Tali Pocong Turah - Bagian 14

1
0
Terkunci
Deskripsi

Dua hari sebelum ajalnya adikku menelepon dan kurasa ia menggodaku dengan menyatakan perasaannya. Tetapi aku menganggap itu hanya main-main, guyonan saja. Bahkan saat ia mengulang  perkataannya aku enggak peduli. 

639 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
20
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Tali Pocong Turah - Bagian 15 (tamat) -
1
0
Dengar baik-baik, Armin, ini akan menjadi satu-satunya kesempatan, yang pertama dan terakhir, untuk mengakhiri kutukanmu. Jangan pernah main-main dengan malam ini. Batasku cuma sampai di sini. Kamu akan melakukan semuanya sendiri. Jangan takut apa pun yang kamu dengar. Tutup mata dan pikirkan semua penderitaan yang timbul akibat benda itu. Dari tempat ini kamu harus berjalan ke sana. Jalannya tanah sempit dan cukup licin sampai nanti kamu akan sampai di sebuah pohon besar. Ingat, Armin! Kamu hanya bisa berjalan mundur dengan mata tertutup. Kamu dilarang berlari dan kembali dalam situasi  apa pun. Jika itu terjadi, enggak akan ada kesempatan lagi untukmu. Aku cuma bisa membantu sampai sini. Setelah ini tergantung kamu. Armin menyimak semua ucapanku. Dan setelah ia memantapkan hati, ia berkata, Ayo mulai sekarang. Aku pun memasangkan kain hitam untuk membatasi penglihatannya, lalu mengikat dua tangannya di belakang. Tali pocong Turah erat dalam genggamannya. Setelah semua beres aku berpesan, Jangan takutkan apa pun. Kamu bisa menyelesaikan ini dengan baik. Kamu tetap di sini? ujarnya. Ya, aku menunggumu kembali. Apa enggak ada bacaan khusus? Kamu jalan saja. Armin mengerti. Ritus pun dimulai. Untuk sementara aku tetap di sini mengamati. Tiada cahaya kecuali dari langit yang terhalang kabut malam, dan menyalakan sinar terang adalah larangan yang mutlak dihindari. 30 meter di depanku jalan  menyempit. Di sebelah kiri pohon-pohon rindang, sedangkan beberapa meter di kanan jalan adalah lembah. Aku berharap langkah Armin tidak menyalahi arah. Anak itu tampaknya berjalan amat hati-hati. Kakinya diseret sedikit demi sedikit. Namun tetap saja mengkhawatirkan. Jika ia terpeleset sekali di tempat yang salah, semuanya akan berakhir. Lambat laun lelaki itu menjauh. Pandangku semakin susah membidiknya. Namun yang pasti, tak lama lagi ia memasuki jalan yang menyempit itu. Batinku mulai cemas, hanya harap baik  yang dapat kusertakan untuknya. Aku menghitung mundur. Armin  telah  sampai di area berbahaya. Wujudnya kian kecil saja. Mataku berkedip berkali-kali untuk merasakan pantulan cahaya. Kemudian aku menangkap sesuatu yang tidak diharapkan. Armin sedang mengarah ke kanan. Astaga! Bagaimana ini! Aku harus memastikan apakah penglihatanku benar. Dan rupanya tidak ada yang berubah. Armin mundur pelan ke sisi kanan. Dengan semestinya pikiranku bertempur satu sama lain. Di satu sisi aku tak boleh membantunya meski dengan suara, di sisi lain ia bisa celaka jika terus menuju ke arah sana. Dan situasinya tidak berubah. Tinggal menunggu waktu anak itu terperosok ke lembah. Aku harus mengambil keputusan. Bukan untuk Armin saja, tetapi juga untuk diriku. Bagaimana jika ia celaka, sementara aku adalah orang terakhir yang menyebabkan ia ada di sana. Kemungkinan tentang itu sungguh mengerikan. Apa itu namanya?Pembunuhan? Ya Allah, itu tidak boleh terjadi. Aku merasakan kekuatan hebat yang menghentak akal pikiran, sehingga dengan itu aku berlari untuk menjauhkan Armin dari arah yang salah. Lariku terbatas oleh gelap dan licin. Masa bodoh, aku tak mau berurusan dengan hukum. Ini belum terlambat. Aku memacu lariku lebih cepat seraya meneriaki Armin agar ia berhenti. Namun ia seakan tak mendengar kata-kataku. Memang tiada lagi pilihan kecuali aku berhasil mendapatkannya. Pada akhirnya aku makin dekat. Hanya beberapa langkah lagi. Namun sesuatu yang mengejutkan baru saja terjadi. Aku terpeleset lalu tubuhku terpelanting, hilang keseimbangan, lantas berguling tidak karuan menuju arah yang tak pasti ujungnya, hingga tubuhku menghantam batang pohon. Aku mengerang sekerasnya lalu diam beberapa saat. Butuh waktu berpikir tentang apa yang telah menimpaku. Hati-hati aku bergerak lalu berdiri. Oh, syukurlah, tidak ada yang fatal. Lantas aku mengingat yang terjadi sebelum aku sampai di sini. Tadi aku nyaris saja menggapai Armin, tetapi entah bagaimana, dalam sekejap aku tidak melihatnya lagi. Yang tampak justru sosok wanita tua berambut tipis tanpa alas kaki. Penampakan itulah yang membuat aku tak mampu mengendalikan diri hingga berakhir seperti ini. Aku mengingat yang lain dan ini sungguh tidak mengenakkan; Wanita itu adalah sosok yang sama yang pernah muncul dalam kecelakaan kemarin malam. Suka tidak suka aku menganggap ia ada  kaitannya dengan jimat tali pocong. Adakah ia jin yang menyerupai mendiang Turah? Kupikir pasti seperti itu. Tak ingin berlama-lama, aku menggerakkan kakiku menuju tempat sebelumnya. Sebelah kiri. Aku berjalan naik dengan perlahan, menggapai satu demi satu pijakan. Jika Armin masih berjalan, ia belum jauh dari titik tadi. Setidaknya ia harus menempuh dua kilometer dari titik awal sampai kuburan Turah. Akhirnya aku berhasil sampai di atas. Sejenak aku berhenti demi menenangkan pikiran. Armin tidak kelihatan di depan. Hanya aku sendiri. Di antara sunyi lembah dan hutan basah aku melintasi pengalaman yang telah lalu. Dan sampailah aku pada pesan yang diperdengarkan Mbah Sukun di malam kemarin, Kamu barangkali bertanya, bagaimana bisa Armin akan menemukan situs itu jika ia harus berjalan mundur dengan mata tertutup, sedangkan ia sendiri tidak tahu tempatnya. Itu bukan lagi perkara yang perlu kamu repotkan. Pemilik sejati tali kafan itu akan mengarahkan jalannya. Sekonyong-konyong aku merasa terlalu lemah untuk berdiri. Mengapa pesan sepenting itu bisa lenyap dalam ingatan. Aku amat menyesali kebodohanku. Dan lebih dari itu, aku khawatir kesalahanku akan menggagalkan semua upaya ini. Walaupun bagaimana, di ujungnya aku harus menghadapi yang ada di depan. Itu adalah kepastian. Dan aku sudah mengerti  bahwa aku tak perlu melakukan apa-apa lagi. Dengan itu aku bangkit. Akan tetapi aku menangkap sesuatu lain yang aneh. Aku melihat Armin sedang berjalan mundur ke arahku dan, mengapa bisa begini? Ia tinggal berjarak tiga langkah saja! Kurasakan tubuhku bergetar tak tertahan,  sementara Armin memperpendek jaraknya dan rasa-rasanya aku tidak mampu bergerak ke mana pun. Di bawah pekat malam aku berdiri dengan hanya memasrahkan nasib pada ketidakpastian. Armin telah menghentikan langkahnya, berdiri memunggungiku. Di tangannya terjulur tali kafan yang telah menimbulkan musibah tak berkesudahan. Aku tak dapat memahami kenyataan ini. Mengapa Armin kembali. Namun yang ajaib, aku tak sanggup berpikir lebih. Yang kurasakan justru seperti ada dorongan yang menuntunku untuk mengambil benda tersebut dari tangannya. Dan aku akhirnya benar-benar menuruti dorongan itu. Armin tak bergeming selama beberapa saat. Bersamaan dengan itu aku baru menyadari suatu kenyataan yang seharusnya tidak terjadi; Aku berdiri seorang di bawah pohon besar. Pohon walitis yang berlumut tebal. Sementara di bawah kepalaku samar-samar terlihat sebongkah batu yang pernah kujumpai kemarin pagi. Ketika diriku kembali seutuhnya aku  berharap ini mimpi belaka yang lekas sirna. Akan tetapi gambar ini terlalu nyata. Aku bisa  melihat Armin pelan-pelan menjauh ke depan, kemudian memutar tubuhnya, sehingga yang nampak sekarang adalah......Wanita yang amat mengerikan. Refleks aku mundur dan mengontrol rasa takut sebisanya. Wanita itu menatap kosong. Bola matanya berkilap tanpa arti. Tak ingin membuang waktu aku langsung meninggalkan tempat  itu dengan berlari. Jimat keparat kulempar ke sembarang tempat. Jalan setapak yang licin tak terlihat utuh, tetapi aku terus berlari tanpa memedulikan apa pun, sampai dihentikan oleh suara, Hey, kamu dari mana? Armin memegang tanganku dengan tenaganya yang kuat. Ia benar-benar Armin. Bagaimana dengan ritual yang kamu sebutkan itu? Aku sudah menunggu lama. Jadi enggak? Kamu sudah lama di sini? Hampir dua jam. Tadi kamu yang menyuruhku menunggu sebentar. Aku yakin bahwa apa pun yang diperbincangkan hanya semakin menjadikan malam ini tidak bisa dicerna akal. Maka aku harus mengakhiri tema ini dengan berkata, Aku perlu melihat jimatmu. Armin mengeluarkan dompet untuk mendapatkan benda itu. Kok tiba-tiba hilang? Coba periksa semua, tegasku. Ia menuruti permintaanku, tetapi pada akhirnya kami tak menemukan apa-apa. Entah berapa lama kami menghabiskan waktu di tempat itu dalam kebingungan yang tak terpecahkan. *** Aku berangkat ke Mungkid untuk menepati janjiku menemui Mbah Sukun di rumahnya. Di perjalanan begitu banyak ingatan tentang Armin melintas. Omong-omong, anak itu sudah lulus. Ia meninggalkan Honda bebeknya untuk kupakai setidaknya sampai aku lulus. Sudah tentu aku tidak dapat menolak kebaikannya. Sementara Mbah Sukun dengan kekuatan tekad dan sikap pria sejati telah menepati permintaanku. Sebagai imbalan, aku meminta agar ia mengalihkan perhatiannya pada bisnis jual beli mobil, alih-alih tetap menekuni pekerjaan lamanya. Dan ternyata ia berbakat dalam berdagang. Tadi malam ia meneleponku untuk mengabarkan niatnya yang terdengar mengharukan, Alhamdulillah, aku berhasil menjual delapan mobil bekas bulan ini. Uh, ini sangat banyak. Dengan keuntungan penjualan enam mobil saja aku bisa hidup tiga bulan. Jika aku menyumbang sisanya untuk pupuk dan obat ayam di desaku bagaimana menurutmu? Sore pukul empat aku sampai di tujuan. Seorang lelaki muncul dari dalam. Senyumnya mengembang bersamaan dengan pagar dibuka. Mbah Sukun menahan senyumnya. Ia mengenakan kain batik dan songkok. Aku baru saja pulang dari masjid. Bagaimana perjalananmu? Mbah Sukun masih mengenali motor ini, tetapi tak berkomentar apa pun. Aku dituntun masuk, dan ia berkata, Adikku kebetulan baru saja tiba. Rumah ini sekarang sepi, jadi, bagus kalau dia menginap lama di sini. Kamu juga bisa menginap kalau mau, ujarnya bersemangat. Kami mengisi perjumpaan sore itu dengan mengobrol apa saja, tentang sekolah, pohon sukun, sampai rencananya berangkat haji. Mbah Sukun juga memanggil Ayudya sehingga kami berkenalan dan mengobrol cukup lama. Akhirnya aku harus pulang. Sebentar lagi maghrib. Aku pun pamit disertai janji untuk selali merawat silaturahmi. Seorang lelaki yang lain muncul belakangan. Sudah pasti dia adiknya Mbah Sukun. Ini adikku. Sudah belasan tahun enggak pernah pulang. Dia tinggal di Pare. Kemudian ia menyalami tanganku dengan ramah. Kidir, ucapnya memperkenalkan diri. Aku pulang dengan perasaan berlainan dari saat pergi. Adik lelaki Mbah Sukun itu, Armin pernah menyebut namanya. Dukun dari Pare bernama Kidir. Apakah itu hanya kebetulan semata? Sampai di kos sudah jam sepuluh malam. Rencana berikutnya sederhana, mandi lalu tidur. Ponselku terdengar berbunyi. Pesan masuk dari nomor tidak dikenal, isinya, Maaf aku meminta nomormu dari bapak. Aku Ayudya. Kamu sudah sampai? Kalau ada waktu Minggu depan, kamu mau ke rumahku lagi? Kubiarkan pesan itu tak terbalas. Aku bergegas ke kamar mandi, kemudian kembali ke kamar. Namun, aku mendapatkan suatu hal aneh yang pernah kualami dulu. Aromanya masih sama. Dengan itu aku langsung mencari sumber bau tersebut. Aku menemukan seutas tali terikat di pegangan jok sepeda motor. Tali pocong Turah?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan