
Tak pernah disangka Mahira Saraswati harus menikah dengan Ilyas Arkana Wijaya suami sahabatnya sekaligus bos baru di kantornya. Sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa sang istri, membuat Ilyas menuduh Mahira tak mau menyelamatkan sahabatnya.
Bagaimana Mahira menjalani hari-hari penuh liku yang diciptakan Ilyas dan kerabatnya? Ikuti ceritanya.
MSS1
Ciitt, Braakk...
Sebuah mobil sport mewah berwarna hitam menghantam trotoar dan berakhir pada sebuah pohon rindang yang tinggi menjulang.
Sirine ambulans meraung memekakkan telinga. Mobil yang merajai jalan raya telah memasuki pelataran salah satu RS megah di ibukota setelah membelah jalanan selama tak lebih dari tiga puluh menit. Membawa penumpang mobil yang bersimbah darah di beberapa bagian wajah dan tubuhnya.
"Bertahanlah, Rumi! Kalian pasti akan selamat."
Sebuah janji yang terucap dari mulut seorang sahabat sejatinya.
Mahira Swaraswati karyawan sebuah perusahaan kosmetik menjadi saksi kecelakaan yang terjadi pada sahabat beserta keluarga kecilnya.
"Aku titip anak-anakku, Hira, juga Mas Ily..."
"Rumi, kumohon bertahanlah. Rumi...Harumi. Tidak...."
Tak dipedulikan Hira, bajunya yang terkena ceceran darah segar. Raungan dan isak tangis memenuhi ruangan tempat sahabatnya terbujur kaku.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun Allah berkehendak lain. Tolong keluarga dari pasien dikabari untuk mengurus jenazahnya!" ucap duka salah satu dokter yang menangani.
Mahira mengangguk lemah, tak pernah dibayangkan sahabat suka dukanya akan berakhir meregang nyawa oleh sebuah kecelakaan tragis.
Suami dari sahabatnya, Ilyas Arkana Wijaya sedang bertarung dengan alat-alat di ruang ICU. Sementara itu, dua anak kembarnya yang cantik dan mungil hanya pingsan dan luka ringan.
Dipeluknya erat dua malaikat kecil yang selalu memberikan wajah gemasnya saat Hira pertama bersua Harumi ibunya.
"Mas David, tolong ke RS sekarang! Hira butuh bantuan," ucapnya disela isakan yang belum reda melalui benda pipih hitam di tangannya.
David segera memacu mobil bersama Muna istri yang dinikahinya.
Laki-laki yang berprofesi sebagai dosen di sebuah universitas ibukota menjadi satu-satunya orang yang menyayangi Hira. Terlahir dan hidup di panti asuhan menjadikan Hira dan David seperti kakak adik.
David selalu ada dimana Hira membutuhkan bantuan. Seperti saat ini, David menjadi orang pertama yang dihubungi Hira untuk membantu mengurus kecelakaan keluarga Ilyas Arkana.
***
Sebulan kemudian di halaman rumah mewah dilangsungkan akad nikah sederhana.
...
"Saya terima nikahnya Mahira Saraswati binti Ahmad dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
...
"Saksi, sah?"
"Sah."
"Alhamdulillah...."
Ucap syukur keluar dari mulut keluarga yag hadir.
David dan Muna menjadi satu-satunya keluarga yang hadir untuk Mahira yang yatim piatu. Mengundang ibu asuhnya jelas tidak mungkin karena jauh di kampung halaman pelosok kota Magelang Jawa Tengah.
"Selamat Mahira Saraswati, semoga bisa menjadi pengganti menantuku Harumi yang kebaikannya tak tertandingi,"
Deg, nyes,
Itulah yang dirasakan Hira mendengar ucapan ibu mertuanya. Entah ucapan sebagai cambuk semangat atau justru ejekan apa dia bisa seperti Rumi yang memang tak diragukan lagi kesholihannya.
"Selamat datang di keluarga Wijaya, kakak ipar." Gadis muda berjilbab anggun memberi selamat pada Hira dengan wajah sedikit sinis.
'Ya Rabb, kenapa aku jadi ragu bisa menggantikan Rumi,' lirih Hira dalam lamunannya.
"Selamat ya, Mahira. Semoga menjadi istri dan ibu yang baik untuk Keisha dan Keyla." Setidaknya satu dari keluarga Arkana menyambut baik kehadiran Hira. Dia adalah Om Reno adik dari mendiang ayah Arkana.
Malam menjelang, Hira memeluk erat Keisha dan Keyla yang bersiap memeluk guling di ranjang mungilnya.
Hatinya bergemuruh saat dua malaikat kecil sahabatnya telah terbang ke alam mimpi.
Ini pertanda dia harus segera kembali ke kamarnya. Kamar yang akan dihuninya bersama Arkana suaminya.
Hira tak bisa membayangkan bagaimana melewati malam pertama dengan suami sahabatnya. Berat setidaknya itulah yang dirasakannya. Karena ada pembanding yang lebih dulu menawarkan cinta pada suaminya.
Apalagi pembanding itu sahabatnya sendiri yang kebaikannya tak diragukan lagi. Harumi nyaris tanpa cela dimata Mahira.
Cklek,
Pelan langkah yang diambil Hira sembari membawa dua cangkir susu jahe yag disiapkan Bu Surti atas perintah Bu Liyan ibunda Arkana.
Sunyi, hanya denting jarum jam yang menambah rasa gugupnya seperti saat di sidang ujian skripsi. Dilihatnya sang suami sedang menyandar di kepala ranjang.
"Ar, diminum susu hangatnya!"
"Kamu panggil apa tadi?" sentaknya membuat Hira tergelak.
Sikap dingin dan wajah datar yang ditunjukkan Arkana membuat nyalinya menciut. Sikap yang jauh berbeda 180 derajat saat dijumpainya sebelum Rumi menghadap sang Illahi.
Hira menaruh nampan dan isinya di nakas.
"Jangan memanggilku seenakmu. Aku tidak suka dipanggil Arkana."
"Hah, lalu aku panggil apa? Ilyas, Mas, Pak?"
'Astaga, kenapa dia berubah dingin. Ini tidak semudah yang aku bayangkan,' batin Hira sembari meraup oksigen di sekitarnya.
"Kamu sekarang memang istriku, tapi jangan harap bisa menggantikan Rumi, Hira. Kamu cukup merawat putriku dan melayaninya."
"Tapi Ar, hmm maaf, Yas?"
" Kamu pikir aku akan membiarkan orang yang menyebabkan istriku kehilangan nyawa berkeliaran dan bahagia seenaknya, hah?"
Mulut Hira menganga tak percaya dengan ucapan Ilyas. Dipikirnya Ilyas menikahinya dengan tulus untuk mencarikan sosok pengganti ibu bagi anaknya dan juga sosok istri yang mendukung dibalik kesuksesannya. Tapi nyatanya dia dianggap tak lebih sebagai pengasuh dua putrinya.
"Kamu harus bertanggung jawab atas meninggalnya Rumi, Hira! Satu hal yang harus kamu ingat, aku tidak akan pernah memperlakukanmu selayaknya Rumi. Camkan itu!"
MSS 2
Drrt,drrt.
Layar ponsel Hira tertera nama Rumi BFF (best friend forever), begitulah kepanjangannya. Persahabatn mereka bagaikan inai dengan kuku tak dapat dipisahkan.
"Halo." Binar mata terlukis di wajah Hira yang menerima panggilan BFFnya.
Kedua sahabat baik itu selalu memulai salam untuk menyapa keduanya yang sudah lama terpisah jarak antar benua.
"Rumi apa kabar?" teriak histeris Hira yang sudah kangen berat.
Rumi mengikuti suaminya studi lanjut ke Australia selama dua tahun.
"Alhamdulillah sehat. Aku di Jakarta sekarang. Suamiku sudah lulus dan berniat melanjutkan bisnis keluarganya," terang Rumi tak kalah gembiranya menyapa Hira.
"Serius? Aku juga di Jakarta, nguli cari rejeki, Rum," candanya dengan wajah memelas meski Rumi tak dapat melihatnya karena mereka bukan melakukan video call.
"Oke kita janjian meet up, yuk!"
"Hmm, minggu depan gimana? Bosku sedang peralihan jabatan, nih. Agak serius menyiapkan pimpinan yang baru. Takutnya lebih galak dan lebih tua," tawa Hira membahana membuat Rumi berdecak.
"Memangnya bos yang lama masih muda dan gagah?"
"Enggak juga sih, Om-om tapi ganteng. Ups."
Hira sudah menutup mulutnya sambil melihat ke kanan kiri memastikan tidak ada karyawan lain yang mendengar.
Pagi-pagi sekali dia datang tepat waktu. Kinerja dan kedisiplinannya memang tidak diragukan lagi.
Tidak bisa dipungkiri Pak Reno Wijaya bosnya sangat perhatian padanya.
"Ya ampun Hira, kamu masih jomblo dan suka Om-om?"
"Sttt, sudah dulu ya! Bosku datang ,nih."
Tut.tut..
Hira mematikan ponsel dengan sepihak melihat bosnya berjalan dengan langkah lebar diikuti sekretarisnya.
"Jeni, tolong Hira dan kepala divisi lain suruh bersiap di ruang meeting!"
"Hah, sekarang, Pak?"
"Tidak Jeni, bulan depan," sungut Reno yang pikirannya terpecah belah.
"Baik, Pak."
Jeni sekretaris berusia kepala tiga itu selalu sabar mengahadapi mood bosnya yang naik turun. Saat mood bagus, perhatiannya selangit pada karyawan terutama kepala divisi. Tak terkecuali Mahira, gadis cantik berambut panjang idola karyawan laki-laki.
Sebaliknya, saat mood buruk, semua akan kena getahnya. Tidak ada yang berani berargumen kecuali Mahira. Gadis itu mampu melunakkan hati sang bos.
Ruang meeting berukuran 6x9meter menjadi tempat bersejarah, Reno mengadakan rapat mendadak untuk menyambut kedatangan pimpinan baru perusahaan kosmetik yang dipegangnya.
"Bi, kamu tahu kenapa Bos ngajak rapat mendadak?" bisik Hira pada Roby karyawan laki-laki yang selau mendekatinya tetapi tak kunjung berani mengungkap rasa.
"Nggak tahu, Rara sayang," jawabnya mesra seperti biasa.
"Ishhh, selau deh." Hira memutar bola matanya jengah karena Roby selalu membuat karyawan lain salah paham terhadap keduanya. Hira menganggap Roby hanya mencandainya meski dibalik itu ada maksud tersembunyi yang tak disadarinya.
"Pak Reno, tumben rapat mendadak, pagi-pagi lagi," celetuk Mahira mencoba mendekati bosnya. Dia memang karyawan yang paling berani menyapa santai bosnya.
"Kenapa? Belum sarapan?" Hira hanya menyengir kuda. Kebiasaannya datang awal supaya menjadi teladan kedisiplinan di tempat kerja tidak diimbangi dengan pola makannya yang justru berantakan.
"Tenang saja, nanti ada snack berat," senyum tersungging di bibir Reno setiap kali berhadapan dengan karyawan berprestasinya itu.
"Baiklah, teman-teman semua kepala divisi. Saya ingin menyampaikan bahwasanya akan ada peralihan jabatan pimpinan baru di perusahaan kita."
"Yah...," beberapa menampilkan mimik kecewa karena menduga bos baru mereka galak dan sudah tua.
Namun, yang terjadi di luar ekspektasi mereka. Seorang pemuda tampan dan gagah dengan kacamata hitam bertengger melangkah mendekat dan berdiri tepat di samping kanan bos mereka. Setelah jas hitamnya yang rapi dipadupadankan dasi navy menambah kadar ketampanannya naik satu level.
"Saya kenalkan ini Pak Ilyas bos baru kalian. Beliau adalah putra tertua pemilik perusahaan ini. Jadi, tunai sudah tugas saya memimpin kalian. Atas segala salah dan khilaf saya mohon dimaafkan."
"Lalu Pak Reno pindah kemana?" celetuk Mahira sedikit tak menghargai kehadiran bos barunya karena menampilkan kekecewaan Pak Reno yang akan lengser.
"Tenang saja, Hira. Saya tetap ada di hati kalian."
"Huuhhh," Hira justru malu akibat kekonyolannya sendiri.
Lantas Reno mempersilakan Ilyas memberi sambutan.
"Baiklah, saya ucapkan terima kasih yang sebesarnya pada Bos senior sekaligus Om saya yang telah memegang kendali perusahaan hingga maju pesat. Beliau tidak akan kemana-mana melainkan tetap bekerja menjadi penanggung jawab. Karena saya masih tahap belajar memimpin, jadi saya perlu belajar banyak dari beliau. Mohon kerja samanya dari teman-teman sekalian. Terutama siapa namamu?"
Hira terlonjak kaget melihat telunjuk bos baru mengarah padanya.
Dia berdiri seraya membungkukkan badan.
"Saya Mahira Saraswati, Pak. Siap menerima segala perintah terkait pekerjaan," ucap tegas Hira meski kedua tangan sedikit gemetar dirasa.
"Kamu terlihat kecewa karena pergantian pimpinan kali ini."
"Ah, tidak Pak. Saya senang Bapak hadir memimpin perusahaan milik keluarga," ucap Hira lagi dengan intonasi diturunkan satu oktaf. Nyalinya menciut merasa bos baru sedang menelitinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Baiklah, perkenalkan nama saya Ilyas. Lengkapnya Ilyas Arkana Wijaya," tegasnya dengan tangan kanan melepas kaca mata hitam yang sedari tadi bertengger menutupi manik mata tajamnya mengarah ke Mahira.
'Arkana...'
Satu kata yang mampu diucapkan dalam hati Hira dengan mulut menganga tak percaya.
'Kenapa harus ketemu dia di sini. Ingin rasanya aku pulang dan bersembunyi di bawah bantal keropi kesayanganku,' batin Hira.
MSS3
'Arkana...'
Satu kata yang mampu diucapkan Hira dalam hati dengan mulut menganga tak percaya.
'Kenapa harus ketemu dia di sini. Ingin rasanya aku pulang dan bersembunyi di bawah bantal keropi kesayanganku,' batin Hira.
"Hira, kamu kenapa bengong?" seru Pak Reno membuyarkan lamunan Hira.
'Apakah Tuhan sedang menghukumku dengan menghadirkannya kembali di hidupku. Dia tidak tahu kalau aku memendam rasa padanya. Oh sungguh mengenaskan nasibku. Saat hati ini berusaha melupakannya dengan menerima kehadiran orang-orang yang perhatian padaku, justru tiba-tiba dia kembali mengalihkan duniaku.'
Hira masih menerawang dan sesekali mengernyitkan dahi membuat Roby yang sedari tadi fokus padanya pun heran.
"Kamu kenal Pak Ilyas, Ra?" bisik Roby di telinga kanan Hira membuatnya berjengit.
"Ah, tidak, Bi. Mana ada gadis biasa sepertiku bergaul dengan pria tampan dan kaya seperti bos baru kita," kilah Hira.
"Iya juga, Ra. Kamu gaulnya cuma sama aku, sih."
"Aww, sakit, Ra."
"Jangan bercanda, kita lagi meeting serius!" Hira melototi Roby dan mencubit lengannya karena sudah mencandainya.
Meeting sejatinya berlangsung singkat. Namun tidak bagi Hira yang berada satu ruangan dengan masa lalunya. Teman kuliahnya saat sarjana yang selalu hadir di mimpinya dan menghilang tanpa kabar justru kini hadir di depan mata. Satu jam serasa sehari, dinginnya AC yang menyengat kulit tak dirasanya. Udara sejuk pun kian panas menurutnya.
Hira ingin sekali berlari keluar ruangan secepat mungkin.
Lega terasa, Hira menghirup dengan rakus oksigen dan menyudahi pergolakan batinnya yang membuat detak jantungnya tak normal.
'Apakah Arkana masih sendiri? Ah tidak mungkin, pastilah dia sudah berkeluarga dan punya anak. Ni otak kenapa berharap yang mustahil, sih,' guman Hira.
"Yuk, Ra. Kembali ke markas!" ajak Roby yang dibalas dengan acungan jempol kanan Hira.
"Eh, sebentar, Bi. Berkasku ada yang ketinggalan di dalam."
Hira melangkah balik masuk ruangan meeting dan pandangannya jatuh pada lembaran putih yang masih tergeletak di meja depan.
Dia segera menghampiri berkasnya dan berniat kembali menyusul Roby.
Belum sampai tangannya meraih berkas itu, sudah ada tangan lain yang menyambarnya.
"Apa kabar, Mahira?"
Jleb,
Hira menelan salivanya, laki-laki masa lalunya ini telah berubah. Keceriaan yang dulu ditunjukkan padanya hilang entah kemana. Kini berganti sikap dingin dan tegas. Panggilan Rara pun berganti menjadi lengkap Mahira.
"Maaf Pak Ilyas, saya permisi dulu." Hira tak mampu menguasai gugupnya. Seandainya dia bertahan dengan menjawab tanya hos barunya pastilah ketahuan sikap canggungnya.
Hira melesat jauh saat Pak Reno mendekati Ilyas.
"Kamu kenal Mahira, Yas?"
"Oh, dia karyawan di sini, Om? Sejak kapan?"
"Sudah dua tahun dia bekerja di sini. Prestasinya bagus, Om suka kinerjanya. Dari sekian karyawan dialah yang jadi teladan.
"Sepertinya Om mengenal baik gadis itu?"
"Ya begitulah, tapi dia gadis yang sulit ditaklukkan. Banyak karyawan laki-laki yang mendekatinya. Namun hanya satu yang dia percaya."
Kening Ilyas berkerut, ada setitik nyeri di hati mendengar Hira hanya percaya satu laki-laki yang mendekatinya.
"Dia masih single?" tanya Ilyas penasaran.
"Kenapa? Kamu sudah punya Harumi dan dua putri, berniat nambah lagi, huh? Om saja satu belum dapat?"
Ilyas tak mampu menahan tawanya, sedangkan Reno hanya mencebik kesal.
"Jadi, Om ku yang ganteng sedang mengincar gadis muda itu. Semangat berjuang Om."
"Kamu meledekku?"
"Ah tidak." Ilyas segera berlalu meninggalkan Om Reno sebelum kena pukul.
"Mahira Saraswati, aku pikir kamu sudah hidup bahagia bersama David laki-laki kebanggaanmu. Ternyata kamu masih setia dengan menyendiri sampai saat ini."
Deg,
Suara asing tak kasat mata menyapa telinga Hira dan memaksanya berbalik mengikuti arah datangnya.
Hembusan angin dari balkon lantai 7 kantornya menerpa wajah cantiknya yang berpoles make up sederhana.
Rambut panjangnya sebagian tergerai segera dirapikannya dengan tali rambut keropi kesukaannya.
Hira melirik was-was sekitarannya takut manakala ada karyawan memergoki interaksi keduanya.
"Eh, Pak Ilyas mau ke ruang apa? Saya siap mengantar."
Hira berusaha bersikap profesional dengan menghilangkan canggungnya.
"Kamu tidak berubah, selalu dekat dengan keropi."
Senyum terkesan sinis dari bibir Ilyas begitu jelas ditangkap netra Hira. Dia menyesal memakai tali rambut keropi yang masih melingkar di tangan kirinya.
'Astaga, dia masih ingat pernak-pernik kesukaanku. Bahkan dia membahas tentang Mas David. Duh, bagaimana caraku kabur darinya.'
Hira memutar otak cerdasnya berharap ide cemerlang itu muncul secepat kilat.
"Pak Ilyas, ada Pak Reno memanggil," tunjuk Hira ke arah belakang Ilyas hingga bos barunya itu menoleh.
Merasa dibohongi, Ilyas berdecih kesal menoleh kembali ke posisi semula. Namun Hira sudah melesat kabur darinya.
Waktu telah menandakan habis jam kerja, karyawan perusahaan komestik mulai berhamburan di parkiran.
Mobil sport mewah sudah terparkir di lobby menjemput sang empunya yang tak lain adalah bos baru mereka.
"Kamu lihat apa, Ra?"
Hira memicingkan mata fokus pada penumpang di dalam mobil.
Perempuan berjilbab dan dua anak kecil tampak berada di dalamnya.
"Eh, itu istri dan anak Pak Ilyas kayaknya," celetuk Roby.
Namun yang diajak bicara hanya mampu bergeming.
Terlalu sakit hati, rasanya menyayat di dadanya Hira tak mampu berucap. Tenggorokannya serasa tercekat.
'Ya, Arkana sudah menikah dan punya anak,' lirihnya dalam penyesalan.
MSS4
"Eh, itu istri dan anak Pak Ilyas kayaknya," celetuk Roby.
Namun yang diajak bicara hanya mampu bergeming.
Terlalu sakit hati, rasa menyayat di dadanya membuat Hira tak mampu berucap. Tenggorokannya serasa tercekat.
'Ya, Arkana sudah menikah dan punya anak,' lirihnya dalam penyesalan.
"Ayo, malah melamun!"
Tin.tin.
"Eh, Pak Reno. Maaf Pak, silakan."
Roby menyilakan bos lamanya untuk melewati jalan.
"Kalian belum pulang? Ini baru mau ambil motor, Pak."
"Udah, ikut mobil saya aja, yuk!"
"Kemana, Pak?"
Pak Reno hanya menatap sekilas karyawan cantiknya terdiam. Heran itulah yang dipikirnya, biasanya ceria dan cerewet tapi ini sebaliknya.
"Masuk aja dulu!"
Roby membukakan pintu belakang untuk Hira sedangkan dirinya di samping Pak Reno.
Hira tak menyadari dirinya berada di mobil bos lamanya. Dia tergelak dan menoleh kanan kiri.
"Astaghfirullah, Bi. Katanya pakai motor, kenapa berganti mobil mewah begini?" ucapnya polos membuat pengemudi terbahak.
"Astaga, Hira. Dari tadi kamu kemana aja. Tumben si cerewet ini jadi pendiam," ledek Pak Reno.
"Hah, Pak Reno?"
"Apa, baru nyadar." Sang bos sudah mencebik kesal sedangkan Hira hanya mengulum senyum mengurangi rasa malu.
"Kita mau kemana, Pak?"
"Kencan."
"Jangan bercanda, Pak!"
" Saya serius."
"Mana ada kencan bertiga," dengus Hira.
"Jadi, kamu mau kita kencan berdua. Kalau begitu Roby turun sini saja."
"Ishh, Hira tega nih mau ninggalin aku."
"Terserah Pak Reno aja, deh."
Di sinilah mereka bertiga, menikmati makanan restoran berkelas yang jarang-jarang didapatkan Mahira, entah kalau Roby. Sepertinya Roby anak orang kaya yang berpura-pura jadi orang biasa agar Mahira mau berteman baik dengannya.
"Pak Reno, tadi Pak Ilyas seperti dijemput mobil berisi penumpang anak-anak dan perempuan berjilbab."
Deg,
Entah kenapa jantung Hira tiba-tiba berdegup kencang mendengar penuturan Roby.
Kecewa dirasanya yang hilang sementara kini mencuat kembali. Dia mencoba menikmati makanan di depan mata. Namun kunyahan-demi kunyahan tak mampu membuatnya menelan sempurna.
"Oh, itu anak dan istrinya Pak Ilyas."
Uhuk,uhuk.
Hira tersedak makanan yang sedari tadi susah ditelannya membuat wajahnya memerah.
"Kamu tidak apa-apa, Ra?" Roby mencoba menepuk punggung Hira dengan lembut. Namun sang empunya segera mengangkat tangan kiri menghentikan aksi Roby.
Hira tak enak hati manakala Pak Reno mematap tajam perlakuan Roby narusan padanya.
"Minumlah!" Sebuah gelas berisi air putih disodorkan Reno pada Hira yang mencoba tersenyum.
"Ngapain juga kamu tanya-tanya, Bi? Hira jadi tersedak, kan?" Reno kesal dengan kelakuan karyawannya yang membuat Hira tersedak.
"Maaf, Pak. Ini juga mewakili pertanyaan yang membuat penasaran Hira, kok."
Hira sudah melotot tajam ke arah Roby yang seenaknya menjadikan dia umpan. Meski kenyataan rasa ingin tahu Hira pun besar.
"Istrinya cantik dan sholihah. Ilyas sangat mencintainya, terlihat dari kebersamaan mereka yang terkesan harmonis," lanjut Reno. Setidaknya itu yang terlihat dari luar, entah kehidupan di dalamnya siapa yang tahu. Mereka korban perjpdohan orang tua.
Reno mengedikkan bahunya, sedangkan Hira mendengarkan dengan seksama.
'Arkana dijodohkan oleh orang tuanya?'
Hira mencoba terbang ke masa lalu.
"Ra, apa rencanamu setelah lulus?" tanya Arkana sembari duduk santai di depan ruang sidang skripsi.
"Apa, ya? Kerja dulu baru nikah, kayaknya Ar," jawab Hira ragu.
"Kalau ada yang melamarmu?"
"Hah, siapa? Laki-laki yang dekat denganku hanya Mas David. Tapi nggak mungkin dia tertarik sama aku."
Ucapan Hira menyisakan raut kecewa di wajah Arkana karena hanya nama David yang ada diingatannya.
Di sisi lain Hira mencoba memancing respon Arkana mengenai ucapannya. Namun yang ditunggu tak sesuai ekspektasinya. Keduanya hanya terdiam dan mengalihkan pembicaraan.
"Ra, kenapa malah melamun?" Roby melambaikan tangan di depan Hira yang tersentak kaget bangun dari lamunannya.
"Sepertinya Pak Reno meragukan kebahagiaan Pak Ilyas," celetuk Hira tanpa memikirkan pertanyaan konyolnya.
"Sudahlah, kenapa ngurusin rumah tangga orang. Gimana kalau membahas rencana rumah tangga kita saja!"
"Apa...?" Roby dan Hira berteriak histeris bersamaan.
"Maksud Pak Reno apa?"
"Pak Reno mau mengajak Hira berumah tangga?"
"Haha, kalau Hira mau. Kalian ini memangnya tidak mau berumah tangga? Tentu saja dengan pasangan masing-masing nantinya."
"Owh..." Kedua karyawan Reno hanya ber-oh ria.
Selesai makan, mereka meninggalkan restoran untuk kembali ke kantor karena Reno ada lembur membuat laporan kinerjanya sebelum jabatannya diambil.alih Ilyas.
"Kamu mau ikut ke kantor lagi atau gimana, Ra?"
"Saya turun di minimarket depan itu saja, Pak. Mau belanja bulanan, stok di kulkas sudah habis."
Reno menurunkan Hira tepat di depan minimarket kemudian melajukan mobilnya bersama Roby kembali ke kantor karena motor karyawannya masih terparkir di sana.
Saat kaki Hira melangkah, netranya tak asing dengan mobil sport hitam yang terparkir di depan minimarket.
Fix, itu mobil yang ditumpangi Pak Ilyas dan keluarganya.
Hira mengendap dan memicingkan matanya. Tampak olehnya Ilyas sedang membuka ipadnya di samping sopir.
Tak ada penumpang lain di dalamnya, pasti mereka sedang belanja.
Hira mengurungkan niatnya masuk ke minimarket.
Dia tidak siap bertemu anak istri bos barunya. Gegas Hira membalikkan badan melangkah menjauhi tempat tujuannya.
"Mahira?"
Deg.
MSS 5
Hira mengendap dan memicingkan matanya. Tampak olehnya Ilyas sedang membuka ipadnya di samping sopir.
Tak ada penumpang lain di dalamnya, pasti mereka sedang belanja.
Hira mengurungkan niatnya masuk ke minimarket.
Dia tidak siap bertemu anak istri bos barunya. Gegas Hira membalikkan badan melangkah menjauhi tempat tujuannya.
"Mahira?"
Deg.
'Kenapa dia bisa tahu aku, bukannya tadi lagi fokus dengan ipadnya,' Hira ragu ingin membalikkan badannya.
"Mau kemana?"
Langkah kaki Hira terhenti kembali dan segera membalikkan badannya. Hal yang tidak mungkin untuk dirinya melarikan diri.
"Ar... Eh Pak Ilyas. Maaf, Pak." Membungkukkan badan yang dilakukan Hira sebagai permohonan maaf telah mengabaikan panggilan bos barunya.
"Tadinya saya mau belanja, Pak. Tapi dompet saya sepertinya ketinggalan," kilahnya membela diri.
Ilyas hanya tersenyum kilat membuat hati Hira menghangat.
'Senyuman itu masih sama, meski hanya sekilas tapi aku bisa merasakan hadirnya. Ups, kenapa mimpiku melambung tinggi,' umpat Hira pada dirinya sendiri.
"Capuccino tiga cup, Mbak! Yang satu cup tolong antarkan ke sopir saya!" seru Ilyas pada penjual minuman di depan mini market.
Dua cup cappucino menemani Hira bercengkerama dengan Ilyas di kursi yang tersedia di depan mini market.
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama," balas Ilyas singkat, padat dan kali ini tanpa senyuman.
"Kamu kemana saja selama ini? Kenapa bisa bekerja di perusahaan keluargaku?"
Hira bisa menangkap mimik penasaran laki-laki di depannya. Wajah teduhnya masih sama, menarik di pandang karena pesona ketampanannya tak berubah. Hira justru melihat Ilyas semakin dewasa, tegas, dan berwibawa. Namun satu kekurangannya, senyum ceria yang dulu terpancar sedikit berkurang entah kenapa Hira tidak tahu itu.
"Aku ikut Mas David ke Jakarta dan diterima kerja di perusahaan yang dipimpin Pak Reno waktu itu."
Wajah Ilyas semakin redup ditangkap indra penglihatan Hira.
'Apa aku salah berucap hingga membuat Pak Ilyas semakin dingin, ya?' guman Hira heran.
"Kamu dan Mas David...?"
Hira segera memotong ucapan Ilyas setelah tahu arah pembicaraan mereka.
"Mas David tinggal bersama Mbak Muna istrinya. Aku hanya menumpang sementara di sana sampai aku bisa mendapatkan tempat tinggal sendiri."
Hira berucap lirih sembari menunduk. Dua tahun tinggal bersama David dan Muna hanyalah keterpaksaan. Dia sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah atau menyewa apartemen.
Pernah sekali Hira tinggal di kontrakan tetapi ujungnya keselamatn dirinya yang tidak dapat terjamin. Alhasil David memaksanya kembali tinggal sementara di rumahnya bersama Muna.
Tak jarang dia mendapat teguran sinis dari ibunda Muna. Tidak baik perempuan yang bukan mahram tinggal bersama ditengah-tengah keluarga kecil yang memang belum dikaruniai anak.
Apalagi ibu mertua David adalah donatur panti asuhan tempat Hira dibesarkan.
"Mas David kerja di mana?" lanjut Ilyas bak petugas yang sedang menginterogasi tersangka.
Mengulik kehidupan Hira merupakan kesenangan tersendiri bagi Ilyas yang terbentang jarak dan waktu sesaat setelah mereka lulus kuliah.
"Mas David mengajar di universitas kota Jakarta."
"Oya, istri Pak Ilyas orang mana?" Hira menata hatinya memberanikan diri bertanya dengan nada terbata. Tenggorokannya sungguh tidak lega melontarkan kalimat tanya itu.
"Aku menikah dengan orang ...,"
Drrt,drrt
"Maaf, Pak. Saya angkat panggilan dulu."
Ilyas mengangguk sambil meneruskan menyesap cappucinonya yang tersisa setengah.
Dipandangnya langit sore yang sebentar lagi menampakkan senja.
Hatinya entah bagaimana dirasa. Dia sadar sudah memiliki kebahagiaannya tersendiri dengan keluarga kecilnya. Sempat terbesit simpati pada teman lama yang pernah mengisi hari-harinya semasa kuliah.
'Andai saja...,' Ilyas segera memutus pikiran buruknya sesaat, hal yang tak seharusnya dilamunkannya.
"Rumi memangnya kamu di mana? Aku lagi belanja di minimarket dekat kantor. Mau ketemuan sekarang atau besok juga nggak apa-apa?" teriak Hira. Ilyas menangkap seru sekali obrolannya.
"Eh, aku juga lagi di mini market sama anak-anak. Tapi mini market yang sama atau tidak ya?"
Hira menoleh arah pintu masuk mini market menampilkan sosok wanita cantik berjilbab menjuntai di depan dada menggandeng dua malaikat cantik serta meneteng tas kresek di sebelah tangan kanan.
Sepertinya kerepotan sekali tapi Hira tak mampu melangkah karena masih menatap kagum sahabatnya sejak SD hingga SMA yang terihat makin cantik.
Hira justru terkesan dengan Ilyas yang tanpa diminta langsung meraih tas kresek belanjaan.
'Tapi tunggu, kenapa Ilyas membantu Rumi. Apakah aku hanya salah lihat?'
Seketika pikiran Hira berkecamuk. Dunia seakan runtuh bersamaan dengan turunnya hujan.
Semesta seakan turut berduka dengan nasib yang dialaminya. Sahabat karibnya, sahabat suka dukanya ternyata....
Hira tak mampu membayangkan lebih jauh karena bisa dipastikan sebentar lagi air matanya pun akan tumpah.
"Mahira, Rara cantik sahabatku." Rumi memeluk erat tubuh Hira yang mematung dan tak bergeming, lidahnya pun kelu tak sanggup bersuara.
Gemuruh di dadanya naik satu level saat Ilyas menggendong dua malaikat yang tersenyum padanya tapi urung dibalas dengan senyuman pula.
"Rara, kenalkan ini Ilyas suamiku."
MSS 6
"Mahira, Rara cantik sahabatku." Rumi memeluk erat tubuh Hira yang mematung dan tak bergeming, lidahnya pun kelu tak sanggup bersuara.
Gemuruh di dadanya naik satu level saat Ilyas menggendong dua malaikat yang tersenyum padanya tapi urung dibalas dengan senyuman pula.
"Rara, kenalkan ini Ilyas suamiku."
Bak petir menyambar, itulah yang dirasakan Hira saat ini.
Demi apa hidupnya kali ini luluh lantak, sahabat tercintanya bersuamikan laki-laki yang sama dalam mimpinya.
"Benarkah," ucap Hira terbata. Susah payah dirinya menarik nafas panjang mengurangi nyeri di dadanya yang baru saja terasa.
Sakit seakan tersayat, luka yang dalam tetapi tak berdarah. Dia tidak mungkin memprotes Tuhannya atas apa yang menjadi takdirnya.
Memang sudah takdir Harumi menjadi istri seorang Arkana yang namanya selalu tersimpan di hati Hira.
Bodohnya Hira yang tidak terlau peduli saat Harumi mengabarinya tentang pernikahan mereka. Pernikahan hasil perjodohan orang tua mereka.
Kala itu,
"Rara, minggu depan aku menikah. Hadirmu aku tunggu. Tidak ada penolakan titik." Suara melalui ponsel memekakkan telinga Hira.
"Apa? Sama siapa, Rumi?"
"Laki-laki lah masak iya sama perempuan."
"Iya iya, aku tahu."
"Sama Ilyas."
"Ilyas laki-laki yang dijodohkan orang tuamu?"
"Heem. Beneran datang lho ya."
"Maafkan aku Rumi, besok lusa aku sudah harus ke Jakarta ada panggilan kerja. Aku berangkat sama Mas David dan Mbak Muna. Aku doakan pernikahanmu lancar dan barakah ya. Semoga ada kesempatan kita berjumpa, nanti kamu kenalin suamimu ke aku."
"Rara, hai kenapa malah melamun? Kamu kenal Mas Ilyas?" selidik Rumi sembari mengibaskan tangan si depan wajah Hira yang tergagap tak siap dengan pertanyaan yang dilontarkan.
"Eh itu, Rumi. Hmm, Pak Ilyas itu bos baru di kantorku."
Hira yang semula salah tingkah mampu menguasai diri saat tercetus ide jawaban.
Dia tak mau mengaku sebagai teman kuliah Arkana, bisa-bisa Rumi curiga dengan laki-laki yang disukainya.
Sementara itu, bosnya hanya menatapnya lurus sambil menggendong putrinya.
"Benarkah? Berarti kita bisa sering bertemu, Ra." Binar jelas terpancar di wajah Rumi bertemu kembali sahabat masa kecil hingga remajanya.
"Putrimu cantik-cantik, Rumi."
"Ah iya, Ra. Ini Keisha dan Keyla." Rumi mengenalkan kedua putri kembarnya membuat Hira mendekat ingin mencubitnya.
Tak bisa dipungkiri hati Hira kian tercubit melihat kebersamaan keluarga kecil sahabatnya. Dirinya, jangan ditanya, kesibukannya bekerja benar-benar menenggelamkan keinginannya berumah tangga. Bukan tidak mau, tetapi Hira masih terpaku pada satu hati dan berpengharapan padanya. Namun kini harapan itu musnah sudah.
"Aku juga seneng banget akhirnya bisa memelukmu lagi." Hira memaksakan senyumnya seraya melirik Arkana yang tengah menatapnya penuh selidik. Debaran itu terasa saat manik mata Arkana mengunci pandangannya. Hira mencoba membuang muka agar tak terkesan rasa kecewanya.
"Rumi, sudah sore. Aku harus pulang takutnya Mas David mencariku."
"Tapi hujan, Ra. Kamu naik apa?" seru Rumi penuh kekawatiran.
"Itu taksi online nunggu di sana. Sampai ketemu lagi, Rumi. Mari Pak Ilyas."
Gegas Hira meninggalkan keluarga kecil nan bahagia yang sepintas menciptakan rasa iri di hatinya. Namun segera ditepisnya pikiran buruk itu.
'Tidak, aku dan Rumi sahabat baik. Harusnya aku bahagia melihat dia bahagia.'
Dia berjalan tak tentu arah dalam guyuran hujan.
Tak dipikirkannya kemana arah tujuan yang penting jauh dari mini market itu.
Berkali-kali ditepuknya dada yang nyeri. Air mata pun melebur jadi satu bersama hujan.
"Ya Rabb, kuatkan aku. Arkana, kenapa harus Rumi sahabatku."
Kenyataan Rumi istri Arkana sungguh menohok Hira. Kondisinya satu kosong untuk Arkana. Harusnya Hira kecewa tetapi urung dilakukannya. Setelah hari ini, Hira akan berat melewatinya.
***
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Eh sudah pulang. Astaghfirullah, bajumu basah kuyup begini, Ra. Ayo lekas ganti, aku buatkan teh hangat."
Muna istri David sangat menyayangi Hira. Setidaknya wanita yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga ini sudah seperti ibu baginya.
"Diminum dulu tehnya, Ra!"
Hira tak menurut justru berhambur ke pelukan Muna. Isak tangis pun pecah membuat Muna tergelak. Hira sedang tidak baik-baik saja pikirnya.
"Ada apa, Ra?"
Tangis tak reda malah bertambah keras. Dielusnya punggung Hira yang bergetar. Muna membiarkan saja tangisan Hira mereda sendiri. Itu akan lebih baik hingga hatinya merasa tenang. Lagian David belum pulang juga jadi tidak perlu ada yang dikawatirkan.
"Ya sudah kalau kamu tidak mau cerita, kapan-kapan kalau sudah lega aja Mbak siap mendengarkan," hibur Muna dengan kelembutannya membuat Hira tenang.
"Aku ketemu Arkana Mbak."
"Arkana? Teman kuliah yang kamu ceritakan dulu?"
Hira mengangguk seraya mengusap air mata yang tersisa.
"Alhamdulillah akhirnya ada kabar juga ya. Ketemu di mana?"
Wajah Muna yang semula bahagia pun memudar seiring dilihatnya Hira yang murung dan menundukkan wajah.
"Dia bos baru di kantorku," lirih Hira.
"Apa, serius?"
Muna terkesiap sedangkan Hira hanya mampu mengangguk.
"Dia membawa keluarga kecilnya."
Muna tersentuh hatinya. Dia tahu kalau Hira sedang kecewa dengan fakta yang tengah diterimanya.
"Hira, coba buka hatimu sedikit saja untuk laki-laki lain yang sekarang perhatian sama kamu. Sudah saatnya kamu move on, tidak baik memikirkan laki-laki yang sudah menjadi suami orang."
Hira kembali menghambur ke pelukan Muna menumpahkan rasa sedihnya.
***
"Mas, Rara itu sahabat baik aku. Dunia ini sempit ya. Ternyata dia karyawan kamu.'
"Hmm."
Rumi mendekati suaminya yang duduk di ranjang fokus pada ipadnya.
"Ini sudah di rumah kenapa masih bekerja."
"Sebentar kok Nda, jawab email penting."
Bunda adalah panggilan sayang dari Ilyas untuk istrinya sejak menjadi ibu dari Keisha dan Keyla.
"Kasihan Hira sampai saat ini masih menjomblo hanya karena hatinya terkunci oleh satu laki-laki di masa lalunya."
Ilyas tersentak kaget lalu perhatiannya beralih pada ucapan Rumi.
"Trus?" Rumi berbinar saat suaminya mengalihkan perhatian padanya dan menaruh ipad di nakas.
Rumi memegang kedua tangan suaminya untuk menyalurkan kehangatan.
"Dia itu memendam rasa pada teman kuliahnya, namanya Ar...,"
Dahi Ilyas mengernyit, rasa gugup pun menderanya.
MSS 7
Rumi memegang kedua tangan suaminya untuk menyalurkan kehangatan.
"Dia itu memendam rasa pada teman kuliahnya, namanya Ar...,"
Uhuk,uhuk,
Sontak saja Ilyas terbatuk dan dahinya mengernyit, rasa gugup pun menderanya.
"Kenapa, Mas?"
"Nggak apa-apa, Nda. Lanjutkan!"
"Namanya Ar..., Ah siapa ya aku lupa, Mas. Ardi, Arman, Arya, atau Ar... Eh kalau Arkana nggak mungkin ya?"
Jleb,
Ilyas menelan salivanya, dia telah dibuat salah tingkah oleh istrinya sendiri.
"Enggaklah, baru juga ketemu tadi di kantor."
"Mas jodohin aja kalau ada karyawan masih jomblo di kantor," pinta Rumi sambil menatap Ilyas yang makin tampan dan berwibawa memegang jabatan barunya.
Diusapnya rahang tegas suaminya yang berbalas tanda sayang di keningnya.
"Iya iya, ada Roby masih jomblo kayaknya lagi ndeketin trus Om Reno juga."
"Hah, Om Reno. Nggak terlalu tua untuk Hira, Mas? Cariin yang seumuran Mas dong!"
"Cinta tak memandang usia, Nda. Jodoh Allah yang atur, kita hanya wajib berusaha, kan? Setelahnya ya tawakal pada-Nya."
"Iya iya."
***
Mentari pagi menyapa hari dengan sinar terangnya. Namun cerahnya hari tak secerah hati Hira. Langkah kakinya menginjak kantor semakin membuat jantungnya berdetak tak normal.
Entah kenapa Hira merasa semakin canggung bertemu dengan bos barunya.
"Pagi, Ra. Tumben kusut gitu mukanya?" ledek Roby di pelataran parkiran. Mereka berdua berjalan bersisihan menuju lobby kantor.
Hira pun menjawab singkat salam dari Roby.
"Belum sarapan?"
Hira hanya meringis.
Seperti biasa dia memang karyawan yang disiplin dalam pekerjaan tetapi tidak untuk sarapan.
Roby menyahut lengan Hira yang mengenakan kemeja dilengkapi blazer navy dan rok selutut.
"Mau kemana, Bi?"
"Ke kantin."
Mereka berdua berbalik arah menuju kantin. Saat melewati lobby kembali, mereka berpapasan dengan bos baru.
Hira berusaha menetralkan detak jantungnya. Beberapa kali dia menghiruo oksigen di sekitarnya.
"Selamat pagi, Pak Ilyas."
Roby menyapa sambil membungkukkan badan. Dia menyenggol lengan Hira yang tidak mengikuti perlakuan hormatnya pada bos baru. Hira justru melamun saat memandang Ilyas seperti terhipnotis oleh pesona laki-laki itu.
"Hai, Ra. Awas, jangan sampai terpesona. Pak Ilyas sudah beristri."
Hira memukul lengan Roby karena bicara sembarangan. Kalau sampai karyawan lain mendengar bisa jadi bahan gosip sekantor.
Hira melewati sarapan berdua bersama Roby.
Tindakannya tak luput dari jangkauan netra Ilyas yang mengamati mereka sejak pertemuan di lobby.
"Jeni, tolong panggil kepala divisi pemasaran!"
"Baik, Pak."
Jeni sekretaris Reno selama 5 tahun kini masih setia dengan posisinya meski berganti pimpinan.
Memasuki ruang divisi pemasaran, Jeni menyapa karyawan dan memanggil nama Mahira.
"Ada apa, Bu?"
Gegas Hira melangkahkan kaki mendekati sekretaris yang berusia kepala 3.
"Kamu diminta menghadap Pak Ilyas. Jangan lupa bawa laporan dua bukan ini, ya!"
Melangkahkan kaki menuju ruang yang biasa dikunjunginya saat ditempati Pak Reno, Hira mendadak berhenti.
Dihelanya nafas panjang untuk menetralkan debaran jantungnya.
'Dulu rasanya tak seperti ini, kenapa semua jadi rumit,' batin Hira mengusap wajahnya kasar.
Tok tok,
"Masuk!"
Debaran itu kian meningkat, dinginnya AC tak mampu dirasakan Hira. Suasana ruangan mendadak terasa panas.
Tidak seperti biasa saat Reno menjabat bos, Hira kini tak berani menatap Ilyas bos barunya. Dia hanya menunduk dan sesekali mencuri pandang.
"Ini Pak, laporan pemasarannya. Bulan ini meningkat 20 persen dari bulan lalu."
"Bagus, Mahira. Lalu saran apa yang kamu usulkan untuk progres berikutnya?"
Hira melirik sekilas pada Ilyas yang menatapnya intens. Menunduk kembali adalah satu-satunya cara mengurangi kecanggungannya. Dia berusaha mempertahankan sikap profesionalnya. Hira tak mau terbawa perasaan di depan laki-laki masa lalunya.
"Tim marketing akan menambah konten kreatif untuk media sosial karena menurut analisa kami salah satu faktor peningkatannya di media sosial, Pak."
"Kinerja yang bagus. Saya tunggu laporannya bulan depan."
"Siap, Pak."
Hira membungkukkan badan tanda pamit lalu berbalik menuju pintu keluar.
"Tunggu!"
Suara denting sepatu makin mendekat dimana posisi Hira masih membelakangi Ilyas.
Deg,
'Kenapa perasaanku tak enak, ada apa lagi bos memanggilku?' guman Hira dalam hati.
"Mahira, kamu tidak sedang berpura-pura lupa, bukan?"
Hira mencoba tenang dan berbalik menghadap bosnya.
"Maksud Pak ilyas apa?" Hira mengernyitkan dahinya.
"Hmm, kamu Mahira Saraswati teman kuliahku, kan? Aku ingin tanya satu hal, apa kamu ingat teman kita yang nama depannya pakai Ar...?"
Hira tampak berpikir terlihat dari arah bola matanya ke atas. Sejujurnya dia heran dengan pertanyaan bosnya.
'Kemana arah pertanyaannya, apa dia mau memojokkanku?'
"Eh, iya. Ada Arya kelas marketing A, Ardi kelas penjualan, dan Arman kelas marketing B, Pak."
"Maksudku teman yang sekelas dengan kita, Hira."
Ilyas melangkah makin dekat mengikis jaraknya dengan posisi berdiri Hira yang semakin canggung dibuatnya.
"Hmm, kelas kita ada Ar..., Arkana," ucap Hira terbata seakan tenggorokannya tercekat lalu membuang mukanya ke samping. Dia tidak mau Ilyas melihat wajahnya yang sudah seperti kepiting rebus.
Senyum tersungging tercipta di bibir Ilyas yang sukses mengerjai Mahira.
"Pak, Pak Ilyas," ujar Hira memperingatkan Ilyas yang semakin mendekatkan wajahnya.
Aroma mint tercium oleh Hira hingga membuatnya makin gugup.
"Terima kasih sudah mengingat namaku, Hira," bisik Ilyas di telinga kiri Hira membuat jantungnya berpacu tak normal.
Cklek.
"Mas Ilyas?"
"Rumi."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
