Bertukar Akad #UnlockNow (Bab 6-9 Free)

2
0
Deskripsi

Ikuti kisah Syila dan Si Kembar Arfan, Arzan. Seru pastinya. Enjoy reading

BAB 6 Bromo


"Aku juga melayani Mas Arzan dengan baik. Menyiapkan baju, menyiapkan sarapan tadi."

"Bukan itu, Syila. Pelayanan plus-plus. Ini obrolan dewasa, bukan anak TK."

"Apa?!" pekik Syila dengan mulut menganga. Arfan justru membalas dengan kedipan alis. Menyebalkan.

"Apa yang dimaksud Arfan pelayanan di ranjang. Hufh, malam pertama aja kami nggak tidur sekamar. Gimana aku mau melayani." 

Arfan menoyor kepala Syila hingga suara mengaduh Syila melengking.

"Nggak usah piktor. Maksud gue apa lu pernah ciuman sama bang Arzan gitu?"

Syila terlonjak kaget. Ciuman, boro-boro ciuman, ngobrol bareng aja ada Sania kayak polisi sedang patroli. 

"Belum. Masak iya ada Sania mau ngelakuin kayak gitu."

Arfan terbahak mendengar kejujuran Syila.

"Polos amat sih lu. Masak iya minta gue ajarin?" Arfan mengedikkan alisnya. Mulailah keluar sifat playboynya.

"Nggak perlu!" pekik Syila bercampur malu.

"Gimana bisa cantik banget kayak Mbak Sania, Fan?" 

Syila menerawang jauh, bayangan Sania yang anggun dengan dress hitam tadi pagi, dilengkapi bolero putih. Rambut panjangnya hitam mengkilat, make up wajahnya natural tetapi terlihat berkelas penampilannya. Syila membandingkan dirinya dengan Sania. Jauh berbeda.

"Sudah dibilangin, cantikkan hati lu. Tidak hanya wajah doang yang cantik. Lu kan cerdas, lebih tepatnya licik. Kenapa nggak gunakan otak pintar lu. Ingat waktu kita di Bromo, kan?"

Syila terkesiap. Gegas ia memutar memorinya saat pertemuan pertama dengan Arfan.

Kala itu, Syila tak menyangka harus tinggal seatap dengan Arfan saat diberi liburan oleh bosnya yang super duper berwajah dingin tak lain Arzan Raditya Arkana. Pria berusia 27 tahun yang akan dijodohkan dengannya. Tampan sih iya, selangit malah, tapi senyumnya mahalnya minta ampun. 

Konon kata karyawan lama, si bos pernah ditinggal kekasihnya hingga jadi seperti es kutub. Apa iya harus nangis atau ketawa guling-guling dulu di depannya biar dia tersenyum. Menyebalkan. 

Berbeda dengan bosnya, Arfan justru tukang obral senyum alias hobi TP-TP(tebar pesona). Menurut penilaian Syila, Arfan termasuk playboy kelas kakap. Makanya dia harus berjaga-jaga, khawatir jatuh dalam pesonanya. 

Lihat saja, saat Syila tak sengaja bersitatap dengannya, eh dia mengerlingkan sebelah matanya. Sontak saja, Syila bergidik ngeri.

Syila mengaku saja sebagai lulusan SMA, bekerja di ibukota sebagai pelayan. Nggak bohong, kan? Sekretaris Direktur sama dengan pelayan juga, kan?
Sementara itu, Arfan yang baru pulang dari kuliah S2 di LN, mengambil liburan dengan jalan-jalan. Mujur tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak, ketemu gadis barbar macam Syila. Mengakulah dia sebagai office boy di sebuah perusahaan ternama di ibukota.

Syila sampai di sebuah penginapan dengan berjalan tergopoh-gopoh. Perjalanan panjang dari ibukota setengah hari naik kereta sampai menjejakkan kaki di kota Malang. Dia lantas memilih naik angkutan umum di terminal Arjosari menuju  terminal Bayu Angga Probolinggo. Dilanjutkan dengan naik angkutan desa menuju Cemoro Lawang. 

Senja menampakkan semburat jingga, sungguh keindahan yang tampak oleh mata. Siapakah yang bisa menolaknya. Perjalanan yang melelahkan akan terbayar oleh keindahan alam ciptaan-Nya. Akhirnya Syila sampai juga di sebuah penginapan sederhana dengan bantuan naik ojek. Dengan hanya berbekal google map, Syila mendapatkan penginapan dengan harga dibawah rata-rata sesuai kantongnya. 

"Maaf, kamar yang Mbak inginkan sudah sold out semua. Tinggal satu paket family room. Terdiri dua kamar tidur, dapur,dan ruang santai."

Syila melongo mendengarnya, binar di wajahnya pun meredup. Bayangan melepas lelah di kasur dengan nyaman menguap begitu saja. Hari mulai menggelap, tak mungkin dia mencari penginapan lain karena hawa dingin di luar juga menyengat.

"Tarifnya gimana?" tanyanya lirih seraya menoleh ke kanan dan kiri, khawatir ada yang mendengar. Ternyata kantongnya pas-pasan, sok-sok liburan jauh melepas penat yang ada kepalanya tambah cenut-cenut.

"Tiga kali lipat dari yang Mbak pilih tadi."

"Apa?!" Reflek Syila menutup mulutnya sambil meringis.
Terdengar denting sepatu semakin mendekat.

"Bang, ada kamar kosong?" tanyanya merebut posisi antrian Syila.

"Hey, tahu nggak di sini ada orang. Antre dulu kenapa?!" teriaknya pada sosok laki-laki yang datang dengan nafas tersengal.

"Ada, Mas. Tinggal satu paket family room. Tapi...."

"Sudah saya pesan, jangan dikasih ke dia, Mas!"

"Oh ya, maaf, Mas, sudah sold out kamarnya. Silakan isi datanya, Mbak! Pembayaran mau di muka atau di belakang?" Laki-laki itu sedikit menyingkir, tetapi masih mengamati gerak gerik Syila.

"Saya bayar separo dulu ya, Mas."

"Separonya saya yang bayar, Bang. Kamarnya ada dua, kan? Nggak masalah."
Mata Syila terbelalak. Bisa-bisanya tuh orang menyerobot semaunya.

"Udah Mbak, kasih aja. Enak kan, jadi ringan bayarnya."

"Iya, nggak mubadzir juga kan, Bang," selorohnya membuat napas Syila kembang kempis. Mau berteriak kok ya sudah malam, dikira ada maling penghuni pada keluar semua.

"Hufh, nasib mau liburan jauh-jauh dari bos dingin. Eh ketemu sama laki-laki tampang playboy gini," gerutunya dalam hati.
Demi menghemat kantong biar ngga kering, Syila menyewakan satu kamarnya. Sayangnya, kamar mandi dan dapur dipakai bersama. Keduanya sepakat untuk menjadi penghuni saling asing. Artinya tidak ada dua orang di tempat yang sama. Saat salah satu menggunakan dapur, maka salah lainnya tidak berada di situ. Terdengar ribet, tapi demi keamanan bersama terutama Syila yang aslinya gadis polos lulusan pesantren. Di luarnya saja dia menjadi gadis bar-bar untuk tameng dari godaan playboy.

Pria itu mengenalkan diri dengan nama panggilan Arfan. Syila sempat membatin, pria itu mirip bosnya. Namun kelakuan mereka bertolak belakang. Apalagi penampilan Arfan berambit gondrong, menambah kesan plaboynya. 

Menjelang malam, cacing di perut mulai berteriak protes. Syila mengeluarkan bahan untuk makan malam yang sudah menjadi bekal di tas. Keluar kamar dengan kerudung instan, kaos panjang dan celana training. Wajah celingukan tak nampak laki-laki pemilik nama Arfan. Dia melenggang menuju dapur. Tangan lincah mengadu perkakas dapur. Bukan pandai memasak sih aslinya, hanya khusus menu inilah yang dia bisa, karena sering memasaknya saat tinggal di kontrakan ibukota.

Terdengar pintu berderit, sepertinya penyewa kamarnya juga merasa kelaparan.

"Hai, Syila! Pesan makan malam buat gue sekalian bisa, nggak?!" teriak Arfan. 

Hening, Syila tampak memutar otak. Tercetus ide menambah isi kantongnya.

"Bisa, tapi mau enggak menunya?! Dan juga ini enggak gratis!" balasnya berteriak.

"Hmm, terserah menunya."

"Oke, soto dan jahe panas."

Arfan menelan ludah sambil meremas perut yang mulai keroncongan."

Aroma soto menguar di seluruh ruangan. Pun sedapnya menusuk indra penciuman Arfan meski berada di kamar. Mau tak mau dia keluar kamar dan duduk di meja makan dengan dua kursi disana.

"Soto dan jahe, 500 ribu," ucap Syila dengan senyum tersungging.

"Busyet, lu mau malak gue?" ujar Arfan dengan mata melotot dan dua kaki naik ke kursi.

"Mau, enggak? Nggak juga nggak apa, aku yang habisin."

"Gila nih cewek, perut apa karet?"
Syila santai meletakkan semangkuk mie dan segelas jahe untuk Arfan, dan sisanya lagi untuknya.

"Ada tambahan juga denda 200ribu."

"What?!"

Bahu Arfan pura-pura lemas, uang segitu kecil untuknya. Hanya saja nggak cocok dengan pengakuannya sebagai office boy di awal kenalan.

"Ingat, nggak ada yang gratis, Bang. Udah dibilang jangan sampai kita berdua di tempat yang sama, atau Abang kena denda." Arfan mengalah karena protes pun tak bertenaga, perutnya sudah melilit.
Memilih menikmati makan malam, dia membuka penutup mangkuk. 

"Astaga, katanya soto?"

"Iya, itu, Bang. Cicipin dulu kalau nggak percaya!"

"Ini mie rasa soto, gue hafal rasanya."

"Sini kalau nggak mau!"

"Eits, mana boleh. Terpaksa buat ngisi perut. Udah harganya selangit, zonk."

"Nggak zonk juga kali, udah makan anget-anget di cuaca yang dingin menusuk tulang ditemani gadis cantik. Rugi apa coba?"

"Astaghfirullah, mimpi apa gue semalam. Ditemani pelayan aja bangga."

"Cihh, nggak tahu gini-gini pelayannya direktur," batin Syila seraya menyeruput jahenya, lalu mulai menikmati mie rasa soto yang menggoyang lidah.

Selama tiga malam berturut-turut Arfan menikmati mie rasa soto. Menggelikan.

Di akhir kebersamaan mereka menikmati keindahan gunung Bromo, sebuah perjanjian pun disepakati.

"Astaga, tiga hari bersama lu bisa-bisa gue bangkrut."

"Di dunia ini nggak ada yang gratis, Bang. Mau BAK di terminal aja bayar, lho. Abang kan ganteng, nggak mungkin jatuh miskin. Cukup senyum-senyum di pinggir jalan juga ada yang jatuhin receh."

"Lu kira, gue pengamen?!"

*****

Seminggu sudah Syila kembali ke kantor dengan profesinya sebagai sekretaris Arzan.

"Syil, sarapan seperti biasa dua porsi, ya!"

"Hah? Tumben pak bos pesan dobel"

"Duduk dulu!"

"Mana sarapannya, Bang? Buruan lapar, nih."

"Nah, itu dia soto kesukaanmu."

"Hah, kamu?" Syila terbelalak mendapati office boy di ruang bosnya.

"Kamu kenal Syila, Fan?"

"Dia pelayan di sini?" seru Arfan dengan telunjuk mengarah ke Syila.

"Bos, dia office boy di sini?"tanya Syila sambil menunjuk Arfan yang duduk di sofa.

"Kalian apa-apaan, sih? Syila sekretaris sekaligus calon kakak iparmu, Fan."

"Hah, nggak, Bang. Gue nggak terima dia jadi kakak ipar."

"Lhah?"

"Gue maunya dia jadi adik ipar, Abang."
"Gimana, bisa?" protes si abang.

"Menurut perjanjian, kalau gue makan mie soto yang keempat kali buatan dia, maka dia jodoh gue," ucap santai Arfan, sedangkan Syila melotot tajam ke arahnya.

"Perjanjian dari mana?"

"Perjanjian saat tiga hari menginap bersama di Bromo."

"Syila! Jadi kamu jalan-jalan sama adikku?"

"Nggak, Bos. Saya jalan sama office boy." Syila tersenyum sambil meringis.


BAB 7 Ciuman


"Sudah ketawanya. Tadi aja nangis-nangis, sekarang ketawa nggak jelas. Dikira lu cantik-cantik nggak waras nanti."

"Fan, tadi malam yang mindah aku ke ranjang siapa?" Syila berubah serius saat menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran.

Arfan hanya bergeming membuat Syila menoleh dan menatap lama adik iparnya.

"Fan."

"Hmm." Arfan menyunggingkan senyum, membuat Syila mendecis.

"Kamu maunya gue yang angkat atau Mas Arzan?" Arfan justru berbalik tanya semakin membuat Syila kesal.

"Ckk, selalu begitu kalau ditanya. Ya, jelas aku berharap suamiku yang mindahin lah. Lain kali awas ya kalau aku tidur di sofa, kamu jangan mindahin aku. Panggilkan saja Mas Arzan."

"Tentu saja, suami lu yang lebih pantas memindahkan." 

Syila menghentikan perdebatannya setelah merasa lega, bukan Arfan yang memindahkan tidurnya di ranjang melainkan suaminya. Mobil akhirnya memasuki pelataran perusahaan kosmetik yang turun temurun dari keluarga kakeknya. Awal mula perusahaan itu dipegang omnya karena abinya kuliah di luar negeri. Setelah selesai kuliah, barulah abinya menggantikan, dan sekarang dipegang Arzan kakak kembarnya.

"Oya, Fan. Kenapa kamu nggak kerja di kantor saja?" Syila penasaran dengan adik iparnya yang playboy. Katanya sudah lulus S2 tetapi sekarang malah memilih pengangguran.

"Ogah pusing gue. Abi maksa gue dari dulu supaya di posisi Bang Arzan."

"Trus?"

"Ya, gue milih kabur ke luar negeri lah. Jadi Direktur nggak sempat mikirin cewek tahu, nggak?" 

"Buktinya Mas Arzan...." Kalimat Syila menggantung, tidak mungkin dia melanjutkan. Bisa-bisa kena ejekan lagi.

"Apa? Buktinya abang punya istri dua?" Tawa Arfan membahana. 

"Lu bangga Bang Arzan bisa menaklukkan dua wanita? Cih, kamu aja dianggurin." 

Hati Syila seketika mencelos. Perkataan Arfan bagaikan panah yang lepas dari busur hingga menghujam jantungnya. Benar adanya, diringa sudah seperti istri yang tak dianggap. Apa jadinya kalau keluarga besarnya di Yogya tahu nasibnya. Menyedihkan. 

"Kenapa bengong? Turun! Kita sudah sampai." 

Syila hanya diam membisu, tidak berniat membuka mulut. Tenggorokannya terasa tercekat. Pernyataannya justru menjadi bumerang baginya. Sungguh menyesal. Ia berjalan tak acuh meninggalkan Arfan yang masih bersiap mengambil ipad. Tangan kanannya menenteng tas, sednagkan tangan kiri membawa bubur ayam dua porsi untuk Arzan dan dirinya. Sania tentu saja tidak dibelikan, karena mertuanya sudah memberi bekal khusus.

Sejujurnya ada rasa iri yang terbesit ketika Syila melihat umi Hira membawakan bekal khusus untuk Sania yang sedang hamil. Namun, sedetik kemudian pikiran buruk itu segera dihempasnya. Ia tidak mau menambah penyakit hati. Hal itu bisa menurunkan moodnya pagi ini.

"Hai, tunggu! Nggak tahu terima kasih. Sudah untung gue jemput, daripada bareng tukang ojek. Nggak malu apa istri direktur naik ojek."

Hati Syila memanas mendengar ocehan Arfan yang tiada henti. Ia memperlambat langkah lalu berhenti tepat saat itu Arfan hampir menabraknya. Syila membalik badannya. 

"Punya mulut bisa dijaga, nggak?! Kamu tidak tahu hati seorang wanita itu lembut, mudah terluka hanya karena omongan yang menyakitkan." 

Arfan tercengang mendengar ucapan Syila. Tatapan nyalang itu menyiratkan kebencian yang ditujukan padanya. Mulutnya pun bungkam, hingga Syila berbalik melangkah kembali. Dari belakang terlihat tangan kanan Syila diangkat sepertinya untuk mengusap cairan bening yang hampir menetes di wajahnya.

Arfan mengekori Syila yang sudah jauh melangkah di depannya.

"Dasar cengeng," gumannya.

Syila masuk lift tanpa mempedulikan Arfan. Namun, Arfan masih sempat memencet tombol dan membuat pintu lift yang hampir menutup menjadi terbuka kembali.

Syila membuang muka menghindari wajah Arfan. Ia mengambil napas dalam untuk mengembalikan mood bekerjanya. Rasa hati sudah menggebu-gebu ingin berjumpa teman dekatnya yang juga karyawan di kantor itu. Banyak cerita yang ingin ia bagi dengan sahabatnya itu.

Pintu lift terbuka, Syila sudah berada di lantai 20 tempat ruang direktur berada. Ia melenggang tanpa mengindahkan ada Arfan yang berjalan bersamanya dari parkiran basement.

"Pagi, Bu Syila." Seorang karyawan bagian keuangan barusan melintasinya.

"Selamat atas pernikahannya ya, Bu. Bos memang serasi dengan Bu Syila."

"Terima kasih, Pak." Arfan berdehem membuat karyawan itu menunduk hormat.

"Pagi, Bos." 

"Lanjutkan kerjamu!" titah Arfan diangguki patuh oleh karyawan laki-laki yang berusia muda tadi. 

Syila hanya mengernyit, dan bertanya-tanya dalam hati.

"Apa mereka tidak tahu Arfan kembaran bosnya?" Syila hanya mengedikkan bahunya lalu melangkah kembali menuju ruang kerjanya yang menjadi satu dengan ruang direktur. Ia lupa kalau Arfan sudah memangkas rambut hingga pendek seperti Arzan.

Syila melangkah tanpa ragu. Ia sudah biasa mengetuk pintu, lalu masuk ke ruang Arzan seperti hari biasa saat bekerja.

"Kayaknya yang ini lucu deh bajunya."

"Iya, Sayang." Arzan terlihat mencolek dagu Sania, saat Syila masuk ruang kerjanya.

"Ishh, nakal." Suara manja khas wanita menyapa telinga Syila saat masuk ruang Arzan. Ia melihat suaminya tengah bermesraan dengan istri tuanya. Ditambah lagi Arzan barusaja menyambar sekilas bibir bergincu merah muda itu.

Tubuh Syila mematung di tempat. Kenyataan menamparnya pagi ini. Tidak di rumah, di kantor pun ia menyaksikan hal yang sama. Kemesraan yang harusnya dia rasakan justru dirasakan wanita lain. 

"Mas. Ini aku bawain bubur ayam." 

Wajah Arzan yang tadinya tertawa, seketika berubah dingin. Syila tak habis pikir. Selama ini, Arzan terkenal sebagai bos yang dingin. Namun baru saja Syila melihatnya tertawa lepas. Syila berusaha memaksakan diri untuk tersenyum di depan suaminya.

"Taruh saja di meja! Jangan lupa nanti makan siang, tolong pesan restonya!"

"Siap, Pak." Syila mengubah sikapnya menjadi formal. Ia lalu berpamitan keluar untuk kembali ke mejanya. Niat hati ingin melayangkan protes, tetapi Syila urung melakukannya. Ia ingat posisinya sebagai istri kedua, dan Sania asalah cinta pertama suaminya.

Tubuhnya mendadak tremor, seolah ingin limbung. Syila segera berpegangan saat sampai di mejanya. Ia melirik ke sofa tunggu, ada iparnya di sana memandang sinis.

Memilih pergi menjauh, Syila tidak menghiraukan Arfan. Ia ingin ke lantai bawah menemui Merry sahabatnya.

"Mau ke mana?" Arfan mengikuti langkah Syila yang semakin cepat menuju lift.

"Bukan urusanmu!" 

"Ini urusan gue, karena abang minta gue mengawasi lu."

"Mengawasi untuk apa? Aku nggak butuh bodyguard."

"Kenapa muka lu kusut gitu?" Arfan masuk ke lift mengikuti kemana Syila turun. Ternyata Syila menekan nomer 5. Artinya Syila masih berada di lingkungan kantor.

"Kenapa masuk ruang abang trus buru-buru keluar?" Arfan berkacak pinggang sambil merendahkan badan mensejajari muka Syila. Tinggi mereka yang selisih jauh mau tak mau membuat Arfan menunduk.

"Mereka...."

"Memangnya mereka ngapain?"

"Hmm, mereka mesra-mesraan." 

Arfan terbahak.

"Memangnya nggak boleh? Mereka kan suami istri, Syila. Lu lupa, ya?"

"Tapi aku juga istrinya. Harusnya Mas Arzan tidak pilih-pilih kasih."

"Sudah gue bilang, lu harus pinter. Bisa nggak lu lakuin kayak Sania?" 

"Apa?" Syila menatap lekat wajah Arfan yang menyeringai. Semakin mendekat menyisakan jarak dua centi saja. Napas mereka beradu di udara, bahkan aroma mint keluar dari mulut Arfan menusuk indra penciuman Syila. Sejenak aroma itu menghipnotis Syila.

"Lu mau gue ajarin caranya berciuman?" Arfan mengeluarkan jurus tebar pesonanya dengan mengedipkan sebelah mata.

Tubuh Syila berdiri kaku, menyelami sorot mata setajam elang Arfan membuatnya seolah lupa ingatan. Siapa suami, siapa adik ipar. Jelas saja rupanya sama. Syila tidak menyadari wajah Arfan semakin mendekat, bahkan hidung mereka hampir bersentuhan. 

Reflek Kedua tangan Syila gunakan untuk menahan dada atletis Arfan. Pria itu justru semakin menggebu melancarkan aksinya, karena sebuah sentuhan tangan di tubuhnya. 

"Mas Ar...." Syila memejamkan matanya seolah sedang menikmati suasana.

Bersamaan dengan bunyi lift berdenting. Pintunya terbuka, tampak dua orang karyawan berdiri terperangah di luar.


BAB 8 Coba-coba


"Mas Ar...." 

Bersamaan dengan bunyi lift berdenting. Pintunya terbuka, tampak dua orang karyawan berdiri terperangah di luar. Keduanya melihat adegan dewasa telah terjadi di dalam lift. Reflek Syila mendorong dada Arfan sesaat setelah pintu lift terbuka. Ia menerobos dari bawah lengan Arfan yang mengurungnya.

"Syila?! Apa yang kamu lakukan?" 
Arfan ikut menoleh ke arah sumber suara.

"Hah. Maaf Bos, kami sungguh tidak melihat apa-apa. Bener, deh!" Salah satu karyawan yakni Merry sahabat Syila segera menarik tangan temannya untuk kabur dari situ. Keduanya takut dipecat karena kedapatan mengganggu kesenangan bosnya.

Syila hanya melongo melihat Merry yang terbirit bersama rekan yang lain. Ia berbalik ternyata lift sempat menutup dengan Arfan memberikan kiss dari jauh.

"Hufh, menyebalkan." Tubuh Syila merinding melihat tingkah adik iparnya. Gegas ia mencari Merry untuk berbagi cerita.

Langkah Syila yang tadinya cepat berubah melambat setelah sampai di depan ruang bertuliskan divisi keuangan. Ia melongok dari pintu yang dia buka sedikit.

"Eh, Mbak Syila kenapa pakai ngintip segala. Masuk, Mbak!" seru karyawan laki-laki yang berada satu divisi dengan Merry. Setidaknya ada sekitar 8 orang di divisi tersebut. Syila merasa orang-orang di situ tidak bersikap aneh padanya, ia pun merasa lega. Merry dan satu karyawan yang tadi bersamanya masih tampak bersikap biasa.

Syila melambaikan tangan ke arah Merry supaya mendatanginya.

"Apa, Bu Bos?" Merry masih menahan cekikikan.

"Ayo ke kantin sebentar!" 

"Jam kerja ini, Syila. Kamu mau aku dipecat dari perusahaan bergengsi ini?"

"Ckk, kalau gitu ke atap, deh." Merry paham betul jika Syila mengajaknya ke lantai paling atas, pasti sedang punya masalah.

Mereka menaiki lift ke lantai paling atas yakni lantai 25. Ada ruang terbuka untuk para karyawan memanjakan mata saat lelah melanda. Ada juga mushola di sana untuk karyawan beribadah.

"Ada apa, Syil? Pengantin baru kok murung begitu. Harusnya sumringah dong. Gagal malam pertama, ya?" goda Merry. 

"Hush. Apa-apa kalau pengantin baru pasti dihubungin dengan malam pertama. Menyebalkan." Merry terhenyak melihat sikap Syila yang dongkol.

"Aku lagi sedih tahu, nggak? Hibur aku lah, masak iya malah diledekin."

"Sedih kenapa? Malam pertama harusnya seneng dong. Ya, meski aku masih jomblo, tapi dari drama Korea yang aku tonton habis nikah, pasangan itu melewati malam pertama yang manis-manis."

"Ckk, kebanyakan nonton drama, Mer. Realita tak seindah drama." Syila mendecis membuat Merry heran.

"Masak, sih? Memangnya gimana malam pertama dengan si Bos dingin itu? Tadi aja kalian ciuman di lift, kan?"

"Sok tahu kamu." Muka Syila semakin cemberut jika mengingat kejadian Arfan hampir menyentuh bibirnya.

"Nggak ada malam pertama tahu, nggak?"

"Hah, si Bos nggak menyentuhmu, Syil? Rugi dong."

"Siapa yang rugi?"

"Kamu lah." Merry terbahak melihat Syila yang melotot ke arahnya. Syila berdecak, dia tidak mungkin mengatakan kalau pria yang bersamanya tadi adalah kembaran bosnya. Mungkin karena potongan rambutnya sekarang cepak, jadi Merry tidak mengenalinya.

"Jadi, gimana ceritanya malam pertama? Seru, nggak?" desak Merry. Syila justru mengerucutkan bibirnya.

"Mer, gimana caranya supaya Mas Arzan tertarik sama aku?" Syila bertanya dengan ekspresi serius. 

"Jadi, bos belun menyentuhmu sama sekali?" Syila menggeleng. Merry lalu menaruh jarinya di dagu. Ia tampak sedang berpikir.

"Wajar saja sih, kalian kan menikah karena dijodohkan. Perlu uji coba dulu, barangkali bos pria nggak normal," terang Merry.

"Nggak normal kok bisa bikin istrinya hamil," celetuk Syila.

"Apa?! Kamu udah hamil duluan, Syil?" sahut Merry dengan raut terkejut.

"Hush, jangan sembarangan ngomong. Mas Arzan tuh udah punya istri, sekarang sedang hamil. Nanti kalau ketemu wanita cantik sedang hamil di kantor ini, wanita itu istri pertamanya."

"Serius?!" Syila mengangguk.

"Lalu, buat apa nikah sama kamu? Kasian amat kamu, Syil. Sekali menikah jadi istri kedua."

"Kamu meledekku, Mer?" Merry hanya tersenyum meringis.

"Dah lah jangan tanya alasannya kenapa. Tahu sendiri kan, bos patah hati ditinggalin seorang wanita, sikapnya jadi dingin kayak es kutub. Eh tahu-tahu wanita itu mencarinya saat hari pernikahan kami tiba."

"Iya, wanita itu katanya cinta pertamanya. Bos masih cinta kali ya sama wanita itu."

"Ckk, kamu bukannya menghibur malah bikin aku sakit hati sih, Mer."

"Iya, maaf. Trus gimana kelanjutannya? Kamu minta pisah?"

Syila menggeleng. Janjinya pada diri sendiri juga keluarganya selama masih kuat bertahan, maka ia akan mempertahankan pernikahannya. Meskipun pernikahannya lahir dari perjodohan, ia menganggap pernikahan adalah hal yyang sakral bukan untuk dipermainkan.

"Lalu?"

"Kamu bantu aku, Mer. Gimana caranya menarik perhatian Mas Arzan."

"Hmm, kalau itu mah gampang. Kamu coba-coba aja menggodanya. Nanti malam, pas di kamar tuh, kamu duluan yang agresif mendekatinya. Jangan lupa pakai pakaian yang menarik?"

"Ishh, ide konyol, Mer. Mana aku bisa? Malulah." Syila ragu dengan kemampuannya. Ia tidak yakin mampu menggoda suaminya. 

"Percaya deh, pria yang melihat istrinya pakai pakaian seksi pasti akan tergoda. Meski belum ada rasa cinta, dia akan terpancing hasrat untuk menyentuh istrinya."

"Nanti kalau beneran Mas Arzan mulai tergoda, gimana?"

"Hadeh, gimana sih, Syil. Itu tanggung jawabmu, lanjutkan saja. Menggoda suami kan jadi pahala." 

Syila memukul lengan sahabatnya hingga mengaduh kesakitan.

"Aku serius tanya. Gimana kelanjutannya kalau Mas Arzan beneran tergoda."

"Ya sudah lanjutkan saja, mau berantem, adu mulut, atau bertukar peluh juga nggak apa-apa," ujar Merry asal.

"Merry!" pekik Syila. Merry tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita polos Syila tentang malam pertamanya.

Syila justru merinding sendiri memikirkannya. Ia memilih ke pantry untuk membuat coklat panas supaya moodnya kembali naik, sebelum pergi ke ruangannya.

Di pantry, Sania tiba-tiba datang ingin membuatkan kopi untuk Arzan.

"Mbak Sania."

"Arzan minta kopi, Syil. Bisa bikinkan satu cangkir!"

"Ya, Mbak." Syila selesai mengaduk coklat panas, berganti mengambil cangkir untuk membuat kopi.

"Kopi tanpa krimer, gula 1 sendok penuh, ya. Arzan paling suka kopi yang manisnya pas dan tanpa krimer." Ucapan Sania sengaja dibuat-buat, seolah dia paling tahu tentang kebiasaan Arzan. Syila yang mendengarnya hanya tersenyum masam.

"Syila, apa kamu tahu makanan kesukaan Arzan? Nanti siang kami mau makan di sana. Kamu juga bisa ikut sekalian," ucap Sania seraya memandang sinis ke arah Syila.

"Ya, Mbak. Saya tahu dan restonya juga sudah saya pesankan." Syila memandang Sania sekaligus mengagumi kecantikan wanita itu. Bagaimanapun, Sania cantik luar biasa. 

Polesan make up dari brand ternama B erl cosmetics di wajahnya semakin membuat penampilannya mempesona. Kulitnya nge-glazed, cerah mengilap maksimal. Syila saja kagum, apalagi suaminya. Tiba-tiba ia merasa inscure dengan wajahnya yang kalah jauh jika dibandingkan dengan Sania. Pikirannya pun menerawang entah ke mana.

"Kamu tahu, Syila. Arzan terpaksa menikah denganmu. Cintanya tidak pernah berubah untukku. Apalagi ada bayinya di sini." Sania berkata dengan nada sinis, sambil tangannya mengusap perut yang buncit.

"Ya, saya tahu, Mbak."

"Bagus. Apapun usaha yang kamu lakukan, Arzan tidak akan pernah berpaling dariku."

Syila terkejut dengan sikap Sania yang berubah 180 derajat. Saat bersama Arzan, Sania tampil dengan lemah lembut. Namun, saat sekarang hanya berdua ternyata wanita cantik itu menunjukkan sifat aslinya. Seringai licik terlihat dari wajah Sania, Syila hanya menelan ludahnya.

"Dengarkan baik-baik, Syila. Kemarin, resepsi itu harusnya untuk kami. Kamu hanya kebetulan di sana menggantikan aku. Jadi, jangan harap bisa memiliki Arzan seutuhnya. Dia milikku, selamanya Arzan akan menjadi milikku." Tawa sinis keluar dari mulut Sania, membuat Syila tercengang.

"Hai, Syila! Syil?! Halo." 
Sontak saja Syila terkesiap dengan suara lembut Sania yang membuyarkan lamunannya. Ia segera beristighfar.

"Ya, Mbak." Syila berucap dengan sedikit terbata. Napasnya memburu, karena terlalu berprasangka buruk.

"Aku bawain kopi ke Arzan dulu ya!" Syila hanya mengangguk tanpa bersuara. 

Sania berlalu meninggalkan pantry yang ada di lantai 5. Ia tersenyum menyeringai seiring langkah kakinya menuju lift.

 

BA 9 Jemari Lentik


Syila duduk di sofa pantry, masih terpaku dengan pikirannya. Langkah kaki terdengar memasuki ruang untuk pelarian para karyawan menghalau kantuk dan pegal karena duduk terlalu lama. Perusahaan kosmetik turun temurun milik keluarga Ilyas Arkana Wijaya memang mengedepankan kenyamanan tidak hanya bagi petinggi, tetapi juga bagi karyawannya.

"Nona, Syila. Ngapain di sini pagi-pagi?" Pria berpostur layaknya seorang bodyguard itu berjalan mendekat ke arah rak berisi aneka minuman.

"Eh Pak Alex. Bikin coklat panas, biar moodnya naik, Pak." Syila mencoba memberikan senyum terbaiknya seperti saat dia masih menjadi sekretaris Arzan sebelum menikah. Walaupun hatinya sedang dongkol dengan bosnya, Syila tidak mau orang lain kena getahnya. Sebisa mungkin ia menghindari hal itu. 

Tidak heran banyak karyawan yang menyukainya sifat Syila. Dia wanita yang mudah bergaul dan pandai bicara. Obrolannya selalu menyenangkan. Bahkan pertemuan pertamanya di Bromo dengan Arfan membuat pria itu terkesan.

Alex adalah tangan kanan Ilyas saat menjabat sebagai orang terpenting di perusahaan itu. Dia Turun temurun menemani perkembangan perusahaan kosmetik yang sekarang dipimpin Arzan.

"Pak Alex sendiri?" Ganti Syila yang berbasa-basi menanyakan. Sejatinya karyawan yang ke pantry ya pasti bikin minuman atau duduk sejenak menikmati segelas kopi dan semacamnya, sambil makan cemilan yang disediakan.

"Ngopi, nih. Ngantuk, semalam begadang nonton bola," ungkapnya. Syila mengulas senyum, lalu kembali menyesap coklatnya yang mulai hangat kuku.

"Tentang klien yang dijadwalkan memeting siang ini ditunda besok. Pak Alex siapkan berkasnya, ya!"

"Oh, nggak jadi siang ini? Pak Arzan belum bilang apa-apa sama saya." Syila mengerutkan keningnya. Ia berpikir kenapa hal sepenting itu, asisten pribadinya belum dikabari.

"Iya, mungkin bos lupa ngabari Pak Alex."

"Iya kali, tadi malam kan bos sama Nona Syila malam pertama. Kenapa juga hari ini sudah masuk kantor. Harusnya Pak Arzan sama Nona Syila honeymon dulu." Ucapan panjang lebar Alex hanya dibalas dengan seulas senyum miring dari bibir Syila.

"Bagaimana mau honeymon, Mas Arzan aja sikapnya dingin kayak gunung Alpen," gerutu Syila dalam hati.

"Oya, Pak Alex, kenal Mbak Sania?" Pria berusia kepala empat itu menoleh ke arah Syila. Senyum tersungging di bibirnya, membuat Syila tak enak hati ingin melanjutkan obrolan. Secara tidak langsung, Syila sudah mengajaknya membicarakan tentang seseorang.

"Ya. Nona Sania sudah di perusahaan ini lama sebelum Nona Syila."

"Pak, bisa nggak kalau panggil saya kayak biasanya saja. Saya jadi nggak enak sama Pak Alex, nih. Panggil Mbak Syila aja."

Kembali, Alex menarik bibirnya lurus. Syila memang tidak teelalu suka jika ditinggikan posisinya. Ia lebih suka ngobrol dengan suasana cair tanpa kecanggungan. Posisi mereka sama, sama-sama manusia ciptaan-Nya.

"Jadi, Mbak Sania dulu...."

"Dulu dia sekretaris Pak Arzan. Belakangan karena ada perselisihan diantara saudara kembar itu, hubungan ketiganya kurang baik."

"Maksudnya bertiga Pak Arzan, Arfan, dan Mbak Sania?" Alex mengangguk. Syila semakin penasaran ingin mengulik masalah yang melibatkan tiga orang di dekatnya itu. Namun sebuah panggilan di ponsel mengurungkan niatnya.

"Ya, Pak, saya segera ke sana." Syila beranjak dari duduknya setelah coklat panas di cangkirnya tandas. Ia mengucap permisi pada Alex dan tidak lupa mengucap terima kasih atas obrolannya.

Gegas Syila kembali ke ruangnya karena panggilan dari Arzan.

Sementara itu, Alex masih menikmati secangkir kopi yang asapnya mengepul. Dia memandang cangkir yang masih penuh, pikirannya menerawang jauh.

"Pak Alex!" Arfan tiba di pantry menyapa asisten pribadi kepercayaan abinya.

"Eh, Mas Arfan. Ngopi, Mas!" ajak Alex berbasa basi seperti biasa.

"Tidak Pak, terima kasih. Semalam saya sudah kebanyakan ngopi. Ganti coklat saja."

Alex tertegun, tidak biasanya Arfan menolak minum kopi. Dia hanya menggeleng heran.

"Oya. Pak Alex tadi ngobrolin apa sama Arsyila?" Arfan jelas ingin tahu apa saja yang dilakukan Syila, karena itu bagian dari tugas yang diperintahkan abangnya.

"Cuma basa-basi, Mas. Mbak Syila langsung mendapat panggilan Pak Arzan supaya pergi ke ruangnya."

"Oh." Arfan duduk di seberang Alex yang mulai menyeruput kopinya, sementara Arfan masih menunggu panasnya coklat mereda. Arfan mengambil biskuit yang ada di meja.

"Nona Sania apa kabar?" Arfan mengernyitkan dahi. Ia merasa heran, kenapa tiba-tiba Alex menanyakan wanita itu. Wanita yang telah pergi meninggalkan abangnya dan kini kembali dengan berbadan dua. Setitik nyeri hadir di dadanya, seolah membuka luka lama yang belum kering.

"Baik, Pak. Dia sedang hamil." 

"Apa?! Hamil?!"

Arfan melihat perubahan wajah Alex yang mendadak serius.

"Kenapa? Pak Alex sepertinya kaget begitu." Arfan sedikit menaruh curiga kalau Alex mengetahui hal penting tentang Sania.

"Tidak ada, Mas." Alex berusaha bersikap biasa.

"Maksud saya, Mbak Sania hamil anak siapa?"

"Suaminya lah. Pak Alex ini gimana, sih?" canda Arfan membuat Alex tercenung.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka berdua, Pak?" Arfan menghentikan tawanya. Ia mulai berbicara serius.

"Saya tidak tahu, Mas."

"Ayolah, Pak Alex nggak bisa berbohong di depan saya. Tolong ceritakan apa yang terjadi antara Sania dan Bang Arzan selama saya kuliah di luar negeri!" 

"Mereka menikah." Alex menghela napas panjang, berusaha menetralkan sikapnya.

"Ya, saya tahu itu. Lalu?" Alex terlihat berat menceritakan kejadian yang terekam di memorinya.

"Keduanya bertengkar karena kepergian Mas Arfan. Nona Sania menyalahkan diri sendiri karena pernikahan itu membuat Mas Arfan menjauh dari keluarga besar."

"Tidak seperti itu, Pak. Saya memang pergi mau belajar. Saya tidak mau disuruh memegang perusahaan. Saya pikir Bang Arzan lah yang lebih pantas."

"Tapi Nona Sania tidak terima penjelasan Pak Arzan. Dia memilih pergi ke Paris mengejar karirnya di dunia modeling."

Arfan tidak heran, Sania memiliki tubuh ideal dengan paras rupawan. Sejak awal, wanita cantik itu menyukai dunia fashion dan modeling. Arfan kenal dekat dengan Sania dibandingkan Arzan. Keduanya sering membahas tentang dunia traveling, fashion, dan modeling. Bahkan Sania pernah mengatakan cita-citanya memiliki bisnis fashion yang go internasional. Hal itu tidak mustahil, dukungan orang tuanya yang bermukim di Eropa dengan kekayaan melimpah Sania bisa meraih mimpinya.

Suatu hari Arfan mengenalkan Sania pada Abangnya. Menurutnya Sania akan cocok membahas bisnis fashion dengan perusahan kosmetik yang dipegang Arzan. Namun intensitas pertemuan yang lebih sering membuat Arzan menaruh rasa pada Sania. Pun wanita cantik itu tidak kalah terpesona oleh sikap tegas dan perhatian Arzan. 

Begitu Hira mengetahui Arzan dekat dengan seorang wanita, kesempatan itu sangat langka.

"Fan, umi seneng sekali abangmu dekat dengan seorang wanita. Bagaimana kalau Sania dijodohkan dengan Arzan?" Arfan sudah paham dengan pemikiran uminya. Sejak kecil dia merasa di nomer duakan. Tidak heran Arzan lah yang diajukan pertama kali untuk berjodoh dengan Sania. 

Arfan tidak pernah membantah uminya. Dia menerima begitu saja keputusan itu, meski dalam hati bersemayam rasa iri. Rasa yang dipendamnya sejak kecil bagaikan menyimpan sebuah bara api. Suatu saat bola api itu akan meledak jika ia tidak sanggup menahan diri.

"Pak Alex. Saya permisi dulu, mau cari udara segar." Berdiri atau berpindah tempat adalah salah satu cara menata hati di saat gundah. Arfan memilih cara itu untuk menyembuhkan luka. Tak heran dia sangat menyukai traveling untuk menghibur hatinya.

"Ya, Mas."

Arfan menarik napas berulang untuk membuat dadanya lega. Satu benda kecil yang selalu siaga di kantongnya dihirup. Melegakan. Ia berjalan menuju lift, memencet tombol lantai paling atas.

Begitu pintu lift terbuka, Arfan sudah menginjakkan kaki di lantai atas. Dia menaiki tangga untuk sampai ke atap gedung. Panas mentari yang mulai meninggi masih terasa hangat menerpa kulit wajahnya. Arfan mengedarkan pandangan menikmati ibukota di pagi hari. Hiruk pikuk aktifitas kendaraan maupun orang berlalu lalang terlihat dari atap gedung. 

Semilir angin berhembus di wajah orientalnya. Sudut bibirnya tiba-tiba terangkat seiring memorinya memutar ulang kejadian pagi ini. Di akhir lamunannya, senyum itu memudar. Ia menepuk beberapa kali dadanya. Hingga tak sadar tepukannya yang keras pun tidak terasa sakit.

"Hentikan!" Suara merdu khas wanita terdengar di telinga Arfan dari arah belakang. Sebuah jemari lentik menggenggam tangan kanan Arfan yang dipakai untuk menepuk dadanya.

"Jangan menyakiti diri sendiri!" Wajah wanita itu bahkan menempel di punggung Arfan hingga membuat jantungnya berdesir.

 

Siapa wanita itu? Penasaran, yuk next part ya.

Jangan lupa like dan komentarnya. Makasih.🥰

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Bertukar Akad
Selanjutnya Bertukar Akad #UnlockNow (Bab 10-14)
4
0
Ikuti kisah seru Syila, Arfan dan Arzan yuk.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan