KAPTEN AGHA (1-4)

4
0
Deskripsi

Aku pernah menolak cinta gadis ABG di tempatku bertugas. Kupikir itu hanya cinta mo nyet. Setelah lima tahun berlalu, aku bertemu lagi saat menjadi narasumber di kampus eh dia moderatornya. Sungguh dia berbeda sekali sekarang. Ingin menyapa lagi, dia terlanjur....

Sambil nunggu update teman2 bisa baca ceritaku yang sudah tamat.

Ada best seller: Dosen itu Mantanku, Setelah Anggita Pergi, Menikahi Suami Sahabatku, Jodohku Pak Dokter, Terjebak Cinta CEO Duda, Dosenku Suamiku, dll.

Nantikan selalu kisah Sasti dan Kapten Agha ya. Salam sehat selalu.πŸ™‚

Bab 1

Brakk, dentuman keras menggema di sebuah jalan raya. Memak sa pengendara mobil keluar dengan tampang tak bersahabat.

"Hey, punya mata enggak, sih? Lihat tuh motormu menab rak mobilku," teriak wanita cantik berpakaian press bo dy. Terlihat ang kuh, ia mengibaskan rambut panjangnya yang tengah digerai.

"Pokoknya kamu harus ganti ru gi," teriaknya lagi dengan lantang.

"Tunggu dulu. Mbaknya yang salah kenapa minta ganti ru gi. Harusnya saya dong yang minta, nih motor teman saya rusak," ucap wanita yang lebih muda tak mau kalah. Sasti namanya, mahasiswi tahun pertama jurusan sains.

"Enak aja. Kalau nggak mau ganti ru gi. Aku bisa jeblo skan kalian ke penja ra," an cam wanita bernama Almira itu. Ia berucap penuh percaya diri. Sebab penumpang yang ada di dalam mobilnya seorang lelaki tampan anggota kepo li sian. Dia baru saja menjemput laki-laki bernama Agha dari bandara.

"Sudah, Sas. Sepertinya dia orang ka ya yang punya beki ngan kuat," ucap lirih sahabat Sasti.

"Nggak, nggak bisa, Nin. Kita nggak salah. Dia yang mendadak masuk ke jalur lambat. Kita udah bener lah jalannya di sini," terang Sasti.

"Awas kalian berdua kalau berseko ngkol nggak mau ganti ru gi ya. Aku panggilkan poli si."

Deg

"Gimana, Sasti. Aku nggak mau masuk penja ra," rengek Nina. Namun wajah Sasti tampak tenang saja dengan ger takan wanita itu.

"Dia mau kemana, Sas. Kok buka mobilnya?"

Sasti hanya mengedikkan bahu. Netranya mengikuti langkah Almira yang sedang membuka pintu mobil. Terlihat lelaki yang ada di kursi penumpang terlelap dan dibangunkan dengan pak sa.

"Mungkin pacarnya poli si, Sas. Gimana nih, mam pus kita. Mana nggak ada du it nih kantong. Cuma ada rece han buat makan siang nanti," gerutu Nina setengah gugup.

"Tenang aja, Nin. Kita tunggu apa yang dilakukan wanita itu. Mentang-mentang orang ka ya mau nin das kita. Ya nggak maulah. Kita wajib membela diri tahu, nggak?"

"Tapi, Sas. Cowoknya itu....hmm, gimana nih, beneran dia panggil poli si. Itu, Sasti, dilihat seragamnya... Duh, mamak, aku belum ni kah. Aku nggak mau dipenja ra."

"Diam bisa nggak sih, Nin. Jangan nunjukin wajah ketakutan. Nanti kita malah diin jak-in jak."

"Mas, mereka nab rak mobilku sampai pe nyok gini. Aku mau nuntut ganti ru gi. Tapi mereka nggak mau kasih. Laporin aja biar dipenja ra, bisa nggak?"

"Apa sih, Al? Baru juga tiba di sini sudah ngajak rib....ut." Agha masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.

Sontak saja, lelaki berseragam poli si yang ditarik keluar mobil langsung melepas kaca mata hitam yang bertengger di wajahnya. Sasti menelan ludah susah payah. Ingatannya terlempar ke masa lima tahun yang lalu. Lelaki itu telah menorehkan jejak lu ka yang mendalam.

'Si al banget, kenapa harus ketemu dia di sini, huh," Sasti sedikit memalingkan muka menghindari bersitatap dengan lelaki di depannya.

"Apa yang terjadi?" tanya lelaki itu bersiap menginterogasi.

"Dia yang salah," tunjuk Sasti pada Almira.

"Kalau diajak bicara jangan berpaling. Kamu pasti ta kut, kan. Dikira aku cuma bo hongan mau lapor poli si. Nih, langsung datang orangnya," protes Almira.

Sasti tak gentar segera menatap lawan bicaranya dengan kepala tegak. Sebenarnya dia gugup bukan ta kut melainkan canggung bertemu lagi dengan masa lalu. Rasanya lu ka tak berdarah yang belum kering itu kembali terbuka.

"Kamu...."

Β 

Bab 2

"Kalau diajak bicara jangan berpaling. Kamu pasti takut, kan. Dikira aku cuma bo hongan mau lapor poli si. Nih, langsung datang orangnya," protes Almira.

Sasti tak gentar segera menatap lawan bicaranya dengan kepala tegak. Sebenarnya dia gugup bukan takut melainkan canggung bertemu lagi dengan masa lalu. Rasanya lu ka tak berdarah yang belum kering itu kembali terbuka.

"Kamu...." ucapan Agha berjeda, seraya mengamati wajah yang tak asing baginya. Namun, otaknya masih bun tu. Siapakah dia, wanita muda yang penuh percaya diri. Berjilbab simple, wajah kuning lansat dan postur tubuh bisa dibilang ideal. Agha sungguh tak bisa mengenali. Hanya sudut hatinya tergelitik kalau ia pernah ketemu wanita yang sikapnya sama dengan ini.
"Mana SIM nya?"

Glek. Sasti tersentak, sedikit lega karena lelaki di depannya tidak mengenalinya.

"Hmm, maaf saya lupa tidak bawa," ungkap Sasti asal.

"Sas, bukannya kamu memang nggak punya SIM? Duh gimana ini, Sas. Cela kalah kita sudah jatuh kena tangga lagi," bisik Nina. Reflek Sasti menyi kut tangan Nina yang mengusap lengannya.

"Tidak bawa, atau nggak punya? Dasar orang kampung naik motor ug al-ug alan, nggak punya SIM lagi. Udah nab rak gak mau ganti ru gi. Bisa dikenai pa sal berlapis tuh. Iya kan, Mas?" Agha memberi kode pada Almira untuk tidak menyela hingga membuat wanita itu tersenyum masam sambil menghentakkan kakinya.

"KTP?"

"Maaf lupa juga. Dompet saya ketinggalan di kampus. Tadi kami tergesa mau ambil barang," terang Sasti sambil menatap ke arah lain. Jelas ia tak mau menatap lawan bicaranya lama-lama. Sebab melihat wajah lelaki di depannya membuat rasa kesal bercampur ben ci lima tahun yang lalu naik sampai ke ubun-ubun.

"Ckkk, lain kali hati-hati naik motornya. Kalau belum punya SIM nggak usah bawa motor. Berba haya, bukan untuk diri sendiri tapi juga orang lain," nasehat Agha.

Sasti bukannya tidak punya SIM atau KTP. Hanya saja, ia tidak mau Agha mengenalinya. Terlihat Agha tidak kaget saat mereka berhadapan tadi. Sekalian saja ia pura-pura tidak kenal.

"Ya. Makasih," balas Sasti seraya menghela napas lega.

'Untung dia nggak mengenaliku. Hufh, kalau ingat kelakuannya dulu, menye balkan sekali. Ingin rasanya aku menca kar mukanya. Meski ganteng tapi, ah sudahlah...'

Agha lalu menyilakan Sasti dan temannya pergi.

"Eh kok cuma gitu, Mas. Mobilku?"

Agha menahan tubuh Almira yang hendak mengikuti dua wanita muda itu.

"Sudahlah, Al!"

"Tapi, Mas. Nanti dia ngelu njak. Seenaknya nggak mau ganti ru gi."

"Kamu juga salah, kenapa lewat jalur sini," terang Agha membuat Almira makin kesal. Perdebatan kecil keduanya justru disambut Sasti dengan senyuman karena terbebas dari Almira. Tanpa sengaja Sasti saling pandang dengan Agha. Kedua netra mereka saling bersirobak. Ternyata lelaki itu masih mengamatinya sedari tadi. Senyum singkat Sasti justru menstimulus otak Agha untuk merespon cepat.

"Tunggu!" Lelaki berbadan tegap dengan tinggi sekitar 170cm ituΒ melangkah lebar menuju Sasti dan temannya yang sudah bersiap di atas motor. Almira hanya mampu menatap curiga ke arah mereka sambil bersedekap.

"Apalagi?" Sasti mengucap dengan tenang sambil pura-pura membetulkan posisinya yang siap berkendara. Kedua tangannya mere mas stang kemudi untuk mengaburkan kegugupan. Entah kenapa rasa ben ci justru membuat Sasti gugup. Detak jan tung sesaat tidak bisa diajak kompromi. Semakin lama menatap wajah lelaki itu, semakin membuat level keben ciannya memun cak.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Β 

Bab 3

"Tunggu!"

"Apalagi?" balas Sasti sambil berde cak.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Agha dengan tatapan penuh seli dik. Ia memindai Sasti dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Tidak. Anda pasti keliru."

"Oh ya sudah, maaf. Silakan, hati-hati di jalan."

"Terima kasih." Sasti menghela napas lega. Gegas ia melajukan kembali motornya menuju kampus untuk menemui dosennya.

"Ihhh, gimana sih, Mas. Orang kayak gitu dilepasin. Makin banyak yang nggak taat aturan nanti," gerutu Almira seraya menghentakkan kakinya.

"Siapa yang nggak taat aturan? Lihat sendiri kamu yang nero bos jalur. Sini biar aku yang bawa mobilnya." Agha menyahut kunci yang disodorkan Almira. Ia lalu berjalan menuju bagian kemudi.

"Ishh, awas aja kalau besok pagi ketemu. Bakal aku buat perhitungan. Huhu, mana pe nyok begini bisa-bisa jatah ke salon berkurang, nih," gumam Almira. Ia hanya bisa membu ang napas ka sar.

"Kenapa sih Mas, malah membela wanita itu. Bukannya membela aku. Udah dijemput juga, eh mobilku yang jadi kor ban."

Agha hanya berdecak, ia mencari jalan alternatif untuk menghindari macet. Sebab ia harus sampai di tempat acara dengan tepat waktu. Sementara itu, Almira dibiarkan mengo mel sendiri, terlihat dari bibirnya yang mengerucut sedari tadi.

Di tempat lain, Sasti segera memarkirkan motor sahabatnya di tempat biasa. Ia berdiri membenahi pakaiannya, membetulkan jilbab di depan spion kecil.

"Sasti, bikin jantungan tahu nggak sih. Kalau mau naik motor kira-kira dong. Aku masih belum nikah, tahu," omel Nina.

"Tahu sendiri kan, Nin. Jam berapa sekarang. Pak Rizky bisa ma rah kalau kita telat. Lagian tadi ada musibah tak terduga juga, kan. Untung masih lima menit sebelum acara mulai." Sasti menarik tangan sahabatnya lalu bergegas menuju ruang dosen.

"Iya, tapi jangan diulang lagi lah. Baha ya, taruhannya nya wa. Nggak cuma nya wa kita bisa juga nyawa orang lain. Ingat kata Pak Pol...Pak Po lisi tadi." Reflek langkah Sasti berhenti. Telunjuknya mengarah ke bibir supaya Nina tak banyak bicara.

"Iya, iya. Kasian motor kamu kalau ru sak, aku nggak bisa ganti," canda Sasti.

"Nih anak dibilangin apa jawabnya apa. Eh tapi, Pak Po lisi tadi ganteng juga ya, Sas. Sayang sekali ceweknya ju des gitu. Kelihatan sabar banget sama kelakuan wanita tadi. Coba kalau ceweknya macam kita, bakal jadi couple goal di kampus nih."

"Jangan mimpi!" Sontak saja Sasti menjen tikkan jarinya ke dahi kanan Nina.

"Aduh, sa kit Sas."

"Ceweknya ju des, cowoknya kulkas. Pasangan yang cocok kan? Ngapain ngarep gitu, masih mending Pak Rizky yang senyumnya penuh...."

"Oh iya, sampai lupa. Duniamu hanya ada Pak Rizky, Pak Rizky, dan Pak Rizky Mahendra itu ya. Dosen single yang murah senyum. Sekali senyum dah nggak ketulungan manisnya. Bisa bikin diabetes. Kamu kan paling ben ci sama lelaki yang profesinya po lisi ya, Sas. Setrauma itu sih kamu, gimana ceritanya?"

Sasti bukannya menjawab justru mempercepat langkahnya supaya cepat sampai ruang dosen. Karena mereka akan bertugas di acara sosialisasi yang diadakan oleh kampus.

"Sas, Tunggu! Btw, beneran selama ini kamu naik motor ga bawa SIM?" tanya Nana dengan kening berkerut. Ia berusaha berjalan mengimbangi langkah lebar Sasti.

"Kamu percaya? Ya jelas aku punyalah. Cuma aku nggak mau ribet aja kalau berurusan dengan petugas."

"Ya ampun, Sas. Jadi kamu berbo hong sama Pak Po lisi tadi?"

"Iya, kenapa? Udah tenang aja."

"Tenang gimana? Bo hong itu do sa, aku takut kamu atau kita kena batunya. Nanti kalau di jalan ada musi bah trus kita ketemu lagi dengan...."

"Sttt...Ya Rabb, semoga nggak ketemu lagi orang macam mereka. Amin."

Β 

Bab 4

"Tenang gimana? Bo hong itu do sa, aku takut kamu atau kita kena ba tunya. Nanti kalau di jalan ada musi bah trus kita ketemu lagi dengan...."

"Sttt...Ya Rabb, semoga nggak ketemu lagi orang macam mereka. Amin."

"Eits, dimana-mana po lisi itu ada Sas."

Sasti tidak menggu bris ucapan Nina. Gegas ia mengetuk pintu ruang dosennya.

"Permisi, Pak."

"Masuk, Sas! Kemana aja kalian? Acara hampir dimulai."

Rizky Mahendra dosen populer di jurusan Sains salah satu Universitas ternama di kota Yogya. Orangnya ramah, murah senyum. Wajahnya nggak jauh beda dengan Agha. Sama-sama tam pan, hanya saja terlihat Rizky lebih muda usianya.

"Maaf Pak, kami ada kendala teknis tadi di jalan," jawab Sasti dengan seulas senyum.

"Astaga, kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?" Terlihat raut wajah Rizky penuh khawatir membuat Nina sebisa mungkin menahan tawa.

"Segitunya Pak Rizky khawatir sama kamu, Sas," bisik Nina.

"Apaan sih?"

"Duduk dulu, ini kalian minum. Ceritakan apa yang terjadi!"

"Alhamdulillah aman, Pak. Hanya tab rakan kecil kok tadi. Maaf ya Pak, kami jadi telat datang."

"Tapi beneran kamu nggak apa-apa, kan? Apa perlu diperiksakan ke klinik?" Lagi Rizky memberi perhatian lebih pada mahasiswi berprestasinya itu.

"Ah tidak perlu, Pak. Saya tidak apa-apa. Cuma motor Nina nanti perlu dibawa ke bengkel."

"Iya betul, kami baik-baik saja kok, Pak," imbuh Nina.

"Syukurlah kalau begitu. Narasumbernya juga barusan ngabarin kalau telat jalannya macet."

"Oh iya, Pak." Sasti saling pandang dengan Nina lalu menghela napas lega.

"Sorry, saya telat datang, nih." Suara bariton muncul dari arah pintu masuk ruangan.

"Nah ini narasumbernya datang, silakan masuk!"

"Astaghfirullah, kenapa harus dia narsumnya? Apa nggak ada yang lain?" gerutu Sasti.

"Sas, doamu langsung tem bus ke langit. Tapi sayang belum terkabul," ucap Nina seraya menggo da Sasti yang sedikit tegang.

"Ayo Sasti, kenalkan ini Kapten Agha Rahmawan yang nanti mengisi acara."

"Kapten, ini Sasti Ayuandira moderatornya. Dia mapres terpilih tahun ini."

'Kenapa Pak Rizky pakai nyebutin nama lengkapku, bakal berabe nih. Moga aja dia beneran nggak ingat aku.'

Gegas Sasti berdiri mengulurkan tangan membalas Agha yang lebih dulu melakukan.

"Sasti." Senyum terpak sa terlukis di wajah Sasti mengingat kejadian tak mengenakkan tadi di jalan juga peristiwa di masa lampau lima tahun lalu.

"Agha, senang bisa bertemu kembali dengan Mbak SASTI AYUANDIRA." Ucapan Agha berjeda tapi penuh penekanan. Tatapan saling mengun ci dan geng ga man tangan terasa erat membuat Sasti membelalak. Rasa-rasanya tubuh Sasti seolah dialiri arus tega ngan tinggi. Napas berhembus tak beraturan. Ia hanya bisa menelan ludah tidak tahan dengan tatapan ma ut lawannya.

"Eh," Sasti berusaha melepaskan tangannya, tapi genggaman itu urung lepas. Semakin dipak sa untuk melepas, justru semakin kuat respon Agha untuk menggenggam. Seperti hukum aksi-reaksi Newton. Setiap aksi akan menimbulkan reaksi yang sama besar dan berlawanan arah. Suasana pun jadi tegang. Dinginnya AC tak juga meredam panasnya suhu tubuh yang naik tiba-tiba.

"Kalian berdua sudah saling kenal?" seru Rizky membuyarkan lamunan Agha. Reflek geng ga man pun terlepas. Dan Sasti menarik diri mundur beberapa langkah.

"Itu Pak Rizky, hmm ..."

Β 


LANJUT NGGAK NIH? Tap Love dan komen banyak2 ya. Makasih sudah baca.πŸ₯°

Β 

*Mapres: Mahasiswa Berprestasi

Β 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Kategori
Kapten Agha
Selanjutnya KAPTEN AGHA (5-7)
6
0
Aku pernah menolak cinta gadis ABG di tempatku bertugas. Kupikir itu hanya cinta mo nyet. Setelah lima tahun berlalu, aku bertemu lagi saat menjadi narasumber di kampus eh dia moderatornya. Sungguh dia berbeda sekali sekarang. Ingin menyapa lagi, dia terlanjur....
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan