Rahasia Suamiku (FREE)

3
0
Deskripsi

Repost ini untuk keperluan promosi. Yg sudah pernah dukung, saya ucapkan terima kasih. Cover ganti biar fresh ya.πŸ₯°

🍁🍁🍁🍁🍁
Pernikahan yang awalnya tidak dilandasi oleh cinta. Namun, kesamaan profesi mampu menumbuhkan cinta meski berbalut rahasia.
Mampukah keduanya menguak rahasia masing-masing setelah menjalani pernikahan?

Simak kisahnya yuk!

🍁🍁🍁🍁🍁

Video spoiler cek sini

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=310383661476107&id=100075134277279&mibextid=Nif5oz

Link fullpart bisa kesini:

https://karyakarsa.com/DLista/rahasia-suamiku-bab-8-10
 
 

PROLOG
Malam pertama setelah ijab qobul usai membuat jantungku berdetak tak normal. Ini kali pertama aku berada satu kamar dengan laki-laki. Yudha Pratama, teman sekantor di bagian produksi kini resmi menyandang status sebagai suamiku.
 
"Dha, Terima kasih ya sudah membawaku sampai di titik ini."
 
"Sttt, jangan bilang seperti itu. Harusnya aku yang berterima kasih padamu, Malika."
 
Jari telunjuk Yudha sudah menempel di bibirku menambah desiran tak menentu di dada ini.
 
Sepertinya aku berharap meminta lebih dari ini? Perasaan patah hati pada Ardian seakan memacu adrenalinku untuk segera menguburnya dengan bermesraan bersama pasangan halalku.
 
Namun siapa sangka Yudha justru menahan diri untuk tidak menyentuhku.
 
Apa dia tahu alasanku mengajaknya menikah atau dia mengira aku memanfaatkannya sebagai pelarian.
 
"Sebaiknya kamu istirahat, ini sudah malam!"
 
"Tapi, Dha?"
 
"Bukankah ini yang kamu harapkan, Ka. Kamu ingin menanggalkan status lajang untuk menutupi sakit hatimu pada Ardian, bukan? Selamat, kamu sudah berhasil."
 
Aku hanya tercengang dibuatnya. Air mata ini meluncur tanpa penghalang. Pun tubuh ini luruh menyentuh dinginnya lantai kamar.
 
"Maafkan aku, Dha!" Tertunduk malu, aku meratapi nasib ini.
🍁🍁🍁🍁🍁
 
 Bab 1 Patah Hati
 
"Patah hati itu seperti luka yang tak berdarah"


"Kenalkan ini Rani pacarku, Ka!"


Bagaikan disambar petir, orang yang aku harapkan menjadi pasangan hidup tiba-tiba mengenalkan pacarnya. Bukan orang lain yang tidak aku kenal, melainkan rekan kerja satu kantor denganku.
Kami bertiga bekerja di perusahaan penerbitan buku di wilayah kota pelajar Yogyakarta. Ardian di bagian marketing, sedangkan aku dan Rani di bagian editor kepenulisan buku.


"Eh, sejak kapan kalian jadian, Ar?" tanyaku dengan terbata karena menahan sesak di dada. Ardian laki-laki berwajah putih dan hidung mancung datang menghampiri ruanganku seperti biasa setiap jam makan siang.


"Sudah seminggu ini. Kami juga akan berencana menikah jika tidak ada aral. Iya kan, sayang?" ucap Ardian tanpa dosa yang diangguki Rani. Dia memang tidak tahu kalau aku menyimpan rasa kagumku padanyadengan rapi selama setahun mengenalnya. 
Sungguh mencintai dalam diam itu menyakitkan. Aku memang punya prinsip tidak mau pacaran. Kalau cocok ya ayo menikah, pacarannya setelah halal.


"Selamat ya Ardian dan Rani. Kalian pasangan yang cocok. Aku tunggu undangannya."


Sungguh munafik sekali aku, sekuat tenaga mengucapkan kalimat selamat dengan lancar meski tidak sejalan dengan hatiku.
Remuk redam hati ini, ingin berteriak tetapi aku sedang tidak di gunung melainkan di kantor.


"Terima kasih, Mbak Ika," ujar Rani yang satu ruang divisi denganku.
Sedikit kesal aku rasakan, perasaan aku lebih muda dari Rani, kenapa sejak awal kenal dia menuakan aku.


Jadi, selama ini aku keliru. Menilai Ardian yang sering menyambangi ruang divisiku ternyata untuk ngapelin Rani bukan aku.
Ya Rabb, salahku yang tidak menyatakan perasaan lebih dulu pada Ardian.
Sebagai perempuan aku malu memulai duluan. Harusnya kalau Ardian juga suka padaku, aku berharap dia yang mengambil inisiatif lebih dulu. Pada kenyataannya tidak, Ardian justru selangkah lebih dulu di depanku mengumumkan kalau sudah jadian dengan Rani.


"Ayo, Ka, makan siang bareng! Aku yang traktirdeh," usulnya dengan wajah berbinar tetapi sungguh menambah panas hatiku. Apalagi senyum Rani yang ditujukan padaku terasa mengejek. Ah, mungkin hanya perasaanku yang sedang tidak baik-baik saja. Orang yang sedang jatuh cinta pastilah berbunga-bunga, hiburku dalam hati.


"Maaf, Ar. Aku harus menyelesaikan kerjaan dulu. Takut bos besar marah."


Aku mencoba beralasan yang masuk akal.
Padahal kenyataannya aku hanya tidak kuat menahan diri melihat kemesraan mereka dihadapanku.
Cukup sudah, hari ini aku Malika Saraswati mengikrarkan tidak akan berharap lagi Ardian Airlangga jadi pasangan hidupku.
Emosi yang menumpuk segera aku luapkan dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan hingga lupa rasa lapar. Jam istirahat hanya aku gunakanuntuk sholat lalu kembali lagi berkutat dengan berkas naskah yang harus diedit.


"Ka, sudah makan?" tanya Ardian heran karena melihat aku seperti tidak beranjak dari kursi setelah mereka kembali darikantin.


"Mbak Ika kenapa nggak makan?"


"Iya, Ka, nanti lambungmu kambuh lho," Ardian pun turut protes.
Hufh, kenapa juga kalian harus perhatian sama aku. Aku tambah kesal, kan, padahal kalian nggak salah apa-apa.


"Sudah kok, aku bawa bekal."
Aku memang tidak berbohong karena ada bekal cemilan yang kubawa.
Setelah Ardian berlalu dari ruang divisi, aku sesekali melirik Rani. Ya, dia cantik dan berkelas dilihat dari penampilannya. Tentu saja Ardian yang berwajah tampan tertarik padanya. Sementara aku, jangan ditanya, mau beli make up yang bagus saja berpikir puluhan kali. 


Gaji bulanan nominal jutaan untuk bayar kontrakan dan makan hanya bersisa tak lebih dari lima ratus ribu. Belum lagi aku harus mengirim sebagian untuk emak dan adik dikampung. Beliau tidak bekerja, hanya bapak yang kerja serabutan. Kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah adik menanti kiriman dariku.


Memikirkan masalah seperti ini biasanya membuat kepalaku mau meledak.
Kapan siap nikahnya, hatiku pun menjerit.
Satu jam berlalu, aku hanya melamun dan naskah di depanku teronggok sempurna. Aku berinisiatif ke pantry membuat minuman, siapa tahu bisa menghangatkan suasana hatiku yang tak menentu.


"Ran, aku ke pantry dulu."
Rani mengangguk tersenyum, tetapi tidak dengan hatiku yangmembeku.
Kulangkahkan kaki menuju pantry dengan sesekali menghirup udara secara kasar untuk membuang sesak di dada.
Aku merasa efek tidak makan nasi mulai tampak. Jalanku sempoyongan seperti tak bertenaga, bahkan kaki terasa tidak mampu menopangtubuh. Aku mencoba meraih dinding luar pantry dan berjalan tertatih-tatih.


Brukk,
Apa yang kubayangkan pasti pant*tku sakit karena menghantam lantai. Tubuhku pun terasa gemetar tak berdaya.
Namun kenyataannya, aku tidak merasakan sakit itu. Sebuah lengan kekar menopangku.
Aku sudah bermimpi sosok pahlawan yang menolongku ini adalah dia, ya dia Ardian.


"Kamu tidak apa-apa, kan?" ujarnya. 
Astaga, kenapa harus orang ini yang menolongku.
Sungguh aku merasa hariku buruk, sudah patah hati ditambah ketemu teman karyawan seperti kulkas. Dia adalah Yudha Pratama karyawan bagian produksi. Muka jelas lumayan tidak kalah tampan dengan Ardian, bahkan kalau dilihat dari jarak dekat Yudha jauh lebih tampan. Sayangnya, laki-laki ini minim senyum dan cueknya minta ampun.
Eh, tunggu dulu kenapa kali ini dia tersenyum padaku. Senyum yang jarang-jarang di perlihatkan pada teman-teman terutama karyawan perempuan.


"Hmm, aku tidak apa-apa."
Mencoba berdiri tegak dan membetulkan posisi, aku segera melangkah masuk ke pantry.


"Kelihatannya wajahmu pucat, kamu sakit, Ka?"tanyanya dengan kening berkerut.
Aku melirik sekilas wajahnya, lalu memalingkan ke arah dispenser. Wajahku terasa memanas hanya karena perhatiannya. Sungguh memalukan, dia sampai tak berkedip melihatku. Tidak biasanya aku jadi salah tingkah begini.


Saat mataku menatap manik matanya tadi, jelas ada secercah sinar yang menentramkan jiwa. 
Astaghfirullah, kenapa otakku sudah tidak waras malah membayangkan ketampanan Yudha dibandingkan Ardian.


Jantungku pun seketika berdesir, apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Ah, tidak mungkin aku menyukai karyawan dari bagian produksi. Apa kata teman-teman, seperti tidak ada pilihan lainsaja.


Di kantor, kadang hubungan antar karyawan dari berbagai divisi sangat dipertimbangkan bak sebuah kasta dalam kehidupan sosial. Bagian editor kepenulisan dan marketing jelas lebih tinggi daripada bagian produksi kalau dilihat dari gaji. Selain itu, status karyawan bagian editor sebagai pegawai tetap, sedangkan bagian produksi hampir semuanya pegawai kontrak.


****
Seminggu berlalu, tepat akhir pekan, aku sengaja menginap dirumah Cici temanku. Dia karyawan satu divisi dengan Yudha. Aku memilih liburan di rumahnya yang dekat dengan pantai selatan. Aku ingin menenangkan diri.Terlepas dari masalah patah hati, aku ingin mancari tahu tentang Yudha dari Cici. Entah kenapa hati ini tergerak melakukannya.
Pagi-pagi sekali, aku dan Cici sudah duduk di hamparan pasir pantai selatan. Menghirup udara segar dari angin yang berhembus. Sinar mentari menelisik malu-malu menambah keagungan alam ciptaan-Nya.


"Ci, kamu tahu Ardian jadian sama Rani?"


"Iya tahu."


"Ckk, kenapa kamu nggak cerita. Aku seperti orang bodoh di depan mereka berdua." 
Aku sudah mendengus kesal dengan Cici yang memasang muka santai.


"Lha aku tahunya juga dari kamu barusan," ujarnya.


"Apa? Kamu mau meledekku ya."


"Beneran, aku mikirnya Ardian dekat dengan kamu, Ka. Kenapa dia malah jadian sama Rani?"
Hatiku mencelos mendengar kejujuran Cici. Jangan-jangan seantero kantor tahu kalau Ardian dekat dengan aku dan sekarang justru pacaran dengan Rani.


Ya Rabb, aku kian merasa malu bagaimana menjalani hari esok di kantor. Apalagi pasangan itu sudah mulai menunjukkan kemesraannya.
Di kantor memang tidak ada larangan menikah asalkan lintas divisi. 
Aku memijit pelipis yang terasa berdenyut karena terlalu jauh membayangkan pernikahan  Ardian dan Rani.


"Ci, kamu kenal dekat dengan Yudha?"
Cici terkesiap mendengarnya.


"Yudha Pratama?"
Aku mengangguk seraya menatap ekspresinya yang tidak biasa.


"Menurutmu, dia orangnya seperti apa?"
Cici sahabatku sejak menginjakkan kaki di kantor setahun yang lalu mulai curiga dengan tanyaku.


"Kamu tertarik sama Yudha, Ka?" ujarnya seketika membuatku terperangah.
********
 

Bab 2 Nekat Tingkat Dewa 

"Kamu tidak akan tahu rasanya ditolak, jika belum mencoba menyatakan perasaan padanya."

"Kamu tertarik sama Yudha, Ka?" ujar Cici seketika membuatku terperangah.

"Hmm, entahlah Ci. Aku merasa tidak baik-baik saja melihat Ardian dan Rani. Aku ingin mencari sandaran untuk bertahan atau kalau tidak ya aku resign saja."

"Jangan gegabah, Ka! Kamu sudah mati-matian cari kerja demi penghasilan yang tidak sedikit untuk membantu keluargamu, bukan?"

Aku tertunduk malu, biasanya Cici yang mendapat cerocosan nasehatku. Kini berbalik dia yang menasehatiku.

Perkataannya benar, kenapa aku sepicik ini ingin lari dari kenyataan. Aku harus membuktikan bisa berdiri tegak meski tidak bersamanya. Bukan aku tidak mau berjuang, melainkan aku tak ingin menang diatas penderitaan teman.

Biarlah Ardian memilih kebahagiaanya, aku pun bisa bahagia tanpa dia.

"Ini kalau mau stalking Yudha."

Cici tersenyum menggoda seraya menyodorkan benda pipih ke tanganku. Layarnya memperlihatkan akun sosmed Yudha."

Astaga, kenapa jantungku berdetak kencang. Apa aku sudah tidak waras, mengambil tindakan diluar nalarku. Dulu waktu kuliah, aku tidak perlu mendekati lawan jenis justru mereka yang mengejarku. Usaha mereka tak terbalas karena aku ingin mengejar mimpi lebih dulu. Aku mengabaikan kisah asmara demi mendapatkan kembali masa indah bersama keluarga besarku. Namun sampai saat ini pun aku tidak tahu kapan bisa berada di titik itu. Angan yang tak kunjung datang masih menari-nari di otakku.

Saat tersadar betapa perlunya menjalin asmara, asaku kandas sebelum memulainya.

Aku menscroll layar ponsel Cici, menyelami akun medsos Yudha.

"Oh, tidak. Ini di luar dugaanku. Yudha yang dingin ternyata diam-diam menghanyutkan."

Mataku membelalak sempurna. Selama ini aku di mana? Aku sudah memandang sebelah mata laki-laki itu.

"Ada apa, Ka?" Cici membuyarkan lamunanku menatap foto-foto di medsos Yudha.

Aku hanya bergeming, lalu Cici mendekat dan mengusap lembut lenganku.

"Kaget melihat medsos Yudha?"

Aku mengangguk, ucapan pun tertahan di tenggorokan karena menanti lontaran kalimat dari Cici.

"Dia orang yang asyik, meski di luar kelihatan dingin dan cuek tetapi di medos sebaliknya."

Seketika aku yang percaya diri menjadi minder dibuatnya. Apa yang harus aku lakukan, menyerah sebelum berjuang? Jelas itu bukan aku. Melihat follower Yudha ribuan, hampir 80 persen perempuan. Satu lagi, dilihat dari chatnya pun Yudha orang yang ramah tak terkira.

"Haruskah aku mencoba mendekati Yudha, Ci?" lirihku dibalas senyum smirk Cici.

Aku segera memandang jauh ke tengah laut. Angin berhembus kencang mengurai rambut panjangku yang tergerai. Aku segera mengikatnya dengan tali rambut keropi kesukaanku.

"Ckk, masih seperti anak kecil," dengusnya.

"Apa katamu?"

"Ini, tali rambut keropi."

"Oh..."

Aku kira Cici merespon tentang aku yang minta pendapatnya.

"Terserah kamu, Ka. Jika kamu yakin ini yang terbaik, aku akan mendukungmu."

Sudut bibirku terangkat, saat ini pasti aku kelihatan berbinar.

Aku memeluk sahabatku yang siaga saat suka duka. Dia paling mengerti aku.

Lalu kuberanikan menstalking akun Yudha melalui ponselku. 

Follow, tidak, follow. Argh....

Aku menyugar rambutku untuk menenangkan diri.

Jari ini gemetar hanya satu ketukan saja pasti warna biru akan berubah jadi putih.

"Hwaaa, Cici...." 

Aku sudah berteriak saat Cici menyenggol lenganku yang berakhir kata follow berganti menjadi following dalam hitungan detik.

Aku mengetuk beberapa kali dahiku, nekat sekali pikirku.

Beberapa detik kemudian terdengar notifikasi masuk di ponselku. Cici terbahak gara-gara ponsel yang kulemparkan padanya. Aku hanya bisa menatapnya horor.

"Gimana ini, Ci? Yudha follback." Aku menelungkupkan kepalaku di kedua lututku. Semua gara-gara Ardian, aku melakukan hal nekat tingkat dewa.

"Nih, pintu udah terbuka. Kamu mau masuk atau keluar saja sebelum tau dalamnya."

Sindiran Cici seakan menantangku. Bukankah aku orang yang pantang menyerah. Aku segera meraih ponselku dan mengutak-atik kembali. Cici ternyata tersenyum simpul saat aku meliriknya.

Dia beranjak pamit ke toilet menyisakan aku yang termangu menatap layar ponsel.

Kuberanikan diri mengirim komentar di salah satu postingan Yudha yang ramai supaya tidak ketahuan mencurigakan.

Demi berhati-hati mengirim komentar, aku berpikir ulang mengetik dan menghapus, kalimat apa yang cocok aku lontarkan.

Aku gagap sekali dengan medsos ini.

Saat komentar pertama terkirim, jantungku  seakan bertalu-talu. Dibalas enggak ya? Tak berselang lama balasan itu datang.

Senyum terukir di wajahku karena komentar yang berbalas.

Tanpa sadar aku menjadi seorang yang candu bermedsos dalam hitungan detik.

Alhasil komentar yang aku kirim justru menjadi bumerang bagiku.

Astaghfirullah, malunya aku dengan komentar terakhir yang terkirim. Ada notifikasi DM yang kuterima ternyata dari Yudha.

"Maaf, chatnya pindah sini saja ya. Aku nggak enak kalau komentarmu dibaca yang lain."

Deg, hatiku merasa sedikit tersentil. Apa dia sedang menegurku secara halus.

"Iya, maaf aku sudah keterlaluan. Komentar sembarangan di akunmu, Dha."

Aku menelan ludah saat balasan terkirim.

Apa dia akan memarahiku.

"Aku hanya ingin berterima kasih, kamu sudah menolongku saat di pantry."

"Tidak masalah, Ka. Sebagai manusia wajib tolong menolong, bukan? Oya apa kabar Ardian, aku dengar dia jadian sama Rani. Aku pikir Ardian pacar kamu, Ka?"

Perih terasa semakin menyayat di dalam dada, ternyata Yudha pun tahu berita itu.

"Bukan, gimana kalau sama kamu aja, Dha. Aku merasa nyaman di dekatmu. Bukan pacaran yang kuharapkan, tetapi kalau sudah cocok ya lebih baik menikah saja."

Astaga pesan terkirim, apa aku sudah benar-benar putus asa. Tanpa pikir panjang aku berani mengajak Yudha menjalin hubungan serius. 

Aku teringat tausiyah dari ustad ternama, tidak masalah perempuan menyatakan perasaan lebih dulu kepada laki-laki. 


Ibunda Khadijah pun dulu yang pertama melamar Nabi Muhammad SAW. Khadijah mengutus seorang perantara untuk menyampaikan niatnya kepada Nabi. Dalam Tarikh Ibn Hisyam disebutkan Khadijah berkata, "Wahai anak saudara pamanku, sesungguhnya aku telah tertarik kepadamu dan kekeluargaanmu, sikap amanahmu, kebaikan akhlakmu, dan benarnya kata-kata mu." 


Merasa diabaikan, aku beranjak dan melangkahkan kakiku menyusuri pantai. Sesekali aku menendang pasir atau air yang datang bersama ombak meluapkan kekesalan karena tingkah konyolku. 

Notifikasi akhirnya muncul membuat jantungku berdebar kembali. Aku tidak langsung membuka pesan dari Yudha. Lebih baik aku menentramkan diri lebih dulu dan memikirkan baik buruknya pesan itu.

Dengan menghela napas panjang, aku memberanikan diri membaca pesannya.

"Aku rasa kita perlu bertemu untuk membicarakan masalah serius ini. Aku pikir kamu pasti sedang patah hati. Jangan sampai kamu salah mengambil keputusan. Besok sepulang dari kantor kita ketemu di kafe saja."

Hatiku mencelos, apa dia sedang berencana menolakku secara halus? Bagaimana kalau dia benar-benar tidak tertarik padaku. Apa aku sudah siap dengan konsekuensinya jika dia menerimaku. Dulu aku berharap Ardian menjadi sosok penyemangat hidupku. Sering mendapat tugas bareng dari bos menjadikanku bertemu intens dengannya. Komunikasi kami tergolong lancar. Ardian orang yang ramah dan suka menolong. Dia pandai memulai percakapan membuat aku kagum padanya. Ternyata selama ini aku salah mengartikan perhatiannya.

Aargh...

*****

Tiba saatnya sepulang dari kantor, aku menuju kafe yang telah disebutkan alamatnya oleh Yudha.

Aku heran Yudha bisa tahu tempat nongkrong seperti ini. Sungguh Yudha laki-laki yang diam-diam menghanyutkan.

Aku berjalan menyisiri celah diantara kursi dan meja yang sudah terisi. Terpilih tempat duduk paling pojok karena aku bisa menikmati taman kecil penghias kafe.

Denting sepatu kian mendekat pertanda ada yang datang, Yudha dengan pakaian kasualnya memang menarik dipandang.

Ah, apakah aku mulai sedikit tertarik padanya? Semoga benar.

Yudha duduk dan berdehem membuat aku semakin canggung.

Aku menghela napas panjang untuk mengurangi kegugupan. Aku menyiapkan diri dengan hati yang lapang mendengar jawaban Yudha.

"To the point aja ya, Ka."

Astaga, Yudha nggak pakai basa-basi sama sekali.

"Maafkan aku, Ka. Aku tahu niatmu baik. Tapi...."


Bab 3 Komitmen
 
"Sebuah komitmen dalam pernikahan dibuat untuk mendapatkan masa depan dan tujuan yang jelas."
 
Aku menghela napas panjang untuk mengurangi kegugupan. Aku menyiapkan diri dengan hati yang lapang mendengar jawaban Yudha.


"To the point aja ya, Ka."
Astaga, Yudha nggak pakai basa-basi sama sekali.


"Maafkan aku, Ka. Aku tahu niatmu baik. Tapi...."
Melihat kerutan di dahi Yudha, hatiku beringsut. Tanda-tanda nih, Yudha mau menolak secara halus.


"Ah, tidak perlu diteruskan, Dha. Aku sudah tahu jawabannya. Terima kasih kamu sudah menemuiku kali ini. Anggap saja aku tidak pernah mengirim DM kemarin."
Tenggorokanku kini terasa tercekat tak mampu lanjut berucap, aku mencoba tersenyum meski terpaksa. Cairan bening pun sudah menggenang di pelupuk mata. Aku memilih beranjak meski belum memesan makanan. Aku sudah tak kuasa menahan rasa malu di depan Yudha. 


"Tunggu, Ka!"
Suara tegasnya menghentikan langkahku. Posisiku masih memunggunginya. Aku menengadahkan kepala untuk menahan air mata yang ingin memberontak lepas.


"Duduk dulu! Aku bahkan belum selesai ngomong, lho."
Perasaanku campur aduk, ingin berbalik tapi malu. Namun jika menahan ego untuk pergi hanya akan menambah perih hati ini. Sudah patah hati, sekarang ditambah ditolak oleh karyawan bagian produksi.
Ah, persetan dengan rasa malu, aku segera duduk kembali. Memilih merapikan kunciran rambut, aku berusaha tampak baik-baik saja di depan Yudha.
Astaga, dia justru tersenyum padaku. Apa dia sedang meremehkan aku?


"Kamu mau tahu jawabanku, Ka?"
Aku menggelengkan kepala.


"Aku kan sudah tahu jawabannya."


"Sejak kapan kamu jadi cenayang, bisa membaca pikiranku?"
Aku memalingkan muka ke samping karena malu.


"Tadi kami bilang maaf, artinya kalimat kebelakangnya ya seperti itulah."
Kembali Yudha tersenyum smirk, sungguh menyebalkan. Dia mau mengerjaiku.


"Sekarang dengarkan aku! Jangan memotong perkataanku! Aku bilang maaf, Ka, aku tidak terima kamu yang memulai duluan. Biarkan aku yang mengatakan perasaanku lebih dulu."
Mendengar ucapannya, Aku membelalakkan mata. Ternyata dia sedang membesarkan hatiku supaya jauh dari rasa malu. Seketika hatiku berbunga, rasa yang membuncah turut terbit di dalam dada.


"Benarkah?" Aku menatapnya dengan sedikit mengernyitkan dahi.


"Kalau kamu serius mau menjalin hubungan denganku, aku pun begitu," ujarnya.
Aku sudah ingin menyela tetapi Yudha menaruh telunjuknya di depan bibirnya.


"Aku terlahir dua bersaudara dari orang tua berlatar belakang pendidikan. Ayah dan ibuku mengajar di pesantren. Kakakku belum menikah, tetapi tenang saja karena dia laki-laki jadi tidak masalah kalau aku duluan yang menikah. Bagaimana denganmu, Ka?"
Aku tergagap dari lamunanku. Mendengar Yudha bercerita seketika pikiranku melayang ke kampung halaman di Magelang. Aku hanya mampu meneguk ludah, tak menyangka keluarga Yudha dan keluargaku bagaikan langit dan bumi.


Lantas bagaimana ini, nyaliku sudah surut dan kebimbangan melanda hatiku. Gejolak batin muncul antara lanjut atau mundur. Aku merasa tak bisa mundur lagi, karena akan menyakiti Yudha pastinya, dikira aku mempermainkannya. Kuhela napas panjang dan membalas cerita.


"Aku lahir di Magelang tepatnya di lereng gunung Sumbing. Emak seorang ibu rumah tangga dan bapak kerja serabutan. Adikku satu laki-laki sekang masih duduk di SMA kelas 3 karena usia kami terpaut 7 tahun."
Kali ini aku pikir cukup memberikan data singkat itu. Tak perlu aku menceritakan identitasku di masa lalu, berharap Yudha laki-laki yang tidak memandang rendah kondisi keluargaku.


"Hmm, kalau kedepannya mau bagaimana hubungan kita?" 
Deg, 
Aku tertegun dibuatnya, pembicaraan sudah mulai serius.


"Aku tidak mau pacaran. Kalau cocok ya ayo menikah saja!" usulku lirih.
Yudha tersenyum mendengar kalimat hang aku lontarkan.


"Setuju. Pulang dari sini aku diskusi sama ayah ibuku untuk secepatnya melamarmu."


"Haah, secapat itu, Dha?" 


"Niat baik harus disegerakan, Ka."
Aku hanya bisa tersenyum kaku. Yudha cepat sekali menganalisa dan mengambil keputusan. Aku berharap keputusan yang kami ambil membawa keberkahan.


"Oya, Dha. Aku masih boleh bekerja setelah menikah?" ucapku lirih sedikit takut dia kurang berkenan.
Sejenak Yudha tertawa kecil. Tak disangka Yudha yang sedingin kulkas begitu mempesona saat tertawa. Selama ini mata indahku dipenuhi wajah Ardian. Ya Ardian, mulai saat ini, menjauhlah dari pandanganku.


"Tentu saja, aku tidak akan melarangmu. Sayang kalau keahlianmu tidak digunakan, bukan? Bisa-bisa Bos besar marah padaku kalau melarang editor teladannya bekerja di luar rumah."
Ada kelegaan di hatiku mendengat penuturannya.


"Satu hal yang perlu kita sepakati, Ka."
Deg,
Aku mengernyitkan dahi bersiap mendengarkan ucapan seriusnya. Wajah Yudha berubah menjadi tegang membuat senyumku sedikit pudar.


"Jangan pernah tanyakan masa lalu jika tidak ingin ada yang terluka. Cukup kita melangkah pasti ke depan. Jika nantinya ada hal yang tidak perlu kamu tahu, cukup percaya dan berdiri tegak di sampingku. Jangan pernah pergi meninggalkan aku!"
Wajahnya yang menegang mulai sedikit terurai, seulas senyum pun terukir menghiasi.


Satu keberuntungan, Yudha tidak akan menanyakan apapun tentang masa laluku. Kami sepakat untuk melangkah ke depan tanpa  menengok ke belakang. Cukup menaruh cermin saja, maka kita bisa melihat apa yang ada di belakang kita.


"Mau pesan apa, Ka?"
Aku tergagap saat seorang waitres datang menyodorkan buku menu. Wajahku pasti sudah memerah karena tersipu.
Aku sejenak mengalihkan pandanganku ke taman lalu fokus pada buku menu.


"Cappucino Latte dan pisang coklat keju."


"Yakin? Aman buat lambungmu, Ka?"
Issh, sejak kapan dia tahu aku punya sakit lambung. Setahuku hanya Ardian yang paham kondisiku.


"Nggak apa-apa, Dha. Nggak sering kok," ujarku sambil meringis.


"Jus alpukat sama kentang goreng, Mbak!"


"Baik, mohon menunggu!"
Sepuluh menit berlalu, kami melewatkannya dengan bercerita kerjaan di kantor.
Waitres pun datang membawa pesanan dan menyilakan kami menyantapnya.
Tanpa diduga Yudha menukar cangkir cappucino milikku dengan jus alpukatnya.


"Eh, kenapa ditukar, Dha?"


"Minum ini saja, jaga kesehatanmu!"
Seketika pipiku memanas. Tersipu malu aku dibuatnya. Apa selama ini dia perhatian padaku tapi aku tidak tahu, entahlah. 
Sambil menikmati makanan dan minuman yang dipesan, kami membicarakan beberapa kesepakatan kedepan.


"Apa perlu teman kantor mengetahui hubungan kita?" tanyanya.


"Hmm, kalau jangan dulu gimana, Dha. Biarkan mereka tahu kalau kita sudah resmi saja," ucapku penuh harap.


"Baiklah, aku setuju denganmu."
Aku bersyukur Yudha orangnya tidak sulit diajak kerjasama. 


"Aku ke toilet dulu, Dha."
Yudha mengangguk seraya tersenyum dan mengarahkan telunjuknya ke arah tempat yang ingin aku tuju. Aku membalasnya dengan senyum simpul lalu beranjak meninggalkannya.
Setelah selesai, gegas aku kembali menghampiri Yudha tetapi tak ada dirinya.
Oh, ternyata dia mendekat ke taman. Penasaran aku mengikutinya. Samar terdengar Yudha berbicara melakui telepon.


"Dha?"
Dia tergagap, ternyata aku mengagetkannya. Terlihat dari wajahnya yang menegang.


"CαΊ£m Ζ‘n ThαΊ₯y bαΊ‘n."
(Terima kasih, sampai jumpa--bahasa Vietnam)
Buru-buru Yudha mematikan ponselnya dan memasukkan ke saku.


"Sudah?"
Aku mengangguk, dalam benakku bertanya-tanya. Dia sedang bicara dengan siapa, bahasanya sedikit tak asing di telingaku. Namun aku perlu memastikannya lagi nanti.


"Ayo dihabiskan, setelah itu pulang biar kamu bisa istirahat."


"Iya."
Tanpa sadar hatiku menghangat hanya dengan sedikit kata perhatiannya.
Setelah menghabiskan makanan dan minuman yang dipesan, kami bergegas ke tempat parkir mengambil motor masing-masing.


"Malika."
Seseorang dari arah belakang memotong canda tawaku dengan Yudha.
Aku segera menoleh ke arah datangnya suara. Aku terpaku melihatnya.


"Ar....?"
 
Bab  4 Calon Kakak Ipar
 
"Saat dihadapkan pada beberapa pilihan, mantapkanlah dengan memohon petunjuk-Nya di sepertiga malam. Karena apa yang menurut kita baik belum tentu baik dimata Allah, dan apa yang menurut kita buruk belum tentu buruk dimata Allah."
 
 
"Malika."
Seseorang dari arah belakang memotong canda tawaku dengan Yudha.
Aku segera menoleh ke arah datangnya suara. Aku terpaku melihatnya.


"Ar....?"


"Sendirian, Ar?" Yudha sudah memotong ucapanku yang terkesan kaku.


"Sama Rani, tapi sudah pulang. Kalian datang berdua?"
Wajah Ardian yang terbaca olehku dipenuhi rasa penasaran. Dia pasti heran kenapa aku bisa di kafe bersama Yudha.


Pikiranku mendadak buntu, rasa canggung menyelimuti. Entah kenapa masih ada rasa tak rela Ardian memergoki aku berdua dengan Yudha. Padahal jelas-jelas Ardian datang sama Rani.


"Kebetulan tadi ketemu di sini, Ar," jawab Yudha santai seakan tahu ingin menyelamatkan kecanggunganku.
Sementara Ardian hanya ber oh ria.


"Kalau begitu aku duluan ya, Ar, Ka. Sampai jumpa besok. Kalian hati-hati di jalan!"
Yudha melambaikan tangan dan berlalu memacu kuda besinya.


"Tunggu, Ka!"
Memilih berdiri tepat di depan motorku, Ardian sukses membuatku tertegun.


"Kenapa, Ar?"


"Kamu..., kenapa sikapmu berubah Ka? Sejak kemarin, sikapmu tak lagi ramah seperti biasa. Apa karena aku dan Rani."
Aku tertunduk, rasa nyeri menyeruak kembali. Apa yang harus aku lakukan? Kalaupun jujur apa itu akan mengubah keadaan. Ya, jika aku jujur maka akan ada yang terluka, lebih baik realistis saja.


"Aku masih sama, Ar. Kemarin aku sedang banyak pikiran. Kita sudah sering bareng, tetapi kamu tidak pernah bercerita apa-apa tentang Rani. Jujur aku syok, Ar. Tapi sekarang aku baik-baik saja kok."
Mencoba memasang senyum terbaik meskipun terpaksa, aku tidak ingin membuat Ardian kawatir.


"Syukurlah, kita tetap bisa berteman seperti dulu kan, Ka?"
Aku mengangguk meskipun nyeri itu bertahan di dalam dada. Sudah sepantasnya aku yang sadar diri untuk menjaga jarak dari Ardian dan Rani.


"Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa bareng Yudha? Aku tidak menyangka kamu sedekat itu dengannya."
Aku tersenyum kecut, memangnya aku kuper sampai nggak bisa bergaul dengan karyawan lain.


"Yudha orangnya asyik kok," jawabku sedikit kesal membuat Ardian terkesiap.


"Kamu sedang tidak menjadikan Yudha sebagai pelarianmu, bukan?"


"Ishh, pede sekali kamu, Ar. Mau pulang nggak ini, atau mau jadi tukang parkir?" sungutku membuatnya terbahak.
Sungguh Ardian menjengkelkan.


"Malika Saraswati, berhati-hatilah kalau kamu berniat mendekati Yudha!" 
Astaghfirullah, dia sudah membuat jantungku berdegup kencang karena membisikkannya di telingaku. Aroma parfum yang biasa dipakainya menyeruak di hidungku kini begitu dekat dan sangat dekat.


"Haah, a... apa maksudmu?" ucapku terbata 


"Aku juga tidak tahu, hanya saja dia terkesan misterius."


"Hmm, terima kasih sarannya. Aku pertimbangkan."
 
Malam hari di kontrakan, aku menatap langit-langit kamar ditemani sinar rembulan yang menelisik malu-malu dari jendela kamar. Pikiranku melayang kembali ke kejadian seminggu terakhir. Mulai dari berita kejutan Ardian dan Rani sampai aksi nekatku bersama Yudha.


Beberapa kali kujambak rambut panjangku yang tergerai demi mengurangi keruwetan di otak. Aku harus mencari cara menyampaikan berita ini ke emak dan bapak. Keyakinanku cukup besar bahwa mereka akan setuju. Sementara orang tua Yudha, entahlah aku jadi bimbang. Satu-satunya jalan adalah berdoa dan sholat istikharah untuk memantapkan niat.


Aku siap memasang alarm demi bisa bertemu kekasih hati di sepertiga malam. Berharap semua masalah ini teratasi dan mendapat keberkahan-Nya.
 
Dua bulan waktu yang dijanjikan Yudha untuk melamar ke rumahku. Semua pasti berjalan begitu cepat. Selama menunggu hari lamaran, kami bersikap seperti biasa di kantor. Satu-satunya yang aku bagi cerita hanya Cici. Dia sering menggodaku saat tak sengaja kami bertemu Yudha di kantin.


"Ayo makan yang banyak, calon manten harus jaga kesehatan!" celetuk Cici.
Aku sudah menatapnya horor karena ngomong nggak kira-kira. Bagaimana kalau ada karyawan lain yang mendengar, meskipun beberapa ada yang bisik-bisik melihat perubahan Yudha yang mulai sering tersenyum.


"Siapa yang mau menikah, Ci?"
Astaga, ada Ardian mencuri dengar obrolan kami. Dia sudah duduk di samping Yudha, sedangkan aku dan Cici di seberang mereka.


"Masing-masing dari kita kan pasti akan menikah, iya kan, Ka?"
Uhuk,uhuk.
Lagi-lagi Yudha menyelamatkan rasa canggungku di depan Ardian. Cici menyodorkan gelas minumku seraya memasang muka bersalah.


"Kira-kira siapa yang lebih dulu menikah diantara kita yang di sini, ya?" lanjut Ardian.


"Kamu sama Rani, pokoknya jangan lupa undang kami?" ujarku mencairkan suasana yang sempat menegang.


"Ah, belum secepat itu. Kayaknya kamu duluan deh, Ka."
Aku melempar pandang ke Yudha saat mendengar ucapan Ardian ditujukan padaku.


"Doakan saja, Ar!" ucap tegas Yudha.


"Tentu, mari saling mendoakan yang terbaik buat kita semua!"
Aku sempat tercengang dengan ucapan tegas Yudha, syukurlah Ardian tidak curiga dengan tingkah kami berdua. Sesekali hanya Cici yang tersenyum menggodaku. Ah, dasar anak itu, ingin aku mencubitnya.


Selesai makan siang dan sholat, kami kembali beraktivitas di ruang divisi masing-masing. Ardian seperti biasa mengikuti langkahku bersama Rani karena ruang kami ada di satu lantai yang sama, sedangkan ruang Cici dan Yudha satu lantai dibawahnya.


"Sampai ketemu nanti sore, Sayang!"
Ckkk, dua sejoli ini mesranya minta ampun. Aku sudah mulai terbiasa turut mencandai mereka. Sesuai janjiku pada Adrian untuk tetap menjaga pertemanan kami. Setidaknya aku sudah punya benteng pertahanan untuk tidak sakit hati.
Baru beberapa menit memegang naskah editan, notifikasi masuk ponselku.
Yudha, baru juga berpisah beberapa menit sudah kirim pesan.


"Ka, pulang dari kantor ikut ke rumahku, ya!"
Deg,


"Kenapa mendadak? Mau ngeprank aku, ya?"
Aku bersungut menatap layar ponsel, meski jelas-jelas dia nggak melihat ekspresiku.


"Kejutan aja buat kamu."


"Awas ya kalau kamu ngerjain aku!"
Setelahnya hanya emoticon meledek yang dikirim. Kembali naskah editan segera kuselesaikan dengan penuh semangat. Entah pengaruh dari pesan yang Yudha kirim atau bukan, yang jelas aku merasa bersyukur bisa bertahan kerja di kantor ini.


Beberapa kali mata ini memicing ke arah jam di meja kerja. Akhirnya tepat jam 4 sore aku bergegas meraih tas cangklong, merapikan rambut dan mengucirkan ulang dengan tali keropi.
Sampai di parkiran aku lihat sudah ada Yudha yang bersandar di jok motornya sambil melipat kedua tangan di dada.


"Nggak usah lari, terlambatpun nggak akan diskors," ujarnya membuat wajahku pasti sudah bersemu merah.
Aku cuma menyengir kuda. Saat tangan ini meraih helm dan berniat memasang di kepala. Sebuah tarikan pada rambut kurasakan hingga membuatnya tergerai.


"Masih saja seperti anak kecil." Aku segera menoleh untuk mencari tahu siapa pelakunya.


"Ardian, sini kembalikan!"
Aku sudah berebut tali rambut dengan Ardian membuat Yudha menatap tajam ke arah kami.
Duh, gimana ini aku merasa nggak enak hati. Mana di sini nggak ada Rani atau Cici. Tali rambut keropi sudah masuk di saku baju Ardian, tidak mungkin aku mengambilnya saat Yudha terang-terangan melihatnya.
Memilih membiarkannya saja, aku segera memakaikan helm di kepala dan membiarkan rambut tergerai.


"Awas, kalau kamu hilangkan benda itu, Ar!"
Ardian justru terbahak saat melihat kekesalanku.
Aku segera melajukan motorku tanpa tahu tujuan, biar saja Yudha pasti menyusulku.


"Hati-hati, Ka!" Suara Ardian yang berteriak masih sampai di telingaku, sungguh menyebalkan.
Tin,tin.
Benar sekali Yudha sudah mensejajari motorku.


"Ikuti aku dan jangan melamun nanti nyasar!" ejeknya.
Astaga, bertambah lagi laki-laki yang membuatku kesal. Tapi kali ini aku bisa tersenyum meski kesal dibuatnya. Seorang Yudha yang sedingin kulkas mulai kelihatan candaanya.
Dua puluh menit berselang akhirnya kami sampai di sebuah rumah bernuansa klasik dua lantai. Mata ini tak ingin berkedip, aku hanya bergeming setelah memarkirkan motor.


"Ka, Malika. Ayo masuk!"
Seketika aku hanya mampu meneguk ludah. Yudha yang terkesan sederhana ternyata orang berada. Kepalaku tertunduk sejenak. Harus bagaimana aku, sudah kepalang basah tidak bisa mundur lagi.
Aku Malika Saraswati perempuan yang pantang menyerah. Apapun rintangannya akan kuhadapi.


"Mbok, umi dan abi di mana?" Kulihat Yudha bertanya pada ibu paruh baya mungkin asisten di rumah ini.


"Bapak ibu ada di kamar, Mas."


"Makasih mbok. Tolong bikinkan minum untuk teman saya Malika."


"Ka, duduk dulu! Aku panggilkan umi dan abi dulu."
Aku mengangguk dan segera duduk di sofa ruang tamu.
Pandangan mata ini tak lepas dari kekaguman rumah orang tua Yudha. Meski baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, hatiku terasa nyaman. 


"Ehm,ehm."
Suara deheman laki-laki bertubuh tegap membuyarkan lamunanku. Siapa dia, itulah kata yang muncul saat pertama melihatnya.


"Kamu siapa?" tanyanya.


"Maaf, saya Malika teman Yudha," balasku sopan.
Jelas gugup menderaku, tiba-tiba dia duduk di sebelahku sangat dekat. Tangan menopang kepala seraya bersandar di sofa dan tatapannya tajam menelisik diriku dari ujung kepala sampai ujung kaki.


"Apa kamu sudah mengenal Yudha dengan baik?" bisiknya di telinga kiriku yang sukses membuatku terpaku.


"Haah?"
Astaga bertambah lagi laki-laki yang bikin aku kesal hari ini.
 
 
 
Bab 5 Calon Mertua 
 
"Lidah memang tak bertulang tetapi mampu mematahkan hati seseorang. Jagalah lisan dari perkataan yang tidak baik."
 
 
"Apa kamu sudah mengenal Yudha dengan baik?" bisiknya di telinga kiriku yang sukses membuatku terpaku.


"Haah?"
Astaga bertambah lagi laki-laki yang bikin aku kesal hari ini.


"Ternyata Yudha membawa calon yang di luar ekspektasiku. Aku semakin tidak yakin kalau kamu sudah mengenal adikku dengan baik."
Sebenarnya apa maksud ucapannya. Dia kakak Yudha, tetapi sikapnya jelas bertolak belakang. Kakaknya begitu agresif dan suka tebar pesona. Memilih menggeser badan ke samping kanan, aku tidak ingin Yudha melihat kami dengan posisi yang bisa membuat salah paham.


"Kamu harus bisa mengambil hati orang di rumah ini jika ingin diterima sebagai istri Yudha!" 
Kakak Yudha berlalu dengan seringaian yang diberikannya padaku. Seketika jantungku berdesir, aku harus mengambil hati orang serumah ini katanya. Apakah termasuk dia juga, ah aku jadi merinding sendiri.


"Maaf menunggu lama, kenalkan ini umi abi, Ka!"
Yudha datang bersama wanita berparas anggun dengan jilbab lebarnya, juga laki-laki gagah dan berwibawa dengan pakaian santainya. Mereka sungguh sangat serasi. Aku pun terpana dibuatnya.


"Malika Saraswati, Pak, Bu. Panggil saja Ika!" Aku memberi salam takzim dengan sedikit gugup.
Bu Rita dan Pak Wijaya itulah nama umi dan abi Yudha saat diperkenalkannya.


"Sudah berapa lama kenal Yudha?" tanya Pak Wijaya dengan tegas. Satu kali tarikan napas, aku mencoba mengurangi rasa gugupku.


"Baru, se...."


"Sudah setahun, Bi."
Tiba-tiba Yudha menyela membuat keningku berkerut. Padahal tadi aku mau menjawab baru kenal seminggu yang lalu. Maksudku kenal dekat. Mungkinkah Yudha sedang membantuku meyakinkan orang tuanya supaya bisa menerimaku.


"Oya syukurlah, sebaiknya memang disegerakan saja untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Iya kan, Mi?"
Duh, begitu bijaksana pemikiran Pak Wijaya. Seseorang yang memiliki ilmu agama bagus memang lebih memperhatikan menjauhkan dari keburukan. Apalagi melihat kami sama-sama sudah bekerja.


"Iya, Bi. Nah ini cemilan dan suguhan seadanya ya," ucap Bu Rita.
Seorang gadis berjilbab dengan model hampir sama seperti yang dipakai Bu Rita membawa nampan.


"Lho Ais, mana bibi. Kok kamu yang bikinin minum?" celetuk Yudha seperti tidak terima.


"Umi yang minta, Dha. Sekalian mau dikenalkan sama temanmu siapa tadi panggilannya?"


"Ika, Bu," ucapku merendah.


"Ika, ini Aisyah. Dia sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Malah tadinya mau dijadikan mantu, tapi Yudha sudah punya pilihan sendiri."


"Mi...." Yudha sudah memotong ucapan uminya. Hatiku mencelos saat mendengar ucapan Bu Rita, calon mertuaku berkata dengan nada biasa tetapi mampu membuat nyaliku menciut. Ternyata Yudha pernah dijodohkan dengan Aisyah. 


"Aisyah juga mengajar anak-anak di pondok," lanjutnya.
Aku hanya bergeming, kata apa yang seharusnya keluar dari mulutku pun tak mampu kulontarkan. Kalau Yudha sudah ada calon yang begitu nyaris sempurna kenapa lebih memilihku yang tidak sebanding denngannya. Aisyah hampir tidak ada kekurangan dilihat dari fisik, pun juga kemampuan akademik pastilah Aisyah cerdas. Ah pikiranku seketika buntu, hanya senyum paksa yang bisa aku tunjukkan.
Benar adanya apa yang dibilang kakaknya Yudha, aku harus bisa mengambil hati orang serumah jika ingin diterima di sini.


"Sudah, Mi. Jangan bikin Malika tegang! Ayo diminum dulu, Ka!"
Suara Yudha kembali menarikku dari lamunan tak terarah.


"Iya, terima kasih," ucapku tergagap. Aku mencoba membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba kering.


"Ais, tolong bantu siapkan makan ya untuk menjamu tamu spesial."


"Biar bibi saja, Mi yang siapkan!" Pak Wijaya sudah mencegah Bu Rita yang memperlihatkan kelebihan Aisyah di depanku.


"Nggak apa-apa, Bi. Yudha kan paling doyan makanan buatan Aisyah. Iya kan, Dha?"
Aku berasa dikerjai Yudha sore ini. Sebenarnya dia ingin mengenalkan aku atau justru mempermalukan aku didepan orang tuanya.


"Eh, umi nih yang suka masakan Ais bukan hanya aku saja. Orang serumah juga pada suka, tuh Mas Randy apalagi dia yang paling doyan sampai-sampai nggak mau kalau bukan masakan Ais."


"Apaan, kalian tiba-tiba membicarakanku?"
Kakak Yudha menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi tak terima seraya memperkenalkan diri namanya Randy Pratama. Laki-laki ini kenapa tiba-tiba nimbrung.
Aku melihat wajah Aish sudah memerah karena tersipu malu. Ya, Ais memang jadi bintang utamanya saat ini. Sabar Ika, aku pun menyemangati diri sendiri.


"Biarkan saya membantu Ais, Bu!" 
Aku mencoba menunjukkan keberadaanku diantara mereka.


"Wah ide bagus itu, siapa tahu Malika pintar masak," celetuk Pak Wijaya yang berusaha membesarkan hatiku.


"Aku sependapat dengan Abi. Siapa tahu aku jadi pindah ke lain hati menyukai masakan Malika."
Sepertinya Mas Randy mulai memancing kemarahan Yudha. Apa mereka berdua tidak akur?


"Aku tidak rela," sungut Yudha mengundang gelak tawa Pak Wijaya dan Bu Rita.


"Kalian ini sudah besar tetap saja bertengkar."


"Laki-laki seperti itu biasa, Mi," ujar Pak Wijaya.
Aku dan Ais menjadi pendengar setia keluarga Yudha yang bercengkerama dengan asyiknya. Sepertinya kalimat basa-basi yang kukatakan tadi justru membawaku ke dalam kesulitan. Aku tidak pandai memasak. Resep yang aku bisa teramat simpel. Sungguh penyesalan datangnya terakhir. Dulu waktu masih sekolah emak selalu berusaha mengajariku memasak tetapi aku lebih suka membaca buku atau menulis cerita.
Hufh, saat ini baru terasa tawaran emak sangatlah berharga untuk mengambil hati calon mertua.


"Yuk, Mbak Ika jadi mau memasak bareng nggak?"


"Ah, iya Ais. Tapi aku tidak pandai memasak lho, beneran deh. Masak nasi, masak air atau masak mie aku bisa," ungkapku jujur membuat Ais tersenyum. Tidak heran Bu Rita mendambakan Ais sebagai menantunya, senyuman sekilasnya saja sungguh mempesona. Mana mungkin Yudha atau Mas Randy tidak tertarik, apalagi Mas Randy terkesan playboy.


"Kita mau masak apa, Ais?" tanyaku penasaran. Berharap Ais memasak yang sederhana saja. Sebenarnya kalau dipaksa memasak pun aku bisa, tinggal googling di internet nama masakannya. Namun aku tidak yakin dengan rasanya. Pernah waktu pulang kampung aku mencoba membuat kejutan memasak sup ikan, yang ada hasilnya justru membuat keluargaku sakit perut karena terlalu asam.
Ardi adikku sudah mengomel tak karuan, dah kapok aku, serahkan semua pada emak dijamin masakannya bisa menghabiskan sebakul nasi.


"Mbak, Mbak Ika kenapa senyum-senyum sendiri?"
Ais berhasil membuyarkan lamunanku saat indah bersama keluargaku berujung sengsara karena tindakan konyolku.


"Eh, nggak apa-apa Aish. Aku cuma ingat emak di kampung."


"Ini kita masak capcay kuah sama ikan goreng."


"Jadi, aku bantu apa?"


"Mbak Ais, sini bibi yang masak saja!"
Tiba-tiba bibi datang ingin mengambil alih.


"Bibi bantu nyiapin meja makan saja! Umi minta Ais yang masak buat Mbak Ika."


"Oh, Mbak Ika ini calon Mas Yudha ya?"
Aku hanya mengulas senyum, lalu mulai membantu Ais. Dia sangat cekatan di dapur. Sudah aku pastikan masakannya pasti lezat.


"Minta tolong panasi dulu wajannya, Ka. Terus kasih minyak sedikit!"


"Oke."
Aku mulai menaruh wajan anti lengket di atas kompor dengan dikasih sedikit minyak. Sementara itu, Ais menggeprek bawang lalu dimasukkan ke wajan.


"Dioseng, Ka, biar nggak nggosong apinya kecil aja!"
Aku menurut saja apa kata Ais. Aku pun mengambil spatula asal untuk mengaduknya.


"Wah rajinnya calon mantu." Aku merasa canggung karena Bu Rita tiba-tiba menyusul ke dapur.


"Nah, ini bedanya yang sering berkutat di dapur sama yang enggak. Pakainya spatula yang khusus Mbak Ika!"
Deg,
Astaga, malunya aku ketahuan nggak pernah ngurus dapur. Aku hanya tersenyum meringis di depan calon mertuaku.


"Maaf, Bu."


"Umi jangan suruh adik ipar memasak, dia jagonya mengedit naskah, iya kan?"


"Eh,"
Tahu darimana Mas Randy kalau aku tukang edit naskah. Laki-laki ini memang pintar bersandiwara sok jadi pahlawan didepanku. Pasti dia cari perhatian Ais, sedari tadi aku lihat tatapannya tak beralih dari perempuan berjilbab lebar itu.


"Mi, aku ajak Malika ke teras belakang dulu ya, mau ada yang diomongin!"


"Ya sudah sana, biar umi lanjutin sama Ais dan bibi."


"Awas jangan berduaan, ingat yang ketiga ada...." 
Mas Randy sudah meneriaki dengan canda tawanya, membuat Yudha balas melototinya.


"Duduk, Ka!"


"Hmm, ada apa, Dha?"


"Gimana perasaanmu?"
Yudha terlihat antusias menunggu jawaban, berbeda denganku yang baru saja melewati perkenalan dengan calon mertua. Aku takut berucap, lisan ini harus dijaga jangan sampai menyakiti.


"Gimana apanya, kamu sudah ngerjain aku. Rasanya kita perlu memikirkan ulang hubungan ini." Aku sudah menunduk tak berani menatap wajah Yudha.


"Apa katamu?"
 

 Bab 6 Bagai Langit dan Bumi 
 
"Ketika kamu merasa lelah dan ingin berhenti, maka pikirkan tentang mengapa kamu memulainya."
 
 
"Gimana perasaanmu?"
Yudha terlihat antusias menunggu jawaban, berbeda denganku yang baru saja melewati perkenalan dengan calon mertua. Aku takut berucap, lisan ini harus dijaga jangan sampai menyakiti.


"Gimana apanya, kamu sudah ngerjain aku. Rasanya kita perlu memikirkan ulang hubungan ini." Aku sudah menunduk tak berani menatap wajah Yudha.


"Apa katamu?" 
Raut wajah Yudha berubah merah menahan amarah. Memilih menunduk karena tak berani menatapnya, aku berpikir keras mencari kata-kata yang tepat.


"Apa yang kamu pikirkan, Ka? Kamu sungguh ingin mempermainkan aku?"
Suaranya sudah seperti mengintimidasiku, aku pun beringsut mundur saat dia mendekat.


"Maafkan aku, Dha. Keluargamu dan keluargaku sungguh bagaikan langit dan bumi. Aku...."


"Jangan teruskan! Apa kamu akan berpedoman seperti itu terus menerus hingga tidak berencana menikah dengan orang sepertiku?"


"Bukan begitu, Dha. Hmm, Aisyah sangat cantik dan juga pintar. Aku tidak sebanding dengannya bahkan dari penampilan pun aku sudah kalah. Aku merasa jauh dari harapan umi kamu. Maafkan aku!"
Aku kian tertunduk, tenggorokanku terasa tercekat tak sanggup lagi mengeluarkan sesak di dada.
Telapak tangannya menelungkup kedua tanganku bak memberi sebuah keyakinan.


"Pikirkan lagi mengapa kamu memulai hubungan ini, jangan menyerah dengan keadaan. Orang cerdas tidak mengenal putus asa."


"Ckk, aku bukan orang cerdas," dengusku.
Bisa-bisanya laki-laki dingin dan cuek ini mengeluarkan kata-kata bijaksana.


"Kalau tidak cerdas, kenapa bos besar memberi predikat editor teladan padamu? Bahkan kamu jadi editor kesayangannya."


"Ishh, aku bukan simpanan bos besar."
Astaga kenapa aku harus sekesal ini mendengarnya. Bahkan aku berusaha menjelaskan agar Yudha tidak salah paham.


"Siapa yang bilang kamu simpanan bos besar, kamu sendiri malah yang menjelaskan detailnya. Apa kamu takut aku cemburu"
Yudha sudah membuat pipiku memanas.


"Menyebalkan. Bisa-bisanya kamu menggombal saat seperti ini."
Yudha justru terbahak melihat kesalku yang kian meningkat.
Aku segera menarik tanganku kawatir keluarganya berpikir macam-macam.


"Tetaplah di sampingku, Ka. Aku tahu hanya kamu yang ke depan bisa mengerti dan memahamiku."


"Tapi, Dha, Ais...."


"Sttt, jangan pikirkan yang lain. Pikirkan saja tentang kita! Kamu siap menjadi pendamping hidupku?"
Aku ragu tetapi juga mengangguk mengiyakan. Kemantapan hati ini telah kusiapkan sejak semalam. Terlepas hari ini ada hambatan justru menjadi tantangan besar buatku. Aku siap mendampingi Yudha, berjuang bersama membangun keluarga impian.


Ehm ehm.
Suara deheman memecahkan keheningan diantara kami.
Ishh, Mas Randy selalu datang seakan ingin merecokiku.


"Dilarang bermesraan, kalian belum halal!"


"Ciih, memangnya Mas Randy yang seenaknya kalau dekat dengan perempuan."
Yudha sudah menimpali ucapan kakaknya dengan ekspresi sinis.
Sepertinya mereka memang benar-benar tidak akur. Mas Randy terlihat tersenyum puas karena sudah membuat adiknya kesal.


"Ayo, Ka!"


"Dha, kamu dipanggil umi dan abi disuruh ke ruang kerja. Biar Malika di sini!"


"Memangnya aku tidak hafal sifat kakakku? Aku tidak mau mengulang kesalahan untuk kedua kalinya."
Mendengar ucapan Yudha, aku hanya mengernyitkan dahi. Apa yang dimaksud kesalahan, ah mereka berdua penuh rahasia.


"Tapi aku tidak yakin kalau Malika sama seperti aisyah."


"Jangan coba-coba menggodanya!"
Yudha sudah memintaku mengikuti langkahnya dan disinilah aku menunggunya di ruang tamu. Tak disangka Mas Randy mengikutiku.


"Aku heran, apa yang menarik dari dirimu sampai Yudha berpaling dari Aisyah?"
Telunjuk Mas Randy sudeh diletakkannya di dagu seperti sedang berpikir keras.


"Dulu aku berpikir bisa merebut Aisyah supaya Yudha sakit hati. Ternyata sekarang dia sudah mendapatkan gantinya. Apa kamu yakin Yudha benar-benar sudah move on dari Ais?"


"Apa maksud Mas Randy?"


"Maksudku? Masak kamu tidak tahu, bisa saja Yudha hanya menjadikanmu pelarian. Yang jelas dulu dia sangat mengharapkan bersanding dengan Ais seperti umi yang mengaharapkannya jadi menantu."


"Mbak Ika, umi dan abi menyuruhku mengajak Mbak ke meja makan."
Beruntung Ais segera datang menengahi obrolanku dengan Mas Randy.


"Ah iya, Ais. Terima kasih."
Posisi kami di meja makan menikmati masakan Ais. Bisa kupastikan rasanya pasti lezat dilihat dari tampilannya saja sungguh menggoda lidah.
Aromanya pun menyeruak di hidung, ingin segera mencicipinya.
Pak Wijaya bersanding dengan Bu Rita. Mas Randy dengan Yudha dan Aisyah denganku. Aku benar-benar tampak canggung, tetapi tetap berusaha belajar bisa nyaman diantara keluarga ini.


"Gimana, Ika, enak kan masakan Aisyah?"
Aku segera menelan makanan yang masjh ada di mulut.


"Lezat sekali, Bu."


"Tentu, Ais memang pandai memasak. Kamu juga harus pandai memasak biar Yudha betah makan di rumah."
Glek,
Aku hanya mampu meneguk ludah, satu teguran halus sudah kuterima. 


"Sudahlah, Mi. Kalau Yudha mantap memilih Ika pasti apapun yang dimasak juga habis dilahapnya, benar kan, Dha?"


"Abi benar."
Yudha berbinar seeaya mengacungkan jempol saat abinya membela. Aku semakin tertunduk malu. Pelajaran berharga buatku, suatu saat aku pasti bisa memasak lezat seperti emakku.


"Gampang, Ka. Tinggal minta ajarin Ais aja pasti dia tidak keberatan, iya kan Ais?"


"Iya, Ais siap ngajarin."
Aku mulai mengangkat tegak kepala dan tersenyum kembali.


"Terutama masakan yang disukai Yudha, Ais. Biar dia tidak ketagihan terus dengan masakanmu kalau sudah menikah."
Lagi-lagi Mas Randy memperkeruh suasana yang tadinya tenang menjadi keruh, dikiranya aku akan cemburu atau sakit hati. Tidak, aku bukan orang yang seperti itu. Aku memang harus belajar banyak untuk bisa diterima di keluarga ini. 


"Nggak usah pilih-pilih, Ka. Semua masakan kalau itu kamu yang masak, aku pasti suka." Yudha berusaha menentramkan hatiku. Aku membalasnya dengan senyum sedikit dipaksakan.


Selesai makan dan sholat Maghrib aku berpamitan. Yudha ingin mengantarku sampai kontrakan tetapi aku memintanya sampai pertengahan jalan saja karena kami sama-sama pulang kerja pastilah dia capek juga.


Sampai di kontrakan, aku memilih merebahkan badan sambil menatap langit-langit kamar seperti kebiasaanku melamunkan aktivitas hari ini.
Ya, semua hanya butuh waktu. Saat aku sudah memilih memulainya maka saat itu juga aku harus siap berjuang menggapai tujuan.
Mencoba menguatkan niat, aku menelpon emak dan bapak untuk mendapat support dari beliau. 


"Halo Ardi, Mbak mau bicara sama emak dan bapak."


"Mak, Pak, Ika sudah dikenalkan dengan keluarga Yudha."


"Gimana respon mereka, Ka?" Emakku yang paling kawatir dengan kebahagiaan putrinya, meskipun bapakku sebenarnya juga sama hanya tidak diperlihatkan saja ekspresinya.


"Alhamdulillah, mereka baik kok Mak, Pak."


"Syukurlah, semoga niat baikmu dimudahkan Allah, Ka."


"Terima kasih, emak dan bapakku tersayang."
Aku mengakhiri panggilan dengan kecupan sayang untuk orang yang sudah melahirkan dan membesarkanku.


Pagi hari akhir pekan libur kerja, ingin rasanya berjoging di Sunday Morning tapi temanku Cici sedang ada acara keluarga. Aku memilih merebahkan kembali badan, meskipun sudah berpakaian olahraga lengkap hanya tinggal memakai sepatu. Aku menikmati acara TV siraman rohani sambil makan cemilan karena berniat sarapan di sana. Kudengar bel kontrakan berbunyi memaksaku beranjak dari kursi malas ini.


"Siapa yang datang sepagi ini?"


Cklek,
"Hah, ngapain ke sini pagi-pagi buta?"
Laki-laki dengan pakaian kasual dan bersepatu ketz sudah duduk di kursi yang ada di teras dengan ekspresi tak bersalah.
 
Bab 7 Kilatan Cemburu 
 
"Cemburu pada pasangan itu tanda cinta, tetapi cemburu yang berlebihan itu tanda tidak percaya.
 
"Siapa yang datang sepagi ini?"


Cklek,
"Hah, ngapain ke sini pagi-pagi buta?"
Laki-laki dengan pakaian kasual dan bersepatu ketz sudah duduk di kursi yang ada di teras.
Apa dia sudah gila hingga datang sepagi ini di kontrakan perempuan. Bagaimana kalau Yudha salah paham, bisa runyam nantinya.


"Ada perlu apa Mas Randy kesini pagi-pagi buta?" selidikku. Dia hanya tersenyum sekilas.


"Apa begini caramu menyambut tamu? Apalagi aku calon kakak iparmu."


"Lantas aku harus apa? Aku tidak merasa punya janji denganmu. Lagian kalau Yudha tahu pasti dia akan marah." Aku masih berdiri meskipun sebenarnya tidak sopan meladeninya bicara dengan posisi ini.


"Setidaknya buatkan minum atau sekalian sarapan, aku lapar," rengeknya.


"Hah, yang benar saja, kamu datang kesini meminta itu. Memangnya aku buka warung?" sungutku justru membuatnya terbahak.


"Aku tidak yakin Yudha marah atau cemburu jika melihatku ada di sini."


"Jangan coba-coba membuat masalah!" hardikku.


"Ah, berani juga kamu mengancamku. Sungguh calon istri pilihan Yudha sangat menarik."


"Ciih. Tunggu di sini aku buatkan minum dulu!"
Aku sudah membuatkan teh panas untuk Mas Randy. Aku sudah mau mengusirkan tetapi kuurungkan karena hanya akan membuat aku buruk di mata keluarga Yudha.


"Pelit sekali, tidak memberi sarapan pada calon kakak iparmu?"


"Huh, aku aja baru mau cari sarapan di Sunday Mor...."
Aku menutup mulutku karena keceplosan. Duh, bisa-bisa dia mengekoriku sewaktu joging nanti.


"Aargh."
Dia sudah menarik paksa tanganku untuk mengikutinya. Oh, Yudha, apa perlu aku mengeluarkan jurus untuk menghajar kakakmu.


"Naik!"


"Ckkk. Dasar menyebalkan."
Aku sudah mencebik kesal tetapi dia malah semakin bahagia.


"Nggak usah cemberut. Perempuan yang cemberut semakin terlihat pesonanya."


"Apa kamu bilang, ulangi sekali lagi!"


"Aww, ampun, Ka!"
Aku sudah memukul lengannya biar kapok.
Sepuluh menit akhirnya kami sampai di tempat Sunday morning. Memilih menu soto ayam kampung, akhirnya kami sarapan juga dengan lahap. 


"Mas Randy sebenarnya ngapain datang pagi-pagi ke tempatku?"


"Cuma pengin tahu aja kebiasaan calon adik ipar," jawabnya santai sungguh menyebalkan.


"Mas, boleh aku tanya satu hal?"


"Hmm, banyak hal juga boleh kok, gratis."


"Aku serius."


"Aku juga serius." 
Laki-laki di depanku ini tampang playboy, apakah aku bisa percaya padanya? gumanku.


"Apa Yudha masih punya perasaan pada Aisyah? Atau malah keduanya sebenarnya saling mencintai?"


"Haha, kamu tuh lugu atau hanya pura-pura sih, Ka? Aku yakin kamu memang belum sepenuhnya mengenal Yudha."


"Kok bisa gitu kesimpulannya?"


"Dulu Yudha dan Ais dekat, umi dan abi bahkan menjodohkan mereka. Tetapi kedatanganku justru mengalihkan perhatian Ais. Tahu sendiri kan pesonaku tiada duanya dibandingkan adikku yang sikapnya sedingin es di gunung alpen itu."


"Astaga, narsis banget sih."


"Jangan kaget, kenyataannya begitu. Kamu perlu hati-hati, lama-lama bisa terjebak olehku."


"Ishh, terlalu percaya diri," cebikku kesal membuatnya terbahak.


"Sepertinya Ais yang tidak banyak omong lebih nyaman saat bersamaku. Yudha marah dan cemburu akhirnya memutuskan menjauh dari Ais."


"Lalu?"


"Ya, kamu lihat sendiri sekarang kondisinya seperti apa?"
Ah, aku baru mendengar dari satu pihak saja. Aku tidak boleh semudah itu percaya padanya.
Aku rasa Mas Randy memang sengaja ingin merebut apa yang dimiliki Yudha. Terlihat sekarang dia mendekati aku untuk membuat adiknya marah. Aku tidak akan membiarkan Yudha sakit hati untuk kedua kalinya.


"Hai, apa yang kamu lamunkan? Apa kamu sedang merencanakan hal buruk padaku?"


"Memangnya apa yang bisa kulakukan. Justru aku harus terlihat baik di mata keluarga Yudha, bukan?" ucapku penuh percaya diri.


"Kamu memang gadis yang cerdas, Ka."


"Nggak usah terlalu memuji. Kasian Ais sudah kamu telantarkan, Mas."


"Mau gimana lagi, hatinya masih untuk Yudha."


"Kamu kan laki-laki, harusnya berjuang lah."


"Ini aku sedang berjuang. Bagaimana kalau kamu biarkan mereka bersama, lalu kamu menikah denganku saja!"


"Kamu semakin nggak jelas kok, Mas."


"Jangan menyesal kalau Yudha tidak bisa mencintaimu sepenuh hati."
Aku termangu dibuatnya. Kalimat peringatan Mas Randy menari-nari di otakku.


"Ya sudah, ayo jadi joging, nggak?"
Akhirnya kami berjalan menhitati lapangan.
Saat kami asyik joging, notifikasi pesan muncul di layar ponselku.
Hah, pesan dari Yudha.


"Hari ini ada acara, Ka?"
Aku mengernyitkan dahi, ragu ingin membalas, jari-jari ini hanya bergerak-gerak di atas layar ponsel.


"Dari siapa? Kenapa nggak dibalas?" seru Mas Randy mengagetkanku. Aku segera membuka layar kembali dan mengetikkan balasannya.


"Belum ada acara, Dha."


"Sekarang lagi di kontrakan?"


"Aku di Sunday Morning."


"Sendirian? Aku temani ya?"


"Enggak, aku nggak sendiri, banyak orang kok di sini." Aku tidak sedang berbohong hanya saja tidak kusebutkan siapa yang bersamaku.


"Baiklah kalau begitu, happy weekend."


"Happy weekend juga."
Ada kelegaan setelah Yudha mengakhiri pesannya. Namun perasaan bersalah justru menghinggapi batinku. Aku takut Yudha tahu kalau sekarang kakaknya sedang bersamaku.
Hari semakin siang tetapi aku enggan beranjak pulang. Pasalnya, Mas Randy pasti membuntuti ke kontrakanku lagi.


"Kamu tidak berencana pulang?" tanyanya sambil berdiri dengan tangan berkacak pinggang.
"Terserah aku, kamu pulang dulu saja. Aku bisa pulang sendiri."


"Ckk, kamu datang kesini kan bareng aku. Ayo pulangnya juga harus bareng. Aku bukan tipe orang yang suka menelantarkan."


"Dasar pemaksa. Lepaskan, aku bisa jalan sendiri!"
Tangan Mas Randy pun terlepas dari menggenggam tanganku. 


"Jangan seenaknya menyentuhku!"


"Ah iya, maaf adik ipar."
Dia sudah mangangkat kedua tangannya sebagai tanda maaf seperti musuh yang sedang menyerah.
Aku hanya mencebik melihat tingkahnya.
Sampai di kontrakan aku segera mengusirnya karena tidak ingin orang lain melihat kebersamaan kami.


"Aku pulang dulu, Ka. Makasih sudah menemani, sungguh sarapan yang indah hari ini," ungkapnya dengan senyum kepuasan.


"Lain kali aku bayar hutang traktiran tadi," ucapku tanpa senyum biar dia tidak gede rasa.


"Tidak usah repot-repot. Kalaupun iya, dengan senang hati aku tidak menolaknya."
Sepeninggal Mas Randy aku menghempaskan tubuh di kasur lipat sembari menyalakan TV.
Sebentar lagi Zuhur, aku hanya rebahan sambil menonton TV supaya tidak kebablasan tidur. Sepertinya aku mendengar ketukan pintu.


"Ngapain lagi sih dia balik lagi. Apa ada yang ketinggalan?"


"Ada apa lagi?"
Aku tercengang dibuatnya, sudah terlanjur berteriak tetapi sosok yang di depanku tidak sesuai perkiraanku.


"Yudha?"


"Hmm."


"Kamu sudah lama?"


"Kamu tega berbohong padaku, Ka."
Sorot tajam matanya menyiratkan kecemburuan.
Dia sudah memaksaku melangkah mundur hingga terdengar pintu kontrakan tertutup sempurna. Yudha sudah melangkah maju mengikis jarak diantara kami berdua.
Apa yang harus aku lakukan. Apa dia tahu kalau aku tadi bersama kakaknya?


"Jangan marah, Dha. Aku bisa jelaskan dulu."


"Aku tidak main-main saat bersedia menjalin hubungan denganmu. Kenapa kamu ingin menghianatiku?"


"Tidak, aku tidak menghianatimu."


"Jangan salahkan aku, Malika. Aku menginginkanmu sekarang juga."


"Jangan, Dha! Aku mohon...."
Laki-laki dengan tatapan dingin itu tak menghiraukanku. 
 

€_€
Apa yang akan terjadi dengan Malika? Haruskah mengeluarkan jurus beladiri yang dipunyai, dengan taruhan Yudha mengetahui identitas masa lalunya?

 

Lanjut ke bab 8 sd tamat yuk. Klik link berikut

https://karyakarsa.com/DLista/rahasia-suamiku-bab-8-10

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Kategori
Rahasia Suamiku
Selanjutnya Terjebak Cinta Dokter Sombong (Jodohku Pak Dokter)- FREE
2
0
Postingan ini untuk keperluan promosi.Bagi yang belum baca cerita ringan dan lucu ini, dukung fullpart lebih hemat yuk. Klik link berikut untuk bab selanjutnya. Ganti cpver biar fresh yak.https://karyakarsa.com/DLista/jodohku-pak-dokter-part-6-10 BLURBBoleh nggak ya nyelip di samping mobil mewah itu? Tanpa pikir panjang aku segera memarkir motor karena memang tidak ada tukang parkir yang berjarak dekat denganku. Beberapa mereka sibuk di ujung sana.Hai, tunggu! Jangan parkir sembarangan! Baru kaki ini melangkah, sudah terdengar suara bariton lantang nan tegas.Aku takut menoleh, barangkali orangnya ganteng plus seorang dokter. Oh malunya aku ketahuan parkir sembarangan. Gimana dengan nasibku? Ikuti kisahnya, yuk! Semoga bermanfaat dan menghibur. 🍁🍁🍁  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan