
Deskripsi
Part 4-5 udah update ya..
Jgn lupa komentar jg^^
2,846 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Hanya.. Kamu
Selanjutnya
My Marriage ( Part 1 - 10)
0
0
Part 1 Namaku Yesa Andini Utami, usiaku 25 tahun. Orang-orang memanggilku Dini. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Lia Dwi Ariyanti, dia masih sekolah SMA kelas 2. Sedangkan aku bekerja di salah satu perusahaan swasta sebagai resepsionis. Di sana sudah 3 tahun lamanya aku bekerja. Statusku bukan lagi single, aku mempunyai kekasih. Dulu kami teman SMA. Malik menyatakan cintanya padaku setelah lulus sekolah. Dia mengatakan merasa malu jika berpacaran ketika SMA. Pasti banyak yang meledekinya. Aku mengerti akan itu. Aku mencintainya begitu pun sebaliknya. Banyak rintangan yang kami lalui sampai saat ini. Berjuang bersama-sama menjaga hubungan kami awet. Ponselku berdering saat aku membereskan tasku karena sudah waktunya pulang. Terlihat dari layar ponselku nama kontak yang sedang meneleponku yaitu Ayah. Aku segera mengangkatnya. Halo, Assalamualaikum.. Wa'alaikumsalam, kamu pulang sekarang juga! ucapnya. Dahiku mengerut dan bertanya-tanya, kenapa nada bicara ayah terdengar marah. Iya, Yah. Aku pulang cepet. Ayah mematikan sambungan teleponnya. Firasatku mengatakan ada yang aneh. Aku segera mengemasi barang-barangku ke dalam tas. Tidak lupa menelepon Malik memberitahu untuk tidak menjemputku untuk pulang bersama. Sepertinya ada masalah urgen di rumah. Aku menggunakan jasa ojek online untuk sampai rumah. Di depan rumah terlihat sepi, biasanya Ayah selalu duduk di teras sambil mendengarkan burung kesayangannya berkicau. Tapi kali ini pintu rumah tertutup rapat. Aku mengucapkan salam saat masuk ke dalam rumah. Firasatku semakin meyakinkanmu jika memang ada tidak beres. Ibu sedang duduk di sofa sambil menangis sedang adikku duduk di sudut dinding. Ayah berdiri dengan wajah memerah murka. Ma, ada apa ini? tanyaku yang tidak tahu apa-apa, seraya menaruh tas. Aku mendekati hendak mencium tangan ayah. Namun ayah justru mengibas tanganku. Ayah, Adikmu hamil! seolah nyawaku di cabut detik itu juga. Aku langsung syok menoleh pada Lia. Tidak percaya. Ternyata rambut adikku sudah tidak karuan dan dia memegang pipinya. Pasti ayah menamparnya atau memukulnya. Itu boong kan, Lia? tanyaku dengan bibir gemetar. Adikku justru semakin menangis. Ma, ini nggak benar kan? tanyaku lagi memastikan. Mama tidak menjawabnya. Seketika kakiku lemas, luruh di lantai. Dia bikin malu keluarga! Ayah udah nasehatin untuk jaga diri. Malah kejadian kayak gini! Ini karena didikanmu, Ma! bentak Ayahku. Aku yang di salahkan terus! Ini semua juga salah Ayah! Ayah kepala rumah tangga! sahut Mama tidak mau di salahkan. Pandanganku seakan mengabur. Aku menangis sejadi-jadinya. Orang tuaku adu mulut tanpa mau ada yang mengalah. Lia hanya bisa menangis. Siapa dia, Lia! Siapa yang melakukannya! teriakku frustasi sambil menangis. Lia diam tidak mau menjawabnya. Ayah udah tanya tadi. Tapi dia nggak mau jawab! bentak Ayahku. Lia, siapa dia? tanyaku dengan nada lembut. Aku salah meneriakinya, Lia semakin tidak mau menjawab dan ketakutan. Kalau dia nggak mau jawab, usir aja dari rumah! ucap Ayahku. Aku mencoba berdiri lalu berjongkok di depannya. Siapa dia, Lia? tanyaku dengan berurai air mata. Aku mengusap rambutnya. Aku tidak tega membayangkan adikku yang lugu dan penurut bisa hamil seperti ini. Dan dia masih sekolah. Lia menutup telinganya. Ia semakin ketakutan. Aku segera memeluknya. Tenang, Lia.. Tenang.. Lia justru menangis meraung-raung sampai aku mencoba menenangkannya. Tidak terduga adikku jatuh pingsan. Lia, bangun Lia. Ya ampun, Lia! pekikku. Aku dan Mama berusaha menggendongnya ke kamar. Setelah siuman dan tenang, Lia bercerita semuanya. Siapa yang menghamilinya dan juga bagaimana kejadian itu terjadi. Lalu dia tertidur di kamarnya. Orang tuaku duduk di ruang TV. Wajahnya terlihat sangat kecewa terutama Ayahku. Aku memberanikan diri untuk bicara. Jadi gimana, Yah? Dia harus nikah sama bajingan itu! ucap Ayahku dengan benci. Kita lapor polisi! Aku dan Mama saling memandang. Kedua mata kami sembab. Melaporkannya itu sama saja lebih mempermalukan keluarga. Yah, lapor polisi dan ngebiarin semua orang-orang di sini tau? Itu sama aja mempermalukan kita. Iya, jangan lapor polisi. Mama ikut menyetujui. Terus mau bagaimana?! tanya Ayahku yang tidak bisa menahan amarahnya. Kita minta tanggung jawab ke orang tua Andi. Untuk menikahi Lia. Dengan cara kekeluargaan, Yah. Banyak yang di pertaruhkan jika semua orang tahu kondisi Lia hamil di luar nikah. Kehormatan keluarga dan juga bagaimana jika orang tua Malik, kekasihku tahu. Itu sama saja mencoreng harga diri keluarga kami dimata mereka. Ayah terdiam, mungkin berpikir kembali. Jika mengandalkan emosi saja pasti akan berantakan. Besok panggil orang tua Andi ke sini. Iya, Yah. Aku yang harus mendatangi mereka. Tapi, sela Mamaku. Mama minta kamu menikah lebih dulu, Dini. Aku terperangah, apa maksud Mama? Kamu nggak boleh di langkahi adikmu. Pamali, kalau kata orang dulu. Apa lagi kamu perempuan, nggak boleh di langkah adiknya. Bisa lama dapet jodohnya, ucap Mamaku. Ya, aku pernah mendengarnya. Tapi hubunganku dengan Malik jauh dari kata serius. Kami memang berpacaran sejak lulus SMA. Namun belum memikirkan pernikahan. Ma, itu cuma mitos aja. Lebih baik kita pikirin nasib Lia dulu. Benar kata Mamamu. Kamu harus menikah lebih dulu. Besok panggil Malik juga ke sini. Ayah mau tanya, kapan dia melamarmu. Kalian udah pacaran lama, udah waktunya menikah. Aku tahu sebagai orang tua mungkin mereka khawatir. Tapi aku bingung harus bagaimana. Pernikahanmu bisa menutupi aib keluarga kita, Dini. Kalau pun Lia dan Andi menikah. Mereka nggak menikah dan nggak tinggal di sini. Mereka harus pergi ke Bandung dan jangan kembali sampai Lia melahirkan, sambungnya. Ayah mau telepon Om Tian. Membicarakan masalah ini. Tapi Yah, ucapku dengan gelisah. Kepala Ayah udah mau pecah rasanya. Besok suruh Malik ke rumah. Ayah tidak mau mendengar ketidaksetujuanku. Beliau beranjak dari sofa. Meninggalkanku dan Mama. Ma, Mamaku meraih tanganku lalu menggenggamnya erat. Tolong adikmu, Dini. Tutupi aib keluarga kita, pintanya dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Cuma kamu satu-satunya yang bisa menyelamatkan harga diri keluarga kita. *** Aku menelepon Malik untuk membicarakannya namun tidak ada jawaban. Dia tidak mengangkat teleponku. Aku melirik jam dinding pukul 23.00 WIB. Mungkin dia sudah tidur. Aku mengurungkan niatku untuk meneleponnya kembali. Takut mengganggunya. Kepalaku pusing sekali. Aku belum mengganti pakaian sejak pulang kerja tadi. Pikiranku hanya pada Lia. Tubuhku rasanya lelah sekali. Aku memutuskan untuk mengganti pakaianku terlebih dahulu sebelum tidur. Lalu berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Tidak terasa air mata meleleh di sudut mataku. Cobaan yang Tuhan berikan begitu mengguncangku dan keluargaku. Apa kata tetangga? Apa kata keluarga yang lain? Setelah mengetahui Lia yang masih sekolah hamil. Aku meremas rambutku kencang berharap ini hanyalah sebuah mimpi. Aku hanya cukup bangun dan semuanya berakhir. Nyatanya, bukan mimpi. Aku masih berbaring dengan frustrasi. Yang aku ragukan adalah kesiapan Malik untuk melamarku. Dia tidak mungkin mau jika menikah terburu-buru seperti ini. Aku tahu sifat kekasihku. Karena itu aku tidak pernah menuntutnya untuk cepat-cepat menikahiku. Katanya banyak yang harus di siapkan. Mental dan juga secara finansial. Kami harus memikirkan matang-matang jika ingin menikah. Lagi pula kami masih ingin menikmati masa pacaran. Usia kami tergolong masih ingin main-main belum serius. Tapi kini lain, semuanya di luar dugaan. Aku harus menanyakan keseriusan pada Malik. Yang ada di benakku adalah apa Malik siap menikahiku dalam waktu dekat. Untuk menutupi kehamilan Lia. Di desak seperti ini aku takut jika Malik justru memutuskanku dan menjauhiku. Lia, kenapa kamu bisa ngelakuin ini pada keluarga kita! Aku marah, aku murka dengan apa yang menimpa Lia. Adikku tidak bisa menjaga kehormatannya sebagai seorang perempuan. Aku yang mempunyai kekasih saja tidak pernah sejauh itu. Karena aku tahu konsekuensi apa yang harus aku tanggung.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan