
JANGAN LUPA SUBSCRIBE CERITA INI DULU YA.
๐๐๐๐๐
Aku tak percaya kenapa harus bertemu dengannya. Dia dosenku juga mantanku.
Lalu bagaimana dengan masa depanku?
~Sarah Maharani Putri~
๐๐๐๐๐
DOSEN ITU MANTANKU
๐๐๐๐๐
Bab 1 Pelayanan plus-plus
"Ra, tolong siapkan pelayanan terbaik untuk tamu penting kita di kamar VIP 20F!"
"Maksudmu pelayanan kebersihan seperti biasa kan?" tanya gadis manis dengan bulu mata lentik memastikan maksud orang di seberang sana tidak salah.
"Iyalah, kamu mikirnya apa, Ra?"
"Kali aja kamu nyuruh aku melayani yang plus-plus, aku hajar kamu."
Orang di seberang sudah terbahak.
"Nggaklah, bisa-bisa aku babak belur sama cewek bersabuk hitam," dengusnya.
Gadis itu mengulas senyum meski tidak tampak oleh lawan bicaranya.
Sarah Maharani yang biasa dipanggil Ara baru saja ditelpon kepala cleaning service (CS) salah satu hotel ternama di kota Bandung. Dia memang bekerja part time di sela kuliahnya menginjak semester 5.
Sarah siap mendorong troli berisi perlengkapan kebersihan menuju kamar yang dimaksud atasannya. Selesai menyulap kamar VIP yang berukuran lima kali lipat kamar kosnya, dia segera berganti pakaian untuk kuliah karena mendadak ada bimbingan dengan dosen. Tak sempat istirahat karena terburu waktu dosennya pergi ke luar kota, lelah pun melanda tubuh Sarah hingga dia merebahkan diri di ranjang empuk.
"Baru kali ini aku membersihkan ruangan ini, pastilah orang kaya yang bisa menyewanya. Tak ada salahnya nyobain sebentar, kali aja besok ketularan bisa menyewa tempat ini," gumannya.
Sarah tertawa kecil dengan tingkahnya.
Mungkin akibat malam sebelumnya harus belajar untuk ujian semester di pagi harinya, sekarang di tempat kerja Sarah tertidur pulas.
Siang berganti sore, sore berganti malam. Sarah mengerjapkan matanya, badannya terasa kedinginan.
"Aargh."
Segera ditutup mulutnya, matanya membulat sempurna.
"Kenapa aku bisa tidur dengan pria asing."
Diraba tubuhnya, ternyata bajunya masih lengkap.
Gegas Sarah bangkit dan meraih tas cangklongnya. Dilihatnya jam tangan menunjukkan jam 11 malam.
"Duh gimana ini, tak mungkin aku bertahan di sini. Kalau dia macam-macam bisa hancur masa depanku. Meski aku bisa saja melawannya, kalau urusannya panjang dan aku dipecat justru makin runyam."
Memilih berjalan mengendap-endap, Sarah berusaha kabur tanpa membangunkan laki-laki itu.
"Hoahm,"
Deg, jantung Sarah berdetak kencang mendengar suaranya. Tubuhnya yang terpaku segera menoleh ke arah sosok yang berbaring di ranjang. Sarah memicingkan mata untuk memastikan apakah pemilik suara itu dalam kondisi terjaga. Dia mendekat dan melihat laki-laki itu masih terpejam. Mencoba menggerak-nggerakkan tangannya di depan wajah.
"Syukurlah, dia masih terlelap," pikir Sarah. Dia merasa lega dan segera meninggalkan kamar itu dengan tenang.
"Dasar gadis b*d*h, dia pikir sedang mengakali siapa. Belum juga diapa-apain sudah kabur. Pelayanan macam apa ini?"
Pria yang berkaos singlet baru saja terbangun dari mimpi indahnya memeluk gadis manis untuk pertama kalinya. Namun siapa sangka gadis itu sudah melarikan diri tanpa memberi penjelasan.
"Tunggu saja pembalasanku." Seringai licik muncul saat wajahnya menatap layar ponsel dan menggeser beberapa foto yang diabadikannya.
DOSEN ITU MANTANKU
๐๐๐๐๐
Bab 2 Ketemu mantan
Devandra Mahardika laki-laki tampan, tetapi arogan baru saja datang dari LN untuk mengurus bisnis milik orang tuanya. Dia memilih menginap di hotel berbintang lima sebelum menginjakkan kaki di apartemen mewah yang dibelinya lewat asisten ayahnya. Laki-laki yang baru lulus dengan predikat cumlaude di universitas ternama di Eropa jurusan ekonomi bisnis siap memimpin perusahaan milik ayahnya.
"Nico, aku mau menginap di hotel dulu, ke apartemennya besok saja."
"Siap, Pak! Hotel bintang lima segera saya reservasikan."
"Terima kasih, Nic. Kamu memang asisten terbaik ayahku."
"Sama-sama, Pak. Saya siap mendampingi selama Pak Devan memegang kendali perusahaan Mahardika Tech. Group (MTG)."
Begitulah asisten ayahnya sekarang bekerja untuk dirinya.
Pagi-pagi, Devan sudah meminta Nico ke kamarnya.
"Ada apa, Pak? Sepertinya ada masalah serius?"
"Kamu kemarin pesan kamar fasilitasnya apa saja, Nic?" Devan posisi berdiri dengan tangan mengusap dagu. Dia memandang keluar jendela tampak pemandangan kota Bandung.
Nico tergelak, raut muka sedikit takut karena kawatir salah pesan kamar yang tidak nyaman. Memilih menundukkan wajah, Nico berusaha menjawab apa yang diketahuinya.
"Maaf, Pak Devan. Apa kamarnya tidak nyaman? Padahal saya pesan kamar VIP terbaik di hotel ini. Saya segera hubungi managernya kalau fasilitasnya buruk."
"Apa di sini memang menyediakan fasilitas plus?" tanya Devan dengan muka serius, sementara Nico justru mengernyitkan dahinya.
"Maksud Pak Devan, apa?"
"Kenapa semalam ada seorang gadis tidur di kamarku."
"Apa? Gawat, kita laporkan saja ke managernya, Pak! Masak selevel Pak Devan ditemani gadis sembarangan." Nico menutup mulutnya, berusaha menahan untuk tidak tertawa.
"Tidak perlu ditahan kalau mau tertawa, Nic!"
"Eh, maaf, Pak. Hehe."
"Jadi, kita laporkan tidak?"
"Sementara tidak perlu, Nic. Tolong selidiki saja siapa gadis itu. Saya kirim fotonya ke ponselmu. Sepertinya dia petugas CS."
"Haah, kurang aj*r, Pak."
"Santai saja, Nic. Kita hanya perlu menyelidiki apa benar hotel ini ada praktek gelap semacam itu."
"Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf atas ketidaknyamanan ini."
Nico membungkukkan badannya, lalu bergegas pergi mencari informasi yang diminta bos barunya.
"Lihat saja, aku pasti menemukannya." Senyum seringai terlukis di wajah tampan Devan yang memegang ponsel dan menggeser layarnya beberapa kali untuk mengirim gambar ke Nico.
*****
Sarah tergesa berangkat ke kampus supaya bisa datang lebih cepat dari jam konsultasi dengan dosen mata kuliah Praktek Industri (PI) atau magang. Dia merasa telah melakukan kesalahan karena kemarin siang tidak datang sesuai waktu yang dijanjikan dosennya.
"Saya mohon maaf, Pak. Kemarin...."
Belum menyelesaikan ucapannya, Pak Pram dosen senior yang berusia kepala lima terkenal disiplin sudah mengangkat tangan mengintruksinya supaya diam.
"Tapi, Pak?"
"Siapa yang menyuruhmu bicara?"
Nyali Sarah semakin menciut. Memilih menunduk dan mengusap-usap lengannya yang berbalut tunik floral, dia merasa udara di ruangan berAC semakin dingin menusuk tulangnya.
"Maaf, Pak. Sekali lagi ini salah saya."
"Sarah, kamu saya izinkan bekerja part time bukan untuk bersenang-senang. Tolong belajar mengatur waktu! Di sini bukan hanya saya yang dirugikan, tetapi juga kamu."
Sarah tak mampu menjawab, hanya anggukan yang diberikan sebagai tanda paham apa yang diucapkan dosennya.
"Bagaimana rencana PI kamu?"
Merasa Pak Pram sudah reda emosinya, Sarah mengangkat kepala tegak menatap lawan bicaranya.
"Proposal sudah saya masukkan ke perusahaan, Pak. Besok saya diminta ke sana menerima keputusannya."
"Bagus, semoga lolos karena perusahaan yang kamu lamar cukup bergengsi. Kamu harus bisa memanfaatkan peluang ini."
"Baik, Pak. Terima kasih bimbingannya."
"Satu hal lagi, kali ini kamu akan dibimbing oleh dosen baru namanya Pak Mahe..., hmm siapa ya, saya agak lupa. Kamu bisa temui beliau di ruang sebelah," ucapnya tegas. Sejatinya, Pak Pram jarang memarahi Sarah karena mahasiswinya ini termasuk mahasiswi yang rajin dan juga cerdas. Hanya saja dia suka ceroboh karena tidak kenal waktu dengan kerja part timenya.
"Tapi, Pak. Saya sudah nyaman dengan Pak Pram." Sarah mencoba protes tetapi jelas tidak bisa diganggu gugat. Sekali dosen seniornya bilang A, jarang bisa berubah jadi B.
"Tidak ada tapi, Sarah. Saya ada tugas perjalanan dinas yang menyita waktu. Saya tidak bisa membimbing kamu secara maksimal. Jadi, temui beliau sekarang! Kamu harus bisa berkomunikasi dengan baik sama beliau."
"Baik, Pak. Saya ke ruang sebelah."
Tok,tok.
Sarah merasa jantungnya berdebar karena baru pertama ini mau menemui dosen yang belum pernah dilihat wajahnya.
Setelah memberi salam dan dijawab oleh penghuni ruangan, Sarah mencoba melangkah pelan sembari menetralkan gugupnya.
"Masuk!"
Suara maskulin sang empunya ruangan membuat rasa gugupnya naik lagi satu level.
"Permisi, Pak."
Sosok yang sedang duduk memegang pena dengan buku agenda di depannya membuatnya terlihat berwibawa.
"Ada a...." Tiba-tiba pena yang dipegangnya jatuh berdenting di meja.
Bak petir menyambar, Sarah dibuat kaget dengan sosok di depannya. Jantungnya terasa ingin meloncat keluar. Napasnya sungguh tak beraturan. Sesak kian terasa di dada. Pun juga makhluk tampan di depannya juga tak kalah kagetnya, tetapi bisa mengontrol dirinya untuk setenang mungkin.
"Silakan duduk dulu!"
Sarah menoleh kanan kiri, jelas ruangan ini hanya satu penghuninya. Artinya dosen yang dimaksud Pak Pram tidak lain ya sosok di depannya. Orang yang ada di masa lalunya.
"Ma, maaf. Apa Bapak dosen baru di jurusan marketing?"
Dengan terbata Sarah berusaha menyampaikan maksudnya karena tenggorokannya terasa tercekat.
"Menurutmu, kalau saya duduk di sini apa profesi saya seorang CS?" Nada bicaranya sedikit ketus, membuat Sarah merasa bersalah melontarkan pertanyaan konyol.
"Maaf, Pak!" ucap Sarah sedikit menunduk.
"Kenapa harus minta maaf berulang kali. Apa kamu punya salah yang besar sama saya?"
Sarah melirik sekilas, kelihatan sekali dosen dengan name tag yang tersemat di dadanya bertuliskan Dr. Alfian Mahesa sedang menatapnya serius.
'Aku memang bersalah padamu, Mas. Kenapa juga harus ketemu kamu di sini. Bagaimana nasib kuliahku di tanganmu, hufh.' Sarah menghela napas panjang untuk melegakan rongga dadanya.
"Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Pram bahwa Pak Mahesa jadi..., hmm Bapak jadi dosbing PI saya."
"Oya? Apa saya jadi pengganti Pak Pram?" tanyanya penuh selidik.
"Iya, Pak." Sarah menunduk tak berani menatapnya.
"Apa kamu keberatan saya menjadi dosbing kamu?" Suaranya penuh penegasan.
'Ah, aku bahkan tidak bisa mengelaknya. Kalau itu kulakukan bisa-bisa nggak lulus dan jadi mahasiswi abadi.'
"Tidak, Pak. Saya menerima dengan senang hati," ucap Sarah lirih, dalam hati ingin menolak jika itu bisa tetapi keinginan itu jelas hanya jadi mimpi semata.
"Bagus, artinya kamu harus menurut sama saya."
"Eh, apa maksudnya?"
Reflek Sarah menutup mulutnya karena keceplosan bicara tak sopan.
Sarah beranjak setelah pamit undur diri. Baru tiga langkah menuju pintu terdengar panggilan yang membuatnya terpaku.
"Dinda, tunggu!"
Deg,
Jangan lupa tinggalkan love dan komentarnya.๐
DOSEN ITU MANTANKU
๐๐๐๐๐
Bab 3 Mantan meresahkan
Sarah beranjak dari duduknya setelah pamit undur diri. Baru tiga langkah menuju pintu terdengar panggilan yang membuatnya terpaku.
"Dinda, tunggu!"
Deg,
'Ckk, kenapa dia harus memanggilku dengan nama itu.' Nama panggilan Dinda hanya diberikan Alfian untuk Sarah.
Merasa bukan namanya yang dipanggil, Sarah memilih melangkah lagi menuju pintu keluar.
"Saya minta berhenti disitu, Ra!"
Sarah terpaksa membalikkan badan karena suara dosennya yang menggelegar. Dia tidak enak kalau sampai Pak Pram tahu cara komunikasinya dengan Pak Mahesa kurang baik.
"Bapak memanggil saya?" Sarah meletakkan jari telunjukknya mengarah ke dadanya dengan sikap dibuat setenang mungkin, meski sebenarnya rasa gelenyar aneh itu tiba-tiba menghinggapi tubuhnya.
"Memangnya ada orang selain kamu?"
Sarah memutar matanya jengah.
'Sabar, Ra! Ini di kampus, dia dosenmu bukan mantanmu.' Hati kecilnya menyuruh mengalah.
Alfian berdiri dan melangkah mendekati Sarah yang masih di posisi dekat pintu keluar.
"Mas Alfian mau apa? Jangan macam-macam!"
Gugup jelas mendera Sarah karena sang mantan kian mengikis jarak hingga membuatnya memejamkan mata.
Sedetik dua detik, tak terjadi apa-apa.
"Silakan keluar, jangan lupa tutup pintunya!" Ini ruang ber AC.
"Astaghfirullah. Demi apa coba, dia melakukan ini."
Sarah berlalu dengan wajah yang bisa dipastikan sudah bersemu merah karena malu dikerjai dosennya.
Sementara itu, Alfian di dalam ruangnya tak henti-hentinya mengulas senyum karena berhasil mengerjai mantannya.
Di lorong kampus, Sarah hanya menghentakkan kakinya berkali-kali. Dua hari ini, dia merasa nasibnya kurang beruntung. Pertama dia ceroboh karena sudah tertidur di kamar hotel bersama orang asing dan kali ini dia harus ketemu mantan yang dulu mau melamarnya.
Kala itu,
Sarah bersiap menerima pinangan Alfian yang datang bersama keluarganya dari Jakarta. Alfian saat itu sedang studi pascasarjana di Yogya. Keluarganya tidak menyetujui keduanya pacaran, alhasil lamaran pun diadakan. Sarah sedang bersiap ditemani eyangnya Bu Rita dan Pak Wijaya. Sementara itu, umi Aisyah dan abi Randy sedang membujuk Risma adik perempuan Sarah satu-satunya untuk menghadiri acara. Risma tidak terima kalau Alfian melamar kakaknya, sedangkan dia punya rasa pada laki-laki itu. Risma membujuk umi abinya untuk menjadikan pinangan Alfian untuk dirinya.
Risma yang dipenuhi emosi dan sifat irinya terhadap sang kakak sampai mengeluarkan kata-kata kalau Sarah hanya anak angkat umi abinya. Sarah anak yatim piatu tidak berhak memiliki kebahagiaan melebihi dirinya yang anak kandung. Bagai disambar petir, Sarah dibuat tercengang. Dia tak sengaja mendengar percakapan mereka bertiga dari balik pintu kamar orang tuanya saat ingin memanggil keduanya.
Memilih mundur dari lamaran Alfian, Sarah memutuskan pergi ke Bandung untuk kuliah di kota kembang itu. Dia tidak bisa membenci Risma adiknya. Bagaimanapun Sarah sudah menganggap Risma sebagai adik yang amat disayanginya. Umi Aisyah dan Abi Randy sudah dianggapnya sebagai orang tua kandung meski kenyataan pahit harus diterimanya saat berumur 18 tahun.
Kini, Sarah sudah dua tahun menetap di Bandung. Dia berusaha melupakan sosok yang pernah mengisi hari-harinya saat menjelang kelulusan SMA.
"Sarah kalau melamun jangan di tengah jalan!"
"Astaga, Pak Pram. Maafkan saya, Pak!"
Sarah beringsut ke pinggir untuk memberikan jalan bagi dosen seniornya.
"Bagaimana urusan dengan Pak Ma..."
"Pak Mahesa?"
"Nah, iya."
"Alhamdulillah, sudah beres, Pak. Besok saya ke MTG untuk menerima hasil keputusan magang."
"Baiklah, semoga sukses magangnya ya. Jangan lupa bawa nama baik kampus dan juga dosbingnya!"
"Eh, siap, Pak."
'Duh, bawa nama baik dosbing gimana caranya kalau yang membimbingku Mas Alfi.'
"Ra, kenapa mukanya manyun gitu. Habis kena semprot Pak Pram, ya? Makanya kalau part time kira-kira dong, dah untung Pak Pram perhatian sama mahasiswi teladan kayak kamu. Kalau itu aku, udah ditinggalin sama beliau," cerocos Aldo.
Sahabat Sarah yang satu ini sedang duduk bersama pacarnya Tiana.
"Ishh, cowokmu kok cerewet banget sih, Na?"
Sarah mencebik kesal teringat ulah sang dosen mantan. Dia mendaratkan pantatnya di sisi pinggir gazebo yang sudah diduduki dua sahabatnya.
"Ada apa sih, Ra?" Kali ini Tiana yang bertanya dengan suara lembut. Perasaan Sarah yang tadinya menggebu pun kian surut.
Helaan napas panjangnya terasa melegakan.
"Nggak apa-apa, aman Tiana sayang."
"Ciih, aman apanya. Wajahmu tampak tak baik-baik saja tahu, nggak?"
"Kamu memang nggak pandai berbohong, Ra," ledek Aldo.
"Ckk, kalian ini dibilangin ngeyel. Pak Pram baik hati jelas-jelas tidak memarahiku. Beliau memberi wejangan supaya aku serius PI nya. MTG perusahaan bergengsi, jadi aku harus membawa nama baik kampus dan dosbing."
"Oh...." Tiana dan Aldo kompak dengan ekspresinya.
"Ngomong-ngomong soal dosbing, masih Pak Pram ya?"
Tiana mencoba mengintrogasi Sarah yang sudah memudar senyumnya.
"Eh, kok cemberut? Beliau sibuk ya?"
Sarah mengangguk tetapi tetap diam seribu bahasa.
"Lalu siapa gantinya, Ra?" lanjut Aldo dengan mimik penasaran. Tiana pun menunggunya dengan pandangan tak beralih dari Sarah.
"Dosen baru," ucap Sarah dengan suara lemah.
"Eh, tunggu dulu. Kamu dosbingnya Pak Mahesa?"
Aldo sudah menganga tak percaya sampai tangan Tiana terpaksa menutup mulutnya.
Sementara itu, Sarah justru menyandarkan badannya di pinggiran tiang gazebo sembari memejamkan mata.
"Pak Mahesa siapa, Al?"
Tiana merasa baru mendengar nama itu.
"Dr. Alfian Mahesa, dosen baru yang gantengnya nggak ketulungan. Kemarin masuk kelas penjualan, banyak mahasiswi histeris. Duh, aku kalah telak nih."
"Ish, jangan macam-macam."
Tiana sudah mengancam Aldo dengan bogeman tangan membuat Aldo mengangkat kedua tangannya.
"Ampun, sayang. Kamu kan calon istriku."
"Ra, beneran dosbingmu Pak Mahesa? Asyik dong, gantinya Pak Pram dosen muda dan ganteng." Ucapan Tiana dan Aldo sudah membuat telinga Sarah membengkak.
"Kalian ini, nggak tahu apa. Pak Mahesa itu menyebalkan. Dia sudah bikin aku kesal."
Dua sahabat itu hanya dibuat melongo.
"Kamu sudah ketemu Pak Mahesa, Ra?" tanya Tiana lirih yang diangguki Sarah.
"Lalu?"
"Lalu apa? Barusan tadi habis ketemu Pak Pram trus ngadep, dia ngeselin tahu."
"Kok kamu panggil dia sih, Ra. Panggil beliau gitu, Pak Mahesa dosen kita lho."
"Biarin aja."
"Astaga, Ra. Jangan segitu bencinya kamu sama Pak Mahesa."
"Antara benci dan cinta beda tipis lho, Ra. Hati-hati kamu sama Pak Mahesa, tahu-tahu terpesona!" Peringatan Aldo membuat jantung Sarah berdegup kencang.
"Astaghfirullah, iya-iya. Amit-amit aku sama dosen ngeselin kayak dia." Sarah sudah menepuk jidatnya, sedangkan dua sahabatnya hanya tertawa melihat tingkahnya.
"Kamu sudah lihat Pak Mahesa, Al?"
"Belum."
"Yang mana sih beliau, penasaran tingkat akut, nih," ungkap Tiana.
"Sudah-sudah, jangan sebut namanya di depanku dong. Kepalaku jadi pening."
Tiana dan Aldo heran melihat Sarah yang biasanya cuek dengan laki-laki, kini dibuat pusing oleh dosen barunya.
"Kenapa harus pusing, Ra. Bukannya kamu anti cowok ya kan, Na. Kamu pasti nggak akan tergoda oleh Pak Mahesa. Kecuali...."
Aldo menjeda kalimatnya membuat Sarah menatapnya serius. Sarah menegakkan posisi bersandarnya lalu membenahi kunciran rambutnya.
'Ah, kalian tidak tahu siapa Pak Mahesa di masa laluku,' batin Sarah.
"Kecuali apa, Al?"
"Kecuali Pak Mahesa yang tertarik padamu," seru Aldo.
Uhuk,uhuk.
"Nggak usah tersedak gitu, Ra. Nih, minum dulu!" Tiana sudah memukul Aldo.
Tiana memicingkan mata, dari kejauhan ada laki-laki tampan sedang berjalan menuju gazebo.
"Dinda."
Deg,
"Suara itu," guman Sarah yang seketika berubah tegang. Tiana dan Aldo pun ikut tercengang melihat arah pandangan laki-laki itu menuju ke Sarah.
DOSEN ITU MANTANKU
Bab 4 Couple phone number
Tiana memicingkan mata, dari kejauhan ada laki-laki tampan yang sedang berjalan menuju gazebo.
"Dinda."
Deg,
"Suara itu," guman Sarah yang seketika berubah tegang.
"Maaf, Mas cari siapa ya? Di sini tidak ada yang namanya Dinda," ujar Tiana sesekali tukar pandang antara Alfian dan Sarah.
Sementara Sarah yang merasa dipanggil dengan sebutan lain hanya memberi kode dengan telunjuk pada Tiana sambil berbisik.
"Pak Mahesa."
Mata Tiana membola, pun juga Aldo yang tercengang merasa pacarnya sudah salah memberikan panggilan untuk dosennya.
"Ma...maaf Pak Mahesa. Kami belum kenal Bapak jadi tidak tahu kalau Bapak dosen baru." Aldo turun dari gazebo lalu membungkukkan badan memohon maaf untuk Tiana.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak. Bapak tadi mencari mahasiswi bernama Din..."
"Saya mencarinya." Telunjuk Alfian mengarah ke Sarah membuat gadis itu mendadak canggung.
"Oh, namanya Sarah Maharani Putri, Pak."
"Ya, maksud saya itu. Tadi saya salah sebut nama."
Aldo spontan mengernyitkan dahi mendengar respon dosennya.
Sarah hanya mampu meneguk ludahnya sendiri. Berusaha merangkai kata supaya bisa berucap normal.
"Hmm, ada apa ya, Pak?" Sarah berusaha berbicara setenang mungkin, meskipun dalam hatinya gugup tak terkira. Jantungnya berpacu kencang.
"Saya sudah menerima proposal PI kamu dari Pak Pram. Ada yang perlu diperbaiki program kerjanya."
"Tapi, Pak? Proposalnya sudah masuk ke MTG."
"Nggak masalah, ayo ikut ke ruang saya!"
"Pak. Pak Mahesa. Tuh kan, ihhh ngeselin banget."
Tiana dan Aldo saling pandang keheranan.
"Ra, itu Pak Mahesa?"
Sarah menatap horor sahabatnya yang terpana sosok mantannya.
"Hei, Al. Tiana tuh ditutup matanya biar nggak kecantol Pak dosen nyebelin."
Aldo segera menutup mata Tiana dengan telapak tangannya membuat si empunya berteriak. Sarah pun terbahak dibuatnya.
"Dah punya pasangan juga masih nggak kedip lihat yang adem-adem," cebik Sarah.
"Astaga, Ra. Hati-hati kalau Pak Mahesa masih single bakalan terjebak pesonanya kamu!"
"Ish, enggak."
"Udah, sana, Ra. Ditunggu Pak Mahesa lho!"
"Iya-iya." Sarah sudah berdiri dan menghentakkan kakinya beberapa kali, lalu berjalan dengan malas menuju ruang dosennya kembali.
Sarah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk oleh pemilik ruangan. Jantungnya berdesir, beberapa kali menoleh kanan kiri nyatanya hanya ada sosok laki-laki yang sudah duduk menatap tajam ke arahnya. Berusaha memasang wajah santai, Sarah menarik napas panjang dan mendaratkan tubuhnya di kursi tepat di depan dosennya.
"Maaf, Pak Mahesa. Ada apa dengan proposal saya?"
"Proposalmu cukup menarik, tetapi menurut saya ada yang perlu diperbaiki."
Sarah menatap lawan bicaranya menuntut penjelasan lebih detail lagi. Namun yang terjadi justru Alfian menatap tajam ke arahnya, menyelami manik matanya membuat Sarah menegakkan posisi duduknya. Memilih menunduk, Sarah tidak tahan ditatap intens mantannya.
Suara deheman dari Alfian membuat Sarah tersentak. Nyalinya yang sudah disiapkan sepanjang langkah menuju ruangan Alfian pun kini menciut.
Ya, dia dosenku bukan mantanku. Aku harus menuruti apa maunya atau dia akan mempersulitku. Dahi Sarah mengernyit seiring pikirannya yang berusaha meyakinkan diri.
"Kamu perlu perbaiki bagian ini, program jangka panjang." Alfian menunjukkan halaman pada proposal hingga membuat Sarah mau tak mau membawa posisinya sedikit maju mendekat ke arah dosennya.
Tangannya sudah memegang proposalnya sendiri sembari mengamati kalimat demi kalimat yang dia buat.
"Pikirkan bahwa program yang ini tidak hanya menguntungkan diri sendiri, tetapi juga memberikan kontribusi bagi instansi tempat magang, Ra!"
Sejenak Sarah tertegun, pikirannya terlempar ke masa lalu. Saat dirinya mau menghadapi ujian kelulusan SMA, Alfian mengajarinya belajar dengan telaten.
Senyum tersungging di bibirnya sebelum lamunannya dibuyarkan oleh suara deheman.
"Jadi gimana, Dinda?"
Wajah Sarah tiba-tiba memanas, sudah bisa dipastikan pipinya merona karena panggilan itu.
"Pak....?"
"Oya, maaf. Gimana, Ra?"
"Baik, Pak. Saya usahakan revisi setelah ada hasil dari MTG. Hari ini saya kesana mengambil keputusan diterima atau tidak magangnya."
"Oke, nanti kabari saya kalau sudah ada hasilnya. Oya, sudah punya nomer HP saya?"
"Maaf, saya belum punya, Pak. Nomernya berapa?" Sarah berucap pelan seakan merasa bersalah telah menghilangkan semua jejak Alfian.
"Nomer saya masih sama."
Glek, Sarah semakin dibuat canggung. Memilih menanyakan kembali, Sarah membuka layar ponselnya.
"Berapa, Pak?"
"08...11. Kamu coba miscall biar saya simpan nomernya."
Ternyata nomernya masih sama, nomer yang mereka beli bareng dengan beda dua digit belakang. Punya Sarah digit belakangnya 22.
"Baik, Pak," ucap terbata Sarah. Dia mengira Alfian pasti sudah tidak menyimpan nomernya.
Tut,tut.
Terdengar nada dering di ponsel Alfian. Sarah melihat ke arah lawan bicaranya yang menunjukkan layar ponsel tertera nama "Dinda".
Memilih memalingkan wajah ke arah lain, Sarah berusaha menata hatinya yang kalang kabut membuat pikirannya sedetik terlempar ke masa lalu.
"Ternyata nomermu tidak berubah, Ra."
"Hmm, Pak Mahesa kalau sudah tidak ada masukan lagi, saya pa...."
Drrt,drrt.
Tangan kanan Alfian memberi tanda memotong ucapan Sarah.
"Halo, Chika Sayang. Ada apa?"
Glek, Sarah hanya mampu menelan ludah mendengar pembicaraan yang tak sengaja masuk ke telinganya karena Alfian mengangkat panggilan di depannya.
"Oke nanti selesai urusan di kampus ayah siap meluncur kesana. Di kedai gelato biasanya kan? Chika minta diantar mama dulu ya!"
Selesai menutup panggilan dengan ucapan salam, Alfian kaget melihat ekspresi tak terbaca dari Sarah. Mahasiswi yang merupakan mantannya masih terbengong. Parasnya yang rupawan tidak berubah sedikitpun, justru sekarang lebih terawat. Sorot mata tajamnya memperlihatkan kepercayaan diri yang tinggi hingga berani menolak pinangannya, pikir Alfian. Sampai saat ini Alfian masih bertanya-tanya alasan apa yang membuat Sarah memutuskan kesepakatan yang telah dibuat keduanya.
"Pak Ma...he...sa, saya pa...mit dulu ma...u ke MTG." Sarah tak mampu berucap normal seakan tenggorokannya tercekat.
"Oya, hati-hati, Ra!"
Gegas Sarah keluar ruangan Alfian seraya menepuk beberapa kali dadanya. Ada rasa nyeri yang tiba-tiba menyeruak di dadanya hanya karena mendengar obrolan Alfian dengan kata ayah, Chika, mama. Mereka pasti keluarga kecil bahagia.
"Ya Rabb, Mas Alfian ternyata sudah menikah. Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu"
Tinggalkan komentar dan tap lovenya yuk.
Semoga suka ceritaku.
Salam sehat selalu.
DOSEN ITU MANTANKU
Bab 5 Sudah menikah
"Ya Rabb, Mas Alfian ternyata sudah menikah. Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu. Mas Alfian tampan, baik hati, dan mapan," guman Sarah seraya berjalan lesu menuju gerbang kampus.
Dia merasa kalah telak, penyesalan pun tiada guna. Dia sendiri yang memutuskan sepihak lamaran Alfian tanpa memberi penjelasan alasan yang sebenarnya. Kini rasa tidak percayanya pada laki-laki kian bertambah. Bisa jadi dia tidak akan pernah lagi menyukai yang namanya makhluk dijuluki kaum adam itu.
Sejak mengetahui sang ayah meninggalkan ibunya, Sarah menjadi tak percaya laki-laki yang akan menjadi pendampingnya. Ayahnya yang membuat dirinya jadi yatim piatu karena sang ibu pun berusaha mencari sosok ayahnya. Keduanya hingga kini tak tau dimana rimbanya.
Awalnya bertemu kembali sang mantan, menuai harapan adanya satu laki-laki yang akan menjadi sandaran hidupnya kembali. Namun harapan tinggal mimpi, semua terlambat, tak mungkin dia mau dicap pelakor atau biang skandal di kampusnya.
Tak terasa matanya mengembun. Segera diusapnya cairan bening yang hampir menetes membasahi pipinya.
"Permisi, numpang tanya Mbak. Ruang dosen di sebelah mana, ya?" Seorang wanita cantik memakai gamis dan pasmina floral tengah menggandeng putrinya yang berusia kira-kira 4 tahun.
"Oh, itu deretan ruang dosen Mbak. Nanti ada papan namanya di setiap pintu. Kalau boleh tahu mbak dan adik mau mencari siapa?"
"Saya mencari Pa...."
"Mau mencari ayah tante. Ayo, Ma! Da tante cantik."
"Maaf, anak saya sudah nggak sabaran."
"Tidak apa-apa, Mbak. Dah anak manis."
Sarah pun membalas lambaian tangan anak kecil itu disertai senyuman. Hati yang gundah pun sejenak terobati oleh perjumpaannya dengan anak menggemaskan tadi.
"Alangkah beruntungnya pak dosen yang istrinya cantik dan anaknya menggemaskan tadi," gumannya.
Dia segera mencari angkot menuju MTG untuk menerima hasil pengajuan magangnya.
Melangkah dengan pasti sesaat setelah turun dari angkot, Sarah berdecak kagum melihat gedung yang lebih besar dibandingkan bangunan samping kanan kirinya. Gedung yang terdiri banyak lantai menurut perkiraannya. Sarah berdoa dalam hatinya berharap proposal magangnya diterima.
Di depan pintu masuk lobby berdiri satpam gagah berusia paruh baya tengah menyambut kedatangan Sarah.
"Ada yang bisa dibantu, Mbak?"
"Oh, ini, Pak. Saya mahasiswi yang magang di sini. Kepala HRD memberitahu saya untuk menemui beliau.
"Oh ya, mari saya antar ke ruangannya!"
"Selamat, Mbak Sarah diterima magang di perusahaan ini. MTG perusahaan besar, saya harap Mbak Sarah bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengasah kemampuan dan mencari pengalaman di dunia kerja."
Wajah Sarah tampak berbinar, puji syukur sudah sepatutnya dipanjatkannya pada Allah karena dimudahkan masuk perusahaan bergengsi. Dari sekian banyak temannya, hanya dia yang berani mencoba di kantor MTG.
"Terima kasih banyak atas info sekaligus sarannya, Pak. Untuk selanjutnya bagaimana ya?" Sarah tidak merasa canggung karena kepala HRD sangat ramah padanya.
"Oh, Mbak Sarah sekarang temui kepala divisi marketing karena penempatannya di sana sesuai jurusan."
"Baik, Pak. Saya akan menemui beliau."
"Namanya Bu Marry, ruangnya di lantai 5. Naik lift aja!"
"Baik, Pak." Sarah membungkukkan badannya, lalu meninggalkan ruang HRD untuk mancari kepala divisi marketing.
Tampak oleh penglihatan Sarah, ada dua lift satu tertulis untuk umum dan satu lagi lift khusus direksi. Bersamaan dengan Sarah yang mau masuk lift umum, dia berpapasan dengan tiga orang laki-laki yang baru saja keluar dari lift khusus.
Dua orang melangkah sejajar di depan, sedangkan satu orang lagi mengekorinya seperti ajudan.
"Dev, kantormu ada karyawan baru? Cantik euy, boleh dong aku cari gebetan di sini."
Terdengar celetukan salah satu laki-laki yang sempat terlihat beradu pandang dengan Sarah.
"Ckkk, kalau dia tidak pakai nametag berarti anak magang. Nggak usah macam-macam, playboy kayak kamu nggak cocok nyari di sini, yang ada karyawanku jadi eror nanti," jawab lelaki satunya yang berpenampilan seperti bos.
Sarah menajamkan telinga hingga menangkap suara yang tidak seharusnya dia dengar.
"Astaga, atasan-atasan di sini playboy begitu. Aku harus bisa menjaga diri."
Sebelum pintu lift menutup, Sarah seperti pernah mencium aroma parfum yang menguar tajam menusuk hidungnya.
"Aku seperti pernah mencium wangi ini tapi dimana ya? Ah sudahlah, ini pasti aroma parfum mahal orang-orang kaya."
Lift berdenting, Sarah keluar dan melangkahkan kaki di lantai 5. Ditelusurinya ruangan yang bertuliskan divisi marketing sampai dia melihat sebuah ruangan tak jauh dari lift.
"Nah, ini dia. Kantornya benar-benar luar biasa. Swandainya kerja di sini pasti gajianya besar."
Di saat Sarah larut dalam kekagumannya terdengar suara dehemen dari belakang membuatnya berbalik.
"Ada yang bisa dibantu?" Kalimat yang keluar dari wanita dengan penampilan modis. Suaranya tegas, dia tampak elegan, tetapi minim senyum.
Deg, Sarah spontan membungkukkan badan seraya mengucap maaf.
"Saya ingin bertemu Bu Marry."
"Ya, saya sendiri. Ada perlu apa, ya?"
Singkat, padat dan jelas membuat Sarah seketika gugup.
"Eh itu, Bu. Saya mahasiswi yang mau magang di sini."
"Oh, ayo masuk!"
Sikapnya yang kurang ramah dan terkesan galak ditangkap Sarah. Jauh berbeda dengan kepala HRD yang ditemuinya tadi. Mungkin karena posisinya sebagai kepala divisi jadi harus tegas dan ditakuti bawahannya.
Marry menyilakan Sarah duduk lalu menjelaskan aturan magang di MTG.
"Apa sudah paham, Mbak...."
"Sarah, Bu. Itu panggilan saya."
"Ya, Sarah apa ada yang mau ditanyakan?"
"Sudah jelas, Bu."
"Satu hal lagi, bos MTG tidak suka karyawan terlambat. Beliau masih muda, energik dan single."
Glek, Sarah menelan ludahnya sendiri. Maksud Bu Marry apa sampai menegaskan kata single.
"Jadi Sarah, jangan coba-coba menggoda bos kita. Paham?"
"Hah, pa...paham, Bu," ucap Sarah terbata.
"Apa aku terlihat seperti wanita penggoda dimata Bu Marry?" batin Sarah pada wanita yang berusia lebih tua darinya itu.
"Baiklah Sarah, kalau tidak ada yang ditanyakan lagi, ayo saya kenalkan pada karyawan di ruangan ini. Kamu bisa mulai kerja besok pagi sampai waktu magang selesai."
Sarah mengangguk, lalu mengikuti langkah Bu Marry berkenalan dengan enam karyawan yang terdiri dua laki-laki dan sisanya perempuan. Semua terlihat patuh pada atasan divisinya. Terlihat Sarah yang paling muda diusianya yang menginjak dua puluh tahun.
Sambutan ukuran tangan satu persatu didapat Sarah. Raut wajah kaku para karyawan sempat berganti ceria seiring senyuman yang diberikannya. Namun setelahnya mereka kembali dengan mode serius.
Sarah menhambil napas dalam setelah keluar ruangan divisi.
"Hufh, kantor ini bergengsi tetapi suasana kerjanya kenapa menyeramkan begini. Sangat kaku, apa karyawan tidak bertambah stres." Sarah hanya berguman sendiri dengan pemikirannya.
Sebelumnya dia membayangkan akan bekerja di kantor besar dengan suasana hangat seperti keluarga antara karyawan. Kenyataannya berbeda, mungkin Sarah harus mengambil pelajaran berharga ini mulai sekarang.
Selesai urusan di MTG, Sarah berniat ke tempat kerja part timenya. Dia harus minta izin pada Satya kepala bagian CS di hotel tempatnya bekerja. Dia tidak bisa masuk lagi seperti biasa karena mulai besok harus magang. Jika masih diizinkan, Sarah akan mengambil part time akhir pekan.
"Siang, Pak!" Seperti biasa Sarah selaku berusaha ramah di manapun berada baik di kampus maupun di hotel tempatnya bekerja.
"Tumben siang, Mbak?" ujar Satpam yang kena shift siang.
"Iya, Pak. Pagi ngampus dulu. Pak Satya ada nggak?"
"Ada, Mbak. Pak Satya di ruangnya."
Melangkahkan kaki menuju ruang kepala CS, Sarah menoleh ke kanan kiri seperti seorang maling takut kepergok.
Dia merasa was-was barangkali akan bertemu dengan pria asing yang tidur seranjang dengannya. Meskipun mereka tidak melakukan apa-apa, tetapi akan sangat memalukan bagi Sarah jika sampai bertemu orang itu.
"Hai, kenapa mengendap-endap?"
Deg, jantung Sarah berdetak kencang mendengar suara yang mengagetkannya dari belakang.
JANGAN LUPA SUBSCRIBE YA.
TUNGGU NEXT EPS.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
