
Berikut ini ada karya temanku Herlina Teddy.
Sambil nunggu UP bab Cinta Beda Usia, teman2 bisa baca cerita romance ini ya. Pastinya seru ceritanya.
Kelanjutan ceritanya bisa ke link berikut
https://karyakarsa.com/Herlinateddy/series/7-tahun-kepergianmu
7 TAHUN SETELAH MENJANDA (1)
"Tidak mungkin, Han. Kita hanya melakukannya satu kali. Mana mungkin bisa langsung hamil?" Mahendra memelankan nada bicaranya, tak mau orang yang di sekitar ikut mendengar percakapan mereka.
"Tapi itu kenyataannya, Dra."
Hanami mencoba meyakinkan sang kekasih dengan merogoh tas yang ada di pangkuan, mengeluarkan test pack dan menunjukkan kepadanya. Dengan tangan sedikit bergetar, pria tampan itu pun mengambil dan menatap hasil test dengan mata membola.
Awalnya, wanita bernama lengkap Hanami Ramadhani juga tidak menyangka akan mendapati kenyataan memalukan, pun tak mau hal tersebut terjadi. Namun, hasil test alat kehamilan cukup menunjukkan kalau dia benar-benar hamil. Terus, dia harus bagaimana?
"Dua garis itu artinya positif?" Pria beralis tebal itu bertanya pelan, hanya ingin memastikan. Wajahnya diliputi rasa panik.
Gadis itu mengangguk pelan dengan wajah meredup, lelah dan tak tahu harus bagaimana. Dia merasa tubuhnya lemas, sering mual dan muntah di pagi hari. Ditambah yang membuatnya bingung, tamu bulanan sudah tak berkunjung selama dua bulan. Di situlah awalnya dia mulai resah dan curiga kalau dia hamil setelah kejadian dua bulan yang lalu.
Inisiatif membeli test pack di apotik lalu sesuai petunjuk, dia mencoba urinnya dan hasil yang ditunjukkan adalah dua garis. Iya, fix, dia hamil.
"Coba kamu tes lagi pakai merek yang lain, barang kali yang ini error."
Pria itu masih belum bisa menerima kenyataan kalau kekasih yang dicintainya tengah hamil akibat perbuatan zina mereka di rumah kosong setelah acara pesta wisuda. Ada guratan kegelisahan yang terbit di wajah, jelas sekali terlihat dan tak sanggup disembunyikan.
Mendengar itu, Hana langsung merogoh tas berwarna merah muda miliknya dan mengeluarkan tiga test pack lain lalu diletakkan ke atas meja. Alat pendeteksi dengan berbagai merek hasil yang ditunjukkan adalah sama. Dua garis merah.
"Aku sudah test empat kali dengan merek yang berbeda, tetapi hasilnya sama."
Suaranya bergetar, ingin menangis dan menyesal dengan apa yang sudah terjadi. Benar kata orang kalau penyesalan memang selalu datang belakangan.
Dengan cepat tangan kokoh Mahendra meraih ketiga alat tersebut, ingin meyakinkan apa yang dikatakan Hana adalah benar. Wajah yang tenang tadi seketika berubah menjadi raut penuh putus asa dan gelisah.
Ada sengatan kekhawatiran di dada, jika kedua orangtuanya mengetahui putra kebanggaan mereka telah menodai anak gadis orang. Pria itu bisa saja membu nuh papanya yang mempunyai penyakit riwayat jantung koroner. Tidak, dia belum sanggup membayangkan dan terlebih itu tidak boleh terjadi.
Menarik napas dan membuangnya kasar, dia menumpukan siku ke atas meja lalu menopangkan kepala ke atas punggung tangan. Membenamkan wajah di balik tangan, ingin sekali dia menyembunyikan rasa kekhawatirannya agar gadis yang di samping tidak melihat kondisi tersebut. Frustasi pun mulai menggerogoti pikiran.
"Gimana, Dra? Kamu jangan diam saja. Apa yang harus kita lakukan? Aku belum berani memberitahu ibu. Aku khawatir beliau pasti akan marah dan sedih."
Hana bukan tak tahu Mahendra sedang menyembunyikan kegusaran seperti yang ia rasakan. Namun, dia juga tak mau sang kekasih melipat tangan dengan apa yang sudah dia lakukan.
"Iya, jangan kasih tahu dulu. Kita selesaikan tanpa campur tangan siapapun."
Suara itu terdengar lirih, dia belum menunjukkan wajahnya. Kini dia menopang kepala di atas tangan yang terlipat di atas meja. Aroma kopi di kafe yang seharusnya menenangkan, tetapi justru perasaan gundah yang dirasakan. Mereka bahkan tak nyaman bukan karena dengan suasana, tetapi masalah yang baru menghampiri membuat kedua hati itu tidak tenang.
"Kamu mau tanggung jawab, Dra? Kamu tidak akan meninggalkan aku, kan?"
Hana mulai mengguncang lengannya. Dia ingin kepastian dan menagih apa yang pernah dijanjikan pria itu sebelum mereka melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan pasangan suami istri. Matanya mulai buram ditutupi air yang masih bisa ditahan.
"Iya, tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu, aku sangat mencintaimu. Aku akan mencari cara. Kamu yang tenang, biarkan aku berpikir dulu."
Setelah mengangkat kepala, dia melayangkan ciuman ke kening, pipi lalu ke pucuk kepala sang kekasih yang sekarang dilanda keresahan. Lalu, meletakkan kepala Hana ke ceruk lehernya. Apa yang diucapkan semuanya benar, dia sangat mencintai gadis itu. Namun, mungkin cara mengungkapkannya adalah keliru.
"Tidak akan meninggalkanmu. Kamu percaya padaku."
Bisikan itu berhasil menurunkan satu level kecemasan Hanami. Wanita itu bisa mendengar dentuman jantung yang tak berirama di sana. Pikiran mereka berdua sama-sama dihantui rasa bersalah, berusaha mencari jalan keluar atas kasus itu.
Setelah satu jam mereka berada dalam keheningan, akhirnya Mahendra membuka suara setelah dia menyesap cokelat panas yang sudah dingin. Namun, cokelat yang seharusnya terasa manis, kini terasa pahit di lidahnya.
"Ayo, ikut aku!"
Mahendra pun menarik tangannya meninggalkan kafe tersebut lalu melajukan mobil menuju ke supermarket. Sesampai di sana, Hana yang masih belum mengerti maksud pria itu pun hanya bisa melipat dahi.
"Kamu tahu, kan, aku akan melanjutkan kuliah di Jepang sesuai rencana orangtuaku. Dan yang kutahu kamu mendukung aku waktu itu. Kita bisa melanjutkan hubungan LDR sesuai kesepakatan kita. Kamu ingat?"
Hanami menyimak dan mengangguk dengan hati yang berkecambuk. Tentu saja dia ingat hal tersebut, tetapi sekarang kasusnya berbeda, dia hamil. Ada benih cinta di rahimnya yang diberikan pria itu.
"Kita masih terlalu muda untuk menjadi orangtua. Harusnya kita kejar dulu mimpi kita, cita-cita kita, setelah itu kita akan menikah dan mempunyai banyak anak. Kamu paham maksudku, Sayang?"
Mahendra menggenggam kedua tangan Hana, kemudian mencium punggung tangannya. Ia memeluk harapan agar gadis delapan belas tahun itu mau mengerti keadaannya yang belum bisa menerima kehadiran seorang bayi saat itu. Dia ingin mewujudkan ambisi dan cita-cita. Jepang, itulah impiannya.
"Maksud kamu, Dra? Kamu tidak mau bayi ini dilahirkan?"
Rasa kecewa mulai memenuhi dada, hati itu hancur ketika dia membaca gelagat aneh Mahendra yang memintanya melakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya. Pria itu tidak menyahuti dan berbalik melihat jejeran buah yang terpampang di toko tersebut.
"Kita beli ini dan kamu harus menghabiskannya."
Mahendra memilih dan mengambil beberapa jenis buah lalu hendak berjalan menuju ke kasir. Ia tak mengacuhkan raut muram yang tercetak di wajah pacarnya.
"Dra, jika aku makan buah-buah itu, bukankah akan membahayakan janinku?"
Secepat kilat Hana menggeleng sambil mengelus perutnya yang masih rata. Wanita cantik itu mencoba menahan tangannya dan meminta penjelasan. Ia belum bisa menerima rencana sang kekasih.
"Justru itu yang kita inginkan, Han."
7 TAHUN MENJANDA 2
"Dra, aku sudah makan durian dan nanas yang kamu beli. Bahkan aku juga sudah minum obat keras sesuai informasi internet. Tapi kayaknya tidak berhasil, aku belum pendarahan atau sejenisnya," ucap Hana pelan saat mereka bertemu kembali di kafe yang sama.
Kafe itu memang kafe favorit saat mereka berkumpul dengan teman satu sekolah. Umur mereka terpaut empat tahun, Mahendra baru saja lulus sarjana strata satu jurusan Bisnis Manajemen sementara Hani baru menyelesaikan sekolah menengah atas. Mereka sama-sama akan melanjutkan kuliah. Bedanya, Mahendra memilih kuliah S2 di negara sakura dengan jurusan lanjutan bisnis dan Hana akan mengambil kuliah kedokteran di tanah air.
"Kamu yakin sudah makan durian dan nanas yang aku beli? Semuanya?" Raut wajah penuh kegelisahan itu mengurangi sedikit ketampanan sang kekasih. Dia sudah berusaha mencari jalan keluar yang menurutnya itulah harapan satu-satunya.
Hana mengangguk, dia sampai merasa eneg ketika harus menghabiskan beberapa buah durian dan nanas dalam beberapa hari tanpa sepengetahuan ibu. Entah bagaimana caranya Mahendra membujuknya akhirnya gadis itu menurut kemauan sang kekasih yaitu menggugurkan kandungannya.
Menghela napas berulang, pria itu frustasi lalu memutuskan suatu rencana baru. Beberapa hari itu, dia sudah mencari cara lain jika solusi pertama untuk menggugurkan janin itu gagal. Dia punya satu ide terakhir yang akan dijelaskan siang itu kepada Hana.
"Kita butuh bantuan orang."
"Maksudnya?"
Hana bingung apa maksud pernyataan itu. Dengan bodohnya, ia melakukan apapun demi menghilangkan jejak benih sesuai keinginan pacar yang belum siap menikahinya.
"Kita cari orang untuk mengeluarkan janin dari perutmu, Han. Sejenis dukun beranak atau paraji."
Detik itu pula, raut wajah Hana terlihat ngeri saat mendengar kata dukun. Di benaknya terlintas sosok yang menyeramkan dengan cincin besar bersemayam di kesepuluh jari mereka, rambut acak dan janggut panjang nan memutih.
"Ini alamatnya dan kita bisa mencari dia. Mbok yang kerja di rumah bilang kalau biasanya orang yang ingin menggugurkan janinnya bisa minta bantuan mereka dan rata-rata berhasil pada hari itu juga."
Dengan nada antusias, Mahendra mengungkapkan usulnya. Dia seperti mendapatkan titik terang dari masalah tersebut. Seminggu lagi, dia harus terbang ke negara samurai. Mau tak mau, dia harus menyelesaikan masalah itu terlebih dahulu sebelum benar-benar meninggalkan sang kekasih dan berjanji akan kembali dengannya. Bahkan dia mengiming-imingi akan menikahinya jika sudah mendapatkan kedudukan di perusahaan papanya. Iya, pria itu benar sangat mencintai Hana.
"Kita coba, ya. Kamu mau, kan, Han?"
Sebuah gelengan pertanda tidak setuju pun diberikan Hana kepadanya. Dia terlalu takut untuk melakukan tindakan haram tersebut.
"Kalau cara itu, aku tak mau, Dra. Itu bakal sakit, aku sudah baca tentang hal itu di internet. Aku takut."
Bibir gemetar dengan kening yang mulai dihiasi bulir air keringat dingin. Ruangan memang sejuk, tetapi tidak dengan perasaan kedua insan yang telah melakukan zina tersebut. Mereka terlihat sangat gelisah, takut dan bingung bagaimana menghadapi kejadian yang sudah terjadi.
"Tidak ada cara lain, Han. Kita harus coba. Waktuku tak banyak, seminggu lagi aku harus ke Jepang. Kamu juga harus menjalankan deretan tes kesehatan syarat masuk fakultas impianmu, kan? Ayolah, Han. Kita harus bisa menghadapinya bersama-sama, aku butuh kerjasamamu."
Genggaman tangan itu erat saling menguatkan satu sama yang lain. Mahendra pun tak ingin keinginan untuk melanjutkan kuliah S2-nya batal hanya karena gagal membujuk Hana. Sementara gadis berambut ikal itu terus meminta untuk melamar dan menikahinya saja. Semua urusan akan beres.
"Sudah berapa kali aku bilang, aku belum bisa menikahimu saat ini, tapi bukan berarti aku tidak mencintaimu. Ayolah, Han. Kita sudah dewasa dan pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak untuk kita. Kita coba saja sesuai rencana awal kita. Tolong jangan mempersulit keadaan ini. Aku sudah pusing memikirkan jalan keluar yang lain, tidak ada yang terbaik selain menggugurkannya."
Perkataan Mahendra sukses menghadirkan gejolak emosi aneh di dada Hana. Air mata yang tergenang mendesak turun, membanjiri pipi padahal ia sudah menahan sekuat tenaga agar tidak mengeluarkan di depan pria itu. Sorot mata pun menyiratkan kesedihan amat terdalam. Lidah kini kelu, hanya bisa memandangi pria yang ia cintai dari samping, mengatupkan rahang menahan bara yang mulai meletup.
Isakkan demi isakkan terdengar pilu, Mahendra pun tak tega sebenarnya membuat Hana menangis. Dia sadar apa yang diungkapkan barusan akan menyakiti hati. Namun, dia bisa apa? Keinginan melanjutkan studi adalah impian papa yang tengah sakit dan berjuang hidup di Jepang. Orangtuanya sangat menginginkan putra tunggal menghadiahkan sertifikat ijasah dari universitas negara sakura, bukan hadiah aib yang kini ia tancapkan ke sang pacar.
Dia pun semakin merasakan sesal tatkala syetan dalam diri mulai menggoda pikirannya. Bagaimana mungkin dia mempunyai ide konyol pembuktian cinta dengan mengajak gadis orang untuk bercinta.
Melihat air mata kesedihan, ada perasaaan iba yang muncul di hati terdalam, Mahendra seratus persen sangat mencintai Hana. Andai saja tak terjerat impian papa, mungkin dia akan datang melamar dan menikahi Hana detik itu juga.
Mereka pacaran selama tiga tahun, tetapi orangtua Mahendra sama sekali belum pernah bertemu dengan Hana. Sementara kedua orangtua gadis itu sudah sering bertemu dengan Mahendra lantaran dia sering mampir ke kontrakan walau sekadar mengantar dan menjemput Hana.
Di mata orangtua Hana, Mahendra adalah sosok pria sopan, supel dan baik. Tidak ada celah buruk yang ditunjukkan pria itu kepada kedua orangtuanya. Namun entahlah saat ini, apa tanggapan ibu Hana setelah mendapati anak gadisnya tengah hamil karena nafsu yang menggoda jiwa mereka.
Berbeda dengan orangtua Mahendra yang sama sekali tidak tahu kalau putranya sudah memiliki pujaan hati. Selain keduanya sibuk dengan deretan pekerjaan perusahaan, Hana selalu menolak jika Mahendra mengajak untuk diperkenalkan. Alasannya klise yaitu dirinya minder. Lantaran ayahnya hanya seorang pedagang bubur dan ibu hanya seorang pedagang kue jajanan pasar.
"Baik, aku akan membatalkan kuliahku di Jepang. Aku akan menikahimu dan meminta restu orangtuaku, Han. Beri aku waktu sampai besok untuk menjelaskan pada Daddy dan Mommy. Aku akan menemuimu di kafe ini lagi besok jam satu siang."
Akhirnya Mahendra luluh dengan permintaan sang kekasih setelah enam hari berlalu. Dia akan berusaha menjelaskan kepada orangtuanya yang kini ada di Jepang untuk mengurus perusahaan sekalian segala keperluan yang berhubungan dengan studi putranya. Rencana itu sudah matang diatur sejak beberapa tahun yang lalu.
***
Keesokkan harinya, Mahendra memandang lekat tiket yang sudah ada dalam genggaman. Koper berisi pakaian dan perlengkapan lain sudah dipersiapkan beberapa hari yang lalu menjadi teman Mahendra di kamar mewahnya.
Kemantapan untuk memilih sang kekasih sudah mencapai level sembilan jika skor tertinggi adalah sepuluh. Pagi ini, dia seharusnya berangkat ke bandara untuk penerbangan ke Jepang, kini diulur demi menelepon kedua orangtua. Ia ingin membahas tentang apa rencana dia selanjutnya yaitu membatalkan studi dan menikahi Hana.
Sebelum dia melakukan panggilan untuk mereka, ponselnya berdering. Ada nama Mommy terpampang di layar benda persegi itu. Mengusap tombol hijau, dia menempelkan benda canggih ke daun telinga dengan hati yang gundah dan ragu.
"Apa? Mommy serius?" Dia tak menyangka akan mendapatkan kabar buruk sebelum dia mengutarakan rencananya. Dada bergemuruh hebat, jantung pun berdetak kencang. Sesuatu telah terjadi secara mendadak.
"Baik, Mom. Aku segera terbang ke sana sekarang."
Suaranya bergetar menjawab, terburu-buru dan dengan panik dia menutup panggilan. Koper yang sudah siap pun ditarik dan dibawa keluar kamar. Melupakan janjinya kepada Hana, Mahendra pun segera bertolak ke bandara, membawa segala perasaan berkecamuk setelah mendengar kabar buruk yang datang dari lawan bicara tadi.
7 TAHUN SETELAH MENJANDA (3)
Menunggu dengan gelisah di kafe sesuai janji Mahendra, Hana sudah tak sabar lagi berada lebih lama di tempat itu, yang menjadi tempat favorit mereka berdua. Benda yang melingkar di pergelangannya sudah menunjuk angka empat. Itu artinya dia sudah menunggu selama tiga jam. Segelas cokelat hangat yang dia pesan di kafe pun sudah ludes, hanya tersisa endapan cokelat yang tak terlarut di dasar gelas.
Dia mencoba mengirim pesan dan menelepon ponsel pria itu, tetapi hasilnya nihil. Yang didapat hanyalah centang satu dan sapaan dari customer service kalau nomor yang ada tuju sedang tidak aktif. Hatinya bagai diremas saat pikiran dilanda berbagai prasangka buruk tentang pria itu. Kini kesabarannya sudah berada di ambang. Dia tidak bisa menunggu lagi.
"Bagaimana kalau Mahendra tidak mau bertanggungjawab? Bagaimana kalau dia benar-benar sudah pergi ke Jepang, meninggalkanku? Bagaimana kalau dia telah membohongiku? Bagaimana kalau dia ...."
Dia tak sanggup lagi menerka apa yang bisa dilakukan sang kekasih itu. Buktinya, tak ada kabar apapun tentang keberadaannya sampai detik ini. Dia sudah bosan memandangi suasana kafe dengan pergantian wajah pengunjung tiap menit dan jam itu. Bahkan, sesekali dia merasa risih ketika sang pelayan mondar mandir sekadar menanyakan apakah ada tambahan makanan atau minuman yang akan dipesan.
Akhirnya setelah tiga jam menunggu, dia memutuskan untuk mendatangi kediaman Mahendra untuk mengetahui keberadaannya. Menggunakan jasa ojek online, dia pun sampai di depan pagar besi kokoh yang mengitari rumah minimalis Mahendra.
Mengedar pandang mencari petugas keamanan yang kebetulan berjaga, dia pun menyapa setelah salah satu pria bertubuh tegap itu menghampirinya. Tak mengulurkan waktu, Hana segera menanyakan keberadaan tuannya.
"Maaf, Neng. Tuan Mahendra sudah berangkat ke bandara tiga jam yang lalu. Buru-buru tadi."
"Yakin ke bandara, Pak?"
Hana tak bisa menerima kenyataan yang barusan ia dengar. Dia berharap bapak tersebut memberi informasi yang salah. Lantaran dia yakin Mahendra menyatakan akan menemuinya lagi di kafe siang itu.
"Iya, Neng. Yakin, soalnya diantar sama supir."
Sejurus itu Hana mengedipkan mata, menjatuhkan air yang sudah penuh di pelupuk mata. Hatinya hancur berkeping-keping seketika bersamaan dia menyadari bukan hanya cita-cita menjadi dokter-nya sirna, tetapi sikap Mahendra yang membohongi dan menodai cinta sejati yang sering digadang-gadangnya.
Penjelasan bapak itu seolah mengoyakkan gumpalan daging di rongga dada sehingga organ itu berhenti memompa darah. Dia merasa sekujur tubuhnya seolah kehabisan cairan merah itu, lemas dan nyaris ambruk ke bumi.
Ia merasa dirinya jatuh ke jurang kehancuran, gelap gulita, tidak ada uluran tangan yang akan menolongnya. Pelipisnya berdenyut seperti dihantam benda berat berkali-kali. Apa dia sanggup menghadapi ini sendiri tanpa topangan Mahendra?
Dia belum sanggup menerima kenyataan kalau Mahendra adalah pria pengecut yang melepas tangan, mencampakkannya begitu saja. Ini begitu menyesakkan dada dan menyakitkan hatinya. Perihnya sampai dia tak tahu bagaimana menjabarkan tingkat keperihan itu. Bagaimana dia menyatakan hal ini kepada ibu? Bagaimana dia mengangkat kepala menghadapi dunia yang akan menanyakan tentang keberadaan ayah dari kandungannya.
Ah, dia mulai mengutuki ketololannya yang terlalu percaya mulut manis pria itu. Dia mengutuki keluguan dirinya yang mau diajak untuk pembuktian cinta dengan menyerahkan kehormatannya kepada pria itu.
Ada sebongkah kekecewaan yang kian menusuk jantungnya. Dia menyesali segala kedunguan yang sudah dia lakukan. Kembali, bulir cairan itu luluh, menyembul kembali tanpa bisa ditahan setelah sekian kali dia mengusap jejaknya di pipi dengan punggung tangan.
Dia merasa kehidupannya semakin kelam dan tak berguna untuk bertahan hidup, menahan malu dengan janin dimana ayahnya sendiri tak mau mengakui dan tak mau mempertahankannya.
Frustasi dan timbullah keinginan untuk menghabisi nyawa untuk melenyapkan penderitaan yang tak sanggup dia angkat sendiri.
Dia kehilangan wajah untuk menatap dunia. Dia sudah memprediksi orang-orang akan memandang rendah ketika mengetahui betapa hina dan kerdilnya ia menyerahkan mahkota yang seharusnya dijaga dan dipersembahkan untuk suaminya kelak.
Sore ini, berjalan tak tahu arah, pikirannya linglung, dia bingung mau ke mana. Sorot mata yang menyiratkan luka. Dia tak menyangka Tuhan memberi cobaan yang melebihi kemampuannya. Dia menyalahkan Tuhan yang tega menjatuhkan hukuman hanya untuknya, tidak adil karena Mahendra tidak mendapat hukuman yang sama.
Kini, dia tak punya teman untuk mencurahkan perasaan. Dengan siapa dia akan berbagi? Rasanya tak ada orang yang pantas diajak berembuk dan mendengar keluh kesahnya.
Sampai akhirnya kakinya berkelana, menginjak tengah rel kereta api dengan tujuan mengakhiri semua penderitaan yang sudah dialami. Dia tak mau hidup menahan malu, mungkin inilah satu-satunya cara untuk pergi melepas semua beban yang sudah tak bisa dipikul dengan sendiri. Dia sempit akal, syetan seakan bersorak gembira, membisik tepat di telinga, segeralah mengunjunginya ke alam neraka.
Di sinilah, di tengah rel dia berdiri dan berjalan berlawan arah dengan tubuh kereta panjang jurusan Jawa yang semakin mendekatinya. Suara klakson kereta api sangat memekakkan telinga, tetapi kaki itu tetap berdiri di tengah tanpa mau berpindah. Dia tak menghiraukan jeritan orang sekitar yang tak sengaja melihat tindakannya. Perbuatan yang dibenci Tuhan kepada umatNya.
Semakin lama semakin dia merasa getaran hebat di bumi dia berpijak, bunyi klakson yang berisik sengaja dikeluarkan masinis itu agar dia segera menyingkir dari sana. Dia, dia memilih bertahan untuk mengakhiri semuanya detik itu juga.
Memejamkan mata, ia menikmati angin yang membelai kulit wajah dan tubuhnya. Dia menghirup udara dengan rakus, merayakan hari terakhirnya dengan menghisap udara segar yang dikarunia Sang Pencipta.
"Ini adalah napasku yang terakhir, selamat tinggal semuanya." ucapnya dengan lirih, nyaris tak terdengar, bertabrakan dengan suara teriakan kereta yang jaraknya nyaris menggiling tubuhnya.
Sekilas, wajah senyuman ayah dan ibu terpampang di benaknya. Perih, ketika dia melihat guratan kekecewaan yang akan ditorehkan jika mereka mengetahui putrinya telah menjadi gadis hina yang membawa aib keluarga. Sangat memalukan. Air mata yang terus membanjiri wajah lelahnya, dia sudah mantap dengan keputusan dangkal itu. Bunuh diri. Iya, dia akan pergi untuk selamanya.
"Awas!"
Seketika tubuh seratus lima puluh lima centimeter itu terhempas, kepala seakan berputar kencang, semua tubuh serasa ngilu, tulang-tulang seakan remuk. Organ dalam seperti hancur bercerai berai. Gelap, dunia menjadi gelap pekat. Jantung, apakah dia juga sudah ikut berhenti?
"Apakah aku sudah mati? Apa aku sudah berada di alam astral?" Bibirnya melengkung getir, tak sanggup membuka mata yang sudah berair. Lelah, sangat lelah. Rasanya dia ingin memejamkan mata untuk selamanya, berlari dari kenyataan.
"Maafkan aku, Ibu."
Tangannya sempat bergerak memegang perut yang masih rata sebelum dia benar-benar kehilangan kesadaran.
"Hai, anakku, maafkan aku yang juga tak menginginkanmu. Maaf."
Lelap, kini dia merasa tertidur dengan pulas, seakan-akan beban yang dipikul telah diangkat, lenyap terbang bersama terpaan angin yang kencang.
7 TAHUN SETELAH MENJANDA 4
Duduk bersandar kursi kayu di pinggir rel kereta api, seorang calon dokter sedang menuggu kedatangan kereta api. Arsenio William Ardiman yang biasa dipanggil Arsen adalah seorang mahasiswa Falkutas Kedokteran yang sedang menjalankan magang koas di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta.
Jujur, bukan keinginan dia menekuni kuliah jurusan beken itu, semua karena keinginan sang ayah yang berprofesi dokter sekaligus direktur utama rumah sakit tersebut. Kecintaannya terhadap fotografer yang diam-diam dia lakoni sekarang, mengantar dirinya di tempat tak lazim seperti ini untuk mengambil momen detik-detik kereta melintas.
Awalnya sorot mata mengarah ke atas langit yang terik di balik kacamata hitam sembari tangan menggenggam kamera mahalnya. Namun, perhatian dan pandangannya pun beralih ke arah kedatangan kereta yang terus menjerit dengan klakson yang mengganggu indra pendengaran. Tak biasanya kereta itu mengeluarkan suara berisik di tempat bukan lalu lalang mobil atau motor. Ini adalah lintasan tanpa hambatan di pinggir perumahan kumuh.
Sorot mata pun jatuh pada satu titik di mana ada seorang gadis yang menurutnya sedikit aneh dengan tingkah konyolnya. Berjalan di tengah tanpa mau mengindahkan suara teriakan kereta yang jarak semakin mendekati tubuhnya.
Karena rasa kemanusiaan yang tinggi, akhirnya Arsen berlari dan mendorong tubuh kurus itu sampai kedua tubuh mereka terhuyung jatuh ke pinggir rel. Nyaris. Keduanya hampir menjadi korban gilingan kereta panjang itu.
"Hai, sadar! Kenapa kau lakukan itu?" Pria berkaos abu-abu tersebut menepuk pipi wajah pucat gadis yang tak lain adalah Hana, gadis yang mencoba menghabiskan nyawa karena keputusasaannya.
Jiwa dokter dalam dirinya pun tumbuh ketika melihat pasien yang tergeletak lemah dengan luka siku tangan dan kaki yang mengeluarkan cairan merah pekat. Segera dia membopong gadis yang sudah tak sadarkan diri itu dan membawanya ke mobil. Hanya dua atau tiga orang dan dirinya yang tak sengaja bersembunyi, menonton adegan miris tersebut.
***
"Bagaimana kondisinya, Dok?"
"Setelah diperiksa, ada beberapa tulang di tulang rusuk belakang retak. Luka luar seperti yang ada di tangan dan kaki sudah dijahit. Kondisi fisik pasien bisa dibilang aman. Namun, psikis-nya sedikit tergoncang."
Pria itu mangut-mangut sembari memperhatikan tubuh yang sedang tertidur pulas di atas ranjang pasien.
"Saya dengar dari suster, ada janin di rahimnya. Apa janin itu aman, Dok?"
Arsen dengan leluasa bertanya pada dokter senior itu lantaran di rumah sakit inilah tempat dia seharusnya koas tadi pagi. Dia cukup mengenal dokter tersebut yang tak lain adalah sahabat papanya sendiri. Hanya saja tadi pagi, dia merasa kurang mood untuk melakukan aktifitas di rumah sakit sehingga dia harus berada di tempat dimana Hana mencoba meregangkan nyawanya.
"Aman, tapi harus diperhatikan lebih ekstra. Janinnya sangat lemah, kemungkinan besar bisa keguguran. Apalagi tadi ada guncangan yang besar saat dia terjatuh."
Dokter itu dengan sabar memberi penjelasan kepada calon dokter umum itu sambil menuliskan history pasien. Masih belum puas dengan segala informasi tentang kondisi gadis yang belum dikenalnya, Arsen terus melontarkan pertanyaan yang seharusnya dia ketahui sendiri. Pendidikan itu pernah dia dapatkan di bangku kuliah.
"Apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan agar janinnya tetap bertahan? Maaf, saya bertanya banyak hal, soalnya saya sendiri tidak tahu kronologis kenapa gadis itu bisa ada di tengah rel dan mencoba melakukan bunuh diri."
Mendengar kalimat terakhir dari bibir itu, dokter senior berkacamata tersebut mengalihkan pandangan sekilas ke gadis yang sedang memejamkan mata lalu mata itu dilempar ke wajah Arsen, bisa terlihat dengan jelas, Arsen menyimpan rasa khawatir di dalam hatinya.
"Istirahat yang cukup dan akan saya beri obat untuk menguatkan. Tetapi tetap harus diperhatikan dosisnya. Si ibu harus dijaga mental dan emosinya, batinnya terguncang. Mungkin kalau ada masalah, bisa diselesaikan dengan kepala dingin."
"Baik, Dok. Terima kasih."
Bersamaan dengan kalimat terakhir, pria berjas putih itu pun pamit dan keluar dari ruang yang serba putih itu.
Pria yang menolong Hana pun berjalan menghampiri tubuh yang kini terkulai lemah di kasur. Selang infus yang menancap punggung tangan, membuat tubuhnya tidak kekurangan cairan. Luka di kaki dan tangan sudah diperban. Tidak ada luka yang serius kecuali luka di hatinya.
Arsen yang berdiri tak jauh dari kasur itu pun merasa iba dengan insiden yang baru saja disaksikan walau dia sendiri tidak tahu persis apa penyebab Hana melakukan perbuatan itu. Namun, mengetahui janin yang bersemayam di rahimnya dan wajah pucat, dia menarik kesimpulan ada masalah serius dalam hidupnya. Apalagi dia tak sengaja membaca isi pesan WA dari kontak yang diberi nama 'sayang'.
Di sana, dia membaca pesan terakhir Hana, menanyakan keberadaan sang kekasih yang tak mendapatkan balasan apapun. Bukan sengaja kepo membuka pesan di aplikasi hijau itu, dia hanya ingin mencari keluarga atau teman yang bisa dihubungi agar mereka mengetahui dan mendatangi pasien tersebut. Untung saja, ponsel Hana tidak terkunci dengan kode sandi, sehingga dia dengan leluasa membuka dan mencari tahu di benda pipih itu.
Tak lama Arsen membetulkan posisi berdiri sebelum gadis delapan belas tahun itu membuka mata perlahan. Menghela napas lega ketika Arsenio mendapati mata indah mengerjap beberapa kali dan menanyakan keberadaannya.
"Kamu ada di rumah sakit." Itulah jawaban Arsenio dan tak menemui sahutan apapun lagi setelahnya.
Tatapan mata Hana benar-benar kosong, tidak ada gairah untuk melanjutkan sebuah kehidupan. Tiba-tiba dia teringat kembali kepingan kejadian sebelum dia berada di tengah rel untuk melenyapkan penderitaannya. Dia putus asa, frustasi dan merasa tak berguna lagi. Dia pun merasa ji jik dengan tubuhnya, berulang kali dia mengutuk diri sendiri yang terlalu bodoh mempercayai semua gombalan dan rayuan Mahendra.
"Kenapa nolongin aku? Harusnya biarkan aku pergi." Suara parau terdengar, ia menangis lagi sambil meremas selimut putih dengan kuat, menahan amarah yang akan meletup kembali.
"Egois kalau kamu mau mati tetapi ngajak bayi yang ada di perutmu ikut mati bersamamu."
Jawaban bijak Arsen memang sedikit menusuk hatinya, tetapi dia bergeming dan tak mau melihat wajah lawan bicaranya. Dia tak sanggup menghadapi apapun yang ada di depan mata, terutama ibu yang sudah melahirkannya. Wanita senja yang belum tahu menahu keadaannya. Bahkan sesungguhnya jika boleh, ia tak ingin memberitahukan yang sejatinya akan membuat hati ibu terluka.
"Jika ingin mengakhiri hidupmu, tunggu sampai bayi yang ingin hidup itu dilahirkan."
Lagi, pria dua puluh dua tahun itu melemparkan kalimat yang menyentil hati kecil Hana. Bagaimana dia begitu tega mengakhiri hidup sementara ada mahluk lain yang ingin memulai hidupnya.
"Dia tak tahu apa masalahmu sehingga pada akhirnya kamu memilih untuk mengakhirinya dengan cara yang dilarang Tuhan. Tolong, jangan libatkan dia. Jika dia bisa memilih, bayi itu pun tak mau berada di rahim ibu yang pesimis sepertimu. Sempit akal."
Kalimat demi kalimat Arsen ucapkan tetapi hanya isakkan tangis yang dia dapatkan dari gadis bermata bundar. Lagi, Arsen mengungkapkan pernyataan dan setelah itu, kedua sahabat Hana pun dapat menjemputnya. Iya, Arsen menghubungi Annisa, teman chatting Hana terakhir selain kontak dengan nama 'sayang' itu.
"Maaf aku bukan ingin mencampuri urusanmu, hanya saja, aku sebagai dokter di sini sangat menghargai nyawa pasien. Banyak di antara pasien yang aku temui setiap hari, mereka berjuang untuk bisa tetap hidup. Sementara kamu, ingin mengakhirinya tanpa pikir panjang. Tidak memikirkan bagaimana perasaan orang di sekitar saat mereka kehilanganmu. Orangtua, saudara, kerabat, dan teman-temanmu."
7 TAHUN SETELAH MENJANDA 5
Tidak sampai di situ, hati Hanami semakin hancur ketika dia pulang dari rumah sakit malam hari. Dia mendapati wajah sang ibu yang menyiratkan kedukaan yang amat terdalam.
"Hana, ini apa? Ini punya siapa? Kamu hamil? Siapa laki-laki itu?" Bertubi-tubi pertanyaan ibu tanpa menjeda. Dengan tangan terulur ke arahnya, ibu memperlihatkan benda tes kehamilan yang tergambar dua garis.
Jangankan memberi jawaban, gadis berambut tipis itu bahkan tak berani mengangkat kepala untuk menatap wajah sang ibu yang memendam amarah, mungkin sebentar lagi akan meledak seperti bom waktu. Wajah senja yang selalu menenangkan kini memerah, beliau tak bisa menyembunyikan rasa kekecewaannya.
"Hana, jawab ibu, siapa laki-laki itu?"
Ibu mengulang pertanyaan terakhirnya dengan nada dinaikkan satu oktaf, hanya ingin mengetahui siapa pria itu. Seketika hati Hana semakin menciut dan tersayat ketika sang ibu bukan lagi menanyakan kepemilikan benda itu, tetapi seolah sudah mengetahui bahwa dialah pemilik benda itu.
"Ibu, maafkan Hana."
Dia pun memberanikan mendekati lalu bersimpuh memeluk lutut ibu, meminta ampun dengan suara bergetar. Dia tak sanggup lagi menahan beban tersebut sendirian. Dia pun tak bisa menutupi aibnya terlalu lama dari ibu. Air mata yang ditahan, tak bisa dibendung lagi, kini luluh begitu saja menjejaki pipi putihnya.
"Apa yang kau lakukan, Nak? Kenapa bisa begini?"
Suara ibu semakin lemah, dia merasa sudah gagal menjadi orangtua untuk Hana. Apa karena tidak ada sosok ayah di tengah keluarga mereka, sehingga laki-laki itu tidak segan menodai anak perempuannya. Mata teduh itu pun mulai mengeluarkan bulir kesedihan yang sangat dalam, tak kuasa menerima jika benar putrinya tengah hamil di luar nikah.
Tak sanggup menjawab pertanyaan ibu, Hana mengeluarkan air mata yang terus menyembul walau sudah beberapa kali dia mengusapnya. Dia hilang kata, tak tahu bagaimana merangkai kalimat yang pas untuk menenangkan hati sang ibu, sementara hatinya sendiri diselimuti kegelisahan dan rasa bersalah. Iya, bersalah dengan Tuhan, sang ibu dan janin yang hampir dia bunuh.
"Hana, kasih tahu ibu, siapa?"
Amarah ibu semakin memuncak ketika satu menit, dua menit sampai lima menit ia belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Dia menghentakkan kaki guna melepaskan pelukan Hana di lututnya. Dia ingin memastikan siapa pria bajingan yang berani mengambil kehormatan putrinya.
Sesaat gadis yang bernama lengkap Hamami Ramadhani itu pun terhempas ke lantai beberapa jengkal. Dia masih terisak, tenggorakan seolah tercekik, kata-kata yang sudah dia rangkai di rumah sakit kini meluap. Bingung, bagaimana menjelaskan kala sore itu mereka melakukan hubungan terlarang itu karena sama-sama mau dan berdasarkan kesepakatan bersama, menguji kadar cinta pasangan masing-masing. Ah, bodoh sekali.
Hati orangtua mana yang tak hancur melihat putrinya diperlakukan seperti sampah yang tak berguna, mengambil sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Sesuatu yang seharusnya dipersembahkan untuk imamnya di malam pertama. Beliau merasa gagal mendidik putrinya.
Diam-diam ibu merasa bersalah karena selama ini kurang perhatian dan hanya fokus dengan pekerjaannya demi menyambung hidup dua orang itu. Ayah Hana dulunya hanyalah seorang pedagang bubur yang memejamkan mata untuk selamanya karena kanker paru-paru yang sudah menahun.
Sang ibu juga bukan tak tahu siapa kekasih putrinya. Namun, dia tak mau menduga kalau yang menghamili putrinya adalah Mahendra meskipun ia sudah bisa menebaknya. Dia mau mendengar langsung pengakuan dari bibir gadis tersebut, siapa ayah dari janin yang ada di rahimnya.
Malam itu, Hana masih bungkam, belum siap untuk menyatakan fakta yang sebenarnya. Sampai saat sang ibu memaki dan menamparnya, dia pun masih mempertahankan diamnya. Tak tahan lagi, sang ibu pun mengunci diri ke kamar, tanpa mau bertegur sapa dengannya selama seminggu.
Perlahan, di saat merasa bisa menerima keadaan, siang itu Hana pun mengakui semuanya kala ibu sedang memasak di dapur. Dia berlutut dan pasrah dengan apa yang akan ibu lakukan untuknya.
"Jika Ibu mau memukul atau mengusir Hana, silakan, Bu. Hana siap menerima konsekuensinya. Hana bersalah dengan Ibu, tidak bisa menjaga diri dengan baik. Hana merasa tak berguna menjadi anak Ibu. Silakan Ibu marah dan menghukum Hana."
Ucapan itu lolos begitu saja bersamaan dengan air bening itu yang ikut berdesakan turun begitu saja tanpa permisi. Remuk redam ditinggal sang kekasih yang amat dicintai ternyata begitu sangat besar, menusuk sampai ke otot jantung. Remuk di hati yang dirasakan sampai dia berkeinginan untuk mati demi mengakhiri semua rasa sakit yang ada.
Mendekati dan memeluk putri satu-satunya, ibu tahu ini adalah kesalahan terbesar yang pernah Hana lakukan. Namun, nasi telah menjadi bubur, terus memarahinya pun tak akan menyelesaikan masalah, toh ini sudah terjadi. Pria itu sudah pergi demi mencapai impian dan masa depan, meninggalkan putrinya.
Tanpa mengucap apapun yang akan menambah kesedihan Hana, ibu pun terus mengelus punggungnya yang masih berguncang. Beliau paham dengan keterpurukan dan kesedihan putri satu-satunya itu.
Siang itu, seolah alat dapur maupun benda yang ada di sana menjadi saksi, melihat tangisan kedua manusia yang mengutuk nama Mahendra sebagai tersangka yang harus mereka lupakan.
Mereka masih larut dalam tangisan sendu masing-masing, berpelukan dan saling menguatkan dan menenangkan.
Setelah menceritakan dan mendapatkan maaf dari ibu, Hana pun menjalankan kehidupan seperti biasa, berusaha berdamai dengan keadaannya yang tengah hamil.
Cita-cita? Ah, jika tidak bunting, mungkin dia sudah duduk di bangku kuliah Fakultas Kedokteran, menjadi dokter, impiannya sejak kecil.
Dia, gadis yang kurang beruntung lantaran pengajuannya ditolak kala ia mendaftar ulang di kampus itu. Hasil tes kesehatan menunjukkan dia tengah berbadan dua, tidak memenuhi syarat walaupun dia lulus test masuk dengan nilai akademik yang memuaskan.
Lenyap dan musnah sudah semua harapannya. Sirna segala angan dan keinginan terbesar yang bisa membanggakan keluarga terutama mendiang ayah dan ibu yang telah membesarkannya.
Tak ada yang tahu kalau setiap malam Hana membenamkan diri di dalam kamar, menangis tanpa suara demi menghindari pertanyaan ibu. Dia pun tak mau wanita yang melahirkannya itu ikut merasakan kepedihan hati ketika ingatan tentang Mahendra datang menghampirinya. Ia hanya ingin menikmati perih yang menyesakkan dada sebagai pelengkap mimpinya.
Beberapa minggu kemudian, mereka pun memutuskan untuk pindah dari tempat yang sudah mereka tinggali sejak Hana masih kecil, guna menutup aib keluarga. Menghindari lebih baik daripada mendengar omongan tetangga tentang anak haram tanpa sosok bapak yang dikandungnya.
Dia berusaha membuang semua kenangan dan melupakan sang pecundang yang telah menipunya. Hidupnya kini hanya fokus dengan janin yang ada di rahim. Sehari-hari dia membantu ibu membuat kue pesanan tetangga atau kenalan. Di tempat baru, Hana pun jarang keluar. Semua kebutuhan sehari-hari atau sekadar ke pasar, ibulah yang membelinya.
Tidak ada yang tahu keberadaan Hana sekarang, dia bahkan menutup diri dari dunia maya. Semua akun sosial media dinonaktifkan. Nomor telepon pun dia ganti guna membentengi diri dari pertanyaan teman atau saudara tentang keberadaannya sekarang. Dia ingin hidup tenang dan bahagia. Tekadnya hanya satu yaitu membesarkan anaknya, hingga kelak menjadi orang yang berguna.
"Yang tegar ya, Nak. Mama pasti akan menjaga, merawat dan mempertahankanmu. Kita harus lupakan masa lalu dan meraih kebahagiaan walau tanpa pria pengecut seperti dia."
Hanami bergumam sambil mengelus perutnya yang masih rata. Ada senyuman getir terbit di sana dengan hati yang menyimpan sejuta luka.
Mengusap pipi yang basah akibat tetesan airmata, Hana berucap lagi dengan suara lirih.
"Mahendra, kisah kita kini sudah usai, semuanya tinggal kenangan. Kita putus."
Buku ini sudah tamat. Jika berkenan, bisa lanjut ke link berikut
https://karyakarsa.com/Herlinateddy/series/7-tahun-kepergianmu
FULLPART (lebih hemat) bisa baca di sini.
https://karyakarsa.com/herlinateddy/rewards
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
