
"Tak perlu menjadi orang lain, kalau hanya ingin mencari perhatian." (Aryo)
"Aku lelah, tetapi tak mau menyerah. Berpura-pura, merasa baik-baik saja, setidaknya itulah caraku bertahan." (Nayla)
Cinta Nayla pada kakak tingkatnya harus bertepuk sebelah tangan, karena rasa yang tak tersampaikan. Namun, kehadiran sosok dosen yang menaruh hati pada Nayla membuatnya terjebak dalam kebimbangan. Bagaimana Nayla harus mengambil keputusan, memilih mencintai atau dicintai? Simak kisahnya, yuk.
Inilah...
Selamat datang di dunia imaginasi DLista. Kembali lagi dengan cerita romansa kampus. Semoga kalian suka. Jangan lupa subscribe, like dan komentarnya ya. Salam sehat selalu.
"Tak perlu menjadi orang lain, kalau hanya ingin mencari perhatian." (Aryo)
"Aku lelah, tetapi tak mau menyerah. Berpura-pura, merasa baik-baik saja, setidaknya itulah caraku bertahan." (Nayla)
Prolog
Semilir angin di siang hari yang terik menerpa wajah Nayla. Ia sedang duduk di bangku taman kampus. Wajahnya melamunkan seseorang yang menjadi penyemangat hidupnya. Suara daun yang bergesekan diterpa angin tak mampu menggoyahkan pikiran yang sedang fokus sejak beberapa menit lalu. Memorinya diputar ulang layaknya sebuah kaset rekaman.
"Mas Andra, aku mau balikin helmnya."
"Aku sedang ada kegiatan di luar kota, Nay. Titipkan saja Cindy! Bilang kalau itu helm punyaku. Nanti kalau sempat aku juga hubungi dia."
"Oke, bagi nomernya ya!"
Nayla fokus menatap layar menunggu pesan dari Andra kakak tingkatnya. Laki-laki itu merupakan mahasiswa popular di kampus karena kecerdasannya. Namanya bahkan telah menempati ruang hati Nayla. Bukan maksud Nay menjadi perempuan yang mengejar laki-laki, hanya saja Andra sudah menjadi seseorang yang membuatnya nyaman, bahkan terlalu nyaman. Sikapnya yang ringan tangan dan pandai bergaul membuat Nay merasa Andra memberi perhatian lebih padanya.
Namun, obrolan via pesan singkat siang itu menjadi titik balik rasa kenyamanan berubah menjadi kekecewaan.
Ting,
Notifikasi pesan Andra masuk, menyajikan namanya tertera di sana. Sejenak salah satu sudut bibir Nay tertarik ke kiri satu centi. Entah perasaan apa yang muncul, hanya dengan membaca namanya saja hatinya bergetar, inikah yang dinamakan sedang dimabuk asmara. Tidak disangka, begitu Nayla membuka layarnya terlihat satu nomer dengan sebutan "My Love".
Deg, jantung Nayla berdebar kencang melebihi kuda yang berlari saat di pacuan. Hati yang bergetar seketika dilanda kegalauan.
Nayla ingin menolak percaya kalau Andra memberikan nomer yang benar. Sejauh ini, ia tidak mendapat info kalau laki-laki itu punya pacar. Kesehariannya bahkan ia sering duduk bareng Andra dan teman-teman dekatnya untuk sekedar ngobrol atau belajar bersama. Bagaimana mungkin Andra tiba-tiba punya pacar, pikirnya.
"Mas sudah benar kirim nomernya Mbak Cindy?" Pesan ulang dikirim Nayla untuk meyakinkan pergolakan batinnya. Dadanya sudah bergemuruh sejak beberapa menit yang lalu. Pun pandangannya mulai terasa sedikit kabur oleh cairan bening yang mengumpul di pelupuk mata. Sesekali ia menarik napas dalam untuk menahannya. Pandangan mengedar ke segala arah manatahu ada teman yang memergoki tingkah tak biasa dirinya.
Ting,
Kembali notifikasi bergulir, kali ini dadanya tiba-tiba terasa panas dan sesak.
"Iya Nay, benar itu nomer Cindy. Coba kirim pesan padanya. Sudah dulu ya, acaraku udah mulai lagi."
Glek,
Nayla menelan ludah susah payah, terasa ada duri yang menancap tenggorokan. Tangan yang memegang ponsel mendadak tremor. Ia meletakkan begitu saja benda pipih persegi itu di bangku.
"Jadi benar Mas Andra jadian sama Mbak Cindy," gumannya. Ingin berteriak kencang agar sesak di dada berkurang. Namun, ia sedang berada di kampus sekarang, bisa-bisa mahasiswa yang melihatnya menganggap aneh. Akhirnya, air mata bergulir juga tanpa izin membasahi pipi yang masih berhiaskan bedak tipis tadi pagi.
"Siapa yang harus disalahkan di sini?" lirihnya.
Rasa suka itu datang sendiri tanpa permisi, sementara sosok yang disukai seakan memberi lampu hijau dengan sebuah kenyamanan. Sebagai perempuan, Nay tak mungkin mengutarakan lebih dulu. Ia menunggu saat kalimat yang diharapkannya keluar dari mulut Andra sendiri. Entah kapan saatnya, Nayla tetap sabar menanti hingga akhirnya harapan itu hanya menjadi sebuah mimpi semu.
*****
Seminggu kemudian.
“Nay, dia marah padaku. Pokoknya aku nggak peduli, kamu harus jelasin padanya!” pinta Andra lebih ke memaksa. Ternyata Cindy marah, karena Nay memberikan hadiah padanya. Beberapa hari Andra membantu tugas Nayla hingga hadiah itu pantas diberikan pikirnya. Sebenarnya hadiah itu diberikan untuk Andra sebagai ungkapan terima kasih, tetapi laki-laki itu menolak dan meminta Nay memberikan pada Cindy, teman sekelas Andra. Mereka baru jadian genap seminggu lebih dua hari.
“Lha, siapa yang nyuruh? Aku Cuma melakukan apa yang kamu pinta,” seru Nay tak terima.
“Lalu aku harus gimana?” tampak raut frustasi di wajah Andra dan Nay pun tak tega melihatnya.
“Oke, aku yang akan urus. Mas Andra tenang aja!” janji Nay untuk membuat Andra bahagia. Meski mulut berkata dengan entengnya, tetapi jauh di lubuk hati Nay merasakan perih yang menyayat. Luka tak berdarah telah tertoreh di sana oleh seseorang yang namanya tertambat di hati.
“Aku nggak mau tau, besok harus sudah beres,” ucapnya dingin membuat Nay merasa dadanya semakin nyeri. Hatinya mencelos melihat perubahan sikap Andra yang tiba-tiba kasar padanya. Ia mengusap dadanya berulang, kepala tertunduk menghindari pandangan mahasiswa di sekitarnya yang mengarah padanya.
"Sebesar itukah cintamu padanya, sampai hati kau tak mau lagi dekat denganku?" lirih Nay.
"Ya, semua ini salahku yang terlalu berharap pada manusia. Maka kecewa yang kudapat. Aku lelah dikejar cinta, saat hati ingin mengejar justru jatuh yang kurasa. Kalau tahu patah hati rasanya sesakit ini, tak mungkin dulu aku mematahkan hati seseorang."
Helaan napas panjang sedikit melegakan paru-paru Nayla. Ia mengusap tetesan bening dari matanya agar tak terbuang sia-sia. Dipanjatkannya doa pada Allah sang pemilik hati. Memohon yang terbaik dari-Nya. Cinta akan datang di saat yang tepat dan akan indah pada waktunya.
Bab 1
Sinar mentari mulai merangkak naik. Nayla menyambut paginya dengan semangat. Senyum hangat terukir di wajahnya yang polos tanpa make up. Celana denim dipadukan dengan T-shirt lengan pendek, dilengkapi kemeja kotak-kotak yang sudah menjadi ciri khasnya. Surai hitamnya dibiarkan tergerai dengan sebuah tali rambut dikenakan di pergelangan tangan. Tak lupa tas selempang berisi buku catatan dan pena sebagai pelengkap saat berangkat kuliah. Derap langkahnya ditemani sepatu ketz kesayangan yang dibeli di pasar Dago bersama sahabatnya.
Ia sudah tidak sabar berjumpa dengan sahabatnya, Cici, Mika, dan Riyan. Ada hal yang membuat hatinya membuncah. Ingin segera disampaikan berita bahagia itu pada tiga sahabatnya. Namun, langkahnya yang tergesa tanpa mengindahkan sekitar membuat dahinya terantuk benda keras. Ia pun mengaduh kesakitan seraya mengusap dahi sebelah kiri yang bisa dipastikan telah memerah.
Dua tahun lewat Nay menjadi mahasiswi jurusan Matematika kampus ternama di Bandung, tetapi tidak juga mengubah kebiasaan buruknya yakni berjalan tergesa tanpa mengindahkan sekitar. Ceroboh sekali Nay.
"Hei, kalau buka pintu hati-hati! Sakit tahu, nggak?!" teriaknya tanpa peduli dia bicara dengan siapa dan di depan ruang apa. Berlalu begitu saja sambil ngedumel, Nay bukannya minta maaf justru marah-marah. Ia tidak mau mengakui kesalahannya karena kecerobohan yang berjalan tanpa melihat depan.
Seseorang yang membuka pintu tadi hanya menggelengkan kepalanya sambil memicingkan mata ke arah Nayla berjalan menjauh lalu lenyap dibalik sebuah pintu.
"Huh, ternyata mahasiswa sini," decisnya sambil menutup pintu. Melihat arloji di tangan kanan, ia menenteng sebuah buku tebal di tangan kirinya.
"Pagi, Pak Aryo!" sapa satpam yang melintas.
"Pagi, Pak," balasnya lalu melanjutkan langkah menyusuri koridor kampus menuju sebuah ruang kuliah yang terletak di pojok lantai satu.
Langkah tegapnya memasuki ruang kuliah membuat mahasiswa segera mengambil posisi duduk rapi. Terkecuali satu orang yang berdiri terpaku menatap dosen yang baru datang. Siapa lagi kalau bukan Nayla. Obrolan seru bersama sahabatnya terpaksa harus berhenti karena seruan dari Riyan.
"Dia siapa, Yan?" celetuk Nay heran. Pasalnya, hari ini menurut jadwal ia kuliah dengan dosen senior. Namun, ia tidak mendapati dosen senior masuk, justru seseorang seperti asisten dosen yang menggantikan.
"Sttt, beliau dosen baru kayaknya, Nay." Riyan menjawab sambil meletakkan telunjuk di depan bibir seolah memberi peringatan pada Nay agar bicara yang lebih sopan.
"Apa sih, Yan. Nggak usah bisik-bisik, aku nggak dengar," seru Nay. Dua sahabatnya yang lain Cici dan Mika saling berbisik di telinga Nay membuat gadis periang itu kegelian.
"Ishh, kenapa kalian ikut-ikutan Riyan, sih." Nay yang sudah mendecis kesal pada tiga sahabatnya lalu beralih pandangan pada sosok yang baru saja datang dengan buku tebal ditangan kirinya.
Sejenak Nay tak berkedip setelah melihat keseluruhan penampilan laki-laki yang berperawakan tinggi, wajahnya jelas masih muda dibanding dosen seniornya. Tanpan iya, Nay tidak memungkiri itu. Namun tiada ketertarikan yang muncul, hatinya sudah terpatri pada sosok kakak tingkatnya bernama Andra. Laki-laki setampan apapun lewat bak angin lalu.
"Ayo duduk!" pinta Cici dan Mika yang setia duduk di sebelah Nay, sementara Riyan di belakang mereka.
"Selamat pagi, semua! Saya di sini akan menggantikan kuliah Pak Pram karena beliau ada tugas keluar kota." Seisi ruang bersorak gembira karena merasa terbebas dari kuliah menegangkan dengan Pak Pram berganti dengan dosen muda yang wajahnya membuat hati adem. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Nayla.
"Kenalan dulu kenapa, Pak," celetuk Nay tak kira-kira membuat Pak Aryo tersentak. Cici dan Mika segera menyikut Nay agar berlaku sopan pada dosen yang sebentar lagi menjadi list dosen favorit mereka.
"Kalian gimana, sih. Biasanya dosen yang baru masuk kelas kan kenalan juga. Kalian lupa?" Nay tampak melototi dua sahabatnya untuk menegaskan.
"Iya, sih. Tapi nggak gitu juga kali, Nay," protes Cici yang diiyakan oleh Mika.
"Nay, dosen kali ini tampannya ngalah-ngalahin Andra, tuh." Riyan yang sedari tadi menyaksikan tingkah tiga sahabatnya ikut menimpali, bahkan mengompori Nay supaya menyerah dengan niatnya mendapatkan hati Andra.
"Oya, maaf. Silakan Anda yang memperkenalkan diri dulu. Saya perlu mengenal juga nama-nama mahasiswa saya." Nay yang ditunjuk spontan merasa tak terima. Ia yang mengingatkan dosen barunya justru diminta mengenalkan diri terlebih dulu.
"Maaf ya, Pak. Teman-teman satu kelas sudah tahu nama saya," tolak Nay dengan sedikit tak acuh.
"Baiklah, kalian bisa panggil saya Pak Aryo. Saya akan mengajar mata kuliah Kriptografi. Kedepannya, kalian bisa siapkan dulu dengan membaca materi sebelum kuliah dimulai. Saya biasanya akan memberi pertanyaan random disela kuliah."
"Huuuh."
Mendengar kalimat Pak Aryo, reflek seisi ruangan heboh. Dipikir mereka dosen muda akan lebih santai, tetapi sama saja mereka mau tak mau harus siap menjawab pertanyaan yang diberikan dosen.
"Nggak bisa kuliahnya dibikin nggak tegang ya, Pak. Kami kuliah dengan Pak Pram sudah tegangnya seperti terdakwa di pengadilan, eh kirain sama Pak Aryo beda." Nay berpendapat mewakili teman-teman mereka. Sejatinya, tidak masalah bagi Nay mau mendapat pertanyaan atau tugas sekalipun itu dadakan. Otaknya yang encer dan cepat mencerna materi membuatnya siap di waktu apapun. Selain itu, ia kerap belajar bareng Andra otomatis kemampuan otaknya pun menyesuaikan laki-laki yang jarang absen dari penghargaan olimpiade tingkat mahasiswa itu.
Sekilas Pak Aryo ingin tertawa, tetapi segera ditahannya. Ia tidak mau kehilangan wibawa di depan siswanya, apalagi ini pertemuan pertama. Memorinya segera merekam tingkah usil salah satu mahasiswi yang terlihat percaya diri. Ia ingin sekali mengerjainya, terlebih lagi gadis yang dipanggil oleh temannya dengan sebutan Nay begitu ceroboh dan memarahinya tanpa meminta maaf.
"Baiklah, mari kita mulai kuliahnya." Akhirnya Pak Aryo menjelaskan pentingnya membaca materi sebelum kuliah. Ia berharap mahasiswa datang tidak dengan tangan kosong, tetapi bertukar pikiran dengan berdiskusi di kelas. Mahasiswa bukan anak sekolah lagi yang dengan senang hati menunggu pelajaran layaknya anak sedang disuapi.
Detik berlalu termakan oleh menit hingga menit berlalu tergerus oleh jam. Tak terasa satu jam begitu cepat mahasiswa mengikuti kuliah yang mengasyikkan. Pak Aryo merasa senang melihat siswanya antusias. Untuk mengeksekusi niatnya di awal, ia memanggil salah satu siswa untuk mengerjakan soalnya ke depan. Netranya memicing lurus ke satu titik, sedari tadi mahasiswi yang begitu mencolok seperti tak memperhatikan penjelasannya. Tangannya sibuk menari-nari di atas kertas, tetapi jarang memperhatikannya.
"Nay!" Sebuah seruan Pak Aryo mengagetkan Nayla. Ia terkesiap saat dua bola mata dosennya mengarah ke buku yang ada di meja lipatnya. Segera ia tutup buku itu sebelum ketahuan kelakuannya.
"Pak!"
"Ya." Nay memutar bola matanya jengah. Sudah bisa dipastikan Pak Aryo menangkap basah tingkahnya mengabaikan penjelasannya. Ia tidak mau kalau sampai Pak Aryo membuka hasil coretannya.
Sungguh memalukan.
"Kembalikan buku catatan saya, Pak!" desak Nay. Namun yang diajak bicara seolah membalas tingkah tak acuhnya tadi. Pak Aryo memindai catatan Nay dengan sesekali menyeringai.
"Silakan maju! Kerjakan soalnya atau saya buka catatannya di depan kelas?!" ancam Pak Aryo dengan raut wajah dingin tanpa senyum sedikitpun, seolah kemarahan terwakili oleh tatapan mata elangnya.
Nyali Nay menciut seketika, mau tak mau ia maju ke depan. Bukan karena ia takut diminta mengerjakan soal, hanya saja ada hal yang sangat memalukan jika buku catatannya diumbar di depan kelas.
Nantikan next partnya ya. Makasih sudah dukung dan baca ceritaku.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
