
Sewaktu kuliah di Bandung, Amara menyewa kamar kos tidak jauh dari stasiun yang akan memudahkannya berangkat dan kembali dari Jakarta. Sayangnya ia malah mengalami peristiwa demi peristiwa yang mengusik hidupnya.
Sesudah tamat SMA, tujuan Amara berikutnya ialah masuk perguruan tinggi. Ia berhasil lulus sekolah tetapi gagal menembus PTN. Dengan itu kampus swasta pun tak jadi soal. Amara mantap dengan kota pilihannya, Bandung.
Sementara di rumahnya terdapat dua pelatuk yang siap meletup kapan saja; Mama dan papa, yang begitu telaten merawat pertengkaran. Keduanya selalu menemukan alasan untuk berkelahi, dan sudah demikian dari dulu.
Karenanya Amara sengaja menyingkir agak jauh, mumpung-mumpung punya alasan bagus. Tentunya tidak gampang meyakinkan para peseteru, utamanya mama.
Mamanya, Marissa bahkan hendak ikut Amara ke Bandung. Yang betul saja. Tetapi itu bukan kelucuan, melainkan kewajaran pada sebagian suami-istri yang bingung menyelesaikan masalahnya satu sama lain.
Akan tetapi Amara berhasil lolos akhirnya, dengan janji akan sering-sering pulang. "Harus setiap Sabtu pulang," tekan mamanya, "Kalau tidak, kamu takkan lama melihat mama lagi."
Amara belum lagi menjadi dewasa seutuhnya, dan ia mulai terbayang betapa menyeramkan orang-orang dewasa itu. Ia awas betul bahwa mamanya tak sekadar main ancam. Sungguh ia sedang berjudi dengan keinginannya.
Gadis itu belum lupa peristiwa setahun sebelumnya, tatkala Marissa nyaris bernasib fatal berkat puluhan butir triazolam yang ditelannya dengan lahap. Ia menyimpan setoples penuh berisi obat sedatif, mungkin dikiranya semacam permen marbel.
Obat penenang dan etanol adalah dua pokok yang saling bertentangan. Namun, Marissa menyatukan keduanya dalam berteguk-teguk. Hampir habis cerita wanita itu kalau bukan nasib baik yang masih berpihak.
Pendek cerita, Amara pindah ke Bandung untuk empat tahun ke depan. Cari indekos sana-sini hingga ia merasa mantap pada sebuah rumah dekat stasiun. Marissa yang menaksir rumah itu. Katanya bagus, tenang, hanya dihuni wanita, dan yang terpenting mudah dikunjungi.
Di mata gadis itu, sebaliknya, indekos itu menjengkelkan, sebab berdekatan sangat dengan jalur kereta. Kamarnya di tingkat dua, paling pojok. Terdapat dua jendela, yang satu berhadapan lorong, satunya lagi mengarah ke rel kereta.
Dari jendela luar itu ia dapat melihat-lihat kereta, walau itu hanya membuatnya tambah jengkel. Raung lokomotif tak kenal ampun, lebih-lebih mulai malam sampai pagi. Kalau gerbong-gerbong itu lewat, seketika terjadi gempa kecil yang mustahil dicegah.
Awal-awal Amara kerap tidak bisa tidur nyenyak. Ia keluhkan persoalannya pada mamanya, yang intinya ia ingin cepat-cepat pindah. Akan tetapi Marissa hanya mengatakan kalau kebisingan lebih baik daripada kesunyian yang menghinggapi rumahnya sekarang.
"Kalau kamu susah tidur apalagi stres, minum saja obat," saran Marissa.
Pelan tapi pasti Amara terbiasa dengan bising. Kupingnya seolah menebal. Juga ia jadi senang bicara lantang.
"Namanya juga tinggal dekat rel," komentar Marissa sewaktu berkunjung.
Belum satu bulan berpisah, Amara sudah didatangi mamanya tiga kali. Tiap Sabtu siang Marissa mengetuk kamarnya, menenteng bawaan macam-macam, entah makanan hingga cat kuku. Disangkanya anaknya senang dijenguk sering-sering.
"Lebih baik mama yang sering datang. Tidak usahlah kamu pulang. Sekali saat lebaran saja," ucap Marissa.
"Ma, berhentilah minum obat dan alkohol."
Marissa tak banyak bicara tiap kali anaknya mulai mengungkit hal itu.
Gadis itu agak kesulitan menyesuaikan diri dengan Bandung, terutama pergaulan dan bahasa. Tetapi ia mengerti, tiap pendatang pasti terbentur kesulitannya sendiri.
Suatu malam di akhir pekan, tanpa sebab yang pasti Amara terbayang mamanya. Sungguh pun ia jengkel pada Marissa, ia juga tak mengelak bahwa perempuan itu berada di posisi yang dirugikan. Papanya main nakal dengan wanita lain. Sekali ketahuan telak oleh Marissa. Namun Amara tahu, ayahnya sudah lama selingkuh dengan wanita itu.
Sudah berpuluh kali Amara menegaskan mamanya agar cerai saja dari Sigit. Jika diukur kualitasnya benar juga. Marissa sangat sedikit kurangnya. Penampilan masih cemerlang, wajah sedap dipandang, body dan mesin masih layak jalan, umur baru empat puluhan, cari uang pun dia pintar. Punya tailor ramai pelanggan di Bendungan Hilir dan Cempaka Putih. Seingat Amara, mamanya tak pernah bergantung uang pada suaminya. Bahkan suaminya itu membuka biro jasa kecil-kecilan yang pendapatannya hanya di level insya Allah, dengan kata lain asal kelihatan ada kerjaan. "Kalau Amara jadi mama, sudah aku usir dari dulu pria macam itu. Mama bahkan berhak mengusir. Rumah ini sudah mama tempati sebelum kawin. Dengar-dengar harta yang didapat sebelum perkawinan itu bukan harta bersama. Mama juga mengerti, kan?"
Tiap kali menasihati mamanya, Amara jadi bosan sendiri. Setiap kali bosan, maka terngiang kisah mamanya. Dan kisah serupa diperdengarkan lagi kepadanya beberapa waktu lalu,
"Dari masih kecil mama sudah menderita karena perselingkuhan. Kakekmu yang nggak pernah kamu temui itu gatalnya bukan main. Dan kasar! Papamu itu masih baik kalau ditanding dengan ayah mama. Seenggaknya seumur-umur perkawinan dia belum pernah main tangan.
Kalau mama cerai juga, bagaimana kamu nanti. Jangan sampai saat kamu menikah suamimu melihat kamu adalah anak-cucu yang rumah tangganya rusak. Siapa bilang itu nggak berpengaruh. Manusia susah ditebak.
Mama sudah mengadu pada Buya Hakim di Painan. Masih ingat Buya Hakim, kan? Dia yang mendoakanmu waktu kamu masih SD, supaya sembuh dari paru-paru basah, dan alhamdulillah dengan izin-Nya kamu sembuh.
Kata Buya Hakim kemarin lusa, ada jeroan-perut babi dipendam di bawah rumah kita."
Amara terlonjak, "Buya bilang begitu, Ma? Siapa yang taruh?"
"Katanya nggak penting siapa yang menaruh. Syaratnya harus dikeluarkan dari situ. Memang repot juga. Buya cuma pesan, pokoknya ada di bawah rumah."
Setelah lamunannya buyar Amara baru tersadar kalau mamanya sudah satu bulan tidak menjenguk. Sekejapnya timbul macam-macam dugaan di benaknya. Apakah mama baik-baik saja? Sakitkah dia? Atau jangan-jangan syarat itu tidak berhasil dikerjakan?
Karuan cemas Amara jadinya. Ia telepon mamanya. Tidak terjawab. Berulang-ulang pun begitu. Terpaksa ia hubungi ayahnya. Langsung diangkat. Terdengar suara perempuan. Sesaat Amara hendak mengamuk, tetapi seketika luluh begitu ia mengenali suara tersebut.
"Mama lagi di Painan, Nak," ucap Marissa di pulau seberang.
Tangis gadis itu tak bisa ditahan meski ia berpura-pura tegar.
"Kamu kenapa, Nak?"
"Nggak apa-apa, Ma." Gadis itu secepatnya menguasai emosi. "Mama dari kapan di kampung?"
"Hampir tiga minggu. Kamu kangen, ya?"
"Mama...." lirihnya.
Suara Marissa mengecil seperti sedang menjauh sebentar. "Rumah sudah dibongkar," desisnya pelan.
"Terus bagaimana, Ma?"
"Ternyata bukan cuma perut babi, tapi juga kelelawar. Supaya nggak busuk dia simpan dengan arak di dalam plastik tebal, terus plastik itu dimasukkan dalam boks plastik."
"Ya Allah, Ma, ngeri banget! Gimana caranya mama tahu tempat dia kubur benda-benda itu?"
"Mama ingat-ingat lagi, papa kamu berubah sejak kebun belakang direnovasi."
"Di halaman rumputnya, Ma?"
"Bukan, ketemunya justru di bawah saung."
"Di bawah kolam ikan?"
"Karena digali tanah nggak ketemu juga, akhirnya kolam juga dibongkar. Alhamdulillah ketemu!"
Marissa terus bercerita panjang lebar, terdengar seperti perempuan yang sedang merasa paling beruntung di muka bumi. Dia juga menaruh firasat tentang siapa biang kerok masalahnya, yaitu seorang tukang pemborong halaman belakang rumahnya. Namanya Jali, yang rupanya pernah kawin dengan Mardina, wanita yang berusaha terus-terusan mengobrak-abrik rumah tangganya.
"Mama sampai cari tukang dari Demak, Jawa Tengah, ya? Tukangnya itu santri-santri. Katanya nggak sembarang tukang kuat mengerjakan itu."
"Syukurlah, Ma. Papa nggak tahu, kan?"
"Nggak dong. Mbak Ning dan Prapti saja nggak tahu karena mama pulangkan dulu untuk sebulan."
"Sekarang kondisi papa bagaimana?"
"Ya, biasa saja. Tapi tadi sore dia diam sendirian di teras rumah. Waktu mama dekati tiba-tiba saja papamu mengajak supaya lebih lama lagi di Painan."
Sejak malam itu Amara merasa seperti semen di dalam otaknya mengelupas. Hari demi hari telah berubah. Ia menjadi lebih gembira dalam banyak hal. Satu persatu kawan bermunculan. Rupanya tepat ucapan Marissa untuk Amara. Keharmonisan orang tua saja berpengaruh dalam berteman, apalagi soal pasangan hidup.
Namun pada satu malam, dua bulan sesudah mendengar kabar baik itu, ia menangkap isak tangis bersayup-sayup dari balik tembok kamar. Di luar hanya rel kereta yang gelap sunyi namun bising sewaktu-waktu. Di seberangnya lagi adalah tembok rumah-rumah penduduk. Sekali dengar saja ia langsung bergidik, tapi juga bercampur penasaran. Hanya saja, suara itu lenyap tak lama kemudian.
Malam berikutnya sayup-sayup serupa terulang di telinga. Masih dari arah yang sama. Amara memberanikan nyali menengok lewat jendela. Di luar gelap dan sunyi. Angin malam lebih berisik dari apa pun. Pandang mengedar ke sana kemari. Tidak seorang pun terlihat. Namun tangis itu masih bersambung. Kemudian lewatlah serangkaian panjang lokomotif beserta gerbong-gerbong penumpang, mengular lesat dalam lipatan malam. Tangis wanita itu lekas terbungkam raung kereta.
Kereta akhirnya sirna. Masih berkibas rambut Amara tertiup angin. Sejenak ia bertahan di jendela, menanti kelanjutan si tangis malam. Namun tidak lagi terdengar. Hening. Hanya angin. Maka ia menurunkan kepala seraya menutup jendela.
Siang di akhir pekan, ia menyengajakan diri melihat-lihat pemandangan di belakang kamarnya. Rupanya rel kereta sama saja siang atau malam. Sama sekali sepi. Hanya cahaya yang membuatnya tampak berbeda.
Sorenya gadis itu didatangi temannya yang sudah berjanji akan pergi bersama ke Dago atas. Dia menyapa temannya dengan panggilan Teteh karena dianggap lebih tua, meski cuma tua wajah. Teteh menunggu di kamar sambil memutar musik, sementara Amara bersiap-siap.
Amara sedang mengguyur badan ketika kawannya bersorak nyaring, "Ada kiriman!"
"Kiriman?" balasnya tak kalah nyaring.
"Ya. Paket kiriman."
"Ooo."
"Tulisannya rendang!" suara Teteh lebih nyaring.
Pintu kamar mandi terbuka sedikit. Muncul sedikit kepala Amara dengan rambut berbusa putih.
"Paling-paling itu dari mamaku. Banyak?"
Teteh mengangkat bungkusan hitam seraya menebak, "Sebanyak ini. Mungkin satu kilo daging."
"Oh, oke."
Pintu ditutup lagi. Tapi baru sebentar kepala Amara kembali nongol.
"Kamu suka rendang?"
"Sukalah."
"Ya sudah, buka saja."
Teteh bersorak senyaringnya seolah-olah baru memenangkan undian masuk surga. Kiriman itu lekas diberedel. Dibongkar isinya yang ternyata memang rendang. Hitam berkilau wujudnya, padat, diselingi kentang indil-indil. Bukan main sedap dan kaya aroma rendang tersebut, sehingga wanita itu tak bersuara lagi kecuali lidahnya kecap-kecap.
Selesai Amara mandi dan ia menjumpai kawannya sedang lupa diri menggasak rendang kiriman.
"Enak, Teh?"
"Top! Ya Allah, kok bisa seenak ini."
Amara mengulum senyum. "Nanti kamu bungkus saja sebagian."
"Serius, Amara! Ya ampun, kamu baik banget. Pokoknya mulai sekarang kita jadi saudara."
Tergelak saja tawa Amara. Dan Teteh berkata lagi, "Oh, aku lupa, ada ini juga. Sampahnya kubuang di situ, ya."
Secarik amplop. Lumayan tebal isinya. Ia terima amplop tersebut lalu merobek sampingnya.
"Uang jajan tambahan, ya?"
Amara menghitung sepintas lembaran uang kertas di dalam amplop. Sekurangnya mungkin ada 2 juta. Oleh karenanya ia segera menelepon Marissa. Namun ia urungkan mengingat baterai ponselnya tersisa hanya 1 persen.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
