri celah diantara kursi dan meja yang sudah terisi. Terpilih tempat duduk paling pojok karena aku bisa menikmati taman kecil penghias kafe.
Denting sepatu kian mendekat pertanda ada yang datang, Yudha dengan pakaian kasualnya memang menarik dipandang.
Ah,apakah aku mulai sedikit tertarik padanya? Semoga benar.
Yudha duduk dan berdehem membuat aku semakin canggung.
Aku menghela napas panjang untuk mengurangi kegugupan. Aku menyiapkan diri dengan hati yang lapang mendengar jawaban Yudha.
"To the point aja ya, Ka."
Astaga,Yudha nggak pakai basa-basi sama sekali.
"Maafkan aku, Ka. Aku tahu niatmu baik. Tapi...."
Ikuti next episode.
Jangan lupa like dan komentarnya ya.
Salam sehat selalu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
