Bertukar Akad#UnlockNow (Bab 1-5 Free)

5
0
Deskripsi

Selamat datang di dunia imaginasi DLista.

Jangan lupa subscribe dulu sebelum membaca ya. Tinggalkan jejak komentar dan lovenya. Salam sehat selalu.

Berikut karya yang saya ikutkan lomba. Akan saya uplod sampai tamat di sini ya. Sambil menanti UP naskah ongoing bisa baca ini dulu. Happy Reading.

 

Blurb

Arsyila pikir dialah istri pertama bagi Arzan. Namun, realita telah menamparnya sebab ternyata dia adalah istri kedua Arzan. Seolah menelan pil pahit yang berkepanjangan, keluarganya sengaja merahasiakan...


Bab 1 Wanita Lain

 

"Siapa wanita ini, Mas?"


Syila mengernyit saat Arzan pria yang berstatus suaminya belum genap 24 jam menggandeng wanita cantik berwajah layaknya artis masuk ke kamar pengantin. Perutnya terlihat membuncit. Jika ditaksir, kemungkinan wanita itu sedang hamil trimester dua atau malah tiga.


"Dia Sania. Biarkan dia istirahat di kamar ini!"


Wanita bergaun selutut dengan bagian bahu terbuka menampakkan kulit putihnya itu tersenyum tipis. Syila tertegun dibuatnya, karena Arzan berganti merangkul bahunya.


Seketika mata Syila membola. Meneguk ludah dengan susahnya, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat dan didengarnya.


"Sania akan tinggal di sini." Lagi, suaminya berucap tanpa melihat siapa lawan bicaranya. Ya, Syila adalah sekretaris di kantor Arzan, juga wanita yang dijodohkan oleh orang tuanya tanpa mempertimbangkan perasaannya.


"Tinggal?! Maksud, Mas?"

Syila menatap nyalang sang suami yang tangannya sibuk membuka kancing kemeja bagian atas. Ia menginginkan sebuah penegasan. Ia mengira sedang diprank suaminya, malam pertama kamarnya ditempati wanita lain.


"Mas nggak sedang bercanda, kan?"


Syila berdiam menatap heran. Kebaya broklat warna pastel masih melekat ditubuh. Bahkan riasan make up artist (MUA) masih awet di wajahnya. Cantik, tetapi apa guna jika si suami tidak mau bersanding dengannya, justru ingin bersama wanita lain.


"Aku tidak pernah bercanda, bukan?" ucap Arzan dingin.


Syila memindai manik mata berwarna coklat milik pria yang baru saja menikahinya siang tadi. Jelas tidak ada kebohongan di sana. Ia telah mengenal Arzan selama dua tahun menjadi sekretarisnya. Pun keluarga mereka sudah saling kenal sejak kerja sama antara bisnis kosmetik milik orang tua Arzan dengan bisnis tekstil milik orang tua Syila. Mereka menikah karena skenario perjodohan.


"Lalu aku tidur di mana, Mas?!"

Syila menagih jawaban yang sejatinya takut ia dengar. Namun, ia tetap berusaha tenang menanti ucapan Arzan.


"Kamu bisa di sini atau pindah ke kamar kita biasanya di sebelah."


"Di sini?!" Arzan mengangguk dengan irit senyum, sedangkan Sania yang masih setia mengatupkan bibir hanya bergeming mengamati perdebatan pengantin baru di depannya.


"Mas sudah tidak waras!"


Jika dipikir, orang awam pun tahu, siapa yang menikah dan siapa pula yang menempati kamar pengantin.


"Ya, aku memang tidak waras."


"Aku istri, Mas Arzan. Kenapa harus aku yang pindah. Ini kamar pengantin, sudah seharusnya kita berdua yang di kamar ini."


"Kita, huh?" Arzan mendecis tanpa mengiraukan Syila.


"Sejak awal, kita menikah karena terpaksa." Arzan masih mempertahankan sikap dinginnya.


"Mas, meski terpaksa. Aku masih menghormati pernikahan sakral ini." Ucapan Syila hanya mendapat respon tatapan sinis Arzan.


Tidak ingin memperpanjang debat kusir, Syila menyeret suaminya masuk ke kamar. Diikuti Sania yang mengekor di belakang. Benar saja, terlihat langkahnya sedikit kesusahan membawa perutnya yang besar.


"Astaga, wanita ini nggak ada malunya sama sekali. Main nerobos aja ke kamar pengantin," guman Syila dengan wajah yang sudah berkerut, berbeda dengan saat beberapa menit yang lalu.


"Mbak. Bisa nggak biarkan kami berdua bicara lebih dulu!"


Syila mencoba mengusirnya dengan berkata halus. Giginya bahkan saling gemeretak menahan diri agar bara api di dalam dadanya tidak membesar. Kedua tangannya ia biarkan mencengkeram kebaya yang menjulang sampai lantai. Sania hanya mengangguk, tanpa mengeluarkan sepatah kata.


"Ya Rabb, bagaimana bisa aku mengajaknya adu mulut kalau sikap wanita ini lemah lembut di depanku. Aku bukan penindas. Tapi aku juga nggak mau ditindas. Mas Arzan harus bertanggung jawab atas semua ini."


Syila meyakinkan diri dalam hati bahwa dirinya wanita yang kuat.


"San, tetap di sini!" titah Arzan jelas tak terbantahkan. Sania menghentikan langkahnya saat hampir berdiri di ambang pintu.


"Tutup pintunya!" Sania menuruti apa kata Arzan.


"Duduk!" Telunjuk Arzan mengarah ke sebuah sofa mini di dalam kamar pengantin. Ia meminta Sania duduk di sana. Sofa yang dilengkapi meja kecil sudah tersedia minuman dan aneka cemilan untuk menemani malam pertama mereka.


Syila kembali terbelalak melihat Sania begitu penurut. Ia menatap nyalang suaminya yang masih mengenakan jas hitam. Gagah, tidak bisa dipungkiri Syila. Tampan jelas iya, terlihat dari alisnya yang tebal dan juga garis rahangnya yang tegas.


Penglihatan Syila mulai kabur karena setitik cairan bening mulai berkumpul di pelupuk mata. Netranya mengikuti pergerakan suaminya yang baru saja mendaratkan bok*ngnya di bibir ranjang. Sementara itu, Syila masih setia berdiri dengan anggun bersama kebaya yang melekat di tubuhnya.


Hening, Syila menelan salivanya seraya menatap penuh permohonan agar suaminya memberi penjelasan. Ingin berteriak lantang, tetapi pita suara Syila seolah tidak mau bergetar. Berusaha sekuat tenaga, ia melontarkan kata.


"Mas. Tolong jelaskan, siapa dia? Aku istri Mas Arzan, kenapa harus ada wanita lain di kamar pengantin kita?"


Syila akhirnya berhasil mengucapkan kalimat itu lirih meski dengan terbata. Ia bergantian menatap suami dan wanita itu. Bersamaan dengan itu, air matanya tumpah tak tertahankan. Punggung tangan kanannya segera mengusapnya. Menyedihkan, ditambah lagi Arzan hanya diam tanpa ekspresi. Menanti Syila meluapkan emosi.


"Dia nggak punya hak tinggal di kamar ini, Mas. Kenapa nggak minta dia istirahat di kamar tidur tamu?" ucap Syila lirih, tetapi penuh penegasan.


Sejatinya Syila malu dilihat orang lain, apalagi kalau sampai keluarga besar mendengar pertengkaran mereka. Pengantin baru berdebat tentang sosok yang akan menempati kamar pengantin. Impiannya melepas kebaya dibantu suami seperti di drama Korea yang ia tonton ataupun novel romantis yang ia baca terhempas begitu saja bagaikan kapas tertiup angin.


Ya, ini dunia nyata bukan dunia drama pun novel. Kenyataan tidak seindah bayangan. Memimpikan sebuah pernikahan layaknya seorang putri dalam dongeng ternyata realita sangat menyakitkan.


"Dia berhak tinggal di sini!" Sebuah kalimat yang bernada tinggi membuat Syila tersentak. Suaminya benar-benar mempertahankan egonya. Syila tidak habis pikir, suami yang merupakan bosnya di kantor bersikukuh membela wanita itu. Tangan kanannya menepuk lembut dada yang terasa sesak seperti terhimpit beban berat.


"Sebenarnya siapa wanita ini? Apa Mas Arzan berniat menjadikannya istri kedua? Tidak bisa. Aku tidak terima," guman Syila.


"Katakan siapa wanita ini, Mas!"


"Duduk dulu!" Arzan mencoba mendinginkan suasana. Tangannya menepuk ranjang kosong di samping kirinya. Namun, Syila menolaknya. Ia tetap setia berdiri meskipun sebenarnya tidak sopan berbicara sambil berdiri sementara suaminya duduk.


"Duduk!" titah Arzan kembali. Syila justru memutar bola matanya jengah.


"Dia siapa, Mas?" Syila menunjuk Sania sambil bergantian menatap Arzan dan Sania.


"Sania istriku. Dia ibu dari anakku."


Mulut Syila membuka lebar. Ia terpaku seolah bumi berhenti berputar. Ucapan suaminya bagai petir yang menyambar. Memorinya merekam, lalu memutar ulang kalimat itu seperti kaset rekaman yang diputar kembali. Tubuhnya lunglai, hampir limbung seakan tulang-tulang tak mampu menopang. Kepalanya mendadak terserang pening akut.


"Is...istri?" Lirih, tetapi masih bisa didengar Arzan. Syila meraba pinggiran ranjang supaya pant*tnya bisa mendarat dengan benar.


"Ya. Sania Istriku." Hati Syila berdenyut nyeri. Kenyataan menamparnya, bagaikan menelan pil pahit, ia seharusnya bahagia di hari pernikahannya. Namun, justru kekecewaan yang ia dapatkan. Hal ini menjadi sebuah kejutan besar yang ia terima dari suaminya.


"Lalu anak yang ada di dalam perutnya itu anak kalian?" Dengan terbata, Syila bersyukur akhirnya berhasil mengucapkannya. Sebelum tubuhnya ambruk tepat di samping Arzan, ia sempat melihat anggukan suaminya.

 

BAB 2 Malam Pertama


Mata Syila mengerjap pelan. Ia memejam kembali, lalu membuka perlahan matanya. Yang dilihat pertama kali bukanlah suaminya, melainkan mertuanya umi Hira.

"Mi. Mas Arzan mana?" Tampak raut bingung terlukis di wajah Hira.

"Oh, Arzan sedang mandi di kamar sebelah. Tunggulah sebentar, nanti dia kemari!"

"Kepalaku pusing, Mi." Syila meraba kepalanya yang tertutup jilbab instan berbahan kaos. Ia juga meraba badannya ternyata kebayanya sudah terlepas berganti dengan gamis. Melihat kebingungan di wajah Syila, Hira tersenyum sekilas.

"Umi yang tadi nggantiin baju kamu." Syila terkesiap, lalu beroh ria. Rasanya malu jika sampai suaminya yang mengganti bajunya.

"Mi, Wanita yang hamil besar tadi?" Wajah tersenyum Hira berubah sendu. Seolah ingin menyampaikan berita sedih untuk Syila.

"Oh, nggak usah dijawab kalau gitu, Mi. Syila sudah tahu. Mas Arzan yang sudah jelasin tadi."

"Maafkan umi, Syila! Umi hanya ingin Arzan bahagia, menemukan wanita yang bisa membuatnya tersenyum kembali setelah terluka. Umi percaya wanita yang cocok itu kamu.

"Bahagia? Apa hanya Mas Arzan yang berhak bahagia? Lantas aku?" Syila berkutat dengan pikirannya sendiri. Otaknya mendadak buntu. Ia teringat ucapan wejangan dari ayah dan ibunya sebelum memutuskan menerima perjodohan ini.

"Syila, perusahaan ayah sedang diujung tanduk. Hanya kamu putri satu-satunya  yang bisa menyelamatkan. Mas Arka sudah berkeluarga dan punya anak. Dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengajar."

"Maksud Ibu gimana?" Syila mengerutkan keningnya tak paham.

"Menikahlah dengan putra rekan bisnis ayah ya!" Syila tercenung.

"Menikah. Yang benar saja?" Bagi Syila menikah muda belum masuk dalam list rencana jangka pendeknya. Haruskah ia mengikuti jejak sang ibu yang menikah di usia 22 tahun dengan sang ayah yang seorang duda beranak satu. Usia mereka terpaut jauh, hampir 17 tahun kala itu.

Di usianya yang baru genap 20 tahun, Syila ingin meniti karirnya. Begitu ibunya meminta, bagaimana bisa ia menolaknya. Ia termasuk anak yang patuh, meski gejolak hati ingin menentang itu ada. Syila tidak ingin mengecewakan ibunya. Terlebih akhir-akhir ini ayahnya sering keluar masuk rumah sakit untuk pengobatan sakit jantung.

"Syila mau asal ayah dan ibu merestui. Karena tanpa restu kalian, Syila tidak mungkin bisa kuat menjalani." Swari sang ibu mengulas senyum. Kenyataan membujuk putrinya tidak sesulit yang ia bayangkan.

Sebulan setelah keputusan menerima perjodohan, Syila berangkat ke Jakarta meninggalkan kota kelahirannya Yogyakarta. Sesuai ijazahnya, Ia bekerja sebagai sekretaris di perusahaan calon mertuanya. Perusahaan kosmetik ternama itu dipegang oleh pria tidak lain putra pemilik perusahaan. Namanya Arzan Raditya Arkana. Syila dan Arzan menjalin hubungan perkenalan melalui statusnya yaitu sekretaris dan bos.

Syila terbangun dari lamunannya. Ia tersenyum kecut jika mengingat proses perjodohannya dengan Arzan. Terlintas sebuah penyesalan karena tidak mengindahkan ucapan adik iparnya bernama Arfan Raditya Arkana saudara kembar suaminya.

"Umi ke kamar dulu ya, mau mijit abi katanya capek tadi berdiri terus menyalami tamu." Syila mengangguk, mencoba tersenyum pada ibu mertuanya.

"Jangan lupa supnya dihabiskan sama jahe panasnya juga ya! Biar pusingnya reda."

"Ya, Mi. Terima kasih."

Malam telah menyambut, terlihat dari jam di nakas menunjuk pukul setengah delapan. Syila melihat semangkuk sup yang masih mengepul ada di nampan bersama segelas jahe yang membuat air liurnya mengucur. Sepertinya lezat dan hangat. Gegas ia mengambil jahe itu dan menyeruputnya sedikit karena masih panas. Ia beralih mengambil mangkuk sup.

Sup berisi kuah daging ayam dan sayuran brokoli, wortel serta daun bawang menghangatkan tubuhnya setelah tandas masuk ke perut. Rasa pening di kepalanya mulai berangsur hilang. Namun hatinya masih terasa nyeri. Menepuk-nepuknya berulang pun tidak mampu mengubah rasa nyeri itu. Memilih menenggelamkan kepalanya di atas lutut yang ditekuk, Syila justru tergugu.

Suara derit pintu dibuka pun tidak disadari oleh Syila yang tenggelam meratapi nasibnya. Langkah kaki kian mendekat, lalu si pelaku berdiri tidak jauh dari ranjang.

"Ngapain menangis! Gue pikir cewek bar-bar kayak lu nggak bisa nangis. Syila, Syila. Memangnya sudah berapa lama kamu mengenal abangku, sampai-sampai tidak tahu kalau ditipu."

Kalimat serupa ejekan bergulir masuk ke indra pendengaran Syila. Lama kelamaan darahnya mendidih sampai ke ubun-ubun. 
Ia menghentikan tangisannya, lantas mengusap wajah agar tidak terlihat kuyu.

"Ngapain kamu ke sini? Kalau kemari hanya ingin mengejekku, silakan pergi sekarang juga!"

"Huh, dasar cengeng!"

"Berhenti mengolokku! Sana pergi!" Syila mengusir tanpa melihat Arfan yang berdiri menjulang di depannya. Laki-laki yang dulunya berambut panjang itu baru saja bertengkar dengan uminya sehari sebelum pernikahan Arzan.

Hira memaksa Arfan merapikan rambutnya. Alhasil, jadilah Arfan pria yang tampan dengan rambut cepak, berbeda dengan saat Syila bertemu pertama kali. Bisa jadi kalau dijajarkan, Arzan dan Arfan sama-sama tampan dan susah dibedakan kecuali kelakuannya.

"Lu nggak mau gue temenin? Bang Arzan masih sibuk dengan istrinya yang hamil besar. Mungkin setelah kangen-kangenan baru dia ke sini." Mendengar ucapan Arfan, dada Syila kembali berdenyut nyeri.

"Kapan?" Arfan hanya mengedikkan bahu. Syila yang melihatnya membuang napas kasar.

"Kalau nggak tahu jangan suka mengira-ira," ucap Syila seraya mendengkus kesal.

"Ya mungkin saja nanti tengah malam. Ini kan malam pertama, harusnya Bang Arzan memilih istri barunya dong." Arfan terlihat memanas-manasi Syila hingga wajah gadis yang masih duduk menekuk lutut di atas ranjang berubah kesal. Arfan pun tersenyum puas.

"Nggak ada malam pertama," decis Syila seraya membuang muka ke samping. Ia tidak mau Arfan melihat wajahnya yang menyedihkan.

"Nggak usah memalingkan muka. Bagaimanapun wajah lu tidak bisa berbohong. Lu pantas bersedih, tapi jangan terlalu lama meratapi."

"Sok bijak."

"Memang gue dari dulu bijak, kok," ujar Arfan tidak terima. Ia duduk menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Syila yang tidak sadar lantas berjengkit kaget.

"Ngapain duduk di sini? Pergi sana! Awas ya, jangan dekat-dekat sama aku. Ingat aku kakak iparmu."

"Cih, kakak ipar gue harusnya lemah lembut, nggak galak macam lu."

"Astaga. Nih orang semakin ngelunjak ya, dibaikin dikit."

Arfan melompat dari kasur. Ia berdiri hendak meninggalkan Syila.

"Oke, gue pergi kalau lu nggak mau ditemeni. Paling Bang Arzan sudah terlelap ke alam mimpi bersama Sania." Seringaian tipis di wajah Arfan sungguh menyebalkan bagi Syila. Ia semakin geram dengan adik iparnya itu.

"Mungkin juga mereka sudah berbagi selimut yang sama," lanjutnya meledek. Syila makin dibuat emosi. Hatinya berkecamuk. Dilemparkannya bantal ke arah Arfan. Namun, pria itu dengan gesit menghindar.

"Ups, maaf nggak kena." Arfan mengangkat kedua tangannya setinggi bahu, lalu bergegas kabur.

"Arfan!" teriak Syila. Arfan hanya melambaikan tangan hingga punggungnya berangsur hilang.

Satu jam, dua jam berlalu. Syila tidak bosan menunggu kedatangan suaminya di kamar. Ia membunuh kebosanan dengan mengutak atik ponselnya. Beberapa menit kemudian terdengar pintu dibuka. Sebuah salam menyapanya. Hatinya membuncah saat melihat suaminya datang.

"Syila, kamu tidurlah dulu! Aku harus menemani Sania karena dia tidak bisa tidur nyenyak di tempat yang baru." Seperti biasa Arzan berkata dengan wajah dingin.

"Begitu, ya?" Syila mencoba bersikap sabar.

"Tolong mengertilah!" Permohonan serupa titah keluar dari mulut Arzan, diiringi ekspresi tanpa senyum sedikitpun.

"Tapi Mas, aku...." Syila terlihat memohon pada Arzan, tetapi tidak diindahkan.

"Lalu bagaimana denganku? Kamu nggak tahu perasaanku, Mas." Kalimat yang hanya tertahan di hati karena tenggorokannya terasa tercekat.

"Sekarang tidurlah!" Arzan memohon, lalu memberi kecupan singkat di kepala Syila yang masih setia dengan jilbab instannya. Syila hanya tercengang dibuatnya. Tubuhnya gemetar hebat.

"Pernikahan macam apa ini?" jerit Syila dalam hati.

Saat pikiran Syila kalut, ponselnya berdering. Tertera nama Mas Arka, sang kakak menelpon. Ia menarik napas dalam dan mengetes suara agar tidak terdengar sendu.

"Halo, Syila. Apa kamu baik-baik saja?"

"Apa maksud Mas Arka?" Dahi Syila mengernyit.

"Apa dia tahu aku sedang bersedih?" guman Syila.

"Suamimu memperlakukanmu dengan baik, kan?" tanya kakaknya lagi.

"Ya, Mas. Aku baik-baik saja."

"Maafkan Syila, Mas. Syila sudah berbohong." Syila menggigit bibir bawahnya. Tentu saja ucapan itu hanya tertahan di dalam hati.

"Bertahanlah, Syila! Demi keluarga kita. Jangan sampai bisnis yang dibangun ayah hancur. Cukup bertahan enam bulan saja, Syila."

"Tapi, Mas?" Bahu Syila melorot. Ia masih tidak paham maksud kakaknya.

"Berjanjilah!"

"Ya, Mas. Syila janji."

 

BAB 3 Nyaman


Arfan masih belum bisa memejamkan mata, karena kebiasaan buruk akibat segelas kopi yang diminumnya. Niat hati menahan kantuk untuk mengedit hasil jepretan dan video yang diambil saat dia traveling malah berujung insomnia.

Suasana rumah sudah lengang, saat ia hendak turun ke lantai bawah. Sayup-sayup terdengar suara dari dalam kamar yang ia lewati. Kamar pengantin pikirnya, ternyata bukan. Suara itu dari kamar abangnya. Mencoba memutar knop, ternyata di kunci. Ia mengetuknya beberapa kali. Namun tidak ada jawaban. Baru saja hendak pergi, terdengar pintunya dibuka.

"Hmm, menyesal?" ungkap Arfan dengan nada sedikit mengejek.

Syila hanya tertunduk membuat Arfan tidak tega melihatnya.

"Bang Arzan nggak ke sini?"

Syila hanya menggelengkan kepala. Tangannya mengusap lelehan air mata yang sudah membasahi pipi. Wajahnya pasti sudah kusam dan jelek pikirnya.

"Sini, gue temani begadang." Kali ini Syila menurut. Ia bahkan lupa kalau keputusannya sudah seperti memasukkan serigala yang berpura-pura menjadi domba. Sewaktu-waktu bisa saja serigala itu menerkamnya.

Sejatinya Syila tahu, ipar adalah godaan besar. Ia pernah mendengar cerita ustaz saat dirinya tinggal di pesantren. Namun, hatinya yang terlampau sakit membuang jauh pemikiran itu. Ia butuh teman berbagi. Ia tidak bisa bercerita pada keluarganya. Bisa-bisa ayahnya terkena serangan jantung mendadak. Mau bercerita pada ibunya jelas sudah tengah malam. Pun temannya pasti sudah terlelap karena lelah bekerja. Ia yakin Arfan tidak akan berbuat melewati batasan.

"Duduk!" titah Arfan.

Setelah Syila menutup pintu, ia duduk dengan patuh.

"Mau ngapain?" ujar Syila. Arfan melihat penampilan Syila yang mengenakan piyama motif doraemon membuatnya tergelak.

"Ishh, malah ketawa."

"Lu maunya ngapain?" Arfan menghentikan tawanya khawatir membuat Syila tersinggung.

"Ckk. Malah ganti nanya, lagi."

"Maunya gue ya ayo tidur aja!" lanjut Arfan santai sambil mengangkat kaki kanan ditumpangkan ke paha kiri, lantas menopang dagunya.

"What. Kamu sudah nggak waras, ya?!"

"Memang."

Syila mendengkus kesal. Arfan justru terbahak melihat wajah cemberut Syila. Entah mengapa Arfan semakin merasa senang saat melihat wajah kesal itu.

"Lu sudah ngantuk belum?"

Syila menggeleng.

"Aku nggak bisa tidur." Syila menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ya sudah ayo main game aja!" Arfan menunjukkan layar ponselnya yang berisi game pembunuh kebosanan di saat waktu luangnya.

"Tapi aku nggak bisa main game ini."

"Mana ponsel lu. Gue ajarin. Install dulu lewat playstore."

Gegas Syila mengambil ponselnya yang ada di nakas, lalu menyodorkan ke Arfan untuk diinstallkan game yang dimaksud.

"Betah amat berdiri. Duduk sini lah!" 
Arfan menepuk sofa yang bisa muat untuk duduk dua orang. Syila tampak ragu untuk duduk. Namun, sedetik kemudian ia duduk juga di samping Arfan.

"Lu takut, gue apa-apain?"

Syila terkesiap dengan ucapan Arfan. Ia segera menggeser duduknya memberi jarak lebar. Melihat tatapan Arfan, bukan tak mungkin dirinya jatuh ke pesona laki-laki playboy macam Arfan.

"Jangan macam-macam!" Peringatan Syila membuat Arfan tergelak.

"Siapa juga yang tertarik sama cewek galak macam lu."

"Ayo, mulai. Nih sudah bisa."

Syila menerima ponselnya kembali yang sudah terinstall game. Mereka akan memainkan game itu berdua.

"Gimana caranya?" Syila meminta Arfan menjelaskan caranya. Arfan dengan senang hati mengajarinya. Mudah saja bagi Syila mengikuti arahan Arfan.

"Fan, Mbak Sania cantik, Ya?"

"Cantik banget malah," ucap Arfan singkat.

"Ckk, kenapa juga Mas Arzan mau nikahin aku. Lagipula istrinya cantiknya selangit. Kamu aja bilang gitu."

"Trus kenapa?"

"Ya, aku merasa nggak bakal bisa nyaingin Mbak Sania."

"Huh, dasar gadis polos."

"Cantik itu dari hati, nggak cuma cantik di wajah, Syila." Arfan meletakkan telunjuk ke dadanya.

Syila tertegun dengan ucapan Arfa. Ia menatap jari-jemari Arfan lihai sekali memainkan game di ponsel. Benar adanya apa yang diucapkan laki-laki di sampingnya itu.

"Tapi berat melakukannya. Mas Arzan mungkin menyesal kalau lihat wajah asliku tanpa make up." Syila tertunduk mengingat tindakannya yang suka memoles wajah seolah gadis buruk rupa ingin menjelma menjadi putri raja.

Arfan beralih fokus dari layar menoleh ke arah Syila. Ia melihat tatapan sendu di wajah Syila.

"Kamu yakin mau memikat hati Bang Arzan?"

Syila mengangguk.

"Tidak perlu menjadi orang lain, Syila. Jadilah dirimu sendiri. Bang Arzan memang suka wanita cantik, tapi gue tahu betul dia paling suka wanita yang cantik sekaligus baik hati. Jadi, selain wajahmu yang glazed-skin, pastikan hatimu juga bercahaya."

"Ckk, sama aja. Aku harus cantik dan baik hati."

"Kenapa sih lu nggak pede gitu. Wajah lu memang pas pasan. Tapi lumayan lah kalau di pajang di depan umum."

"Memangnya aku manekin?!" teriak Syila tak terima. Arfan terkekeh melihat Syila yang murka.

"Ingat selalu gunakan B *** cosmetics, di depan suamimu!" Saran Arfan membuat Syila sejenak terdiam dan berpikir.

"Kalau saja make up ini aku hapus, orang-orang pasti mencibirku," guman Syila sembari memegang pipinya yang tertutup hijab. Wajah berjerawatnya memang sedang dalam perawatan menggunakan B *** cosmetics. Ia berharap hasilnya cepat terlihat seperti yang Arfan sarankan.

"Ah, aku harus rutin mencoba saran dari Arfan."

Tanpa sadar mereka sudah berjam-jam memainkan game itu sampai larut. Syila menguap beberapa kali, sementara Arfan masih belum merasakan kantuk. Ia masih terjaga efek dari kopi yang diminumnya.

"Sudah tidur sana kalau mengantuk!" pinta Arfan. Namun Syila sudah setengah sadar hanya berguman tidak jelas. Kepalanya ambruk ke bahu Arfan. Pun ponselnya jatuh di pangkuan. Arfan segera mengambil ponsel itu, lalu meletakkan di sampingnya. Ia memindahkan tubuh Syila ke ranjang, supaya tidak pegal jika dibiarkan tidur di sofa.

"Tidurlah yang nyenyak. Biarkan malam pertamamu tidak terlewat sia-sia."

Arfan mendekatkan wajahnya ke wajah Syila. Memindai wajah kusam yang terlalu lama menangis akibat ulah abangnya.

"Cantik. Sayangnya, lu terlalu polos, Syila."

Jari telunjuk Arfan menyusuri dahi Syila. Ia mencoba menghilangkan kerutan-kerutan di sana. Tak berhenti disitu, jarinya lalu menuju hidung dan berakhir di bibir tipis yang memancing gejolak di dalam sana. Ia pria yang normal. Sayang sekali, Syila memilih Arzan daripada dirinya.

"Astaga. Gue bisa gila kalau lama-lama di sini." Arfan segera menarik tubuhnya menjauhi ranjang. Diambilnya selimut yang terlipat rapi di sisi ranjang, lalu ditutupkan ke tubuh Syila hingga sebatas leher.

"Semoga mimpi indah, Arsyila Ramadanti."

Arfan menatap ke arah jam weker di nakas. Tepat jam setengah satu malam. Gegas ia kembali ke kamarnya. Membuka pintu dengan satu tangan menutup mulut akibat menguap, ia dikejutkan oleh Arzan yang berdiri di depan pintu kamar.

"Abang!" Matanya yang hampir meredup seketika membelalak sempurna.

"Apa dia sudah tidur?" Terlihat wajah khawatir Arzan seraya melongok ke dalam. Arfan segera keluar kamar dan menutup pintunya.

"Sampai kapan Abang mau membuatnya tersiksa?"

Arzan tidak berniat menjawab. Ia hanya mengedikkan bahu, lalu menerobos masuk ke kamarnya.

"Abang mau ngapain?"

"Ambil baju."

"Sania?" cecar Arfan. Arzan meletakkan telunjuknya di bibir supaya Arfan tidak berisik.

"Sudah tidur." Arzan menutup almari setelah mendapatkan piyama tidur, karena kemeja yang dipakai sebelumnya masih melekat di badannya.

"Ayo keluar sana!"

"Abang mau tidur di mana?" Arfan sudah bersikap layaknya polisi yang sedang patroli.

"Di sana lah. Nanti Sania mengamuk kalau bangun-bangun nggak ada abang di sana."

"Ckk. Kirain abang mau tidur sini." Arfan terkikik pelan.

"Nggaklah. Tolong jaga Syila baik-baik, Fan! Selagi abang nggak bisa mengawasinya."

"Pasti. Gue juga bisa menjaganya di sini sampai besok pagi, kok. Nggak masalah." Arfan mengangkat alisnya ke atas, sedangkan Arzan hanya mendecis.

"Gila kamu! Memangnya aku nggak tahu kalau singa tidak pernah menolak saat disodori daging segar?"

Arfan terbahak, reflek Arzan segera menutup mulut sang adik lalu menyeretnya keluar.

Pagi-pagi, Syila sudah memulai dengan kebiasaannya salat Subuh, lalu mandi dan menuju ke dapur. Meskipun semalam ia tidur larut entah jam berapa dirinya sudah tidak ingat. Ia masih sempat membentangkan sajadah di sepertiga malamnya. Ia berkeluh kesah pada Rabbnya.

Syila tidak tahu kapan dirinya pindah ke ranjang. Pikirannya terusik, siapa yang memindahkan dirinya ke ranjang, Arzan atau Arfan. Malu benar rasanya jika Arfan yang melakukannya.

 

BAB 4 Sarapan


"Zan, yang benar saja hari ini kamu mau ke kantor? Baru juga menikah kemarin," protes Hira yang melihat Arzan sudah bersiap dengan kemeja rapinya.

"Iya, kenapa harus buru-buru?" Ilyas sependapat dengan istrinya. Mereka lebih mendukung Arzan menikmati bulan madu lebih dulu sebelum disibukkan dengan pekerjaan di kantor.

"Mi, Bi. Arzan mau nunjukkin contoh yang baik ke karyawan. Arzan memang bos di sana, tapi tidak mau sesuka hati mengambil libur kerja." Arzan berusaha memberi pengertian pada umi dan abinya. Sementara itu, duduk di samping Arzan, Syila yang hanya terdiam mencerna ucapan suaminya. Dia meneguk ludah saat melihat Sania juga rapi dengan pakaian yang cocok untuk ibu hamil ke kantor.

"Astaga, apa dia juga mau ikut ke kantor?" guman Syila. Ia memandang lekat penampilannya, lalu membandingkannya dengan penampilan Sania. Jelas, beda jauh. Kelihatan kalau Sani itu berkelas. Sangat elegan penampilannya mengikuti fashion.

"Lho, San. Kamu pakai baju rapi mau ke mana?" tanya Hira dengan wajah terkejut.

"Sania mau ikut Arzan, Mi," ujar Arzan.

Sania hanya tersenyum polos. Kecantikannya memang tidak bisa dipungkiri. Justru Arzan yang mewakilinya menjawab.

"Ke kantor?" lanjut Hira.

"Iya, Mi. Arzan yang mengajaknya. Daripada bosan di rumah. Biar Sania ikut ke kantor. Nanti kalau capek, sopir yang akan mengantarnya pulang. Lagi pula ini juga untuk kesehatan bayinya. Kalau ibunya sehat jiwa raga kan anaknya juga begitu," timpal Arzan dengan seulas senyum.

"Terserah kamu, Sayang. Kamu yang paling mengerti kondisi Sania. Iya kan, Bi?"

"Iya, Mi."

"Jangan lupa, istri Abang nggak cuma satu." Tiba-tiba ada Arfan datang menyela. Pria itu ingin duduk di samping Syila, karena ada satu kursi masih kosong. Kursi yang lain baru saja ditempati Sania, yang ada di sebelah kiri Arzan. Mendengar suara Arfan yang terkesan perhatian, Sania justru merasa hatinya mencelos. Di meja makan itu, Syila merasa Sania lah istri Arzan bukan dirinya.

Sebenarnya Syila merasa tidak nyaman Arfan duduk di sampingnya. Mengingat semalam mereka berdua bermain game hingga larut malam, dan berujung Syila tertidur di ranjang. Syila masih ragu siapa yang mengangkat tubuhnya ke ranjang. Antara Arzan atau Arfan. Masak iya adik iparnya berani-beraninya menyentuh dirinya. Sesuai kesepakatannya di awal, Arfan tidak boleh melebihi batasannya sebagai adik ipar.

"Ya, Syila juga ke kantor. Nanti kami bernagkat bertiga."

Syila tertegun, tak menyangka Sania akan ikut juga ke kantor. Ia menguap beberapa kali saat makan. Arfan yang melihatnya hanya terkekeh.

"Sepertinya ada yang tidak nyenyak tidurnya semalam, Bang," celetuk Arfan.

"Siapa, Fan?" tanya Hira.

"Siapa lagi, menantu Umi lah," ucapan Arfan membuat Syila melempar tatapan tajam ke arahnya.

"Hush, kamu nggak usah nggodain kakak iparmu, Fan!" gertak Ilyas. Kepala keluarga di rumah besar itu juga tengah rapi dengan pakaian kerjanya untuk ke kampus. Ilyas memilih rutinitas mengajar di kampus sejak Arzan memegang tampuk kepemimpinan perusahaan kosmetik turun temurun milik keluarganya. Hira tersenyum seraya mengusap lengan suaminya.

"Ups, Sorry. Maaf ya!" Arfan pura-pura merasa bersalah pada Syila.

Keluarga Ilyas menikmati sarapan pagi dengan penuh kehangatan. Ilyas dan Hira bersyukur putra kembarnya masih bersedia tinggal di rumah besar mereka. Apa jadinya kalau anak kembarnya juga pergi seperti tiga kakak-kakaknya yang mengikuti suaminya. Pastilah rumahnya sepi seperti kuburan.

Diantara mereka yang duduk di meja makan, hanya Syila yang merasa hatinya mencelos. Ia tidak pernah berpikir akan menjadi istri kedua bagi Arzan. Meskipun keluarga besarnya memperlakukan Sania dan dirinya dengan baik, tetapi terbesit rasa cemburu yang mengusik hatinya.

Sepertinya Arzan memang sangat mencintai Sania. Namun kenapa juga dia harus menerima perjodohan dengannya. Syila tidak habis pikir apa alasannya. Ia akan bersabar selagi mencari jawaban atas rasa penasarannya.

"Ayo, Sayang! Aku harus siapkan meeting pagi ini." Syila sempat menyunggingkan senyum. Dipikirnya Arzan menyapa dirinya, ternyata ucapan itu ditujukan untuk Sania. Arzan terlihat meraih lengan Sania dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan mengusap pelan perut sang istri. Syila hanya berdiri mematung di belakang mereka.

Setitik nyeri itu hadir di hati Syila. Dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya ia merasakan sakit yang teramat sangat.

"Sebenarnya Mas Arzan menganggapku apa, sih?" Syila berusaha sabar, karena ia berada di rumah mertuanya. Jika emosinya meledak, justru akan mempermalukan diri sendiri.

"Bang, Syila jangan ditinggalin!" teriak Arfan mengingatkan abangnya.

"Oh iya. Syila kamu bareng mobil aku atau mau bareng Arfan aja?"

"Gila, Mas Arzan. Bisa-bisanya aku disuruh bareng adiknya yang play boy ini." Syila hanya bisa mendengkus kesal atas perlakuan suaminya.

"Menurut, Mas Arzan?" ucap Syila ketus.

"Aku hanya bercanda. Ayo masuk!"

"Sania, tunggu!" Hira berlari kecil dari dalam rumah. Di tangannya menenteng paper bag entah berisi apa, Syila hanya mengamatinya dalam diam.

"Ini untuk jaga-jaga kalau lapar. Jangan sampai si kecil kelaparan ya!" Ucapan tulus ibu mertuanya justru semakin menyayat hati Syila.

Kalau tidak ingat keberadaannya di rumah ini, Syila tentu sudah melarikan diri dari perjodohan yang menyakitkan baginya. Setitik bulir bening akhirnya rubuh juga. Syila menegakkan kepala agar cairan itu tidak membasahi pipi. Meskipun make up yang dipakainya dari brand ternama B erl cosmetics, ia khawatir tangisannya pasti akan merusak dandanannya. Tambah apes dia kalau wajah aslinya yang berjerawat terlihat oleh suaminya.

Arfan melangkah mendekati uminya. Syila meliriknya sekilas setelah punggung tangannya mencoba menghapus air mata yang hampir menetes. Lalu dilihatnya Arfan berbisik dengan uminya.

Syila gugup karena setelah Arfan berbisik, Hira mendekatinya.

"Syila, Sayang. Kamu yang baik-baik dengan Arzan ya. Juga Sania. Umi sayang kalian semua. Nanti kalau sudah ada Arzan junior di sini, pasti dia juga akan memanjakanmu." Hira mencoba membesarkan hati Syila. 
"Iya, terima kasih, Mi."

Syila tersenyum masam. Ucapan mertuanya justru semakin membuat pijakan yang Arzan buat semakin dalam. Menyakitkan.

Arzan melajukan mobil pajeronya menuju kantor. Sania duduk menemani di samping kemudi, sedangkan Syila duduk di belakang. Masih dengan ngedumel sendiri, Syila menyesal ikut satu mobil bertiga. Ia merasa dicuekkin karena pasangan di depannya bersendau gurau melupakan dirinya.

"Pak, jangan lupa setelah meeting hari ini ada janji makan siang dengan klien." Syila mencoba menunjukkan keberadaannya diantara mereka bertiga. Ia memerankan diri menjadi sekretaris, sedangkan Arzan bosnya.

"Tolong batalkan makan siangnya! Kita pindahkan esok hari, Syila."

"Apa?! Bapak mau batalkan? Tapi janji dengan klien ini susahnya minta ampun, Pak."

"Saya mau makan siang dengan Sania."

"Ckk, menyebalkan. Benar-benar tidak tahu betapa susahnya aku membuat janji temu dengan klien ini."

"Kamu nggak usah khawatir, Syila. Klien kita yang minta diundur kok, beliau ada acara keluarga." Syila hanya ber oh ria.

"Nanti ikut makan siang bareng aja. Kalau kamu nggak lagi sibuk." Ucapan Arzan seolah menyindir Syila. Kesibukannya kan hanya mengikuti perintah bosnya. Syila mendecis kesal. Ditambah lagi Sania terlihat senyum meremehkan dari spion depan.

Sebuah notif pesan masuk ke ponsel Syila. Ternyata dari Arfan playboy. Ia menamai nomer laki-laki itu dengan sebutan yang menggelikan. Hanya gara-gara pertemuan mereka pertama kali di gunung Bromo.

"Mas Arzan, saya turun di warung depan aja."

"Kenapa?" Arzan mengurangi kecepatannya.

"Mau beli bubur ayam dulu, buat dibawa ke kantor."

"Ya, perlu aku tunggu?" tanya Arzan tanpa ekspresi.

Syila mendecis. "Suami macam apa, pakai tanya segala."

"Nggak usah, Mas. Aku mau makan juga, tadi belum kenyang," imbuh Syila seraya menggerutu.

"Kita duluan aja, Mas. Nanti kamu terlambat." Kali ini Sania yang membujuk Arzan dengan nada manja.

"Astaghfirullah." Syila mengusap dadanya pelan.

"Baiklah. Hati-hati! Nanti Arfan aku minta nyamperin ke sini kalau dia masih di jalan."

Syila mengangguk. Padahal Arfan memang mobilnya di belakang mereka.

"Kenapa murung? Emang enak dikacangin?" Arfan tak pernah berhenti meledek Syila. Sepertinya hal itu sudah menjadi hobinya.

"Ngapain ikut ke sini?"

"Makan bubur lah. Dikira buntutin lu? Dih kegeeran."

"Jelas. Aku kan orangnya percaya diri. Jangan-jangan kamu ngikutin aku terus karena tertarik sama aku. Ingat aku kakak iparmu!"

"Pesan apa, Mbak?"

"Bubur dan es teh satu, Mas."

"Suaminya nggak dipesenin sekalian, Mbak?" Syila menatap horor ke arah pelayan.

"What?! Suami?!"

 

BAB 5 Bubur Ayam

 

"Suaminya nggak dipesenin sekalian, Mbak?" tanya pelayan yang berdiri menanti pesanan.


"What?! Suami?!"


"Biar pesan sendiri. Tanya aja orangnya!" Syila masih bersikap tak acuh karena Arfan selalu mengejeknya.


"Bubur dan jeruk panas, Mas."


"Baik silakan ditunggu dulu!"


Syila terpaksa duduk bersisihan dengan Arfan, karena warung bubur itu ramai di pagi hari. Banyak karyawan perusahan di ibukota yang mampir sarapan di situ.


"Eh, pasangan serasi ya mereka." Syila sempat mendengar bisik-bisik wanita paruh baya yang duduk berselang satu meja dengannya.


"Iya, biasanya Mbaknya yang cantik sendirian. Apa dia sudah menikah?"


Syila semakin risih. Dia memang rajin sarapan di sana bersama teman kantornya sewaktu tinggal di kontrakan.


"Itu mungkin suaminya. Ganteng banget kayak artis yang jadi brand ambasador kosmetik terkenal itu lho."


"Komestik yan mana?"


"Itu lhoh, kosmetik B ***?"


"Oh, kosmetik yang lagi hitz?" Wanita satunya mengangguk dengan tatapan masih fokus ke arah Arfan.


"Eh benar ya, Mbak. Kalian sudah menikah? Mbak dan masnya pasangan serasi."


"Astaga. Nih ibu-ibu keponya selangit. Malu-maluin sudah seperti gosip selebriti."

Syila melirik sebelahnya sebelum menjawab. Arfan terlihat hanya cengar-cengir membuat Syila bertambah kesal.


"Maaf, Bu. Kami ini...." Syila berusaha menjelaskan, tetapi Arfan buru-buru menyela.


"Iya. Pengantin baru, Bu. Baru juga kemarin nikahnya."


"Eh. Siapa ...." Belum juga Syila menjelaskan yang sebenarnya, ibu-ibu itu malah menimpali tanpa jeda.


"Wah, gimana tuh malam pertamanya Mbak. Kalau suaminya ganteng macam mas ini, ya semalaman betah di kamar. Sampai-sampai paginya nggak bisa berangkat kerja."


Syila hanya menelan salivanya. Ia jelas sudah masuk ke skenario konyol Arfan.


"Iya Bu. Semalam kami main banyak ronde sampai nggak bisa tidur," celetuk Arfan geli.


"Wah." Ibu-ibu yang mendengar justru berteriak histeris membuat pengunjung lain melihat ke arahnya. Syila malu benar. Ia menatap tajam Arfan yang bersikap santai menanggapi.


"Nggak kasian istrinya, Mas?" celetuk ibu satunya.


"Nggaklah, selagi dia minta dan saya masih kuat ya tetap lanjut. Sampai dia ketiduran barulah berhenti mainnya."


Tidak hanya ibu-ibu yang mengajaknya ngobrol yang terpukau, bapak-bapak yang mendengarnya hanya menelan ludahnya.


"Maaf Bu, Pak. Kalian jangan dengerin omongan suami saya. Dia lagi lapar ya begini, suka ngelantur."


"Oh, ya. Mbak sampai nggak sempat masak ya. Pasti bangun kesiangan tadi. Beruntung suaminya pengertian Mbak. Makin disayang tuh suaminya biar nggak dilirik orang."


"Hadeh, salah ngomong. Capek deh," gerutu Syila sambil menepuk jidatnya.


Arfan tergelak dengan sikap ibu-ibu yang justru menimpali ucapan Syila dengan candaan. Syila menginjak kaki sebelahnya supaya berhenti berulah. Arfan pun mengaduh.


"Jangan kasar, Syila. Lu mau main kdrt?" bisik Arfan di telinga kiri Syila.


"Bisa diem, nggak?!" balas Syila dengan wajah garang menatap Arfan. Laki-laki itu hanya cekikikan. Mereka menghabiskan bubur dan minuman yang di pesan. Syila juga membawakan dua bungkus untuk Arzan dan Sania sesuai pesanan Arzan.


"Ayo masuk!" Arfan membuka pintu depan mobil sportnya. Namun Syila ogah-ogahan naik mobil itu.


"Nggak! Aku mau naik ojek aja."


"Sudah masuk aja! Maaf kalau gue memaksa. Lu sendiri yang berulah membuat gue memaksa dengan cara ini."


"Arfan!" jerit Syila tetapi tak dihiraukan Arfan. Justru laki-laki itu terbahak membuat Syila kesal. Arfan menyeret dan memasukkan Syila ke mobil.


"Ini juga permintaan abang. Kalau bukan abang yang minta ogah gue anterin lu kemana-mana. Lebih baik anter cewek lain yang penurut," terang Arfan.


"Ya sana! Dasar playboy."


"Playboy tapi keren kan. Ibu-ibu tadi aja kesengsem."


"Dih, pedenya selangit."


"Iya, dong. Wajib."


Tanpa sadar Syila menarik bibirnya satu senti ke kanan dan kiri. Meski menyebalkan, bersama Arfan dirinya bisa tertawa lepas. Sampai-sampai Syila lupa kesedihannya beberapa jam lalu.


Arfan mampu membuatnya tertawa konyol sekaligus kesal dalam waktu yang bersamaan.


Dia jadi mengulum senyum sendiri saat mengingat dulu pernah ditawari Arfan untuk memilihnya tetapi Syila lebih memilih Arzan. Apa jadinya sekarang kalau dirinya memilih Arfan, mungkin hidupnya tidak serumit menikah dengan Arzan.


Dipikir Syila menikah dengan Arzan dirinya adalah istri satu-satunya. Ternyata justru dia istri kedua Arzan. Menyedihkan.


"Sudah melamunnya."


"Astaghfirullah!" Syila memekik kaget, tiba-tiba wajah Arfan tepat di depannya. Jaraknya hanya sekian senti hingga napas Arfan menyapu wajahnya.

"Jangan bikin aku jantungan!"


"Ni otak jangan keseringan melamun. Takutnya lu kesambet setan. Nanti bisa-bisa lu ngejar-ngejar gue lagi." Tawa Arfan meledak melihat wajah Syila yang menegang. Syila sudah berpikir yang iya-iya, Arfan mau menyentuhnya. Ternyata pria menjengkelkan itu hanya memasangkan seat beltnya.


"Duh, malunya aku." Syila menepuk jidatnya sendiri. Ia membuang muka ke arah samping agar tidak terlihat bersemu merah.


"Gini nih, pengantin baru kurang sentuhan suami. Mikirnya kejauhan," ledek Arfan.


"Nggak usah meledek. Kayak kamu laku aja. Nyatanya ganteng-ganteng masih jomblo. Siapa yang lebih menyedihkan di antara kita?" Syila menjulurkan lidahnya. Dia tidak mau kalah membalas ejekan Arfan.


"Syila, Syila. Gue mau jalan sama wanita tuh gampang. Tinggal telpon ajak makan malam banyak yang mau. Lha kamu punya satu laki-laki aja nggak peduli."


Nyes, ucapan terakhir Arfan mampu menyiram kobaran api yang sempat padam menjadi menyala lagi. Matanya sudah berkaca-kaca. Sakit hatinya karena perlakuan suaminya tak sebanding dengan ejekan Arfan. Ucapan Arfan benar-benar menusuk sampai ke ulu hati.


Mendadak Syila diam. Lidahnya kelu, ia tidak sanggup membalas ucapan Arfan.

Kepalanya menyandar di kaca samping kiri. Dadanya terasa sesak, semakin sulit ia meraup oksigen untuk bernapas karena tangis yang ditahannya. Tak kuat menahan, akhirnya tangis Syila pecah.

Ia menangis tergugu di samping Arfan yang sudah melajukan mobilnya beberapa ratus meter.


"Syila. Syila!" Arfan menepikan mobilnya. Ia kebingungan menenangkan wanita yang menangis. Kalau semalam dia menghibur Syila dengan ejekan yang berupa candaan. Namun, pagi ini Syila justru menangis akibat candaannya.


"Maafin gue, Syila. Ucapan gue dah bikin lu sakit hati ya?" Syila masih tergugu. Tangisnya tak juga mereda justru histeris membuat Arfan panik. Dia paling tidak tahan saat melihat orang menangis histeris atau menahan kesakitan. Dia tidak mau penyakitnya kambuh di depan Syila. Gegas, ia keluarkan benda kecil untuk dihirup supaya lebih lega. Arfan selalu siaga dengan tidak jauh dari benda itu.


"Jahat. Kamu jahat Fan. Kamu lebih jahat dari Mas Arzan. Sakit tahu."


"Maaf. Mana yang sakit?" Arfan memutar otak untuk meredakan tangis Syila.


"Ayolah, Syila. Bisa diam nggak? Nanti gue beliin es krim di mall."


Syila menggeleng keras. Arfan melorotkan bahu, usahanya pertamanya gagal. Ia segera menarik kepala Syila untuk menyandar di bahunya. Syila tersentak dibuatnya.


"Fan?"


"Menangislah, tetapi jangan terlalu keras. Nih, bahu gue siap untuk lu bersandar." Arfan masih menarik napas dalam beberapa kali.


Benar saja, Syila menyandarkan kepalanya di bahu kiri Arfan. Kedua tangannya menutupi wajah yang masih terisak. Sempat melirik ke arah samping, Syila sebenarnya terkejut melihat perubahan Arfan. Ia mengernyit penasaran saat Arfan memegang benda kecil lalu diletakkan di sekitar mulut dan hidung.


"Arfan kenapa pucat begitu? Ah sudahlah, salah dia sendiri membuatku terlihat buruk."


"Aku harus gimana supaya Mas Arzan tertarik sama aku."


Arfan hanya mendecis. Sedikit lega dirasakan, karena tangis Syila sudah sedikit mereda. Bahkan sosok ceria di sampingnya bisa mencurahkan hatinya.


"Kalau lu cengeng begini, Bang Arzan tambah nggak tertarik lah."


"Lalu menurutmu aku harus apa?" Syila bangun dari rebahannya. Menanti harap-harap cemas saran dari Arfan. Dia ragu, bisa jadi Arfan akan menyarankan hal konyol.


"Coba lu pelajari dari Sania. Apa yang membuat Bang Arzan tertarik sama Sania."


"Mbak Sania cantik," celetuk Syila.


"Kamu juga nggak kalah cantik."


"Hah?" Syila tertegun dengan ucapan Arfan.


"Secara umum semua wanita cantik, Syila."


"Iya, sih. Lalu apa, dong?"


"Ya apa, kek. Mungkin pelayanan Sania lebih memuaskan kali," imbuh Arfan membuat Syila melotot tajam ke arahnya.


"Aku juga melayani Mas Arzan dengan baik. Menyiapkan baju, menyiapkan sarapan tadi."


"Bukan itu, Syila. Pelayanan plus-plus. Ini obrolan dewasa, bukan anak TK."


"Apa?!" pekik Syila dengan mulut menganga. Arfan justru membalas dengan kedipan alis. Menyebalkan.

 

Tinggalkan jejak love dan komentar yuk. Lanjut ke next bab ya.🥰

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Bertukar Akad
Selanjutnya Bertukar Akad #UnlockNow (Bab 6-9 Free)
2
0
Ikuti kisah Syila dan Si Kembar Arfan, Arzan. Seru pastinya. Enjoy reading
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan