Hanya Karena Ibuku Miskin (Bab 1-9 FREE)

4
0
Deskripsi

🌻Kisah gadis kampung dengan segala ketegarannya meraih impian. 🌻

HANYA KARENA IBUKU MISKIN

PROLOG

"Dia siapa, Ma?"

Entah kenapa aku gugup sendiri saat tanya itu mencuat. Aku belum berani melihat jelas wajahnya. Sampai Bu Tya memperkenalkanku padanya.

"Ning, kenalkan ini anak sulung saya, Zen Maulana. Zen, ini Ning yang mau bantu mama bersih-bersih rumah. Dia juga mau kerja di kantin kampus."

Aku yang baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir terlonjak kaget. Nama itu, tidak asing bagiku. Apa...

Bab 1 Rekayasa


 

"Bu, hari ini berapa bungkus keripik yang mau dibuat?" tanyaku pada ibu.

Wanita itu terlihat gusar hingga memancingku untuk bertanya. Tak disangka wajahnya tiba-tiba merah padam.

"Kamu kenapa bikin kaget?! Ibu bisa jantungan tahu, nggak!" Aku tersentak saat ibuku justru terkesan membentak. Ibu masih sibuk mengupas ketela yang ada di lantai. Lalu ketela yang kulitnya sudah dibuang di rendam dalam bak berisi air.

"Ibu dari tadi melamun. Ning khawatir pisaunya mengenai tangan ibu," ucapku beralasan yang masuk akal.

Akhir pekan seperti biasa, aku menyibukkan diri membantu menyiapkan keripik singkong. Bapak menggalinya dari kebun sepetak yang ada di sebelah rumah. Ibuku menyiapkan bumbu, sedangkan aku menyiapkan api untuk penggorengan.

"Di mana Mbakmu, Ning?" Ibu tidak memberi penjelasan justru menanyakan anak sulungnya.

"Di kamar. Ning sudah minta Mbak Titin bantuin bikin keripik. Tapi dari tadi nggak muncul juga."

Aku sengaja sedikit mendecis kesal agar ibu mau membujuk Mbak Titin untuk membantu kami. Namun, realita sungguh menampar jiwaku. Ibu justru membelanya.

"Nggak usah, nanti tangannya lecet malah rugi. Pacarnya bisa marah kalau tangan mulus mbakmu tergores. Mbakmu kan mau melamar jadi model."

Mataku seketika membola. Bisa-bisanya ibu membenarkan sikap kakakku. Jadi model dari Hongkong. Seketika aku menampik. Barangkali mimpinya terlalu ketinggian.

"Tapi, Bu. Ini masih banyak yang harus dikerjakan. Bapak masih di kebun, Amar juga belum pulang seolah. Kalaupun pulang pasti sudah capek."

"Alah, jangan banyak alasan. Kamu sendiri bisa kan menyelesaikan ini daripada menganggur. Biasanya juga kamu yang membereskan."

Menganggur, huh. Ibu bilang aku menganggur. Selama ini siapa yang membereskan pekerjaan ini. Aku memang banyak menganggur kareja tinggal menunggu kelulusan SMA. Sementara itu, Mbak Titin justru dua tahun lebih dulu lulus. Jelas-jelas dia yang banyak menyia-nyiakan waktu dan uang dengan bermimpi menjadi seorang model. 

Ibu berlalu ke kamar Mbak Titin. Hatiku tiba-tiba mencelos. Melihat kerjaan yang terbengkalai membuat kepalaku mendadak pening. Ketela masih banyak yang belum dikupas, belum lagi di ember ketelanya harus dipasah menjadi tipis-tipis. Terakhir barulah potongan ketela yang tipis digoreng dan dibumbui. Setelah dingin, keripik singkong berbumbu siap dikemas.

Aku berdecak kesal. Namun apa boleh buat, kalau aku ikutan mogok kasian bapak. Beliau sudah capek menggali tanah mengambil ketela. Selain itu, bapak juga harus berkeliling memasarkan dagangan. Sebab, aku yang baru selesai ujian kelulusan SMA harus memeras keringat di rumah Haji Ali. Demi menggantikan ibuku menjadi pembantu di sana.

"Mbak Titin memang keterlaluan," umpatku lirih. Aku tidak mau memantik api pertengkaran dengannya.

Sejak punya pacar, ah mungkin lebih baik disebut calon suami. Keduanya sudah seperti perangko, nempel erat sekali. Sampai-sampai Mbak Titin lupa dengan pekerjaan ini. Dia mementingkan berdandan dan berdandan.

Terkadang aku lupa, kaki sudah di kepala dan kepala sudah di kaki. Pagi bersih-bersih di rumah Haji Ali. Siangnya menyiapkan keripik singkong dan sorenya mengepak keripik sampai malam supaya pagi tinggal siap dipasarkan.

"Ning, mbak pinjam uang ada, nggak? Mbak butuh beli bedak dan lipstik, nih."

"Astaga, uang?! Mbak tahu sendiri kan, aku dari tadi ngapain?" Aku sengaja melempar pisau dan ketela ke dalam ember berisi air. Dia berjengkit kaget. Menatapku keheranan, Mbak Titin melengos. Dia tidak tahu kalau kucing yang penurut ini mampu berubah menjadi harimau yang mengaum.

"Hei, Mbak cuma pinjam lho, bukan minta. Lagian nanti kalau Mbak sudah jadi model kaya raya juga nggak butuh pinjam uangmu!" hardiknya padaku dengan wajah merah padam.

"Nggak ada," ketusku sambil lanjut mengupas ketela.

Boro-boro bantuin, bisanya cuma minta uang. Aku menghembuskan napas kasar.

"Bu! Ning nggak mau minjamin uang!" teriaknya mencari bala bantuan.

Sudah kuduga, Mbak Titin pasti memakai aji mumpungnya. Ia mengadu pada ibu, supaya aku luluh. Bagaimana bisa aku menolak permintaan ibu.

Tak lama kemudian ibu datang bersama kakakku yang mengekor di belakang. Senyumnya menyeringai puas, membuatku meradang. Pasti Mbak Titin sudah mengompori ibuku.

"Ning, berikan uangnya pada Mbakmu!" titah ibu dengan tatapan tajam mengarah padaku.

"Uang apa, Bu? Ning nggak punya uang."

"Pinjami dulu atau ibu terpaksa ambil sendiri. Mbakmu sudah memintanya baik-baik. Kalau dia sudah tercapai keinginannya jadi seorang model kamu juga yang ikut menikmati hasilnya."

"Iya, nanti kalau Mbak sudah kaya raya bakalan kasih apa yang kamu mau, Ning." Kali ini ucapan Mbak Titin semerdu seruling. 

Hufh, apa dia mencoba merayuku.

"Cih, jangan membual Mbak. Bisa saja Mbak Titin kacang yang lupa akan kulitnya, kalau sudah kaya raya hidup di kota nggak ingat lagi sama si miskin ini."

"Ning!" Baik ibu dan Mbak Titin meneriaki aku.

"Nih." Pada akhirnya perdebatan panjangku sia-sia. Aku memberiakn beberapa lembar uang yang kusimpan. Uang itu hasil penjualan keripik singkong. Sejatinya, uang itu harusnya berputar untuk menambah modal. Namun, tidak jarang uang itu terlepas dari genggaman hanya karena permintaan ibu. Beliau selalu mengabulkan apa yang diinginkan Mbak Titin.

Kadang aku berpikir apa salahku sampai ibu lebih menyayangi Mbak Titin. Seringkali aku melakukan hal yang tidak berkenan di hati wanita paruh baya itu. Apa-apa sering terlihat salah. Sebaliknya, Mbak Titin jarang bahkan tidak pernah sekalipun aku mendengar ibu memarahinya. Ibu selalu bertutur kata lembut padanya. Dengan Adikku---Amir, ibu juga biasa saja tidak pernah memarahinya.

Ah sudahlah, memikirkannya hanya akan menambah sakit hatiku. Apapun sikap ibu, aku tetap menyayanginya. Aku pasti akan menemukan cinta dalam dirinya untukku. Setidaknya itulah pesan yang selalu disematkan bapak kala aku dirundung kesedihan oleh sikap ibu.

"Bu, uangnya kenapa sedikit? Ini pasti kurang."

Masih bisa kudengar dari jarak beberapa meter, Mbak Titin gusar di depan ibuku. Keduanya mengabaikanku yang sedang berkutat dengan pisau. Aku harus segera mengupas ketela supaya keripik singkong bisa kelar malam ini.

"Kamu tenang saja, ibu akan carikan tambahannya. Nanti malam ibu berangkat arisan. Kamu bantu ibu nyiapkan ya!"

"Nyiapin apa, Bu?"

Aku pura-pura menutup telinga obrolan mereka. Meminta Mbak Titin membantu membereskan pekerjaan di depan mata hanyalah sia-sia. Dia pasti minta pembelaan lagi pada ibu. Aku pun setengah hati melakukan pekerjaanku sambil memukul-mukul air di bak supaya rasa dongkol di hatiku berkurang.

Beberapa menit berlalu, keduanya masuk ke kamar lagi. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setidaknya, Mbak Titin sudah tidak mengganggu lagi. Aku merasa lega ibu tidak menanyakan uang lagi. Aku memang menyimpan terpisah uang yang sedikit demi sedikit kutabung dari hasil bekerja di rumah Haji Ali. Aku menyimpan uang itu untuk keadaan darurat. Saat harus periksa karena sakit, juga kebutuhan sekolah. Sebab ibu tidak memikirkan hal itu sejak Mbak Titin punya impian menjadi model kaya raya.

Malam hari, aku mengemasi keripik singkong di lantai bertikar dibantu Amir. Bapak istirahat jam segini. Beliau dari pagi hingga sore berkeliling menjajakan keripik. Sepulangnya, beliau langsung ke kebun menggali ketela. Melihat kerja keras bapak, aku tidak tega jika membiarkan belia membantu mengemasi keripik. 

"Mbak Ning, kenapa Mbak Titin nggak pernah bantuin kita, sih?"

"Sudah Mbak minta, Mir. Katanya jam segini dia harus tidur awal biar wajahnya nggak jelek saat mendaftar seleksi menjadi model."

Aku memasukkan keripik ke plastik lalu tepi bungkusnya kulipat dan kurekatkan dengan api dari lilin. Akhirnya jadi sebungkus keripik dalam plastik kemasan kecil. Aku meletakkannya dengan hati-hati di kardus supaya bentuknya tidak remuk, bisa-bisa keripiknya nggak laku. Kegiatan itu berulang sampai keripik dalam baskom besar habis. 

"Mir, kamu tidur saja sana! Biar Mbak yang selesaikan. Kasian kamu besok ada ujian, kan?"

"Iya, Mbak. Tapi lebih kasian Mbak Ning dari pagi bersih-bersih di rumah Pak Haji sampai malam ini belum istirahat, kan?"

Hatiku seketika terasa mak nyes. Amir kelas enam SD bisa perhatian padaku. Berbeda dengan Mbak Titin yang sama sekali tidak peduli.

"Nggak papa, Mir. Mbak tidak ingin nilai ujianmu jelek gara-gara membantu nyiapin keripik."

"Amir tiap hari sudah belajar kok. Mbak Ning tenang saja, Amir pasti sukses ujiannya. Amir nggak mau ngecewain pokoknya."

"Bagus itu, Mir."

Entah kenapa hatiku tersentuh hanya mendengar ucapan anak seumuran Amir. Apa jadinya kalau dia ikut-ikutan bersikap seperti Mbak Titin. Yang ada hidupku semakin suram.

Setelah selesai memberesi perkakas, aku menyimpan dus berisi keripik kemasan kecil di tempat aman. Esok pagi, bapak tinggal memasarkannya. Melewati kamar Mbak Titin kudengar samar-samar obrolan, sepertinya suara ibu.

"Makasih banyak, Bu. Aku bisa mendaftar seleksi model besok."

"Apa uangnya sudah cukup sekarang?"

"Lebih dari cukup, Bu."

"Ya sudah, bawa saja semua untuk uang saku sekalian."

"Untung ibu dapat arisan lagi. Jadi kita dapat uangnya."

"Ide kamu memang bagus, Tin. Besok bisa ibu coba lagi, soalnya ibu ikut tiga nama."

Aku memasang telingaku lekat-lekat. Apa ibu melakukan kesalahan? Ah, kenapa aku selalu berprasangka buruk pada wanita itu.

"Tenang saja, Bu. Mau dikocok berulang juga yang keluar nama ibu. Kan aku sudah mengganti gulungan kertasnya dengan nama ibu semua." Suara Mbak Titin begitu terang tertangkap oleh telingaku.

Deg, aku mengelus dada.

Jadi, arisan yang ibu dapat adalah hasil rekayasa.

 


Bab 2 Terancam tidak ikut ujian

Pagi-pagi subuh, aku sudah bangun  membantu menyiapkan sarapan. Aku biasa membantu ibu yang sudah terlebih dulu berkutat di dapur. Meski sikap ibu kurang baik padaku, aku tetap salut pada beliau. Pagi-pagi ibu menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk bapak dan Amir. 

"Ning, buruan yang ini dimasak juga!" Aku kaget melihat daging berbalur bumbu bawang siap digoreng. 

"Ini sudah ada tempe buat lauk, Bu. Dagingnya juga digoreng?" tanyaku ragu. Pasalnya menu makan ayam amat jarang terlihat di meja makan. Tempe dan tahu gorenglah yang mendominasi. Namun, aku tetap menikmati setiap masakan ibu.

"Sudah nggak usah banyak omong. Lagian ayam gorengnya bukan buat kamu sama Amir, tapi buat makan mbakmu."

Oh, jadi lauk spesial ini untuk Mbak Titin. Aku sudah terlanjur bahagia, ibu memberi harapan pada Amir yang pernah menanyakan kenapa kami jarang menyediakan lauk ayam goreng.

Beberapa menit kemudian.

"Wah, lauknya enak sekali, Mbak." Suara Amir menyeru dari belakang punggungku. 

Aku yang sedang menggoreng sisa beberapa potong ayam hanya menyunggingkan senyum.

"Biasanya juga makan tempe kamu nggak seheboh itu, Mir," ucapku masih dengan memunggunginya.

"Iya kan tiap hari tempe terus. Ini ayam enak sekali."

"Astaghfirullah, ayam goreng."

"Mir, jangan dimakan!"

Aku merampas potongan ayam yang masih dipegang Amir dan juga digigitnya.

"Mbak Ning!" pekiknya.

"Kenapa Mbak Ning ambil?" Raut wajahnya tiba-tiba kecewa.

"Ini. Ini ayam goreng..."

"Ada apa, Ning?"

"Astaga. Kenapa ayamnya, Ning?"

Ibu mendatangiku dengan napas memburu.

"Kenapa kamu makan, Ning?! Sudah ibu bilang ayam ini untuk mbakmu."

"Amir, Bu," sanggahku. Namun lagi-lagi ibu tidak terima penjelasanku.

"Nggak usah nyalahin Amir. Kamu yang harusnya menyimpan untuk mbakmu. Kenapa malah ditaruh di meja makan."

Ibu membentakku hanya gara-gara ayam goreng. Aku memilih diam. Apa yang dicecarnya biarlah masuk ke telinga hingga menjadi cambuk untukku.

"Maaf, Bu. Tadi Amir yang pengin ayam goreng." Amir berucap lirih membelaku.

"Sudah diam kamu masih anak kecil. Mbakmu yang salah, sudah ibu pesan kalau ayam goreng untuk bekal Mbak Titin."

"Bau apa, ini?" Mbak Titin yang melenggang dengan penampilan rapi mengendus-endus."

Aku memekik hebat saat turut mengikutinya merasakan aroma tak sedap.

"Ya Allah, Ning. Kamu kenapa selalu bikin susah ibu. Gara-gara kamu tinggal, ayamnya jadi gosong. Sudah tahu lagi goreng ayam malah ditinggal. Gimana bekal makan siang mbakmu?"

"Gimana sih, Ning. Goreng ayam aja nggak becus," cibir Mbak Titin membuat hatiku meradang. Kepalan kedua tangan sudah kusembunyikan di balik rok panjangku. Rahangku mulai kaku, pun gigi gemeratak saling beradu.

"Mbak Ning nggak salah, Mbak. Harusnya Mbak Titin bisa goreng sendiri ayamnya," celetuk Amir memaksaku menghela napas panjang.

"Ini anak kecil sudah dibilang jangan ikut-ikutan. Biar Ning yang menyentuh dapur, kalau Titin tidak ibu izinkan. Nanti kalau kulitnya kena minyak, bisa-bisa nggak lolos seleksi jadi model. Gagal jadi orang kaya."

Ibuku masih saja membela Mbak Titin. Benar saja, perempuan yang sudah berpenampilan cantik itu mengibaskan rambut panjangnya yang tidak tertutup hijab. Blouse yang dipakai saja tanpa lengan dan press body. Ditambah lagi roknya diatas lutut. 

Kulihat Amir hanya memandanginya sambil menggelengkan kepala. Aku juga heran, pacar Mbak Titin nggak punya sepak terjang di dunia modeling kenapa tiba-tiba menawarinya jadi model. Entah kenapa mendadak aku samar dengan laki-laki itu. Bisa saja dia menipu Mbak Titin. 

"Mbak Ning, Mbak Titin melamar model di mana, sih?"

"Nggak jelas. Katanya sama Mas Jono tetangga desa yang rumahnya pojok sendiri."

"Hah? Mas Jones?"

"Jono, Mir. Kamu seenak jidat panggil nama orang sih?" Reflek Mbak Titin ingin menarik telinga Amir karena tidak terima. Beruntung aku sempat berlari menghalaunya.

"Jangan begitu, Mbak. Itu kekerasan fisik namanya."

"Kamu sama aja, Ning. Malah ngajarin Amir yang buruk."

"Buruk gimana?" sergahku.

"Lha itu, nggak percaya sama Jono. Laki-laki baik yang mau membantu keluarga kita bangkit dari kemiskinan," terangnya sambil mengangkat kepala. Menyombongkan pacarnya yang, ah sudahlah aku tidak bisa berkata-kata. Laki-laki itu, dari raut mukanya saja terlihat playboy. Sepertinya Mbak Titin sudah dibutakan oleh cinta.

"Sudah-sudah kalian meributkan apa. Adik-adikmu nggak ngerti, Tin. Biarkan saja, nanti kalau kamu sudah jadi orang kaya mereka juga paham." Ibu tiba-tiba datang melerai, membuat aku membuang napas kasar.

"Ada apa ta, Bu?"

Bapak terlihat berjalan dari kamar sambil mengancingkan bajunya.

"Nggak ada apa-apa, Pak. Biasa anak-anak bikin rusuh. Ning itu nggak mau mengalah sama Titin."

Ucapan ibu sontak menampar wajahku. Untuk kesekian kalinya aku jadi kambing hitam. Bahkan Amir ingin bersuara pun segera ditatap tajam oleh Mbak Titin.

"Maafkan Ning, Pak!"

"Ya, sudah. Lanjutkan sarapannya. Bapak mau sarapan langsung berangkat. Kemarin ada info rapat di balai desa. Bapak mau menawarkan dagangan ke sana."

Terlihat binar di wajah bapak membuat hatiku mengembang. Beginikah rasanya melihat senyum bapak yang mengharap dapat rejeki banyak hari ini. Air mata sudah mengumpul di pelupuk. Andai kaki dan tanganku banyak, aku tidak akan membiarkan beliau bepergian jauh menawarkan dagangan. Cukup memberikannya sebuah warung untuk jualan. Namun realita tak seindah bayangan. Jualan keripik singkong di kampung kurang begitu laku. 

Bapak akan mendapatkan untung banyak jika bisa menjualnya di acara pertemuan. Peserta yang hadir biasanya orang-orang kota seperti pejabat pemerintahan atau guru-guru.

"Ning, jangan lupa pulang dari rumah Haji Ali mampir warung. Bumbu sudah hampir habis," titah ibuku tanpa senyum.

"Nggih, Bu." (Baik, Bu.)

"Uangnya ada belum, Ning?" tanya bapak sambil mengunyah makanan yang baru disuapkan dengan tangannya.

Nyes, hatiku. Setiap ditanya perihal uang, entah kenapa ada nyeri di dalam dada. Ingin meneriakkan uangnya diminta Mbak Titin, tetapi aku tidak tega dengan bapak. Beliau sudah percaya aku bisa memegang uang dengan benar.

"Tasih kok, Pak." (Masih kok, Pak.)

"Hati-hati di jalan, Pak!"

"Ya, kalian juga." Bapak menyahut sambil melempar senyum yang menguatkan hatiku. Beliau mulai mengayuh sepeda tua sambil membawa keranjang di boncengan belakang berisi keripik singkong. Di bagian depan ada dua tas belanja juga sama isinya dagangan keripik. Melihatnya saja, pandanganku mulai kabur. 

Andai, Ning bisa dapat kerja dengan gaji besar, Bapak tidak perlu susah payah mengayuh sepeda menawarkan dagangan. Andai aku mampu membuatkan warung untuk jualan, beliau hanya perlu duduk manis menanti pelanggan. Ah, andai saja semua itu bukan hanya mimpi. Aku mengusap cairan yang membasahi pipi.

"Mbak Ning, nangis?"

"Nggak, Mir. Ayo Mbak antar sekarang. Kamu kan ujian, takutnya telat. Nanti bu guru marah."

Gegas aku mengayuh sepeda menuju sekolah Amir. Baru setelah mengantar sekolah, aku menuju rumah Pak Haji untuk bersih-bersih.

Sampai di sekolah, Amir melangkah ragu masuk. Aku mengerutkan dahi melihat tingkahnya. Ditambah dia berbalik jalan menuju tempatku.

"Ada apa, Mir?"

"Nggak, Mbak. Amir cuma mau pamit."

Entah kenapa hatiku menyangkal jawabannya. Ia mencium tanganku lalu bergegas menuju ruang kelas. Aku memandangnya haru. Anak sekecil itu seharusnya fokus dengan ujian kelulusannya. Namun, di rumah ia justru harus mendengar pertengkaranku dengan Mbak Titin atau debatku dengan ibu.

Tidak lama kemudian, seorang ibu guru mendatangiku.

"Maaf, Mbak kakaknya Amir?"

"Iya betul, Bu." Aku melirik sekilas Amir berdiri di ambang pintu kelas.

"Begini, Mbak. Apa Amir tidak menyampaikan surat dari sekolah?" tanya guru itu dengan wajah serius. Aku merasa jantungku berdebar. Apa sekarang Amir menjadi anak pembohong. Padahal setahuku adikku anak penurut. Tidak, tidak mungkin Amir menjadi pembohong.

"Surat apa ya, Bu?"

"Surat...." Belum selesai bu guru mengucap, Amir berlari menghambur memelukku dari samping.

"Maafkan Amir, Mbak. Amir sudah berbohong." 

Aku terlonjak kaget mendengar pengakuan adikku. Amir sudah meraung-raung di depanku juga gurunya.

"Maaf, Mbak," ucapnya terbata disela isak tangis.

"Amir tidak bisa mengikuti ujian kalau biaya sekolah belum dilunasi." Ucapan bu guru menghantam pertahananku. Seketika pelupuk mataku jebol. Aku sesenggukan memeluk adikku disaksikan bu guru.

"Amir, kenapa kamu nggak bilang sama Mbak?"


 

Note:

Cerita ini berlatar waktu sebelum sekolah gratis dicanangkan.


Bab 3 Harapan


Setelah selesai meredam isak tangis, aku mengikuti langkah bu guru. Sejatinya aku malu, wajahku pasti sudah kuyu. Aku meminta izin membasuh muka terlebih dulu sebelum ke ruang yang bertuliskan ruang kepala sekolah.

"Pak, ini kakaknya Amir," ujar bu guru mengenalkanku pada sosok tegas yang duduk di kursi kerjanya. Laki-laki paruh baya itu menelisikku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kamu kakaknya Amir?"

"Iya, Pak. Saya Haningtyas, bisa dipanggil Ning." Aku mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Kepala sekolah hanya tersenyum singkat.

"Sepertinya kamu masih sekolah?"

"Saya kelas tiga SMA, Pak. Sudah selesai ujian, tinggal menunggu kelulusan."

"Mohon disampaikan pada orang tua Amir kalau syarat mengikuti ujian kelulusan harus lunas seluruh biaya sekolah," ucap kepala sekolah tegas.

Aku tertunduk malu. Kenyataan keluargaku memang belum punya cukup uang untuk persiapan kelulusan. Tahun ini aku dan Amir lulus berbarengan sehingga kebutuhan uang membengkak. Namun, bapak masih berjanji akan mengusahakan uang pembayaran sekolah. Meskipun sebenarnya aku tidak yakin janjinya terpenuhi. Melihat jualan keripik yang menurun karena sepi pembeli, mau tidak mau aku harus memutar otak dengan bekerja di rumah Haji Ali.

"Baik, Pak. Sepulang kerja, akan saya sampaikan pesan Bapak pada orang tua saya."

Mendengar kata kerja, kepala sekolah terhenyak.

"Kamu bukannya masih sekolah, kenapa sudah kerja?"

"Saya kerja bersih-bersih di rumah tetangga, Pak. Bapak saya keliling dari desa ke desa untuk jualan keripik singkong. Tentu saja uang yang dihasilkan beliau tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga. Jadi, saya mengumpulkan uang supaya bisa mengambil ijazah dan juga untuk biaya Amir."

Kulihat kepala sekolah memandang miris ke arahku seraya menggangguk.

"Jadi, saya mohon Amir diizinkan mengikuti ujian dulu, Pak. Besok saya akan mengusahakan uang untuk melunasi pembayarannya." Aku mengucap janji, meski dalam hati ragu. Uang yang jumlahnya tidak sedikit bisa aku dapat dari mana dalam 24 jam. Aku mengernyitkan dahi sambil melafazkan doa.

Ya Rabb, Engkau Maha Kaya. Semoga ada rejeki untuk Amir esok hari. Kutarik oksigen banyak lalu kuhembuskan pelan agar rongga dada yang sesak menjadi lega.

"Menurut aturan, tentu tindakan ini sudah menyalahi. Saya khawatir hal ini menimbulkan kesenjangan bagi siswa lain."

Pendapat kepala sekolah benar adanya. Dengan mengabulkan pintaku, otomatis ada perlakuan khusus bagi Amir. Padahal semua siswa berhak mendapat perlakuan sama.

Aku menghilangkan urat malu dengan memohon kembali.

"Saya mohon, Pak. Saya tidak mau adik saya tidak lulus." Sudah kupastikan mataku berkaca-kaca karena tak kuasa menahan perih di dada. Hanya karena ibuku miskin, dan segala tingkah lakunya, Amir ikut menjadi korban. Andai saja uangku tidak diminta ibu. Andai uang itu tidak ibu berikan pada Mbak Titin, aku gegas berlari pulang mengambil dan langsung membayarkannya.

Ah, aku terlalu banyak berandai-andai. Tanpa usaha, hasilpun tidak akan hadir di depan mata. Tanpa aksi, seolah keinginan hanya menjadi sebuah fatamorgana.

"Maaf, Mbak. Kami tidak bisa mengabulkan permintaan, Mbak." Lemas sudah tubuhku seolah tidak tertopang oleh tulang. Aku meraup wajah dengan kedua telapak tangan.

Maafkan Mbak Ning, Mir. Tunggulah, Mbak akan mencari pinjaman.

"Baik, saya permisi dulu, Pak, Bu." Aku melangkah gontai hendak meninggalkan ruang berukuran 4x4 itu. Kulirik sekilas kepala sekolah dan bu guru saling pandang menatapku sendu.

"Tunggu, Mbak!" Sebuah seruan perempuan yang tak lain bu guru menghentikan langkahku.

"Pak, izinkan saya yang membayar uang sekolah Amir terlebih dulu. Supaya anak itu bisa ikut ujian. Nanti biar orang tuanya mengganti uangnya ke saya," ungkap bu guru.

Mataku terbelalak. Apakah benar ini bukan mimpi, batinku. Secercah pelangi seolah hadir menghiasi.

"Tapi, Bu." Aku merasa tidak enak hati. Tidak ada angin ataupun hujan, bu guru yang tidak ada pertalian darah dengan keluargaku tiba-tiba membantu.

"Sstt, sudahlah yang penting Amir bisa ikut ujian kelulusan. Mbak tidak perlu khawatir dan tergesa mencari uang penggantinya. Mbak tinggal membayar ke saya kalau sudah ada uangnya. Kalau belum ada kapan-kapan tidak masalah."

"Ibu, terima kasih banyak telah membantu Amir." Aku mengucap sembari memeluk bu guru. Pelukan hangatnya begitu menenangkan.

"Mir, lain kali jangan menyembunyikan pesan penting lagi, ya!" ujarku memperingatkan Amir yang tertunduk. Aku yakin ia merasa bersalah. Aku tidak memarahinya. Aku tidak mau Amir terbiasa berbohong yang berujung keburukan dengan sikapnya di masa depan.

"Iya, Mbak. Maafkan Amir!"

"Ya sudah, kamu masuk kelas lagi. Kerjakan ujian dengan benar. Jangan kecewakan bapak ibu, ya!"

Amir mengangguk lalu mencium punggung tanganku. Tidak lupa ia berterima kasih pada bu guru yang mengizinkannya mengikuti ujian. Anak itu tidak seharusnya merasakan kegetiran ini. Namun, aku yakin pengalaman hidup ini kelak akan berharga untuknya. 

Amir, kamu anak laki-laki yang kuat. Kelak kamu harus bisa menjadi pelindung keluarga. Mbak yakin, kamu anak tegar dan juga pintar. Sudut bibirku terangkat saat mengintip dari jendela ruang kelas. Amir tengah menyiapkan pensil dan alas lalu bersiap mengerjakan kertas ujian. Punggung tanganku mengusap cairan yang membasahi pipi. 

Selesai dengan urusan Amir, aku mengayuh sepeda menuju rumah Pak Haji. Sekitar lima belas menit akhirnya sepedaku berhenti di halaman depan rumahnya. Kulihat Pak Haji sedang memberi komando pada tukang kebun yang biasa membersihkan halaman luar.

"Assalamu'alaikum, Pak Haji!" seruku sambil menunduk sopan. Aku membetulkan rok selututku yang tertiup angin.

"Ning, tumben terlambat datang. Apa ada masalah?"

Ya, biasanya aku memang datang lebih pagi. Karena ada urusan di sekolah Amir jadilah aku telat sampai di rumah Pak Haji.

"Maaf, Pak Haji. Saya harus mengantar sekolah Amir terlebih dulu. Ada yang harus dipersiapkan karena Amir hari ini mengikuti ujian kelulusan."

Pak Haji mendengarkan penjelasanku sembari menunjuk memberi perintah tukang kebun.

"Oh, Amir lulus tahun ini juga ya?"

"Benar, Pak Haji," jawabku sambil mengiringi langkahnya menuju teras. Rumah Pak Haji tergolong besar di kampung kami. Bahkan terbesar setelah rumah Pak Lurah. Laki-laki usia kisaran setengah abad itu mendaratkan tubuhnya ke kursi malas di teras. Sontak saja aku segera duduk di kursi biasa di seberangnya.

"Lalu, Amir mau melanjutkan sekolah ke mana?" tanyanya penasaran.

"Insya Allah ke sekolah yang tidak memerlukan banyak biaya, Pak," jawabku malu. Tidak mungkin keluarga dengan kondisi ekonomi pas pasan seperti kami memilih sekolah favorit. Itu hanya dalam mimpi pikirku.

"Kenapa nggak masuk ke sekolah yang bagus di SMP 1?" lanjutnya.

"Sepertinya kami nggak mampu ke sana, Pak Haji. Biayanya banyak," lirihku sambil menunduk melihat kedua tanganku sendiri yang saling merem4s.

"Ya, yang penting pilih sekolah yang lingkungannya baik untuk adikmu. Amir laki-laki, Ning. Jangan sampai terjerumus ke lingkungan yang buruk."

"Nggih, Pak Haji." (Ya, Pak Haji)

Pak Haji berusia hampir sepadan dengan bapak. Beliau memiliki satu putra yang bekerja di kota Yogya, namanya Mas Eko. Kata Pak Haji, Mas Eko bekerja sebagai sopir di salah satu kampus ternama di Yogya. Mas Eko dulu teman bermain Mbak Titin. Begitu lulus, dia mengikuti kursus menyetir dan diterima kerja di Yogya. 

Ah, mengingat hal itu hatiku nyeri kembali. Mas Eko saja sudah bisa menghasilkan uang. Apa kabarnya Mbak Titin yang justru kerjaannya menghabiskan uang. Menyedihkan.

"Lalu kamu sendiri setelah lulus mau kemana?" celetuk Pak Haji membuatku tergagap.

"Hmm, itu Pak. Saya....," aku menoleh ke kiri kanan. Otakku mendadak buntu mencari jawaban yang tepat.

Inginku menjawab aku ingin kuliah Pak. Namun, kata sudut hatiku menertawakan. Mimpi ketinggian kamu Ning. Awas jatuh nanti sakit.

"Saya mau menekuni pekerjaan ini biar dapat uang, Pak."

"Kamu mau jadi tukang bersih-bersih gini aja?" ucap Pak Haji terkekeh seraya meremehkanku.

Glek,
Aku hanya menelan ludah dan menahan malu. Cita-citaku ingin menempuh pendidikan setinggi mungkin. Aku ingin tetangga tidak memandang sebelah mata keluargaku. Aku ingin mengangkat derajat bapak ibu. Tapi aku bingung harus mulai dari mana.

"Jadi perempuan mbok yang berpikiran luas dan terbuka, Ning. Kalau cuma bersih-bersih di rumah ini, sayang sekali otak encermu."

Aku hanya menyengir kuda merespon Pak Haji.

"Saya harus kerja apa, Pak Haji? Bersih-bersih di rumah ini dan menyiapkan dagangan keripik singkong sudah cukup menyenangkan bagi saya," jawabku sambil mengulum senyum.

"Ya sudah kalau kamu berpikir begitu. Besok mau ada penyuluhan dari mahasiswa. Siapa tahu usaha keripik singkongmu bisa membawa hidup keluargamu lebih baik."

"Benarkah, Pak Haji?"

"Iya. Saya baru dikabari Pak Lurah. Besok lusa, pagi-pagi kamu ikut ke balai desa saja. Bersih-bersihnya libur, biar Mang Udin yang kerjakan."

"Baik Pak Haji." Reflek wajahku tak berhenti mengulas senyum. Bahkan aku di dapur mencuci piring sudah membayangkan tentang acara esok lusa.

"Ya Illahi, akankah hari esok datang pertolongan-Mu untuk keluargaku yang miskin ini. Semoga saja, amin."


Bab 4 Gu*jingan

Mentari mulai merangk4k naik hingga panasnya menerpa ubun-ubun. Aku pulang dari rumah Pak Haji dengan hati riang. Sebab ada acara esok lusa di balai desa yang memberi harapan untuk usaha keripik singkong bapak. 

Keripik singkong Pak Rahmat. Otakku sudah membayangkan dagangan bapak berlabel nama beliau. Sungguh aku sedari tadi tersenyum sendiri di perjalanan. Sampai-sampai di tengah jalan beberapa tetangga menegurku.

"Ning, lihat jalan. Awas nabrak!" teriak tetanggaku.

"Ya, Bulik. Makasih!" seruku.

"Astaghfirullah." Saking senangnya, aku lupa mampir di warung Yu Barit untuk membeli bumbu dan bahan membuat keripik singkong. Memutar sepeda, aku harus kembali mengayuh balik dua ratus meter.

"Ning kenapa balik lagi?"sapa tetanggaku yang masih di depan rumah menyiram tanaman.

"Iya, Lik. Mau ke warung Yu Barit," jawabku lantang. Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di depan warung. Sepeda segera kusandarkan di pagar karena standarnya rusak

"Itu, Ning anaknya Yu Romlah. Tanyain aja sama anaknya."

Kulihat ada beberapa tetangga sedang berbelanja juga. Setengah berbisik, suara mereka menyebut namaku dan nama ibu sampai ke telingaku.

Ada apa gerangan. Apa mereka membicarakanku dan ibu?

"Mau beli apa, Ning?" Sapa ibunya Ayu teman sekolahku. 

"Ini Bu. Saya mau beli minyak goreng dan bumbu untuk keripik singkong."

"Berapa, Ning?" tanya Yu Barit sembari mengusap peluh di dahinya. Cuaca memang panas sekali hari ini. Aku yang memakai rok selutut dan kaos lengan pendek saja masih berkeringat.

"Minyak goreng 5 liter sama bawang 2kg dan bumbu lainnya seperti yang ibu pesan ya, Yu," ucapku. Kulihat sekilas Ibunya Ayu dan dua tetangga lainnya berbisik-bisik. Namun, aku tidak menghiraukan.

"Ini uangnya, Yu." 

"Tumben Yu Romlah nggak ngutang," celetuk salah satu yang berdiri di samping ibunya Ayu.

"Alhamdulillah pas ada uangnya, Bu," jawabku sopan.

"Lha iya wong tadi malam barusan dapat arisan kok ngutang ya, Ning. Nanti Yu Barit nggak dapat untung malah rugi jualannya," sahut ibu yang lain.

"Yu Romlah sering banget dapat arisan. Lagi mujur apa ya?" Ibu yang lain menimpali.

"Stt, bukan mujur lagi. Itu pasti di rekayasa supaya dia dapat terus."

Deg,

Jantungku tiba-tiba berdebar kencang. Mendengar mereka membicarakan tentang ibuku, aku tidak terima. Ingatanku tertuju pada kejadian tadi malam.

"Untung ibu dapat arisan lagi. Jadi kita dapat uangnya."

"Ide kamu memang bagus, Tin. Besok bisa ibu coba lagi, soalnya ibu ikut tiga nama."

"Tenang saja, Bu. Mau dikocok berulang juga yang keluar nama ibu. Kan aku sudah mengganti gulungan kertasnya dengan nama ibu semua." 

Jadi, arisan yang ibu dapat benar-benar hasil rekayasa.

"Ning! Kenapa melamun? Jangan diambil hati ya." Kali ini ibunya Ayu membesarkan hatiku.

"Eh gimana sih, Bu. Orang beneran Yu Romlah aja sampai gugup kok semalam."

"Gugup gimana?"

"Masak iya, minggu kemarin sudah dapat semalam dapat lagi. Ya ada peserta yang nyeletuk nggak percaya. Eh Yu Romlah nantangin buat dikocok lagi. Keluarlah namanya lagi. Sampai 3x dikocok tetap sama. Lha malah mencurigakan ta."

"Sudah-sudah, kalian malah ngomongin apa sih. Nggak penting, malah nambah dosa nanti." 

Ibunya Ayu masih membelaku. Namun, kegugupanku jelas tidak bisa disembunyikan. Aku merasa harus segera kabur dari warung Yu Barit. Sebelum ibu-ibu yang menggunjing menangkap perubahan sikapku.

"Yu, ini uangnya ya. Nggak kurang, kan?" ucapku tergesa.

"Nggak, Ning. Makasih banyak ya," balas Yu Barit sumringah. Saking seringnya ibuku berutang di warung ini, Yu Barit terlihat berbinar saat aku membayar belanjaan.

Gegas kutenteng dua kresek berukuran besar.

"Lho, Ning. Kok buru-buru ta?" tegur ibunya Ayu.

"Paling dia takut mendengar kenyataan tentang ibunya."

Masih kulihat ibu-ibu mencibir ibuku. Memang mereka tidak salah. Namun, ucapan mereka begitu menyayat hati. Aku menulikan pendengarananku sampai sepeda kukayuh cepat meninggalkan mereka. Hingga suara menyakitkan itu tidak terdengar lagi.

Sampai di rumah, aku masih gemetaran mengingat obrolan ibu-ibu di warung Yu Barit. Entah kenapa amarah merajai hati saat datang disambut Mbak Titin yang santai mengecat kuku di ruang tamu.

Aku mengelus dada setelah kresek kujatuhkan di lantai. Bunyi keras kresek berisi belanjaan beradu dengan lantai membuat Mbak Titin mendongak. Ia menatap ke arahku tanpa rasa iba sedikitpun.

"Mbak!" Sekali panggilan kuserukan, Mbak Titin malah melanjutkan kegiatan mengecat kukunya.

"Astaghfirullah. Mbak Titin!"

"Apa?! Mbak nggak bud3g tahu? Ngomong pelan bisa, nggak?"

"Mbak Titin, sini!"

Aku menarik lengannya lalu menyeret ke kamar.

"Apaan sih, Ning?" Mbak Titin menghalau tanganku sebagai bentuk protes karena ulahku yang tiba-tiba.

"Mbak sadar nggak sih kalau berbuat salah?" Aku bertanya seraya menatapnya tajam. Namun, Mbak Titin justru mengerutkan keningnya.

"Salah apa?!" tanyanya tak paham.

"Apa yang Mbak lakukan semalam dengan ibu? Mbak merekayasa arisan kampung, kan?"

"Hah? Jangan nuduh sembarangan kamu, Ning. Itu fitnah. Dosa kamu sama Mbak."

"Cih, dosa? Mbak tahu apa yang dinamakan dosa? Kelakuan Mbak semalam sudah menzhalimi orang lain tahu, nggak? Mbak mengambil hak ornag lain. Mbak memangkas rejeki mereka."

Plak.

Panas terasa menyambar pipiku. Hatiku ngilu setelah meluapkan emosi, sebuah tamparan mendarat di pipi. Wajah Mbak Titin merah padam.

"Mbak yakin kalau perbuatan kotor itu tidak diketahui orang lain, hah?"

"Kamu bisa diam, nggak?!" teriak Mbak Titin sambil mencengkeram erat lenganku. Sakit, tetapi rasa sakit hatiku lebih mendominasi. Hingga kuku tajamnya menusuk, kulitku pun seolah mati rasa.

"Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut?"

Ibu berusaha melerai kami. Beberapa detik kemudian pandangannya mengarah padaku. Tajam seperti ingin mengulitiku.

"Bu, Mbak Titin salah."

"Salah apa? Coba bilang mana yang salah?" elaknya membuat aku muak.

"Ning! Katakan sama ibu. Kenapa kamu bilang Titin salah? Memangnya salah apa dia."

"Nggak cuma Mbak Titin yang salah, ibu juga salah," ucapku lirih. Nada bicaraku sudah mulai teredam saat kutatap wajah wanita yang melahirkanku. Aku tidak mungkin berteriak di depan ibuku. Bagaimanapun juga aku tidak ingin menjadi anak durhaka. Meskipun ibu selalu menunjukkan kebencian padaku, aku berusaha tetap menyayanginya.

"Dasar anak tidak tahu diuntung. Sudah dibesarkan malah ngelunjak!" teriak ibuku membuat hatiku berdenyut nyeri.

Sudah kuduga, ibu pasti akan membela Mbak Titin.

"Bu, tetangga pada menggunjing ibu. Arisan semalam memang benar rekayasa kalian berdua, kan?"

"Diam!" 

Aku tersentak mendengar bentakan ibu. Merasa bingung dengan situasi ini, aku memilih menunduk. Sebentar lagi cairan bening pasti lolos dari mataku.

"Kamu tahu apa? Biarkan saja orang-orang menggunjing asal kamu tutup mulut. Tidak ada yang tahu akal-akalan tadi malam. Kalau tidak kepepet, ibu nggak akan melakukannya."

Sontak saja aku mendecis. Kepepet macam apa itu.

"Allah Maha Tahu, Bu. Pokoknya ibu harus mengembalikan uang itu," ujarku.

"Kamu sudah gil*. Kamu mau ibumu dipukuli orang sekampung, hah?"

"Ibu yang memulai, seharusnya ibu tahu resikonya. Tidak dipukuli orang sekampung pun, Allah pasti memberi balasan setimpal."

"Dasar anak durhaka. Kamu doakan ibu yang jelek. Kamu mau ibu cepat m*ti? Iya?!"

"Astaghfirullah, Ibu! Bukan itu maksud, Ning."

Pada akhirnya, usahaku sia-sia. Aku tetap dicap buruk di mata ibu. Aku yang bersalah menurut ibu karena tidak membenarkan kelakuannya. Aku pun memilih diam dan sebait doa selalu kuucapkan untuk yang terbaik bagi keluargaku terutama ibu dan bapakku.

 

Bab 5 Terkesima


Dua hari berlalu, yang dinanti pun tiba. Acara di balai desa pagi ini akan dilaksanakan. Aku sudah meminta izin pada bapak dan ibu untuk menghadirinya.

"Pak, Bu. Pak Haji minta Ning menghadiri acara di balai desa. Barangkali dagangan keripik bapak bisa berkembang jadi cemilan andalan," kataku bersemangat.

"Jangan bermimpi terlalu tinggi," cibir Mbak Titin. Seketika semangatku surut melihat pandangan sinisnya.

"Orang-orang kampus pasti cuma mau ambil keuntungan. Mereka hanya mencari nilai untuk kenaikan jabatan pastinya. Apa itu namanya, formal formal..."

"Formalitas?"

"Iya kali. Mereka nggak sungguh-sungguh. Kalau benar ingin mengabdi pasti nggak cuma sekali. Tapi berkelanjutan."

Tumben Mbak Titin berpikir maju. Aku hanya mengulum senyum. Sejatinya Mbak Titin kalau mau serius belajar pasti jadi siswa yang pintar waktu itu. Apalagi kalau ada kesempatan melanjutkan kuliah. Ah, andai kesempatan itu datang. Reflek lamunanku buyar setelah Mbak Titin menaruh bak berisi air.

"Enggak, Mbak. Kata Pak Haji, tim yang datang benar-benar mau membantu masyarakat," sanggahku.

"Cihh, nanti ujung-ujungnya cuma php. Sudah-sudah, sekarang bantuin ngupas ketela dulu sebelum berangkat!" titahnya sudah seperti bos menyuruh bawahannya. Aku mendengkus seraya menatap wajahnya yang menjab menjeb. Menyebalkan.

"Tapi Mbak, Ning nanti terlambat. Ning mau mampir ke rumah Ayu dulu. Dia juga ikut datang soalnya."

"Kenapa kalian ribut-ribut pagi-pagi? Bikin kepala ibu pening."

"Nggak ada apa-apa, Bu," sahutku. Aku tidak mau urusannya panjang kalau sudah ada ibu. Pertengkaran kecilku dengan Mbak Titin bisa menjadi perang dunia kalau dicampuri ibuku.

"Sabar, Bu! Bapak berangkat dulu ya. Ning, kamu manfaatkan pertemuan di balai desa nanti ya. Semoga ada kabar baik."

"Siap, Pak," jawabku sambil mengulas senyum.

"Oya, kenapa kamu nggak ikut saja sekalian, Tin?" Bapak menghentikan langkah menuju sepeda yang sudah terpasang dagangan.

"Nggak, Pak. Panas, nanti kulit Titin jadi hitam. Besok Jono mau mengantar Titin seleksi audisi model."

"Seleksi sama audisi itu sama Mbak."

"Ckkk, iya itulah pokoknya." Aku menahan tawa saat melihat wajah ditekuk Mbak Titin karena salah ngomong.

"Orang acaranya di balai desa kok takut kena matahari. Dasar Mbak Titin malas."

"Biarin," Mbak Titin menjulurkan lidahnya membuatku jengah.

Setelah Bapak berangkat menjajakan dagangan keripik, ibu mulai kelihatan gaya diktatornya.

"Ning, buruan selesaikan pekerjaannya. Jangan sampai Titin yang mengerjakan semua. Nanti tangannya kotor, kulit mulusnya tergores. Sia-sia dia perawatan menghabiskan banyak uang."

Ckkk, itu tahu kalau Mbak Titin banyak membuang uang. Kenapa masih saja didukung. Aneh memang ibuku nih.

"Nih, Mbak. Udah selesai Ning ngupas ketelanya. Mbak Titin lanjutkan ya. Nanti kalau sudah selesai acara, Ning buruan pulang."

"Ya. Jangan lama-lama! Mbak nggak mau di depan kompor, panas." Sambil mengibaskan tangannya Mbak Titin membuatku berdecak kesal. Ingin rasanya tak hih, tapi ada ibu yang memantau obrolan kami.

Aku berlalu setelah mengucapkan salam. Mengayuh sepeda menuju rumah Ayu, aku terhenyak. Reflek kuinjak rem sepeda hingga lajunya terhenti. Roda sepeda pun berdecit.

Astaghfirullah. Kenapa aku pakai baju begini. Hmm, sopan nggak ya? Dibanding memikirkan isi acara entah kenapa aku justru memperhatikan penampilan.

Sebagai remaja yang baru menginjak 17tahun, aku juga punya sisi ingin tampil menarik. Hanya saja keterbatasan finansial kadang mematahkan niat itu.

Ah, sudahlah. Aku pikir pakaian yang kukenakan masih tergolong sopan dan tertutup . Akhirnya aku memutuskan melanjutkan perjalanan menuju rumah Ayu.

"Mau ke mana, Ning?" seru Yu Barit, saat aku melintasi warungnya.

"Ke rumah Ayu. Mari, Yu."

"Hati-hati."

"Iya, makasih, Yu." Aku bersemangat mengayuh sepeda jengki milik alhmarhum istri Pak Haji. Sepeda itu sudah lama diberikan untuk ibuku saat bekerja di rumahnya. Sekarang aku yang menjadi pawang sepeda itu. Aku mengulum senyum setiap mengendarai sepeda ini. Berharap suatu hari aku bisa membelikan sepeda untuk Amir sekolah. 

"Ayu ada, Bu?" Aku bertanya setelah mengucapkan dalam pada ibunya Ayu.

"Oh ada, Ning. Masuk saja ke kamarnya!"

"Makasih, Bu." Baru melangkah sampai ambang pintu, ibunya Ayu menyeru. Aku pun menoleh.

"Ayu kok ribut dandan, mau ke mana sih, Ning?"

Mendengarnya, aku menahan tawa. Bisa-bisanya Ayu ribut berdandan hanya untuk ke balai desa. Biasanya juga dia paling anti buat memperhatikan penampilan.

"Oh itu, Bu. Kata Pak Haji, di balai desa mau ada tim dari kampus Yogya. Pak Lurah mengadakan acara tentang penyuluhan usaha warga sini."

"Wah, siapa tahu usaha keripik Pak Rahmat jadi maju, Ning."

Aku tersenyum mengembang. Ya, itulah salah satu tujuanku. Usaha bapakku harus berkembang agar keluargaku bisa bangkit dari kemiskinan.

"Mohon doa restunya, Bu. Siapa tahu Ning dan Ayu bisa menjadi pengusaha. Hehe"

Aku terkekeh pelan. Tidak ada salahnya bermimpi bukan, selagi mimpi itu gratis.

"Bagus, Ning. Ibu bangga sama kamu, juga bapakmu. Keluarga kalian semangat berjuang tanpa mengindahkan cemoohan orang. Biarkan saja beberapa dari mereka memandang sebelah mata asal kamu terus menunjukkan prestasimu. Ibu yakin kamu bisa mengangkat derajat orang tuamu."

Ucapan ibunya Ayu menjadi cambuk bagiku. Aku bertekad untuk meraih mimpiku seperti yang diucapkan wanita yang ada di depanku ini. Aku pun mengamini doanya dalam hati.

"Kalau gitu, Ning masuk dulu ya, Bu."

"Ya, Ning. Ibu masih harus menata pot-pot ini biar rapi."

"Maaf ya, Bu. Ning nggak bantuin."

Aku menyengir sambil melangkah masuk. 

"Sudah masuk sana!"

Sampai di depan kamar Ayu, pintunya terbuka. Aku menggeleng tak percaya. Melihat Ayu memoles gincu berganti tisu yang dilap ke bibir, lalu kembali memoles. Menggemaskan.

"Sampai kapan moles bibirnya,Yuk? Buruan nanti kita telat ke balai desa!"

"Ishh, ngagetin aja, Ning."

Aku melenggang masuk ke kamar Ayu. Kamar berukuran 4x4m terlihat rapi dengan nuansa pink. Berbeda jauh dengan kamarku. Ya, Ayu memang dari keluarga berada. Aku bersyukur dia mau bersahabat denganku yang miskin ini. Bahkan ayah ibunya sangat baik padaku.

"Ning, kamu kok pakai baju lusuh begini, sih? Kita mau ketemu mahasiswa dan dosen lho. Masak iya pakaiannya kayak mau ke pasar," cibirnya membuatku terhenyak.

"Astaga, benarkah harus serapi ini, Yuk? Tapi aku nggak ada baju bagus. Ini sudah terlihat sopan kan?" Aku memegang bajuku menunjukkan pada Ayu. Namun, dia justru mendecis. Sedetik kemudian, Ayu beranjak dari depan cermin menuju almarinya. Diambilnya beberapa helai pakaian. 

"Sudah bagus ini, Yuk. Kamu mau ganti baju lagi?" kataku menunjuk bajunya.

"Nggak. Bukan aku yang ganti, tapi kamu Ning. Sana masuk kamar mandi buruan ganti. Pilih aja baju yang pas buat kamu!"

Aku terbelalak, tapi tidak bisa menolak. Sahabatku ini kalau sudah bilang A harus dituruti A. Hadeh, mau tak mau aku menurut. Beberapa menit kemudian kami berdua tertawa di depan cermin.

"Sudah, sudah. Ayo berangkat," ajakku. Ayu pun menurut. Setelah pamit pada ibunya, aku dan Ayu berboncengan ke balai desa yang berjarak sekilo dari rumah Ayu.

Benar saja, sampai di tempat acara sudah dimulai. Pak Lurah sedang berdiri di depan aula memberi sambutan. Aku dan Ayu duduk di barisan kursi paling belakang. Sebenarnya masih ada kursi kosong di bagian depan. Namun, aku dan Ayu tidak mungkin nyelonong duduk melewati banyak warga yang sudah lebih dulu duduk.

"Ishh, gara-gara dandan lama nih, Yuk. Terlambat, kan?"

"Nggak papa. Yang penting tim kampus belum mulau ngasih pengarahan."

Selesai Pak Lurah menyambut acara, giliran tim kampus ke depan memperkenalkan diri.

Ada satu dosen laki-laki dan lima mahasiswa berdiri di samping kanan kirinya. Saat ini semua mata tertuju pada enam orang yang berdiri di depan. Terutama aku, bisa-bisanya aku langsung terkesima dengan satu diantaranya, laki-laki berbadan tegap dengan senyum mengembang.

Sang dosen laki-laki yang tak kalah tampan memperkenalkan laki-laki itu pemilik nama Zen Maulana ketua tim pengabdian di desa ini.

"Saya Zen Maulana, Insya Allah akan membersamai warga di sini untuk mengembangkan usahanya. Bersama rekan-rekan mahasiswa jurusan ekonomi dan bisnis di bawah bimbingan dosen kami. Mohon kerja sama dari bapak, ibu, mas, dan mbak sekalian."

"Ning, Ning! Jangan lupa berkedip."

"Astaghfirullah, apa sih, Yuk." Malu rasanya, Ayu sudah cekikian di sampingku. Aku menoleh ke kiri dan kanan manatahu ada yang mendengar celetukan Ayu. Sampai netraku bersitatap dengan sorot mata tajam milik Zen. Senyumnya seolah terkirim untukku.

Fix, laki-laki itu memang mempesona. Hanya dengan melihat gaya bicaranya saja, jantungku sudah berdebar. Dasar ABG labil, batinku menjerit.

"Apa ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?" lirihku langsung mendapat cubitan dari Ayu. Aku mengaduh lalu tertawa dengan kekonyolanku.

Aku tidak boleh jatuh ke pesonanya, ingat tujuan hidupmu Ning, bangkit dari kemiskinan. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Hingga debaran jantungku berangsur normal. Namun, kelegaanku hanya berlangsung singkat. Sebuah sapaan dari laki-laki bernama Zen menaikkan radar jantungku kembali tak normal.

"Silakan Mbak berdua pindah ke kursi depan!"

"Hah."


Bab 6 Dia Pintar dan Kaya

Sebuah sapaan dari laki-laki bernama Zen menaikkan radar jantungku kembali tak normal.

"Silakan Mbak berdua pindah ke kursi depan!"

"Hah." Malu rasanya tertangkap basah tengah mengagumi laki-laki itu. 

Selesai mendengar arahan dan program kerja ke depan, aku dan Ayu bingung mau mengerjakan apa. Sebagian warga telah pulang. Diantara peserta yang hadir, aku dan Ayu termasuk yang paling muda. Jelas saja, kami masih status siswa kelas 3 SMA hampir lulus.

"Mbak Ning, kemari!" Aku tersentak, gugup pun melanda saat suara Pak Lurah memanggilku. Mau tak mau aku menarik lengan Ayu untuk berbalik dan melangkah ke arah tim dari kampus.

"Nggih, Pak Lurah, wonten menapa?" (Ya, Pak Lurah ada apa?)

"Ini Mas Zen dan tim mau meninjau usaha Pak Rahmat. Apa kamu bersedia mengantarnya?" ucap Pak Lurah.

Kurasa Pak Lurah sedang bercanda. Jelas saja aku tidak mungkin menolak. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tanpa aku meminta, tim dari kampus bersedia dengan sukarela mengunjungi rumah bapak.

"Dengan senang hati, Pak Lurah. Tapi bapak saya pulang agak sore," terangku. Kulirik sekilas satu persatu wajah dosen dan para mahasiswa. Deg, sampai pada tatapan terakhir ada Zen di sana. Tatapan lekatnya disertai seulas senyum membuat jantungku bertalu.

Astaghfirullah, perasaan macam apa ini.

"Baik kalau begitu, nanti sore nggak papa, Pak Lurah. Tim kami akan berdiskusi dulu dengan pemangku desa lebih dulu." Kulihat Pak Dosen yang memberi usul. Pak Lurah pun mengiyakan.

Gegas aku dan Ayu meminta izin pulang pada Pak Lurah. Aku harus menyiapkan dagangan keripik singkong untuk bapak jual esok hari. 

"Ayo, Yuk. Aku antar pulang!"

"Nggak usah, Ning. Aku ikut ke rumahmu saja. Lagian di rumah nganggur nggak ada kerjaan. Mending di rumahmu bantu-bantu," ocehnya membuatku heran.

"Hmm, pasti ada maunya ya?" tebakku. Ayu hanya cengar-cengir. Aku melajukan sepeda memboncengkan Ayu menuju rumahku. Dia sudah menelpon ibunya kalau mau langsung ke rumahku.

"Mahasiswanya cakep-cakep ya, Ning," seru Ayu. Aku hanya berdehem. Arah pembicaraan Ayu paling-paling juga tentang ketua timnya.

"Cakep dan cantik, Yuk," koreksiku.

"Iya terutama Mas Zen."

Sudah kuduga, Ayu juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasa.

"Biasa aja, Yuk. Mas yang satunya tadi juga nggak kalah cakep." Aku menyanggahnya.

"Tapi, Mas Zen itu tatapannya beda, Ning. Apalagi saat menatap kamu." Aku tergelak mendengar Ayu masih menghalu ria.

"Kok kamu malah ketawa sih, Ning. Beneran, aku nggak mungkin salah mengira."

"Mimpi aja terus, Ning. Siang-siang makin panas enaknya minum es jeruk." Aku mencoba beralih topik pembicaraan.

"Astaga, nih anak dibilangin. Awas kalau besok-besok sampai kamu tertarik sama Mas Zen. Aku bakalan yang minta traktir  duluan."

"Sekarang aja aku traktir, Yuk. Nggak ada yang ngelarang. Lagian gadis kampung seperti kita kok ngadi-ngadi pengin bersanding dengan orang kota, pintar dan kaya lagi."

"Ya, siapa tahu, Ning."

"Mereka berpendidikan, Yuk. Minimal harus setaralah. Kamu masih mending punya peluang. Nah, aku jelas-jelas hanya mimpi. Keluargaku, tahu sendiri kan, ekonominya saja carut marut. Dah ah, fokus saja, Yuk. Kali kita jadi pengusaha keren."

"Amin." 

Ayu diam setelah mengamini doaku. Tidak ada salahnya bukankah harapan adalah doa. Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Prasangka yang baik pada Allah pasti akan mendapat balasan yang baik pula.

Sampai di rumah, yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Aku menghembuskan napas kasar.

"Mbak Titin!" teriakku. Ayu mengusap-ngusap punggungku supaya tidak terpancing emosi. 

"Sabar, Ning!" Ayu sudah hafal dengan tingak polah kakakku. Dia selalu bisa menghibur di saat hatiku meradang karena ulah Mbak Titin.

"Mbak!"

"Ada apa, sih? Nggak usah teriak-teriak." Mbak Titin keluar dari kamar dengan santai sambil menggulung rambutnya ke atas. Ia berjalan melenggak lenggok seolah di catwalk. Aku mendengkus kesal. Melihat kerjaan terbengkalai. Pesanku seolah hanya dianggapnya angin lalu.

"Ini apa, Mbak? Aku tadi kan sudah mengupas ketelanya. Kenapa masih utuh di bak. Ya Rabb, jadi apa rasanya nanti kalau direndam lama. Mbak Titin ngapain aja sedari tadi, hah?"

"Nggak usah ngegas kali, Ning. Mbak lagi latihan berjalan ala seorang model. Mas Jono tadi telpon besok seleksinya diajukan pagi-pagi. Untung kamu pulang, buruan dikerjain bikin keripiknya.".

"Astaga! Mbak...!"

"Sudah, Ning. Biar aku bantu. Ayo apa yang dikerjakan dulu. Biar nanti tim dari kampus datang semua sudah beres."

Kuraup oksigen banyak-banyak agar emosiku yang tengah memuncak segera padam. Ayu paling bisa membuatku mengerti kata sabar.

"Terima kasih, Yuk." Aku bisa tersenyum lega, Ayu dengan sukarela mau membantuku menyelesaikan keripik singkong yang terbengkalai.

Ayu memasah ketela yang sudah dikupas menjadi potongan tipis. Sementara itu, aku menyiapkan bumbu dan juga api dari kayu bakar. Sebenarnya ada kompor kecil, tetapi biasanya hanya digunakan untuk kondisi darurat. Karena banyak ketela yang mau digoreng, jadi butuh wajan besar. Kompor manual dengan kayu bakar menjadi pilihan untuk proses menggoreng.

Mbak Titin akhirnya memilih membereskan cucian baju. Itupun hanya membilas karena dia tidak mau tangannya terkena sabun cuci. Mengesalkan.

"Ibu kemana, Mbak?"

"Nggak tahu."

"Mbak Titin kan sejak tadi di rumah. Masak nggak tahu ibu kemana?"

Terdengar suara salam dari luar. Ternyata Amir baru saja pulang sekolah.

"Kamu jalan, Mir?"

"Iya, Mbak. Bareng sama teman-teman kok."

"Mana temanmu?"

"Itu mereka."

Amir menunjuk empat orang anak laki-laki dan perempuan berdiri di ambang pintu.

"Kamu mengajaknya ke rumah?" Aku bertanya heran. Pertanyaan yang tidak butuh jawaban karena anak-anak sudah berdiri didepanku.

"Iya, Mbak Ning. Kami sudah selesai ujian. Boleh kan teman-teman main di sini. Mereka mau melihat proses membuat keripik singkong."

Aku tertegun dengan ucapan Amir. Anak-anak pintar. Dibanding main yang membuang waktu dan tenaga, mereka justru mau melihat cara membuat keripik.

"Ya sudah sini ajak mereka masuk."

"Terima kasih, Mbak. Boleh kami membantu juga, Mbak?" ucap anak-anak SD itu.

"Hah, kalian ke sini disuruh Amir bantu-bantu?" tanyaku menyelidik.

"Eh, nggak Mbak. Kami yang pengin main kok. Sekalian bantuin kan jadi tahu caranya bikin keripik singkong."

"Ya sudah, ayolah. Mbak malah seneng ada yang bantuin. Nanti ada tim dari kampus kemari."

Dengan suka cita aku mengerjakan pekerjaan hari ini. Emosi yang sempat merajai hati segera terhempas oleh senyum Ayu dan anak-anak SD teman Amir. Aku menyiapkan makan siang meski hanya lauk tempe dan sayur bening. 

"Apa-apaan ini, Ning. Kamu menyuruh mereka...."

Gegas aku menarik lengan ibu masuk ke kamar. Telunjuk kuletakkan di bibir agar ibu berhenti bicara. Kasian kalau anak-anak sampai mendengar omelan ibuku.

"Kamu...., bisa-bisanya menyuruh mereka makan di sini. Kamu tahu nggak, beras kita menipis. Buat makan saja susah kok enak-enak menyuruh mereka makan."

"Bu, tenang dulu. Jangan bicara keras-keras. Mereka lagi makan nanti kesedak."

"Biar saja kalau kesedak mereka bakalan berhenti. Nasinya nggak jadi habis buat mereka makan."

"Astaghfirullah. Maafkan Ning, Bu. Tadi Amir mengajak teman-temannya ke rumah. Mereka justru membantu Ning menyelesaikan kerjaan. Itu libu lihat sendiri keripik singking sudah siap semua, kan?"

"Ah, alasan. Kamunya aja yang malas. Biasanya kamu kerjakan sendiru juga bisa. Kenapa butuh bantuan mereka?" Ucapan ketus ibu sungguh menguji kesabaranku.

Semua gara-gara putri kesayangan ibu. Kalau saja Mbak Titin tidak mengabaikan pesanku, kerjaan pasti tidak terbengkalai.
Ingin meneriakkan alasan itu, ujung-ujungnya aku pasti kena semprot juga oleh ibu.

"Sudah, Bu. Biarkan mereka makan dengan tenang."

"Kamu ngomong gampang sekali. Nanti malam kita makan apa, hah? Nggak kasian bapakmu pulang keliling lalu ke kebun dan nggak ada makan malam?"

"Ning, masak nasi lagi, Bu." Ibu masih berdecak kesal karena ulahku. Niat baik menyenangkan anak-anak yang sudah membantu justru aku kena masalah baru. Melangkah menuju tempat menyimpan beras, netraku menatap nanar.

Allahu Akbar, seperti ditusuk jarum dadanya nyeri. Berasnya habis tak bersisa. Ada rasa bersalah kalau sampai bapak nanti pulang tidak ada makanan.

"Bu, berasnya habis," lirihku.

"Ibu bilang juga apa? Kamu sok-sokan ngasih makan orang lain.

"Maafkan Ning, Bu. Apa ibu ada uang, Ning beli beras 1kg saja sekarang."

"Nggak ada!" Ucapan tegas ibu membuatku tersentak.

"Tapi, kata Mbak Titin barusan ibu ke koperasi pinjam uang?" Ibu terkejut mendengarnya. Mungkin beliau tidak menyangka kakakku mulutnya ember. Aku memang nggak setuju ibu suka berutang sana-sini. Selain menjadi bahan ghibah tetangga, juga menambah sengsara dengan bunganya yang mencekik.

"Ya, ibu baru dari koperasi. Nih pinjam uang sejuta dipotong administrasi."

"Ning pinjam dulu, Bu."

"Nggak bisa, ini untuk keperluan mbakmu besok mulai seleksi."

"Tapi, Bu?" seruku memohon. Namun ibu tetap tidak menggubris.

"Pakai saja uang tabunganmu!"

Aku terduduk lemas mendengarnya. Lagi-lagi uang tabunganku harus jadi korban.

Bab 7 Iri Hati


Menjelang sore, anak-anak SD teman Amir sudah pulang. Pun Ayu memilih pamit lebih dulu karena mendapat panggilan ibunya. Tim dari kampus datang bersama Pak Lurah. Beruntung bapak sudah selesai mandi, meski belum sempat istirahat. Bapak pulang dari keliling langsung ke kebun mengambil ketela untuk persediaan keripik esoknya lagi.

"Selamat sore, Pak Rahmat, Bu Romlah," sapa Pak Lurah diikuti dosen dan mahasiswa.

Aku masih mengenakan baju milik Ayu. Sebab bajuku tidak ada yang layak dipakai menyambut tamu menurut Ayu. Hufh, ada-ada saja memang sahabatku satu itu.

Mbak Titin sampai mencibirku. Mengira aku sengaja memakai baju bagus untuk menarik perhatian. Menjengkelkan, dia sendiri malah pakai baju baru dan dandan menor.

"Silakan masuk Pak Lurah, Pak Dosen, Mas dan Mbak!" Bapak menyilakan tamu masuk dan duduk lesehan.

Aku sudah menggelar tikar karena kursi yang tersedia di ruang tamu tidak cukup. Mereka pun duduk lesehan. Bapak menemani tamu mengobrol, sedangkan aku dan Mbak Titin membantu ibu menyiapkan minum.

"Ning, biar mbakmu yang bawa minumannya ke sana. Kamu di sini saja selesaikan kripik tambahan yang belum di bungkus. Kasian Amir kalau sendirian, ibu juga harus mendampingi bapakmu."

Aku berdecak, tetapi tidak bisa menolak keinginan ibu. Biarlah Mbak Titin yang sudah dandan mengantarkan minuman untuk tamu.

"Kamu di sini saja ya, Ning. Mbak kan sudah dandan cantik, eman kalau disembunyikan."

Huh, bukankah berlian dalam lumpur tetap menjadi berlian.

"Jangan sombong kamu!"

Aku dan Amir cekikikan melihat muka Mbak Titin ditekuk.

"Iya iya, Mbak Titin memang paling cantik sedunia. Sana temani tamunya kali aja ada yang bisa jadi menantu bapak," ucapku asal. Mbak Titin membawa nampan berisi minuman sambil menahan kesal.

"Mbak Ning nggak ke depan sekalian?" tanya Amir heran. Aku memilih menemaninya mengemasi keripik menjadi bungkusan-bungkusan kecil.

"Nggak, Mir. Di sini saja, nanti keripiknya keburu nggak renyah. Ayo cepat kita bungkusin!"

"Ya, Mbak."

Beberapa menit berlalu, aku fokus mengemasi keripik sambil mengibrol dengan Amir. Kupikir ini adalah kesempatan mengobrol dengan Amir yang sudah mau menginjak SMP. Dia seorang laki-laki harus bisa jadi anak yang bertanggung jawab. Aku berpesan supaya Amir bisa bersabar melewati ujian hidup yang serba kekurangan. Aku berjanji akan membuat Amir bisa mengikuti pendidikan setidaknya sampai SMA seperti aku dan Mbak Titin.

"Ini, proses pembuatan keripiknya paling terakhir pengemasan." Kudengar suara bapak semakin jelas di telingaku.

"Eh, Bapak."

Sontak saja aku gugup. Jantung berdetak kencang melihat tim dari kampus masuk ke bagian dapur. Aku mengernyit menatap Amir. Dia justru memajukan dagunya seolah menyuruh aku menjelaskan proses pengemasan keripik. Menghela napas panjang, kuberanikan diri untuk bersuara. Bapak memerintahkanku menjelaskan proses yang baru saja selesai kulakukan bersama Amir.

"Ini keripiknya setelah diangkat dari penggorengan, lalu ditiriskan di tempat yang bisa mengurangi minyak. Setelah dingin barulah dikemasi kecil-kecil seperti ini."

Aku menejalaskan sambil memansnag satu persatu tim dari kampus. Beberapa dari mereka mengangguk paham terutama pak dosen. Terakhir pandanganku beradu dengan Zen. Rasa canggung pun menghinggapi. Gegas kuhirup udara banyak-banyak untuk mengurangi kegugupan.

"Untuk rasa keripiknya sendiri apa saja?" tanya Zen. Laki-laki itu memang murah senyum hingga membuatku salah tingkah saat dipandangnya. 

Kulirik sekilas Mbak Titin berdiri tak jauh di belakang tamu. Pandangannya terlihat kurang suka saat aku menjelaskan. Ah, biarkan saja. Siapa suruh tadi aku yang di sini. Aku mengulum senyum lalu melanjutkan obrolan.

"Iya, Mas. Rasa keripiknya baru original. Asin gurih dengan cita rasa bawang."

Zen mengangguk paham masih dengan wajah penasaran ia mencicipi keripik yang disiapkan untuk tester. Tim kampus mencoba mencicipinya.

"Hmm, renyah dan empuk," seru perempuan cantik berambut panjang yang berdiri di samping Zen.

"Iya renyah, saya setuju dengan Vina." Pak Dosen pun sependapat dengan perempuan yang dipanggil Vina tadi. Senyumku seketika mengembang. Ada harapan usaha bapak akan meningkat dengan campur tangan orang-ornag handal seperti yang berdiri dihadapanku. Kulihat wajah bapak pun berbinar. 

"Apa rahasia yang bikin renyah?" tanya Mbak Vina. Kulihat Mbak Vina memang cantik dan pintar dari tutur bicara. Sepertinya bersanding dengan Zen sangat cocok. Nyaliku jadi menciut. Semula aku kagum dengan Zen, tiba-tiba jadi merasa tidak pantas mengaguminya. Tidak mungkin orang seperti Zen akan melirik perempuan kampungan sepertiku. Jangan mimpi Ning, batinku menolak.

"Ketela yang sudah dikupas dan dicuci bersih, lalu diiris tipis-tipis pakai alat ini." Bapak menunjukkan alat mirip untuk memasah. Lalu beliau menambahkan kalau ketela yang sudah diiris direndam ke air yang ditambah kapur sirih. Jadinya renyah dan empuk.

"Saya punya ide, Pak. Sepertinya produk keripik singkong ini perlu branding. Nanti kita kasih label di kemasannya. Kemudian kita perlu berinovasi dengan aneka rasa. Jadi tidak hanya original asin dan gurih. Kita bisa coba rasa manis, pedas, dan balado." Zen terlihat bersemangat membuat orang-orang di sekitar tersenyum mendengarnya.

"Bisa juga kombinasi rasa, Zen," imbuh Mbak Vina.

"Yup benar sekali, Vin."

Lagi-lagi aku mengagumi keduanya. Seulas senyum terbit di bibir ini membandingkan diri dengan Mbak Vina, seperti langit dan bumi. 

"Baiklah, Pak Rahmat dan Bu Romlah. Dua mahasiswa saya Zen dan Vina akan mendampingi usaha keripik singkong ini. Saya akan memantau setiap akhir pekan. Untuk mahasiswa lainnya ini nanti di tempat lain sesuai arahan Pak Lurah." Pak Dosen memungkasi kegiatan sore ini.

"Terima kasih, Pak Dosen, Mbak dan Mas sekalian telah membantu warga desa kami," balas Pak Lurah.

Bapak dan ibu pun menyusul mengucapkan terimakasih atas bimbingan dari tim kampus.

Dua hari berlalu, Zen dan Mbak Vina mulai aktif mendampingi usaha pengolahan keripik singkong dengan aneka rasa di rumah bapak. Aku sedikit canggung dengan pintanya supaya memanggil namanya tanpa embel-embel. Dia lebih suka memanggilku Hani. Sementara itu, aku diminta memanggilnya tanpa embel-embel Mas, katanya biar lebih akrab. Ya sudah aku menurut saja, daripada dia nggak semangat mendampingi usaha bapak.

"Kita mulai yang rasa apa dulu nih, Mbak?" tawarku pada Mbak Vina yang meracik bumbu berbentuk bubuk. Ada ibu dan Amir yang siap membantu juga, sedangkan Mbak Titin masih berdandan di kamar.

"Mbakmu di mana, Ning?" tanya ibuku.

"Di kamar, Bu. Katanya sebentar lagi keluar membantu."

Mbak Titin memang aneh, mau beraktivitas di dapur saja dandannya lamanya minta ampun. Gimana kalau make upnya habis, ujung-ujungnya dia pinjam uang lagi buat beli make up baru.

"Eh, maaf Mas, Mbak, mana yang bisa dibantu?"

Tiba-tiba Mbak Titin sudah berbicara lembut dihadapan Zen dan Mbak Vina. Aku memandangnya gemas. Berbeda dengan ibuku yang penuh ceria melihat Mbak Titin mendekati Zen.

"Panggil saja Zen, Mbak." Zen meralat. Terlihat Mbak Titin sedikit tersipu. Aku dan Amir saling pandang lalu mengedikkan bahu.

Ishh, Mbak Titin memang pandai berakting. Nggak perlu daftar model tetapi daftar artis sinetron saja gumanku.

"Oke, Zen. Mana yang bisa saya bantu?" Mbak Titin menggeserku supaya memberi ruang diantara aku dan Zen yang duduk lesehan di atas tikar. Kulihat Mbak Vina mengulum senyum melihat tingkah kakakku.

"Yang ini, Mbak. Bisa minta tolong dimasukkan kardus yang sudah saya siapkan di meja itu," tunjuk Zen. 

"Eh, Nak Zen biar Ning saja yang menata di kardus. Titin belum terbiasa nanti takutnya berantakan." Ibuku memberi saran.

"Oh, baik, Bu. Vin, temani Mbak Titin ngemasin kripiknya ya! Biar aku sama Hani yang menata."

"Siap, Zen."

Aku tersentak mendengarnya. Bisa-bisanya Zen memancing keributan. Mbak Titin dan Ibuku sudah melihatku dengan tatapan mencelang. Terlebih Zen memanggilku dengan sebutan lain. Mbak Titin sudah mengeratkan giginya. Aku menahan diri untuk tidak tersenyum. Nanti bisa-bisa dikira mengejeknya.

"Ayo, Han!" Zen beranjak seraya mengajakku berdiri menuju meja yang sudah ada dus di sana.

Mau tak mau aku mengajak Amir supaya bisa meredam emosi Mbak Titin dan ibuku. Aku sadar keduanya pasti tidak suka melihatku berduaan dengan Zen. Apalagi Mbak Titin, beberapa kali mencari muka di depan Zen. Kalau benar Mbak Titin mau mendekati Zen, lalu Mas Jono mau dikemanain, hufh.

"Ayo, Mir. Kita bawa keripik yang sudah siap di packing!"

"Ya, Mbak."

"Awas kamu nanti, Ning," ancam kakakku. Namun aku tidak mempedulikannya.

Bab 8 Penagih Utang

"Bu, Alhamdulillah orderan keripik seminggu ini meningkat," ucap bapakku dengan wajah berbinar.

Aku tersenyum mengembang, pun ibuku dan Mbak Titin. 

Seminggu berlalu, uji coba produk keripik singkong aneka rasa tergolong menjanjikan. Banyak pelanggan menambah orderan untuk dijual di warungnya ataupun dikonsumsi sendiri.

Selepas Isya, bapak mengajak berdiskusi setelah makan bareng. Hanya Amir yang tidak ikut karena masih menyiapkan bahan ujian praktik di sekolah esok hari.

"Syukur kalau begitu, Pak. Ning senang usaha bapak bisa maju."

"Ini berkat Zen juga, Pak. Anak itu sudah banyak membantu keluarga kita." Ibuku terlihat bersemangat memuji-muji Zen. Sementara itu, Mbak Titin wajahnya tersipu saat nama Zen disebut.

"Bukan hanya Zen, Bu. Tapi timnya juga, ada Mbak Vina juga," ralatku. Aku tidak mau ibuku berlebihan menilai Zen. Jangan sampai beliau menyalah artikan kebaikan Zen.

"Kayaknya Zen calon mantu idaman ya, Pak." 

Sontak saja aku terbelalak. Apalagi ibu berucap sambil melihat ke arah Mbak Titin yang tersipu. Ada apa dengan mereka berdua. Apa ada rencana dibalik perkataan ibu. Ah entahlah.

"Ishh, ibu nih. Zen pasti anak orang kaya. Jangan terlalu bermimpi yang muluk-muluk."

Seketika raut wajah Mbak Titin ditekuk. Sepertinya dia tidak terima dengan pendapat bapak.

"Betul, Bu. Zen pasti orang berada. Anak kuliahan tuh kebanyakan mesti orang kaya," imbuhku.

"Sok tahu kamu, Ning," sanggah Mbak Titin.

"Kayaknya Zen sama Titin cocok ya, Pak?" ujar ibu penuh semangat.

Aku tersedak saat menenggak segelas teh hangat. Ibu langsung menatap tajam ke arahku.

"Nggak usah bermimpi tinggi, Bu. Lagian Titin kan sudah dekat sama Jono. Mau dikemanakan itu anak," ucap bapakku. Benar adanya, bisa-bisa si Jono dan orang tuanya murka kalau Mbak Titin menampiknya. Lagipula Mbak Titin juga sedang dibantu mendaftar seleksi model.

"Bapak nih nggak dukung Titin," rengek kakakku. Aku hanya menatapnya sambil menahan tawa. Kupikir Mbak Titin memang kemaruk. 

"Sudahlah Tin, sekarang fokus sama Jono. Katanya mau daftar jadi model," saran bapak pada Mbak Titin.

"Iya-iya." Mbak Titin menjawab dengan muka dilipat lalu minta izin masuk ke kamar.

"Bu, ini uang untuk belanja besok," ucap bapak dengan binar di wajahnya.

"Apa hari ini dagangannya laku banyak, Pak?" tanya ibuku. Aku masih mengamati keduanya dengan lekat.

"Alhamdulillah. Ide anak-anak muda itu sangat bermanfaat. Orderan keripiknya jadi bertambah.

"Syukur Alhamdulillah, Pak," seruku. Namun ibu hanya merespon ucapan bapak dengan seulas senyum. Senyum yang sejatinya lama kurindukan. Sebab ibu jarang tersenyum padaku. Ibu justru lebih sering terpancing emosi saat berinteraksi denganku. Entah apa penyebabnya masih menjadi misteri bagiku. Aku harus mengungkapnya perlahan.

"Tapi, segini kurang, Pak. Bisa ditambah lagi, nggak? Titin kalau pergi dengan Jono minta bekal makan ayam goreng. Dia malu kalau dilihat Jono bekal makannga lauk tempe."

Aku berdecak kesal dengan sikap kakakku. Merepotkan.

"Tapi, Bu. Ini sebagian uang untuk diputar kembali jadi modal dagangan besok," ungkap bapak.

Uang itu diserahkan bapak padaku. Karena aku yang dipercaya mengelolanya, sedangkan ibu mengelola uang belanja sehari-hari.

Tak disangka, ibu merebut uang yang baru saja mendarat di tanganku.

"Bu!" teriak bapak dan aku bersamaan.

"Maaf, Pak. Ibu benar-benar butuh uang ini untuk Titin. Kata Jono uang pendaftaran menjadi seorang model tidak sedikit. Kemarin ibu sudah cari pinjaman tetangga tetapi masih kurang."

"Apa?! Ibu pinjam tetangga?" tanya bapak dengan nada meninggi. Ibuku hanya mengangguk, sedangkan aku hanya bisa mengelus dada  Suasana di meja makan tiba-tiba menjadi tegang.

"Memangnya butuh uang berapa kata Jono, Bu?"

"Lima juta, Pak?"

"Hah, uang sebesar itu, Bu?!" ucapku tidak percaya.

"Mana ada mendaftar model malah bayar gede. Setahu Ning, biayanya gratis. Apa jangan-jangan Jono hanya mau meni...."

"Ning! Kamu jangan menuduh Jono sembarangan. Dia agen model resmi, bukan abal-abal." 

Tiba-tiba Mbak Titin sudah muncul dari balik pintu kamarnya. Wajahnya berapi-api menatapku. Aku yang ditatapnya segera memalingkan wajah menatap bapakku yang melongo. Pasti bapak juga tidak percaya uang itu beneran untuk biaya mendaftar model. Uang lima juta jelas tidak sedikit. Hasil jualan keripik saja sehari untung hanya puluh ribuan. Dua hari ini adalah untung paling besar sekitar seratus ribu.

"Mbak percaya Jono menggunakan uang itu untuk seleksi model? Bagaimana kalau setelahnya dia minta uang lagi?" tanyaku membuat Mbak Titin membeku. Aku yakin dia juga tidak tahu pasti tentang rencana Jono. Laki-laki itu belum memiliki catatan bagus menjadi agen model.

"Pokoknya Mbak besok butuh uang itu. Sini buat nambah-nambah!"

"Mbak!" teriakku. Namun bapak menahan lenganku supaya tidak berebut dengan Mbak Titin. Aku hanya bisa menghembuskan napas kasar. Sekali uang itu dipegang Mbak Titin, akan susah aku memintanya kembali.

Tidak lama kemudian, ketukan pintu terdengar memecah obrolan malam kami.

"Buka pintunya, Ning! Siapa yang datang malam-malam begini?" tanya bapak.

Aku melangkah menuju pintu.

"Assalamu'alaikum, Ning. Yu Romlah ada?"

"Ada, Lik. Gimana?" Kulihat Raut wajah Lik Marni tetangga kampung sedang gusar.

"Anu, Ning. Ibumu, Lik mau ketemu ibumu. Penting, Ning."

Gegas aku mencari ibu di kamar. Pastinya ibu dan bapak belum tertidur. Sebab beliau berdua barusan masuk kamar setelah berbincang denganku.

Aku mengetuk pintu pelan, dan kuserukan kalau Lik Marni mencari ibu. 

"Ada apa? Ibu baru saja mau istirahat kenapa kamu ganggu, Ning," ucap ibu sedikit kesal.

"Anu, Bu. Itu, ada Lik Marni mencari. Katanya penting." Kulihat ibuku gusar.

"Bilang aja, ibu sudah tidur. Bapak juga," lirihnya.

"Tapi, Bu. Sepertinya Lik Marni lagi kebingungan."

"Sudah buruan sana. Kamu bilang sesuai kata ibu. Awas kalau kamu bilang kalau ibu masih melek."

"Astaghfirullah, ibu mau Ning berbohong. Sebenarnya Lik Marni mau apa?"

"Sudah, jangan membantah!" 

Sekali ibuku sudah menggertak, nyaliku pun menciut. Aku balik menemui Lik Marni yang duduk di ruang tamu. Kedua tangannya meremas jaket yang melekat di tubuhnya. Sepertinya udara malam di luar sana menyergap tubuh rampingnya.

"Gimana, Ning?" tanyanya penuh harap.

"Maaf, Lik. Ibu dan bapak sudah istirahat karena hati ini menyiapkan dagangan keripik lebih banyak. Mungkin mereka kecapekan."

"Duh, gimana ya Ning. Lik cuma mau meminta kembali uang yang dipinjam ibumu. Anak Lik demam tinggi, Ning. Takutnya kenapa-napa. Lik mau bawa ke rumah sakit secepatnya. Tapi uang yang Lik punya dipinjam ibumu. Katanya mau untuk ambil rapot kamu dan Amir."

Aku terbelalak, uang untuk ambil raport. Selama ini ibu tidak menyinggung biaya sekolah itu. Justru ibu setiap waktu menyuarakan uang untuk keperluan Mbak Titin. Apa jangan-jangan uang yang diutang itu untuk tambahan Mbak Titin mendaftar model.

"Astaghfirullah, Lik. Mudah-mudahan anaknya tidak apa-apa. Tapi maaf, gimana ya Lik. Uangnya memang berapa yang dipinjam ibu?"

Aku tidak tega melihat raut wajah Lik Marni yang gundah. Meminta uang pada ibuku pastinya hanya akan menimbulkan keributan.

"Satu juta, Ning."

Deg,

Duh, kenapa banyak sekali. Gimana nih.

"Duh gimana ya, Lik." Lik Marni tambah gusar saat melihatku kebingungan. Malam memang telah larut, Lik Marni pasti segan mengganggu istirahat bapak ibuku. Namun keadaanlah yang mendesaknya kemari. Ia berhak meminta uangnya kembali.

"Dua ratus ribu saja, Ning. Buat Lik pegangan ke klinik."

Dilema merajai hati, tanpa perlu banyak pertimbangan aku lari ke kamar. Mengambil uang yang kusimpan untuk diberikan pada Lik Marni. Uang itu sejatinya modal keripik yang dipercayakan bapak padaku. Aku pikir ibu tidak akan marah dengan keputusanku.

"Makasih ya, Ning. Tolong sampaikan ibumu kalau uangnya aku ambil segini karena kepepet."

Aku hanya meneguk ludah, Lik Marni yang seharusnya berhak atas uang itu. Kenapa justru dia yang meminta maaf.

Tak lama kemudian ibu datang menghampiriku.

"Ada perlu apa Marni ke sini?" tanya ibuku dengan wajah datar.

"Lik Marni menagih uangnya, Bu." Aku menjawab lirih. Sebab sorot mata ibu sudah tidak bersahabat.

"Kamu kasih?"

"Iya, Bu."

"Berani-beraninya kamu Ning malah kasih uang ke dia."

"Tapi, Bu. Anaknya sakit. Uangnya mau untuk priksa."

"Pokoknya ibu nggak mau tahu. Kamu jangan minta ganti ke ibu uangnya. Kamu sendiri yang harus menggantinya."

"Astaghfirullah, Bu." 



Bab 9 Sombong 

Sejak semalam, aku memutar otak bagaimana mengganti uang dua ratus ribu. Meminta ke ibu sepertinya mustahil. Beliau mati-matian mengumpulkan uang dengan segala cara untuk keperluan Mbak Titin.

Seperti barusan aku meminta, tetapi hanya tangan kosong hasilnya.

"Bu, uang dua ratus ribu yang diminta Lik Marni mana?"

"Uang apa? Itu tanggung jawabmu, Ning. Ibu kan nggak nyuruh kamu ngasih ke Marni."

"Ya Allah Bu. Lik Marni kan meminta haknya. Lagian buat periksa anaknya yang sakit lho."

"Kamu kan bisa alasan lain, Ning. Lagian ibu pinjam juga pasti membayarnya. Ini juga belum jatuh tempo."

Pagi-pagi di rumah sudah riuh perdebatanku dengan ibu di dapur. Mbak Titin kulihat sempat berdiri di ambang pintu. Setelahnya, ia justru menutup telingan dan masuk ke kamar lagi. Aku hanya bisa menghembuskan napas kasar.

"Uangnya mana, Bu?" seruku biar Mbak Titin turut mendengar. Namun, justru bapak yang menyela dari arah kamar.

"Ada apa ta, Ning? Pagi-pagi sudah ramai," ucapnya. Seperti biasa bapak sudah rapi dengan celana kain dan kemeja yang warna birunya sudah pudar.

Ah, kapan aku bisa membelikan bapak baju baru. Seketika mataku menahan kristal bening di pelupuk. Bapak keliling menjajakan dagangan setiap hari, terkena terik mentari maupun hujan. Namun, aku sungguh tidak perhatian. Dalam hati aku berjanji akan membelikannya pakaian baru untuk beliau.

"Nggak apa-apa, Pak. Hanya masalah kecil," kilahku. Aku tidak mau bapak kepikiran masalah rumah saat mengelilingkan keripik nanti. Pastilah menjadi beban bagi beliau. Ibu tak acuh, memilih menyiapkan sarapan di meja.

"Uang lagi?"

"Uang hasil keripik, Ning kasih Lik Marni semalam, Pak. Anaknya sakit, Lik menagih uang yang dipinjam ibu."

"Belum jatuh tempo, harusnya nggak dikasih ya nggak dosa, Ning. Kamu aja yang gegabah," celetuk ibuku. Aku menghela napas panjang lalu menghembuskannya kasar.

"Membayar utang lebih baik disegerakan Bu," imbuhku.

"Sok tahu kamu. Orang pinjamnya juga belum ada seminggu."

"Tapi kan darurat...."

"Sudah, Ning. Jangan berdebat dengan ibumu!" Emosiku yang barusaja mau menaik tiba-tiba diluruhkan bapak.

Bapak memang paling sabar melihat kondisi seperti ini. Tidak jarang ibu dan aku berdebat kusir begini. Namun, Bapak selalu memintaku mengalah. Apalagi kalau masalahnya terkait dengan Mbak Titin. Entah alasannya apa masih menjadi misteri bagiku. Kupikir ibu memang lebih sayang sama kakakku daripada aku. Bahkan seolah ada kebencian yang tertanam di hati ibu padaku.

"Ini, untuk keperluan belanja bahan keripik aneka rasa, Ning." Bapak mengeluarkan dua lembar uang merah dari saku celana. Gegas aku menyodorkan kembali ke beliau.

"Tidak, Pak. Ning masih pegang uang. Ini buat pegangan bapak saja," tolakku.

"Benar kamu masih pegang uang? Kamu jangan berbohong, Ning."

"Benar, Pak." Aku sedikit menengadahkan kepala agar cairan bening tidak lolos dari mataku.

Aku memang menyimpan uang sendiri tanpa sepengetahuan ibu. Uang yang kudapat dari menjadi tukang bersih-bersih di rumah Haji Ali. Selain itu, aku juga tidak jarang mendapat bonus dari guru di sekolah. Sejatinya uang itu aku simpan untuk kondisi darurat misal, sakit atau untuk biaya sekolah seperti Amir waktu dilarang ikut ujian. Aku mengambil uang itu untuk mengganti uang bu guru Amir.

Menyudahi perdebatan dengan ibu, akhirnya kami sarapan dengan fokus pikiran masing-masing. Setelah bapak berangkat, aku pamit pada ibu mengantar Amir lalu ke rumah Haji Ali.

Sempat kudengar Mbak Titin juga pamit.

"Bu, hari ini aku pergi sama Jono ke kota. Uangnya sudah terkumpul?"

"Iya, Tin. Ayo kita hitung di kamar." Ibuku terdengar bersemangat sekali.

Aku hanya menggelengkan kepala lalu mengantar Amir ke sekolah.

"Mbak Ning percaya Mbak Titin bakalan jadi model?" tanya Amir seolah menyangkal kakakku bisa menjadi model.

"Bisa kali, Mir. Mbak Titin kan cantik, tubuhnya tinggi dan langsing. Lagian Mas Jono kan janji mau membantunya."

"Mbak percaya sama Jones."

Aku terbahak, setiap Amir memanggil Jono dengan sebutan Jones. Katanya Jono Kenes (kemayu, tingkahnya seperti perempuan).

"Memangnya kenapa, Mir?" tanyaku sembari mengayuh sepeda pelan karena jam masuk sekolah masih lama.

"Ah, enggak, Mbak. Lupakan saja!"

Srekk,

Aku sengaja mengerem sepeda supaya berhenti. Kami berdua berada di jalanan sepi. Kiri kanan adalah sawah yang menghijau.

"Ayolah, Mir. Jangan terbiasa berbohing dengan Mbak Ning. Kamu kan sudah janji."

Aku melihat manik mata Amir menyiratkan kegusaran. Lagi, dia pasti berbohong padaku. Aku harus mendesaknya.

"Maaf, Mbak. Kapan hari aku nggak sengaja melihat Jones mencium perempuan di mobilnya."

Mataku seketika membola. Anak polos seperti Amir disuguhi adegan dewasa begitu. Miris sekali. Jono keterlaluan.

"Kamu salah lihat kali, Mir." Aku berusaha menampiknya.

"Paling itu saudaranya. Jono biasa cipika cipiki sama perempuan. Dunia model kan begitu, Mir."

"Hmm, tapi Mbak. Bukan ciuman pipi. Ciumannya di bi...."

"Stop, Mir! Jangan teruskan! Mbak sudah tahu maksudmu. Lupakan saja apa yang kamu lihat. Mbak yang akan memperingatkan Mbak Titin." Tubuhku mendadak merinding. Tidak mungkin Mair berbohong. Tapi kalau Jono melakukan adegan tak pantas itu, sungguh mengerikan. Apalagi kalau Mbak Titin jadi korbannya. Keluargaku bisa-bisa tambah diinjak-injak orang. Sudah miskin, anak-anaknya nggak beres. Terdengar menyedihkan sekali.

"Apa Mbak Titin juga digituin sama Jones, Mbak?" tanyanya polos.

Aku bergidik ngeri, berusaha menolak percaya.

"Nggak, Mir. Mbak Titin pasti bisa jaga diri. Ayo sekarang kamu fokus sekolah biar cepat lulus." Aku mengalihkan pembicaraan supaya Amir melupakan kejadian itu.

"Mbak Ning, besok apa rapotku bisa diambil?"

Ah, keluhan Amir malah membuat kepalaku tambah pening. Entah kenapa akhir-akhir ini aku diserang sakit kepala sebelah. Tapi aku berusaha meyakinkan diri. Ini hanya sakit kelelahan, semoga tidak parah. Minum obat pereda nyeri juga pasti hilang.

"Mbak usahakan, Mir. Kamu fokus sekolah saja. Biar Mbak Ning yang pikirkan. Pasti bapak dan ibu juga sudah memikirkannya."

"Ya, Mbak."

Setelah mengantar Amir, aku mengayuh sepeda menyusuri kampung dan juga persawahan. Menuju rumah Haji Ali tidak butuh waktu lama. Namun, di tengah jalan ada kerumunan tiga ibu-ibu yang hendak memetik sayur di sawahnya.

"Eh itu, Ning. Kita tanya saja pada dia," suara bisik-bisik mereka sampai ke telingaku. Aku mengerem sejenak sepeda hingga berhenti di depan mereka.

"Ada apa, Bu? Mau panen sayur ya?" tanyaku masih dengan mode sopan.

Kulihat wajah mereka memang penasaran tingkat tinggi.

"Ning, ibumu mau punya menantu orang kaya ya?"

Hah, pasti Jono yang dimaksud mereka.

"Maksudnya gimana, Bu?"

"Yu Romlah sudah punya calon mantu untuk kakakmu."

"Oh Mas Jono maksudnya? Mbak Titin sama Mas Jono sebatas rekan kerja kok, Bu," ucapku mengutarakan pendapat.

"Bukan, Jono. Tapi si ketua tim dari kampus itu. Siapa namanya?" 

"Iya mas mas yang memberi pendampingan di rumahmu, Ning."

"Oh, maksudnya Zen?"

"Iya, itu Zen. Kata Yu Romlah, Jono cuma membantu Titin mendaftar jadi model. Kalau Zen lebih tampan, jadi lebih cocok jadi mantu."

"Tapi ya, Yu Romlah pasti salah. Zen itu bawa mobil kan bukan mobilnya. Dia memang mahasiswa merangkap jadi sopir. Dia anak pekerja keras. Bapaknya tukang bantu-bantu di kampus. Zen menang tampan dibanding Jono. Tapi tetap Jono lebih kaya."

Aish, ibu-ibu di kampung memang juaranya mencari berita. Bisa-bisanya mereka tahu tentang seluk beluk Zen. Aku saja yang beberapa hari berinteraksi dekat dengan Zen tidak sampai membahas kehidupan pribadinya.

"Kamu tahu dari mana, Yu?" tanya salah satu tetanggaku yang tidak mudah percaya.

"Ya tanya sama sumbernya ta, Yu. Temannya kan mendampingi usaha di rumah Pak Lurah. Nah, aku kan bersih-bersih di sana. Ya sekalian aku tanya-tanya lah, cari kebenaran ucapan Yu Romlah."

"Ah, ibu-ibu. Terima kasih infonya. Tapi ibu saya tidak ada obrolan mau menjadikan Zen mantu." Aku berusaha membela ibuku meski tindakannya sudah salah mengumbar ke tetangga. 

"Memang ibumu ki sombong kok, Ning. Suruh hati-hati, antara Zen sama Jono mana yang dipilih Titin. Nanti ada yang sakit hati baru tahu rasa keluargamu."

Deg,

"Maafkan ibu saya kalau salah ngomong ya ibu-ibu."

Aku jadi malu nanti kalau ketemu Zen. Apa gosip ini juga sudah sampai ke telinganya.

"Maafkan keluargaku, Zen."

 

Yuk, ikuti next bab ya. Dukung Fullpart lebih hemat.

















 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Hanya Karena Ibuku Miskin (Bab 10-19)
4
0
🌻Kisah gadis kampung dengan segala ketegarannya meraih impian. 🌻Aku tidak menyangka akan bertemu laki-laki yang membuat tidak tenang di tiga tahun terakhir hidupku. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan