
Tetapi dibalik kesaktiannya yang tiada tanding, jimat tali pocong milik Armin mulai mendatangkan masalah.
Berjayalah Armin dengan segala-gala kehendaknya yang terkabul. Ke mana pun ia pergi, keberuntungan jualah yang menaunginya. Tali pocong Turah telah menjadi karibnya. Rabbnya! Kepadanyalah Armin berharap. Maka dapat kugambarkan hidupnya ibarat, "Tak kenal rugi, mujur tak jauh."
Dan kata Armin, tali pocong bukanlah jimat yang memerlukan pengorbanan besar. Ia tidak meminta tumbal, tak wajib dirawat dengan darah, bahkan tak usah diperlakukan dengan hormat. Asal jangan lepas benda itu dari empunya, sudah cukup. Dus, Armin tidak pernah berjauhan dari jimatnya. Di mana saja, apa pun situasinya, entah saat bersekolah, salat Jumat, tahlilan, main kartu, main lonte, berak, sudah pasti tali pocong Turah ada bersamanya. Sebab hanya itu syaratnya.
Aku tak punya pedoman pasti untuk menghukumi mereka yang terlena pada dunia perjimatan. Agama tentu melarang dengan atribusi dosa, siksaan, dan sebagainya. Namun, agama bukan bahasa universal. Ketimbang mereka-reka,kutanyakan itu pada Armin di suatu malam yang pekat dan mendung. Apa katanya? Setelah menyimak cerita yang cukup panjang, aku merangkumnya sebagai berikut:
"Di tempat kelahiranku, Pati, tidak ada yang lebih pantas dilakukan kecuali kami harus mencari uang sebanyak-banyaknya. Sebagian dari kami suka pergi ke laut lalu menjala, atau dengan modal lebih besar bisa membeli kapal yang layak untuk menyekap lebih banyak ikan. Juga ada di antara kami yang menambak bandeng, udang, atau garam. Dan di antara semua itu ada pula golongan kuli yang meratakan garam atau mengangkut hasil perikanan. Bapakku adalah golongan yang terakhir.
Bagi sebagian kami yang berkecukupan, sekolah tidak begitu penting. Lain cerita untuk yang bernasib sebaliknya, sekolah dipandang sebagai harapan dan peluang yang perlu dicoba.
Bapakku bekerja keras sejak muda, tetapi nasibnya tak pernah berubah. Mungkin itu dipengaruhi oleh ibuku yang meninggal cukup muda sehingga ia harus menanggung semua seorang diri, mungkin juga disebabkan oleh kedua kakakku yang tak pernah berhenti memberi cobaan.
Yang jelas, bapakku menyuruh aku sekolah, setidaknya tamat SMA, agar hidupku bisa lebih baik, sementara ia terus bekerja. Namun, untuk harapan yang kecil pun terkadang bisa saja tidak berjalan baik sesuai rencana.
Satu hari aku dikabari kalau bapakku tiba-tiba tidak bisa melihat. Buta. Buta artinya tidak ada lagi orang yang mau memberi pekerjaan. Aku tahu ia sudah agak lama mengeluhkan matanya, tetapi tak pernah menyangka jika dampaknya seperti itu. Bayangkan saja, kamu harus berurusan dengan sorkot dan terik matahari bertahun-tahun. Ya, semua orang juga melakukan itu, tetapi semua orang masih bisa melihat dengan sempurna.
Seorang dokter yang suka berkeliling di desa kami memberitahu bapakku terkena keratitis yang disebabkan sinar matahari. Apa pun namanya, ia sudah buta. Dan sepasang mata telah mengubah segalanya."
Lantas kutanya Armin, "Jadi, dari situ kamu mulai berkenalan dengan judi?"
"Itu yang bisa kulakukan. Ada segelintir manusia yang dapat memilih, sisanya enggak."
"Dan sebagian dari hasil judi kamu kirim untuk bapakmu."
Armin menghunus pandangnya ke tembok kamar, "Aku enggak percaya yang kulakukan ini benar. Tapi untuk sekarang benar atau salah itu enggak penting."
"Tapi kamu juga menikmati untuk dirimu sendiri, kan."
Ia menoleh sebentar ke arahku dan aku mengerti kalau pertanyaanku barusan kurang mengenakkannya.
Seperti kataku sebelumnya, agama bukanlah suatu bahasa yang universal. Setiap manusia dilahirkan sama, sama-sama telanjang dan menangis. Namun, sejak saat itu tiap-tiap manusia telah berbeda. Armin benar tentang sebagian orang memiliki pilihan dan yang lainnya tidak. Sebagian harus menanggung kesusahan yang tiada henti, sedangkan sebagian yang lain dapat hidup lebih mudah. Akan tetapi aku dapat merasakan sebuah bahasa universal yang bisa dipakai untuk mengucapkan masalah ini. Bahasa universal itu adalah uang.
"Aku kangen bapakku," Armin mengakhiri pembicaraan malam itu.
Belum sampai tiga hari sejak Armin mengucapkan rindunya, seseorang datang memberi kabar bahwa bapaknya sudah meninggal. Tanpa sebab tanpa musabab. Meninggal begitu saja setelah ia selesai salat asar. Armin langsung pulang setelah mendapat kabar duka. Untuk beberapa hari ke depan aku tidak akan mengetahui apa-apa tentangnya.
Namun, pada Sabtu pagi seorang guru memanggilku ke ruangannya. Kukira aku telah membuat kesalahan yang tidak kusadari. Di ruangan guru terdapat dua lelaki yang tidak bisa disebut tua. Mereka menyalamiku kemudian langsung membuka pembicaraan. Sehingga dengan cepat aku mengerti, mereka datang ke sekolah karena Armin.
Masih ingat gadis Semarang yang rasanya sangat menggilai Armin? Ya, salah seorang dari mereka adalah ayahnya. Ia mengajak satu kerabatnya guna mencari dan membujuk Armin untuk menemui anak gadisnya. Seperti yang kudengar, perempuan itu, namanya Melanie, sudah dua bulan menderita semacam depresi. Ia suka berteriak histeris, menangis, dan dengan pasti menunjukkan perubahan mental yang menyedihkan. Melalui catatan di buku harian berikut pengakuan Melanie yang ala kadarnya, keluarganya menduga gadis itu sangat hancur karena ditinggalkan Armin.
Tentu aku harus bersikap kooperatif menghadapi isu ini. Kuberitahu bahwa Armin sedang pulang untuk pemakaman ayahnya. Pihak sekolah menerangkan kalau Armin mendaftar sekolah dengan alamat di Kota Wonosobo, tapi alamat itu ditempati orang lain yang tidak bersangkut paut dengannya.
"Benar, pernah saya dengar kalau kakak sepupunya tinggal di kota ini, tetapi mungkin sudah pindah."
Kedua tamu sekolah itu mengangguk berbarengan. Kemudian ayah Melanie bertanya, "Kamu tahu alamat persisnya di Pati?"
Aku menggeleng, "tetapi ia pernah cerita tentang tempat kelahirannya dan ayahnya di sana. Daerah nelayan dan tambak garam. Mungkin Juwana?"
"Cuma itu?"
Memang cuma itu yang dapat kuberikan. Aku tidak tahu lebih banyak. Dan dua lelaki yang tampak gelisah karena nasib Melanie pergi tanpa memperoleh informasi yang pasti. Guru sekolah kemudian memberitahuku bahwa mungkin saja aku akan dimintai bantuan lain.
Esoknya guru yang sama memanggilku lagi.
"Orangnya datang lagi?" tanyaku.
Guru mengajakku berjalan, tetapi kali ini tidak menuju ruangannya, hanya berhenti di tempat sepi di persimpangan kelas 1 dan 2. Ia berkata, "Anak itu bunuh diri."
"Melanie?"
"Ayahnya tadi menelepon."
"Apakah dia hamil?"
Guruku menggeleng dengan pasti.
Entah apa yang pantas kukatakan. Sulit mencoba merasakan apa yang dirasakan ayah Melanie, sementara aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Sepekan kemudian Armin kembali. Yang pertama kusampaikan tentu saja kasus Melanie. Untungnya, soal itu agaknya tidak bocor ke telinga orang lain.
Dan kata Armin, "Memang seharusnya aku enggak niduri perawan."
Jujur saja, aku jadi bertanya-tanya, dan itu bukan suatu kesopanan yang pantas ditunjukkan. Seorang perempuan yang telah berhari-hari ditidurinya mati bunuh diri karena tak kuat ditinggalkan, dan ia hanya berkomentar singkat seperti baru mendengar tentang seekor anjing liar mati. Namun di ujungnya itu semua bukan urusanku. Si gadis Semarang atau Melanie atau siapalah itu hanya manusia biasa yang bisa hidup dan bisa pula sewaktu-waktu mati.
Kecuali tanpa disengaja aku mendapatkan sesuatu yang lain.
Aku mengikuti sepak bola ujicoba dengan sekolah Al Ikhlas. Kebetulan aku kenal beberapa siswa di sana dan bahkan cukup dekat. Selesai laga aku menemui mereka dan bicara ngalor ngidul. Syaiful tiba-tiba memberitahuku tentang seorang siswi kelas 2 yang bunuh diri dua hari lalu.
"Gantung diri," ujar Syaiful, "kasihan, ya, padahal dia paling cantik loh di sekolah."
"Kenapa dia bunuh diri, ya?" kutanya.
"Enggak ada yang tahu, ya. Enggak ada yang cerita juga."
"Tapi di SMA 1 juga katanya ada yang bunuh diri," sambar teman Syaiful.
"Kapan? Siapa?"
"Natasya! Baru tadi malam. Gantung diri juga!"
"Modar!!" pekik kami serempak.
Kota tempatku sekolah hanyalah kota kecil dan SMA 1 dipercaya sebagai tempatnya anak-anak terpilih. Jadi tidak heran jika kami semua tahu siapa Natasya. Gadis itu terlalu berkualitas untuk tinggal di sini. Lancar berbahasa Inggris dan Prancis, mayoret marching band, jago menyanyi dan main piano, dan postur tubuh hingga susunan wajahnya sungguh tiada tanding. Tak ayal kami semua seperti tersambar petir mendengar kematiannya. Mungkin ini berlebihan, tetapi Natasya adalah kesayangan seluruh remaja di kota ini. Seumpama Evie Tamala bahkan Kajol disandingkan dalam sebuah panggung, aku berani bertaruh penonton hanya bakal acuh pada Natasya.
Kematian Natasya sungguh mengusik pikiranku. Sorenya aku kembali ke kos dan bertemu Armin. Biasa saja, aku ingin menceritakan kehebohan yang kudengar siang tadi, tetapi Armin tampak buru-buru ingin pergi.
"Semarang, biasa," singkatnya sebelum pergi.
"Eh, pinjam setrika, Ar."
Alih-alih mengambilkan sendiri, Armin melempar kunci, "Ambil saja, sekalian titip kamar."
Aku bergegas ke kamar Armin untuk keperluanku. Seperti biasa, setrika ada di atas lemari kecil. Namun tanpa sengaja aku melihat lemari itu terbuka. Ada tustel di rak atas, sederet kaset lagu, dan film negatif.
Begitu saja ada yang mendorongku memeriksa isi lemari tersebut. Aku langsung mengambil film negatif, menyalakan lampu kamar, lalu menerawang isinya. Tampak Armin, terkadang sendiri, terkadang bersama seorang wanita, dan terkadang wanita itu sendiri.
Sialan!!
Ia telah berfoto bersama Natasya.
Tanpa pikir panjang aku mencuri film negatif untuk dibawa ke tukang cuci. Armin pasti akan lama di Semarang, sehingga aku masih punya cukup waktu hingga fotonya jadi.
Dua hari kemudian aku benar-benar tahu gambar sebenarnya. Armin bersama Natasya pada akhir Januari di sebuah pantai yang tidak kukenal, dua pekan sebelum kematiannya. Selain Natasya, ada pula gambar gadis lain yang kuduga kuat merupakan teman Syaiful. Hari itu juga aku berangkat menemui Syaiful untuk mencari kepastian.
Dan komentarnya setelah tahu aku menyimpan foto gadis itu berdiri sendiri di depan candi, "Bajinguk! Kamu diam-diam naksir Ulin, ya! Wah, ya mending dia bunuh diri daripada didekati kamu!"
Malam itu aku mulai tak percaya bahwa perjimatan yang ditekuni Armin tak memerlukan korban atau dalam bahasa lain, tumbal. Memang benar ia tak membunuh, tetapi ia mungkin sengaja menciptakan situasi yang dapat menuntun orang lain pada kematian.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
