Feeling (Full)

1
0
Locked
Description

Seumur hidup Aisha Hasna Purnawitra sudah pernah merasakan apa yang namanya patah hati, cinta sepihak dan bertemu dengan pria pemberi harapan palsu alias PHP.

Di usia yang ke 31 tahun ia sudah putus asa dengan jodohnya. Berulang kali Aisha hanya mendapatkan luka. Dan pada akhirnya gadis itu pun meminta kepada orang tua untuk di jodohkan dengan seseorang.

Siapakah pria yang dapat memiliki hatinya. Ketika hatinya sudah mati rasa?

 

***

Part 1 - Kehilangan

 

 

Ia menatap ponselnya cukup lama. Bukan menunggu...

27,592 words

Unlock to support the creator

Choose Your Support Type

Post
1 content
Lifetime Access
500
Have paid? Login to access
Post Category
Novel Full
Next One More Time (Full)
3
0
Sekuel Replacement Of Heart & Feeling. Hidupnya bagaikan sebuah mimpi. Baru kemarin dirinya mengenakan gaun pengantin. keesokan harinya mengenakan pakaian berkabung. Baru satu hari menikah Zhavira sudah berganti status menjadi seorang janda. Tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya semerana ini. Ia mencintai suaminya dengan tulus tapi mengapa Tuhan mengambilnya begitu cepat.Zhavira Prima Khalid, usianya yang masih sangat muda. Dengan pendidikan terakhir hanya lulusan SMA. Ia memutuskan untuk menikah muda di bandingkan melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Namun hidup harus terus berjalan. Apa lagi kini, ia yang merawat anak Almarhum suaminya Rendi. Jihan adalah anak yatim piatu.Entah bagaimana kehidupan Zhavira selanjutnya. Apakah ada pria yang mau menerima Zhavira apa adanya? Gadis yang terkenal dengan sebutan janda kembang.***** Part 1 Zhavira menunggu jam sebelas tiba karena harus menjemput Jihan dari sekolah. Duduk di ruang TV menekan remote berulang kali mengganti channel TV, bosan tidak ada acara yang seru. Akhirnya Zhavira beranjak ke luar rumah. Ibunya sedang duduk di teras sambil membersihkan beras dari batu serta gabah. Ia berdiri di ambang pintu dengan mata yang menatap ke arah jalanan. Vira! Nggak boleh berdiri di pintu. Pamali itu, entar jauh jodoh! seru ibunya sambil melotot. Bu Mali nya ke mana, Ma? kelakar Zhavira seraya menghampiri sang ibu. Ikut duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu. Kamu ini ya kalau di kasih tau! Ngeyel terus!! Ibunya berdecak kesal. Iya, Mama sayang, Zhavira memeluknya dari samping. Udah sana jemput Jihan kasihan dia kalau nunggu lama. Zhavira mengenakan t-shirt putih dan celana kulot. Ia berdiri lalu memberi hormat, siap bos!! ucapnya sebelum pergi. Merogoh saku celana mengambil kunci motor miliknya. Dan bergegas menstater motor lalu pergi. Sang ibu memandangi punggung putrinya dengan sulit di artikan. Membuang napasnya pelan. Andai saja.. gumamnya. Motor matic berwarna hitam itu melesat melewati persawahan sepanjang jalan menuju sekolah. Padi yang masih hijau berbaris rapih. Pemandangan yang sangat menyegarkan mata. Angin yang begitu kencang menerpa tubuhnya karena sedang mengendarai motor. Dari kejauhan ia melihat Jihan sedang bicara dengan seseorang tidak dikenalnya di depan sebuah mobil. Sontak Zhavira menaikkan kecepatan motor tersebut. Teringat banyak penculikan anak untuk diambil organ tubuhnya saja. JIHAN!! teriaknya kelabakan. Berhenti tepat di depan Jihan. Ayok, pulang! Maaf, Mbak.. Apa Mbak tau rumah Pak Lurah. Zhavira menatap tajam pria paruh baya itu, apa urusan anda menanyakan itu pada saya?! Ya? wajah pria paruh baya itu tercengang. Ayok Jihan naik, ia menunggu Jihan naik ke motor tapi tidak naik-naik. Om, jalan lurus aja dari sini. Jihan menunjukkan arahnya. Terus di sana ada kantor kelurahan. Om bisa tanya di sana ada Pak Lurah atau nggak. Ya ampun, Jihan! Cepet naik! omel Zhavira tidak sabaran. Putrinya segera naik, tahu bisa gawat jika Mamanya marah. Ia segera menyalakan motor meninggalkan pria paruh baya itu dan seseorang yang sedang menyenderkan tubuhnya ke mobil. Pria itu memakai kacamata hitam. Jihan memeluk erat perut Zhavira dari belakang. Jihan, apa kamu lupa apa yang Mama bilang! Mama bilang kan harus hati-hati kalau ada orang gila. Katanya orang gila itu cuma pura-pura gila buat nyulik anak-anak. Kalau yang tadi kan pakaiannya rapih, jawab Jihan dengan polosnya. Kamu lupa ya, jangan bicara sama orang asing juga! cerocosnya. Jihan mengerucutkan bibir lupa mengenai pesan yang itu. Kedua orang tadi tidak terlihat seperti orang jahat, pikirnya. Zhavira mengomel selama perjalanan pulang. Bagaimana pun Jihan tetap putrinya meski bukan darah dagingnya. Zhavira menyayanginya melebihi dirinya sendiri. Ia telah mengenal sejak Jihan berusia 4 tahun. Ketika bertemu Rendi untuk pertama kalinya. Zhavira mengusir pikiran tentang Almarhum suaminya. Bisa-bisa air matanya merembes keluar. Sampai di rumah ia menyuruh Jihan untuk ganti pakaian dan makan. Helaan napasnya terdengar keras. Tiba-tiba rasa lelah menyerang terlebih hatinya. Sudah satu tahun Zhavira menjanda. Tidak pernah terlintas untuk menikah kembali. Rasa kehilangan untuk selama-lamanya membuat jiwa Zhavira hancur berkeping-keping. Menyisakan serpihan-serpihan luka yang bertebaran di hatinya. Ia terperosok terlalu jauh, untuk kembali rasanya sulit. Meski pun ingin mencobanya sekali lagi. Tidak dalam waktu dekat, mungkin 2 atau 3 tahun lagi. Mama, di panggil Abah. Terdengar suara Jihan dari dapur. Zhavira masih duduk di ruang TV sedang beristirahat. Mau apa? sahutnya kencang. Nggak tauuuu, jawab Jihan panjang. Dengan langkah gontai menghampiri ayahnya di belakang rumah. Jihan masih makan siang di meja makan sendirian. Zhavira mengisenginya dengan mengacak-ngacak rambut sebelum menemui ayahnya. Jihan menggerutu tidak jelas. Pria paruh baya itu sedang duduk di saung di temani ayam peliharaannya. Cuaca memang sedang panas-panasnya. Ayah Zhavira hanya mengenakan t-shirt oblong berwarna putih dengan celana pendek. Ada apa Yah? tanya Zhavira seraya duduk di sebelahnya. Itu rumah bener nggak mau kamu tinggalin? Nggak Yah, aku mau tinggal di sini aja. Boleh kan? seraya melihat raut wajah ayahnya. Untuk tahu apa di izinkan atau tidak. Ya udah kalau begitu. Tapi dari pada kosong lebih baik di kontrakan aja, gimana? usul ayahnya. Boleh Yah, tapi aku maunya taunan. Biar uangnya gede gitu. Uang hasil rumah itu akan digunakan untuk biaya Jihan sekolah nanti. Sebenarnya rumah itu adalah warisan miliknya. Ayah Zhavira memberikan rumah masing-masing kepada anaknya. Berhubung ia yang menikah duluan jadi di bangunlah untuknya. Namun naasnya impian untuk tinggal di rumah itu hanyalah tinggal kenangan saja. Ya udah kalau gitu. Kemarin Mang Darma nanyain ke Ayah. Katanya dia nyari rumah yang mau dikontrakkan. Tapi ayah minta persetujuanmu dulu. Oia, mau dikontrakkan berapa? Kira-kira berapa, Yah? tanya Zhavira sambil berpikir berapa harga pasaran sekarang kalau satu rumah. Sekarang kalau satu rumah itu rata-rata dua belas juta, Vira, Ayahnya memberitahu. Oke, segitu aja, Yah. Zhavira mengangguk pasti lalu tersenyum. Mudah-mudahan Mang Darma belum dapat ya. Aamiin.. Panen ubi gimana, Yah? tanyanya mencari obrolan. Semenjak Zhavira menjadi janda Ayahnya jarang sekali mengajaknya mengobrol atau bercanda. Entah kenapa seperti ada batasan yang menjulang tinggi di antara mereka. Sebelum pernikahan Ayahnya memang tidak memberi restu Zhavira menikah dengan Rendi. Tapi ia tetap ngeyel, dan akhirnya perjuangannya berujung kesia-siaan. Zhavira berhubungan serius dengan Rendi sejak lama. Dua tahun pacaran lalu mereka memutuskan untuk menikah namun di tentang oleh Ayah Zhavira. Saat itu putrinya masih sekolah SMA. Di kampung menikah muda bukanlah hal tabu. Namun ada perasaan was-was sebagai seorang ayah saat putrinya ingin menikah di usia masih muda. Rendi lebih tua dari Zhavira sehingga sudah mantap untuk menikahi kekasihnya. Meski pun pada akhirnya Ayah Zhavira menyetujui pernikahan itu dengan syarat harus lulus sekolah dulu. Ayah Zhavira takut jika Zhavira nekat karena ingin menikah lalu melakukan hal-hal yang buruk seperti hamil di luar nikah. Lebih baik mereka dinikahkan saja. Tanpa waktu lama Rendi segera melamar dan pernikahan itu terjadi. Besok panennya, kamu jangan lupa besok pagi-pagi mandorin yang kerja. Ayahnya memberi peringatkan. Sama ngitung berapa kilo semuanya itu? Emangnya nggak borongan aja, Yah? Tengkulaknya nggak mau, maunya itung per kilo. Zhavira mengangguk mengerti. Iya, abis Sholat Subuh aku langsung ke kebun. Iya, Mereka kembali diam. Tidak ada obrolan lain selain pekerjaan. Zhavira menunduk memperhatikan ayam-ayam yang sedang mencari makan. Kedua adiknya masih sekolah di bangku SMP dan SMA. Zhavira anak pertama seharusnya menjadi kebanggaan orang tua tapi malah mempermalukan mereka. Dengan status yang kini disandangnya. Kadang ia berpikir, apa ini takdirnya? Menjadi janda di usia muda. Yang tidak pernah disesalinya yaitu Rendi menitipkan seseorang yang berharga dalam hidupnya yaitu Jihan. Orang tua Zhavira tidak keberatan menerima Jihan. Mereka menyayangi Jihan juga yang sudah di anggap cucu sendiri. *** Jika sudah malam adalah waktunya Zhavira sendiri. Ia melihat foto Rendi di keheningan. Ritualnya sebelum tidur. Berharap pria itu akan muncul di mimpinya. Melepaskan kerinduan yang menumpuk dihati Zhavira. Gadis itu berbaring sambil memeluk foto pernikahannya dengan Rendi. A, gimana kabarmu di sana? Apa kamu nggak kangen sama aku apa? omelnya. Kenapa sekarang udah nggak muncul lagi di mimpiku? Apa di sana kamu ketemu bidadari cantik? ia menggigit bibirnya kencang. Menahan air mata yang siap meluncur bebas. Apa yang harus aku lakuin sekarang? Kamu pergi begitu cepat tanpa ngasih aku ucapan selamat tinggal. Oia, Jihan, baik-baik aja. Kamu pasti bisa liat kan, ternyata Jihan lebih kuat dibandingkan aku. Zhavira tidak tahan lagi untuk tidak menangis. Ia terisak tanpa suara. Aku mau tidur dulu ya, A. Besok pagi aku harus ngebantuin Ayah panen. Kalau nggak nanti ayah nggak ngasih aku uang. Ia mengusap air matanya. Tidak lupa mencium foto Almarhum suaminya. Met malem.. I love you.. lalu menaruh frame foto Rendi disampingnya. Seolah-olah tidur bersama suaminya. Ia menarik selimut hingga dada. Dalam tidurnya berharap Rendi datang dan memeluknya erat.  Part 2 Zhavira membuka matanya lalu menggeliat merenggangkan ototnya yang terasa kaku. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar. Ada meja rias, lemari dan juga 1 rak yang berisi sepatu, tas dan juga boneka di sudut dekat kamar mandi. Semua barang yang Rendi berikan semasa mereka berpacaran dulu masih tersimpan rapih. Yang paling menyenangkan dari kamarnya adalah terdapat sebuah balkon. Di mana dari balkon tersebut ia bisa melihat pemandangan hamparan padi yang masih hijau terbentang luas. Di dinding tidak terpajang foto pernikahannya satu pun. Hanya ada foto keluarga, Jihan dan juga dirinya. Zhavira tidak ingin lukanya kembali menganga lebar. Ia hanya menyimpan satu foto Rendi yang sedang di sampingnya kini. Foto di mana mereka masih pacaran dulu. Suaminya mengenakan kemeja flanel berwarna biru tua sedang tersenyum. Met pagi, A, sapanya. Ia mencium tepat bibir Rendi di foto tersebut. Senyuman lebar menghiasi paginya. Ia bukanlah gadis yang terbawa perasaan. Kesedihannya akan di simpan seorang diri. Jika keluar dari kamar ia akan menjadi gadis yang tangguh. Zhavira bangkit lalu menggeser pintu yang terbuat dari kaca. Dari dulu ia ingin sekali kamarnya mempunyai balkon. Ayahnya tentu saja mengabulkan request khusus dari anak perempuan satu-satunya. Hari masih gelap yang terdengar suara Adzan Subuh berkumandang merdu. Ia memejamkan mata dan merentangkan tangannya lalu menarik napas panjang. Terima kasih Yaa Allah, hari ini aku bangun dengan nggak kurang satu apa pun. Matanya terbuka lebar memandangi lampu yang berkelap-kelip indah. Aku masih bisa melihat keagungan Mu. Setelah Adzan selesai berkumandang. Ia bergegas untuk mengambil wudhu. Ketika hendak mengenakan mukena, pintu kamar di ketuk oleh Jihan. Zhavira membuka ternyata putrinya ingin shalat berjamaah. Mereka menjadi shalat bersama-sama dengan hikmat. Jihan, hari ini Mama nggak bisa nganter sama jemput kamu ya. Mama ditugasin buat jadi mandor panen sama Abah. Nanti Mang Daus yang anter-jemput, Zhavira mengusap kepala Jihan yang masih tertutup mukena. Iya, Ma, jawab Jihan dengan pengertiannya. Ya udah Mama mau mandi dulu, terus mau ke kebun. Kamu nanti juga mandi awas cuma cuci muka doang! Ih, kata siapa? bibirnya mengerucut. Abah sama Nenek yang bilang, yeee.. Ih, kok Abah sama Nenek ngadu sama Mama sih. Jihan keluar kamar dengan mukenanya belum di buka. Ia cemberut. Zhavira terkekeh melihat kelakuan Jihan. Ayok, Vira semangat!!! serunya menyemangati diri sendiri. Di kebun nggak ada yang buat cuci mata. Paling bapak-bapak sama bocah-bocah yang suka ambil ubi kalau beres panen. Jadi nggak usah dandan ajalah. Zhavira mandi terlebih dahulu sebelum ke kebun. Wajahnya hanya memakai sunblock dan juga pelembab bibir. Pakaian yang dikenakan pun t-shirt merah, dilapisi kemeja flanel, celana jeans dan topi. Tidak lupa membawa tas di pinggangnya. Ia menyelipkan buku, pulpen serta kalkulator untuk menghitung hasil panen. *** Dengan mata yang masih tertutup tangan pria itu meraba ranjang mencari ponselnya yang berdering nyaring. Suara itu membangunkan dari tidurnya. Mata pria itu mengerjap seraya melihat layar ponsel yang menyala terang. Tertera nama si penelepon. Daddy Hallo.. jawabnya dengan suara khas baru bangun tidur. Kamu baru bangun? Ini masih pagi Daddy, Terdengar helaan napas dari si penelepon yang disebut pria itu 'Daddy' Sekarang bangun terus olahraga. Aku kelelahan, Daddy. Kemarin baru sampai Bogor. Sekarang kamu di mana? Di hotel, pria itu menguap. Bagaimana itu lokasi udah kamu survei? Kemarin aku belum sempat ketemu sama Pak Lurahnya untuk tanya-tanya soal lokasi. Pak Lurahnya nggak ada, Daddy. Ia teringat kemarin saat menanyakan pada anak kecil di depan sekolahan. Bertanya pada ibunya itu yang paling mengesalkan. Pria itu mendengus mengingat bagaimana wanita itu menjawab pertanyaan Pak Fandi. Oh, begitu, jangan sampai tanah itu dibeli orang lain. Daddy sudah cek kalau tanah itu dapat izin untuk dibangun perumahan. Iya. Daddy, aku mau menyewa rumah di sini aja. Bolak-balik dari hotel ke lokasi itu macetnya aku nggak tahan. Bisa habis waktu di jalan. Dan juga untuk pendekatan ke pemilik tanah sulit. Karena mereka punya kesibukan masing-masing. Harus pintar mengatur waktu pertemuan. Pria itu bangun lalu menyenderkan punggungnya ke kepala ranjang. Rambut mencuat kemana-mana. Selimut hanya menutupi pinggul. Menampilkan dadanya yang bidang. Daddy percaya padamu. Thank you, Daddy, Mandi terus olahraga! Mommy mu rewel nyuruh Daddy menelepon. Baru di tinggal satu hari saja Mommy sudah gelisah. Bilang sama Mommy, I love you. Okay, hati-hati di sana Rei. Iya, Dad. Sambungan telepon telah di akhirinya. Pria itu segera beranjak dan mengerjakan apa yang dikatakan sang ayah yaitu mandi. Ia menyibak selimut lalu berjalan ke kamar mandi dengan hanya mengenakan celana pendek saja. Pundaknya yang lebar dan lengannya berotot. Ia sangat rajin berolahraga hingga tubuhnya berbentuk. Dikamar mandi terdengar shower yang menyala pria itu sedang mandi. Pria itu berusia 29 tahun dengan tinggi 182 cm dan berat tubuhnya 70 kg. Pria keturunan Indo. Ayahnya campuran antara Indonesia, Tionghoa dan Amerika. Ia, 4 bersaudara. Kakak pertamanya menetap di Amerika bersama suami dan juga anaknya. Mereka satu ibu tapi beda ayah. Tapi mereka saling menyayangi satu sama lain. Alden, adik laki-lakinya masih kuliah di Boston. Pria itu mempunyai kembaran berjenis kelamin perempuan yang sudah menikah dan tinggal di Singapura. Bernama Nuria. Selesai mandi ia mengambil handuk lalu dililitkan ke pinggangnya. Air masih menetes dari rambutnya. Ia mengambil ponsel yang berada di atas ranjang untuk menghubungi seseorang. Sembari menunggu panggilannya dijawab pria itu membuat kopi sendiri dengan mengerjakannya satu tangan. Tangan yang satunya memegang ponsel yang ia dekatkan ke telinga. Hallo.. sapanya. Assalamu'alaikum, Pak Fandi. Gimana sudah dapat rumahnya? Pria itu mendengarkan ucapan dari si penelepon. Oh, kalau begitu nanti siang saya lihat dulu ya. Kalau cocok, baru saya sewa rumah itu. Oh, minta tahunan ya, ucapnya terhenti sejenak sambil berpikir. Iya, nggak apa-apa kalau si penyewa maunya taunan. Makasih ya, Pak Fandi. Maaf mengganggu.. Assalamualaikum. Ia menutup ponselnya. Eum.. Maunya taunan. Ia menyesap kopi yang telah dibuatnya. Pukul 10.00 WIB pria itu melihat rumah yang akan ditempatinya. Ia ke sana menggunakan mobil Fortuner hitam miliknya. Jalanan ke kampung tersebut memang sudah bagus. Itu salah satunya kenapa memilih untuk membeli tanah disana. Belum lagi tempatnya strategis dekat dengan universitas dan juga Mall. Meskipun macet menuju kota karena banyak mall-mall baru yang di bangun. Ia janji bertemu dengan Pak Fandi di depan sekolah SD kemarin agar mudah. Pria itu belum hafal jalanan dikampung tersebut. Dari dalam mobil ia melihat Pak Fandi sedang berdiri dengan temannya. Mobilnya memberi lampu sen ke kiri lalu berhenti. Pria itu keluar dari mobil. Mereka bersalaman. Pak, kenalkan ini Mang Darma yang tau rumahnya, ucap Pak Fandi. Oh, begitu, sahutnya ramah. Pria itu melepaskan kacamata hitamnya kemudian digenggam. Kita lihat rumahnya aja dulu, Pak. Mang Darma jalan terlebih dahulu. Pria itu sempat melirik ke sekolah SD di sana ada seorang anak perempuan yang diam di bawah pohon dengan wajah ditekuk. Sekolah itu sudah sepi hanya ada anak tersebut saja. Apa bisa masuk mobil, Pak? tanya pria itu seraya mengikuti Mang Darma. Bisa, Pak. Ada halaman depannya jadi bisa naruh mobil disana. Sekarang kita jalan kaki biar nggak ribet aja. Mang Darma tertawa pelan. Mereka berjalan sambil mengobrol mengenai sawah-sawah yang terhampar di sepanjang jalan. Pria itu berdiri di depan rumah yang cukup besar dengan bangunan baru. Hatinya bertanya-tanya, rumah sebagus ini mau dikontrakan? Mungkin dirinya penghuni pertama. Mang Darma membuka pintu dengan kunci yang telah diberikan oleh si pemilik rumah. Pria itu semakin tertegun, rumahnya sangat bagus meskipun kosong. Dari bangunannya saja sudah bernilai. Apa tidak salah rumah ini dikontrakan? seru batinnya. Ia tidak tahan untuk bertanya pada Mang Darma. Mang, apa benar ini dikontrakan? Iya, Pak, benar. Mang Darma menjawabnya dengan sangat pasti. Ini rumah baru dan bagus, kenapa nggak ditinggalin sendiri aja? Seharusnya sih di isi, Pak. Tapi .. Mang Darma tidak enak hati memberitahunya. Mungkin kalau suaminya masih ada udah di isi, Pak. Maksudnya? pria itu tidak mengerti. Pemilik rumah ini menikah satu tahun yang lalu, tapi suaminya meninggal sehari setelah pernikahan. Jadi istrinya nggak jadi tinggal di sini malah milih tinggal di rumah orang tuanya. Sekarang istrinya itu jadi janda kembang di kampung sini, Pak. Mang Darma menyengir. Apa itu janda kembang? dahinya mengerut dalam. Ia orang kota yang tidak tahu istilah-istilah seperti itu. Janda muda yang cantik dan belum beranak, Pak, celetuk Mang Darma. Umurnya baru delapan belas tahun. Pria itu beroh ria lalu mengangguk. Ia tersenyum canggung. Dia terkenal, udah cantik. Apa lagi orang tuanya terkaya di sini. Hampir sawah-sawah di sini punyanya. Pria itu tidak menimpali obrolan Mang Darma. Itu bukan urusannya. Ia malah melihat semua ruangan rumahnya. Mang, kalau begitu saya mau sewa rumah ini, ucap pria itu pasti. Mang Darma dan Pak Fandi saling menatap lalu tersenyum. Mereka akan mendapatkan bagian alias komisi dari hasil uang kontrakan tersebut 2,5%. Karena mereka sebagai perantaranya. Kapan saya bisa tinggal di sini? Besok juga bisa, Pak. Setelah Bapak bayar sewanya satu tahun. Baiklah. Kalau begitu kita ke rumah yang punya rumahnya dulu, Pak, ucap Mang Darma dengan penuh semangat. Pria itu mengangguk mengiyakan. Mereka menggunakan mobil ke pemilik rumah. Saat hendak ke mobil pria itu melihat anak perempuan berseragam merah-putih itu masih di posisi yang sama. Namun terdengar isakan tangis. Pria itu masuk ke gerbang sekolah lalu menghampirinya. Kamu kenapa? tanya pria itu. Anak perempuan itu mendongakkan kepalanya. Pria itu menjulang tinggi di hadapannya. Jihan mengenali pria yang bersama pria paruh baya kemarin yang bertanya rumah Pak Lurah. Air mata merebak di pelupuk matanya. Jihan mau pulang, hikss.. Hikss.. ucapnya sambil menangis. Nggak ada yang jemput? Jihan menggelengkan kepalanya. Jihan!! panggil Mang Darma mengenalinya. Kok belum pulang? tanyanya heran. Mama nggak bisa jemput. Aku nungguin Mang Daus nggak dateng-dateng. Ya ampun, ya udah pulang sama Mang Darma aja. Ini Mamang mau ke rumah Abah kamu. Hayuk, pulang bareng Mamang aja kalau begitu, ajak Mang Darma. Kepala Jihan mengangguk tanda setuju. Biarin nanti Mang Daus kena omel sama Mama kamu! Mang Darma menggandeng Jihan menuju mobil. Pria itu hanya memperhatikan keduanya bicara. Ia mengikuti mereka dari belakang. Membuka kunci mobil dan mereka naik. Mang, ini anak siapa? tanya Pak Fandi yang duduk di depan. Pria itu kembali mengenakan kacamata hitamnya sambil menyetir. Oh, ini cucunya pemilik rumah yang mau di sewa, Pak. Cucunya Pak Imran. Mang Darma tersenyum pada Jihan. Meskipun Jihan bukanlah cucu kandung Pak Imran.  Part 3  Di rumah Pak Imran, mereka sedang duduk di ruang tamu. Pak Imran menolak menerima uang sewa rumah karena itu milik putrinya. Zhavira masih di kebun belum pulang. Pak Imran mengusulkan mereka untuk menunggu. Pria itu tertegun dengan apa yang di lihatnya sekarang. Rumah orang terkaya di kampung tersebut begitu sederhana. Hanya memang luas saja, dari segi barang-barang tidak banyak dan tidak mahal. Apa orang pelit? pikirnya. Istri Pak Imran datang membawakan minuman dan juga cemilan ubi goreng yang dicampur dengan adonan tepung terigu. Pak Imran mengambil ubi sebelum di panen kemarin untuk di rumah. Di minum dulu, ucapnya ramah. Iya, terima kasih Bu. Pria itu yang menjawabnya sopan. Ibu Aisha kembali ke dalam kembali menemani cucunya mengganti pakaian. Pak Imran, tadi Jihan sendirian di sekolahan. Untung ketemu saya. Kata Jihan, Mang Daus nggak ngejemput. Mang Darma memberitahu alasan kenapa bisa bareng dengan cucunya. Pak Imran mengira Jihan bertemu dengan Mang Darma di depan rumah. Ternyata dari sekolahan. Kenapa Mang Daus tidak menjemputnya, hati Pak Imran bertanya-tanya. Ia mengambil ponsel di saku celana menghubungi Zhavira. Halo... Assalamualaikum, salamnya. Kapan kamu pulang? Apa belum beres? Wa ‘alaikumsalam, belum Yah. Sebentar lagi ini. Ada apa? Ini orang yang mau nyewa rumah kamu datang. Dia mau bayar uang sewanya. Suruh besok aja datang lagi. Aku takut pulang sore, Yah. Terdengar suasana kebun yang masih ramai. Begitu ya? Oia tadi Mang Daus nggak ngejemput Jihan. Untung ketemu Mang Darma. Lho kenapa Yah? tanyanya heran. Tapi Jihannya udah pulang kan? terdengar cemas. Udah, Jihan jadi pulang sama Mang Darma. Katanya ngeliat Jihan nangis di depan sekolah. Nggak di jemput Mang Daus, Mang Daus juga nggak telepon ke Ayah. Ya ampun, kasian banget Jihan, Yah. Kalau begitu aku mau ke rumah Mang Daus! Seenaknya aja ninggalin Jihan sendirian di sekolah. Gimana kalau ada culik! Aku marahin-marahin Mang Daus kalau ketemu nanti! cerocos Zhavira. Telinga Pak Imran sampai mendengung. Aku mau ke rumah Mang Daus sekarang, Yah! Ia mematikan sambungan teleponnya. Tadi katanya takut pulang sore, gumamnya. Pak Imran tahu jika tentang Jihan pasti Zhavira akan mengutamakan. Maaf ya, Pak. Bisa menunggu sebentar lagi anak saya pulang. Oh, nggak apa-apa, Pak, jawab pria itu. Ngomong-ngomong dari mana Pak? tanya Pak Imran sopan. Ia bingung harus memanggil dengan sebutan apa. Dari usia pria itu masih muda. Untuk menghormati dengan menambahkan kata 'Pak'. Saya dari Jakarta, sahut pria itu. Kacamata hitam yang tadi bertengger dihidung kini sudah di lepas dan dimasukkan ke dalam saku celana. Oh, di sini ada pekerjaan? Pak Imran kembali bertanya. Iya, berhubung kerjaan di sini. Jadi nyewa rumah lebih baik daripada nginap di hotel atau pulang-pergi dari Jakarta. Lelah di jalan, apa lagi macetnya. Pak Imran mengangguk. Mereka mengobrol tentang apa saja. Tidak lama terdengar salam dari luar. Iya, memang apa lagi di depan Giant itu. Tidak lama teriakkan cucunya menginteruksi untuk berhenti. Mama!! teriak Jihan dari dalam melihat Zhavira sedang membuka sandal. Ia berlari menghampiri Zhavira. Rasa lelah terpantri di wajahnya. Salam Mama nggak di jawab! Zhavira menyubit pipi Jihan. Wa ‘alaikumsalam.. Jihan menyengir. Pak Imran keluar, udah diomelinya Mang Daus? Mang Daus asmanya kambuh, Yah. Dia mau nelepon nggak punya pulsa. Zhavira kali ini yang menyengir. Terus? Aku kasih uang buat berobat, sahut Zhavira santai. Selalu seperti itu, putrinya tidak tegaan. Semarah apa pun pasti akan luluh. Ya udah, itu orang yang mau ngontrak rumah kamu nungguin. Zhavira masuk ke dalam rumah tidak lupa memberi salam. Pria itu mengerutkan keningnya seraya memandangi Zhavira yang baru datang dengan keadaan kucel. Ini dia Janda kembangnya? tanya batinnya. Semua bayangannya tentang janda kembang yang wah buyar seketika. Rambut yang dikuncir kuda, wajah lelah dan berkeringat. Belum lagi pakaian dan tangannya kotor. Zhavira belum sempat mencuci tangan saat ditelepon ayahnya. Ia keburu marah lalu ke rumah Mang Daus. Zhavira tersenyum ramah. Maaf sampai kalian menunggu lama. Ia melotot pada ayahnya. Di telepon tadi Zhavira menyuruh jika besok saja datang lagi. Udah kamu tandatanganin kuitansinya, ucap Pak Imran. Zhavira mengangguk lalu duduk. Mang Darma memberikan kuitansinya. Gadis itu mengambil kertas itu hendak ditandatanganinya. Namun ada yang membuatnya tertegun saat membaca nama yang tertera di kuitansi tersebut. Reifansyah Zachery Cambridge Zhavira langsung mengangkat kepalanya ke arah pria tersebut. Matanya terpaku pada sosok yang ada di hadapannya. Pandangan mereka bertemu. Tanpa di duga jantung Zhavira berdegup kencang. Cukup lama ia menatap pria itu. Sampai lengannya dicubit Pak Imran yang duduk di sebelah, agar Zhavira tersadar. Oh, Zhavira segera menandatanganinya. Namanya sesuai dengan orangnya, dalam hatinya terkikik. Ia berdehem, udah. Saya minta nomor rekeningnya. Zhavira menyebutkan rangkaian angka demi angka nomor rekeningnya. Ia memang pintar menghafal. Atas nama Zhavira Prima Khalid, lanjutnya. Reifan sedikit kagum dengan ingatannya namun tidak ditunjukkan di depan gadis itu. Dirinya saja malas menghafal nomor rekening sendiri. Pria itu langsung mentransfer uang sewanya sesuai dengan harga yang telah disepakati yaitu Rp 12.000.000,- per tahun. Ponsel Zhavira berbunyi ada SMS masuk ternyata notifikasi dari Bank. Ia mengusap layar ponselnya. Uangnya udah masuk, ucapnya. Terima kasih. Meski pun orang kampung Zhavira tahu teknologi zaman sekarang. Ia tahu karena setiap di suruh Pak Imran menyetorkan uang untuk di tabung di Bank. Costumer Servis memberitahunya agar lebih mudah mengecek saldo dan mentransferkan uang melalui sms banking atau mbanking. Kalau begitu saya pulang dulu, Pak. Reifan berdiri diikuti Pak Fandi. Terima kasih Mbak, ia menganggukkan kepalanya sekali. Semoga betah tinggal di sana ya, Pak... ucap Pak Imran. Nama saya Reifan, ungkapnya sopan. Oh, iya.. Pak Reifan. Maaf di sana belum ada barang-barangnya. Nggak apa-apa, Pak. Nanti saya beli yang diperlukan saja. Saya pulang dulu, Pak. Zhavira tidak berhentinya memandangi Reifan. Ia terkesima dengan wajah pria itu yang tampan dan tinggi. Zhavira harus menenggakkan kepala untuk melihat pria itu bicara. Maklum tinggi ia hanya 155 cm. Belum lagi tubuhnya yang atletis tercetak jelas di t-shirt yang dipakainya. Pak Imran dan Zhavira mengantarnya sampai depan rumah. Reifan dan Pak Fandi masuk ke mobil. Ia memberikan klakson sebelum pergi. Pandangan Zhavira masih ke jalanan padahal mobil Reifan sudah menghilang. Pak Imran menggelengkan kepalanya melihat putrinya seperti itu. Gadis itu masuk ke dalam rumah lalu berjalan menaiki tangga tanpa menoleh kanan dan kiri. Ia seolah terhipnotis. Padahal Mang Darma menunggu komisi darinya. Zhavira menutup pintu kamar. Ia menyenderkan punggungnya di pintu. Tangan Zhavira memegang dada sebelah kirinya yang bergemuruh. Dahinya lantas mengerut bingung. Ini nggak mungkin kan, A. Masa iya? Ya ampun bisa gila kalau iya!! omelnya sendiri. Zhavira melangkahkan kakinya ke meja rias. Melihat dirinya di cermin. Ia syok dengan apa yang terjadi. Ya ampun aku dekil banget, ucapnya memperhatikan wajah dan rambut awut-awutan. Sinar matahari membuat kulitnya jadi kecokelatan. Bau matahari juga. Pantes tadi itu laki nggak ngeliat pesonaku! Tokk... Tok... Tok.. Vira.. Itu Mang Darma nungguin kamu juga. Pak Imran bicara dari balik pintu. Zhavira menepuk jidatnya. Iya, Yah. terpaksa kembali ke ruang tamu. Mang Darma menyengir sudah menanti bagiannya. Gadis itu sembunyi-sembunyi mendelikan matanya. Nah, aku bisa nyari tau dari Mang Darma. Laki-laki itu siapa? Udah nikah atau belum? ia tersenyum sumringah. Komisinya dua setengah persen ya, Mang. Iya, Neng, Mang Darma ada nomor rekening nggak? Ah, si Eneng ada-ada aja. Atuh Mamang nggak punya. Minta cash aja, Neng. Kalau gitu besok ya, Mang. Vira mau ambil dulu ke ATM, nanti dianterin deh ke rumah. Sambil mau tanya-tanya.. ucapnya keceplosan. Zhavira tersenyum misterius. Ia tahu dibalik dinding ada Pak Imran yang sedang menguping. Malu jika tahu putrinya menanyakan pria lain. Mau tanya-tanya apa, Neng? Mang Darma bingung. Eh, maksudnya mau nanya takut ada yang kurang. Apanya kurang? tanya Mang Darma. Zhavira memicingkan matanya, hadeuuh.. Ini bapak-bapak kok bikin kesel ya! Dasar kepo!! berang hatinya. Pokoknya besok aku anterin, Mang. Ya udah kalau begitu, Neng. Mamang pulang dulu, bilang sama bapakmu juga. Mang Darma pamit. Iya, Maaaaang.... jawab Zhavira panjang sekaligus sebal. Mamang nggak di anter juga, Neng? candanya. Zhavira mencebikkan bibirnya, nanti kalau Mang Darma udah pikun. Jangankan depan pintu sampe depan rumah Mang Darma aku anterin. Mang Darma tertawa terbahak-bahak. *** Zhavira sudah bersih dan wangi. Ia membaringkan tubuhnya yang lelah. Terbayang-bayang bagaimana wajah pria itu. Alisnya yang hitam lebat, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang menawan. Sontak Zhavira tersenyum malu-malu. A, kalau aku suka sama laki-laki lain. Aa cemburu nggak? tanyanya memandang langit-langit kamar. A Rendi nggak marah kan? Dia cocok buat jadi calon ayah Jihan. Aa nggak akan cekek aku kan? Aku udah bilang begitu. Namanya Reifansyah Zachery Cambridge. Dia bukan orang Indonesia asli deh, A. Dilihat dari orang sama namanya seperti kebarat-baratan. Duh, aku harus gimana A? Zhavira berguling-guling sambil menggigit gemas bantal miliknya.   Part 4 Sejak bangun pagi kerjaan Zhavira hanya melamun. Hati dan pikirannya bertanya-tanya apa maksud dari mimpi tersebut. Berhari-hari tidak hadir tapi semalam ia memimpikannya. Dalam mimpi tersebut Rendi tanpa berkata-kata melainkan hanya melemparkan tatapan tajam kearahnya. Zhavira menggigit bibir kebiasaan jika sedang berpikir keras. Apa arti dari tatapan itu? Apa karena semalam dirinya mengoceh tentang pria lain lalu Rendi marah? Zhavira merasa mengkhianati almarhum suaminya. Rasa bersalah menyerang dirinya. Ia harus mengenyahkan pria itu dari otak dan hatinya. Zhavira sedang duduk diruang TV namun pikirannya tidak fokus pada TV. Pak Imran berdiri di dekat sofa pun tidak dihimbaunya. Vira.. panggil Pak Imran. Zhavira masih diam saja dengan kening mengerut dalam. Vira, hasil panen gimana? masih tidak bergeming. Vira! panggilnya dengan nada tinggi. Mana laporan hasil panennya! Tanpa bicara tiba-tiba Zhavira berdiri lalu berjalan menaiki tangga. Pak Imran sampai heran melihat tingkahnya. Tidak lama putrinya turun membawa buku dan pulpen. Ia menyerahkannya pada Pak Imran. Tanpa bicara untuk menjelaskan, Zhavira malah keluar rumah duduk di teras. Pak Imran melongo, ada apa dengan putrinya. Ia melihat laporan berapa kilo hasil panen ubi kemarin. Ternyata Zhavira menulis semuanya tanpa perlu dijelaskan kembali. Ibu Aisha membawakan teh manis dan pisang goreng untuk Pak Imran. Ma, Vira kenapa? tanya Pak Imran. Nggak tau, Yah. Dari pagi udah begitu, waktu nganter Jihan juga. Mama sempet nanya berulang-ulang takut dia bawa motor kok seperti melamun begitu kan ngeri. Ibu Aisha menceritakan keanehan Zhavira sejak pagi. Apa kesambet ya, Ma. Gara-gara kemarin seharian di kebun? Ayah ini ada-ada aja! omel Ibu Aisha sambil menepuk pundaknya. Mereka melihat Zhavira yang terbirit-birit masuk ke dalam rumah. Dengan tergesa-gesa menaiki tangga. Orang tuanya sampai terheran-heran dengan kelakuan Zhavira. Terdengar salam dari luar. Pak Imran beranjak untuk menemui seseorang yang memberi salam. Dan ternyata Reifan. Wa ’alaikumsalam.. Ada apa ya, Pak Reifan? tanya Pak Imran. Jangan panggil saya 'Pak', Reifan aja, Pak Imran. Ia tersenyum ramah. Oh, baiklah. Ada apa ya? Ini saya mau minjam tangga mau pasang lampu yang di dalam rumah. Reifan memberitahu kedatangannya. Oh, tangga steger ya. Lagi dipinjamkan sama tetangga. Sebentar saya suruh Vira mengambilkannya ya. Tangga itu pasti berat pasti putri Pak Imran tidak bisa membawanya, pikirnya. Saya aja yang bawanya, Pak. Anak Bapak yang menunjukan aja di mana rumahnya. Sebentar saya panggilkan Vira nya dulu ya, Pak Imran ke kamar Zhavira. Ia mengetuk pintu tidak ada jawaban. Di kamar Zhavira duduk di tepi ranjang. Kenapa dia dateng lagi? Aku udah ikhlasin kalau aku nggak boleh punya perasaan sama dia. Nanti A Rendi marah terus cekek aku gimana? ia sedang bermonolog ria sambil mengacak-ngacak rambutnya kesal. Zhavira tidak tahu jika namanya hati tidak bisa dicegah kapan datang rasa suka itu tiba. Vira!! Itu gurunya Jihan datang nggak tau mau ngapain, ucap Pak Imran. Gurunya Jihan ada apa? Mau ngapain? Apa Jihan ada masalah? Zhavira segera membuka pintu. Ada apa Yah? tanyanya. Nah, baru di buka. Tadi ayah panggil-panggil nggak menyahut. Guru Jihan yang mana, Yah? wajahnya khawatir. Gurunya Jihan ada di sekolah. Tadi kata Ayah... Zhavira memutar bola matanya. Ia telah dibohongi. Ayah ada perlu sama kamu. Tolong anterin Reifan ngambil tangga di rumahnya Bu Juminten kemarin anaknya minjem buat benerin genteng. Reifan? Seakrab itu Ayah manggil dia? Nggak mau ah!! dengan cepat Zhavira menolaknya. Ia hendak menutup pintu. Kamu ini ya, udah dari pagi kayak orang kesambet. Apa ayah perlu panggilin Pak Ustad Muklis biar di doain kamu biar sadar. Ih, ayah kenapa sih! Zhavira akhirnya keluar dari kamar dengan wajah cemberut. Padahal ia mau menghindari pria itu. Takut jika perasaannya akan bertambah dan bertambah. Kan bisa gawat hatinya lemah kalau ada pria yang mendekati sempurna.  Sebelumnya saat Zhavira duduk di teras rumah sambil melamun, sibuk dengan dunianya. Ia memikirkan Rendi yang marah pada dirinya. Tiba-tiba saja Reifan ada di hadapannya. Sontak saja ia terkejut kemudian mengacir. Pria itu terbengong-bengong melihat Zhavira yang langsung pergi begitu saja seperti melihat hantu. Reifan masih menunggu diluar. Pak Imran menarik tangan Zhavira yang enggan mengantar Reifan. Ia berusaha kabur namun tenaganya kalah. Tepat di ambang pintu Pak Imran mendorongnya. Nah, ini Viranya. Vira anterin Reifan ke rumah Bu Juminten ya. Zhavira mendengus, buru-buru memakai sandalnya. Saya ambil dulu tangganya, Pak, ucap Reifan lalu mengikuti Zhavira yang sudah berjalan. Zhavira mengeluh dalam hati. Kenapa pria itu semakin dilihat semakin memersona. Ia tidak berani melihat ke samping. Reifan berjalan beriringan namun agak berjauh. Zhavira sengaja memberi jarak. Takut hatinya mulai berkhianat kembali. Matanya memandangi padi yang bergerak selaras karena terbawa angin. Reifan sama bingungnya ingin mengobrol tapi tidak ada bahan. Jadi memilih diam saja sesekali ia melirik Zhavira. Gadis itu terlihat berbeda dengan yang kemarin. Kini lebih bersih dan rambutnya dibiarkan tergerai. Mereka melewati warung disana banyak ibu-ibu yang sedang ngerumpi. Eh, ini janda kembang mau ke mana? celetuk Bu Dea. Zhavira sampai melotot mendengar julukannya tersebut. Memang Ibu Dea terkenal orang yang ceplas-ceplos kalau bicara tidak pernah dipikirkan lagi. Namun orangnya ramah dan baik. Ia menghampiri Zhavira lalu menarik tangannya untuk duduk di warung. Jangan panas-panasan, Neng. Entar item. Duh, ini janda semok bener ya, pantes jadi janda kembang. Dulu sama Rendi udah belah duren belum? Zhavira lagi-lagi dibuatnya syok dengan pertanyaan yang amazing. Wajahnya seketika memerah karena malu. Ya ampun itu laki ganteng siapa, Neng?! serunya dengan mata berbinar-binar saat melihat Reifan. Sewaktu Zhavira dibawa ke warung terpaksa Reifan menghentikan langkahnya. Ia menunggu Zhavira di lepaskan oleh ibu-ibu tersebut. Kenalin sama anak Bi Dea aja, Neng. Sontak jiwa posesif Zhavira keluar. Enak aja! Mendingan buat aku! teriak batinnya. Duh, Bu Dea.. Vira lagi di suruh Ayah. Nanti Ayah marah. Aku pergi dulu ya, buru-buru Zhavira lari pergi. Huh, kalau bukan Pak Imran kaya, nggak mungkin dihargain. Apa lagi janda kan suka ngerebut laki orang. Mangkanya Bu ibu hati-hati yang punya suami. Celetuk Ibu-ibu yang memakai pakaian berwarna merah seolah mengompori yang lain. Dari tampang wajahnya saja culas. Kamu ini kalau ngomong sembarangan! Keluarga Pak Imran nggak begitu! Mereka keluarga yang baik hati! Ibu Dea menoyornya. Kalau kamu yang jadi janda itu musti diwaspadain! sindirnya. Ibu Rumi mendelik. Reifan mendengar meskipun samar-samar. Konotasi janda sama saja, mau di kota atau di kampung itu selalu negatif. Ia telah kehilangan jejak Zhavira, gadis itu cepat sekali jalannya. Tadi Reifan sengaja memelankan langkahnya untuk tahu obrolan para ibu-ibu di warung tentang Zhavira. Ternyata Zhavira menunggu Reifan di depan gang. Ia tersenyum namun dipaksakan. Kita masuk ke gang ini, ucapnya kaku. Reifan hanya mengangguk. Tidak jauh dari depan gang. Rumah bercat hijau muda itu terlihat sepi. Zhavira berkali-kali memberi salam baru ada yang membalas salamnya. Ibu Juminten yang keluar dari rumah. Zhavira menjelaskan kedatangannya untuk mengambil tangga. Ibu Juminten memulangkannya. Reifan mengangkatnya ternyata tangga tersebut berat juga. Untung saja ia ikut jika Zhavira yang membawanya pasti tidak akan kuat. Pulang pun mereka masih diam-diaman. Mereka melewati sekolah SD Jihan. Zhavira sekalian menjemput putrinya. Ma, tadi aku ulangan matematika dapet nilai delapan. Bagus dong, pinter anak Mama. Zhavira bangga. Tapi bahasa Inggris ku dapet lima, ucapnya murung. Hah?! Yang bener? Iya, Ma. Jihan menunduk merasa bersalah. Eum, kamu harus les bahasa Inggris kalau begitu. Nanti Mama cari tempatnya yang bagus ya. Iya, Ma. Zhavira mengusap kepala Jihan lalu merangkul bahunya sambil berjalan menuju rumah. Reifan yang di belakangnya seperti tidak di anggap. Pria itu menampilkan wajah datar. Janda kembang, kata Mang Darma janda nggak beranak. Tapi kenapa putri Pak Imran mempunyai anak. Apa lagi perbedaan umurnya jauh sekali dengan Zhavira. Umur Zhavira sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Apa mereka menikah muda? Menikah di umur sepuluh tahun? Tapi kata Mang Darma bilang mereka menikah lima bulan yang lalu? Reifan malah memikirkan sekelumit masalah Zhavira. Ia menggelengkan kepalanya membuyarkan semua pikiran dibenaknya. Kenapa aku malah mengurusi dia! ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Zhavira sembunyi-sembunyi menengok ke belakang di mana Reifan sedang menggelengkan kepalanya. Ia menghela napas. Aku takut jatuh cinta lagi... Reifan mengenakan sweater putih dan celana berwarna hitam. Ia terlihat sangat tampan. Apa bisa diriku nggak tergoda?  keluhnya dalam hati. 
Is this content violating the terms and agreement? Report