
Berikut ini cerpen gratis. Selamat membaca.
Mampir juga cerbung dan cerpen lainnya, yuk.
Tersedia Voucher 9000 rupiah untuk dukungan all item FULLPART sd 31 Mei 2023.
Gunakan Kode: HAPPYMEI
Buruan sebelum kehabisan yak.
Pak Tua yang Malang
Angin berhembus menggerakkan dedauan. Gesekan yang timbul memecah keheningan di sebuah hunian tua di tengah sawah. Siang hari yang terik tidak menyurutkan langkah kaki sepasang suami istri. Keduanya menapaki jalan setapak dari gerbang menuju pintu bangunan yang konon katanya rumah mewah.
"Dik, kamu nggak salah Pak Tua tinggal di sini?" tanya lelaki muda dengan wajah masih basah oleh bekas wudu.
"Iya, Bang. Beliau sendiri yang kasih alamatnya."
Perempuan bergamis maroon itu tak lain istri yang dinikahi sejak enam bulan lalu.
"Dia tinggal sendirian?"
"Sepertinya, Bang?"
"Rumahnya kayak mau dijual, Dik."
Si suami menoleh ke kanan kiri. Ia melihat tulisan nomer HP yang sudah luntur di kertas tertempel di depan pagar tadi. Bulu kuduk tiba-tiba berdiri seiring angin yang berhembus menerpa lehernya.
"Kenapa, Bang? Kita coba masuk ke sana dulu, ya!" ajak sang istri. Meski jantungnya mendadak bertalu, ia tidak ingin meragu. Sebab sejak awal ia berniat ingin menolong Pak Tua itu. Beliau sering melintasi rumah kecilnya sambil menoleh dan menatap lama.
Keduanya melihat lantai teras yang kotor. Rumah mewah itu kini tidak terawat. Barang berserakan di mana-mana. Kabel dan colokan listrik bertebaran mengundang bahaya. Beruntung tidak ada balita yang bermain di rumah itu.
"Aargh."
"Apa, Dik?"
"Kakiku nggak sengaja menginjak benda tajam, Bang."
"Hati-hati, Dik. Untung hanya menembus sandal kamu. Ayo kita balik saja!"
"Tunggu, Bang. Pintunya terbuka, ayo masuk!"
"Astaghfirullah. Pak Tua, nggak apa-apa? Ayo Bang, bantu bawa ke sofa!"
Suami istri itu susah payah menyeret tubuh Pak Tua yang terduduk di lantai. Benar saja rumah itu mewah. Keramik mahalnya berselimut debu dan tanah hasil jejak sandal Pak Tua. Bahkan sofa yang dipakai duduk terlihat empuk dan nyaman meski bersulam debu.
"Pak Tua, baik-baik saja?" tanya perempuan muda itu sambil menatap bergantian ke Pak Tua dan suaminya.
"Kalian tidak usah khawatir. Saya sudah biasa begini," ucapnya terbata.
"Anak dan cucu Bapak di mana?" tanya si laki-laki muda.
Pak Tua mendecis sebelum menjawab. Terlihat rambutnya yang kian memutih. Pakaian yang biasanya lusuh kini lebih bersih. Hanya terlihat sedikit bercak merah kecoklatan entah apa.
"Anak dan cucu Bapak banyak. Tapi mereka tidak mau tinggal di sini."
Benar saja siapa yang bersedia tinggal di tempat yang lebih buruk dari kandang sapi. Rumah mewah itu kini terbengkalai. Lantai dan dinding berjamur. Debu tebal menghiasi perabotan. Tidak di luar rumah, di dalam pun kabel dan barang berceceran. Sekardus cemilan teronggok di pojok samping dekat sofa.
Sebagian dari makanan itu adalah pemberian perempuan muda tadi. Sebab ia masih bisa melihat bungkus makanan yang dikenalinya.
"Sungguh Pak Tua yang malang. Ditinggal istri lima tahun yang lalu nasibnya begini. Anak dan cucu tidak bisa dibanggakan," batin si perempuan.
Tidak terasa setitik bening meluncur dari pelupuk. Gegas ia menghapusnya. Ingatannya tertuju pada sang ayah yang hidup jauh di kampung sana.
"Saya bisa numpang ke kamar mandi, Pak?"
"Lurus saja trus ke kanan," lirih lelaki tua itu dengan senyum mengembang. Rambutnya yang memutih dan deretan giginya yang rapi masih menyisakan ketampanan, meski dimakan usia.
"Bang, mau ngapain?"
"Kasian kalau Pak Tua kepeleset. Dia hanya sendirian di rumah. Jadi, Abang cek sebentar, ya."
Si perempuan mengangguk. Obrolannya dengan Pak Tua kembali berlanjut. Kali ini tatapan kasian berubah menjadi ketakutan. Saat mata elang dari wajah keriput itu seperti ingin menerkamnya.
"Pak, Pak Tua kenapa?" tanya perempuan itu. Tubuhnya meremang disertai debaran jantung yang kian berkejaran. Sudah lewat masa tidak wajar sang suami ke kamar mandi.
"Saya permisi mencari suami dulu, Pak."
"Ya." Jawaban singkat disertai senyum menyeringai menambah keanehan yang nyata.
Melangkah hati-hati, si perempuan melewati barang berserakan di lantai.
"Bang. Abang kok lama?"
Perempuan itu menggedor pintu kamar mandi yang tertutup. Pikirannya semakin kalut. Tidak ada kamar mandi lain di situ.
"Bang. Abang di mana? Jangan bikin aku takut."
Langkah kaki diseret terdengar semakin mendekat. Perempuan itu masih gemetaran.
"Kamu cari suamimu?" Suara familiar Pak Tua terdengar horor. Perempuan itu ragu untuk menoleh. Namun, demi menemukan sang suami ia memberanikan diri membalik tubuhnya.
"Aargh." Sebuah jeritan merdu menggema di seluruh penjuru ruangan. Memecah sepi yang telah lama memenjara hidup Pak Tua. Bunyi pecahan maupun benda dibanting mengembalikan keramaian yang ia rindukan. Ditambah bau anyir dan bercak merah menghiasi keramik mengkilat yang berlapis debu tebal.
Tawa membahana mengakhiri siangnya yang indah. Tak lama kemudian sirine ambulan dan mobil polisi saling bersahutan menuju kediamannya.
TAMAT
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
