ify. Chapter 02 - Gadis Perpustakaan

3
0
Deskripsi

“Ikut aku yuk, ke sekolah.” Herlina mengajak gadis itu dengan memasang sedikit senyuman. Mungkin gadis itu jadi yang pertama teman sekolah yang pernah melihatnya tersenyum. Itu dapat ditunjukkan dari ekspresi terkejut di wajahnya.

“Eh? Tapi motor Ayahku gimana?”

14 Oktober 2019

Kedua kakinya sedikit berlarian menaiki satu demi satu anak tangga. Herlina kembali masuk ke dalam kamarnya setelah sebelumnya menyempatkan waktu sarapan di ruang tengah bersama dengan ayahnya seorang. Ia menarik laci di dalam lemari. Di dalam laci itu terdapat banyak perhiasan yang terlihat tidak terlalu mencolok. Salah satunya seperti seutas simpul pita berwarna biru yang kemudian dipakai untuk mengikat rambut panjangnya. Almamater warna merah marun yang tadi dilepas di atas ranjang kemudian dikenakan untuk melengkapi atribut seragam sekolah. Tadinya sempat diambil dari dalam lemari pakaian bersamaan dengan dasi sekolah yang kini sudah terpasang pada kerah bajunya. Tidak lupa membawa topi. Itu semua wajib dipakai sebagai syarat untuk mengikuti upacara bendera. Buku pelajaran dan alat tulis sudah dimasukkan ke dalam tas. Semuanya sudah disiapkan dari tadi malam. Tidak lupa juga membawa beberapa buku bacaan yang belum sempat terselesaikan. Juga gawai yang dicabut dari kabel pengisian daya. Semuanya sudah siap. Herlina akhirnya dapat kembali turun ke lantai bawah untuk berpamitan.

“Kurang lebih seperti itu. Saya sampaikan lebih lengkapnya setiba di kantor. Selamat pagi.” Selesai dari panggilan telepon, pria itu langsung menghampiri setelah menyadari kedatangan putrinya dari anak tangga. “Mau berangkat sekolah? Beneran enggak mau sekalian Ayah antar? Entar pulangnya minta Bik Mutia yang jemput.” ujarnya menawarkan sambil menjulurkan tangan.

“Enggak. Herlina mau bawa motor sendiri.” Jawabnya datar sembari mengecup punggung tangan ayahnya lalu beranjak keluar dari dalam rumah.

Herlina duduk di tepi teras untuk memasang sepatu. Hari ini gadis itu memutuskan memakai pantofel. Jenis sepatu yang selalu menjadi favoritnya ke sekolah. Warna hitamnya pekat dan mengkilap. Kemarin sempat disikat dengan semir sepatu. Bangun dari duduk ia segera beranjak mengambil sepeda motor dari dalam bagasi. Helm digunakan sebelum dirinya menunggangi jok sepeda motor. Jarak rumah dengan sekolah memang tidak terlalu jauh, hanya kurang dari satu kilometer. Akan tetapi bagi gadis itu keselamatan dalam berkendara adalah sesuatu yang penting dan harus diutamakan untuk mencapai tujuan. Mesin akhirnya dihidupkan dan sepeda motor akhirnya melaju dengan pelan. 

Ketika hendak keluar melewati pintu gerbang, Herlina langsung dipertemukan dengan seorang wanita yang tampak buru-buru mendekatinya setelah sempat menyeberangi jalanan. Wanita itulah yang dipanggil Bik Mutia. Seorang asisten rumah tangga yang dipekerjakan ayahnya, bahkan semenjak Herlina masih duduk di bangku sekolah dasar.

“Duh.. Maaf banget, Herlina. Bibi telat buat datang kemari. Ponakan Bibi lagi rewel.” Ucapnya ketika berpapasan dengan wajah sedikit memelas. Sementara Herlina kembali melajukan sepeda motornya.

Waktu seperti berjalan bagaikan roda yang berputar pada tempat yang sama. Herlina menghela nafas panjang mengingat bagaimana pemandangan yang selalu didapatinya. Di mana selama ini ketika berada di rumah sendiri, ia seperti hanya berpapasan begitu saja dengan ayahnya. Seolah tukar menukar perasaan di antara keduanya seperti meredup begitu saja. Itu tidak luput dari kepergian sang ibu yang meninggal tatkala Herlina masih berumur lima tahun. Masa di mana Herlina sangat membutuhkan peran dari seorang ibu. Semenjak saat itu, tidak banyak percakapan yang terjadi di antara Herlina dengan ayahnya. Hanya ada interaksi yang terbilang sangat minim. Mereka berdua bahkan tidak mencoba untuk saling mengerti satu sama lain. Herlina memilih bungkam dan menutup diri. Sementara ayahnya menjadi pribadi yang sedikit tak acuh. Menyibukkan diri dengan dunia pekerjaan menjadi satu-satunya cara yang ditempuh pria itu untuk kabur dari kenyataan pahit setelah ditinggal sang istri.

Di tengah perjalanan menuju sekolah, bar bensin yang terlihat pada meteran speedometer terlihat begitu rendah. Untungnya setelah berbelok dari perempatan, Herlina bisa menemukan pom bensin mini yang bertengger di samping sebuah bengkel. Ia kemudian memutuskan untuk mengisi bahan bakar sepeda motornya di bengkel itu. Sesampainya di sana, di sudut bengkel itu, seorang gadis dengan almamater merah marun dan seragam sekolah yang sama tampak sedang duduk sendiri di bangku panjang. Gadis itu adalah seorang siswi yang seangkatan dengan Herlina. Bahkan dari sekolah menengah pertama. Namun sedari dulu Herlina tidak terlalu mengenalnya, apalagi sampai mengetahui namanya. Gadis itu tampaknya sedang menunggu sesuatu. Entah sedang menunggu apa. Kedua tangannya tengah memeluk helm yang berada di atas pangkuannya. Tadinya gadis itu sempat terlihat melamun sebelum akhirnya tersadar karena kedatangan Herlina.

“Isi berapa liter?” tanya paman dengan baju lusuh bekas tumpahan oli yang datang menghampiri. Pria itu merupakan pemilik dari bengkel yang didatangi Herlina.

“Dua liter, Paman.” jawab Herlina seraya turun dari sepeda motor lalu membukakan jok tempat duduk. Sembari menunggu, ia memutuskan untuk menghampiri gadis yang duduk di sudut bengkel itu.

“Hai.” sapanya sambil berjalan mendekat.

“Eh! Hai juga.” balas gadis itu terlihat sedikit tersentak lalu tersenyum kecil.

“Lagi nungguin apa?”

“Ini, motorku tadi mogok di jalan.” jawab gadis itu lalu menolehkan wajah menunjukkan sepeda motor miliknya. 

Sepeda motor yang ditunjukkan oleh gadis itu merupakan model jadul keluaran tahun 90-an yang sepertinya wajar saja kalau sering mogok di jalanan. Karenanya setelah sepeda motor miliknya telah diisi bensinnya, Herlina tidak langsung beranjak pergi. Sebelum itu ada sesuatu lagi yang harus dilakukan. Tentunya menawarkan tumpangan kepada gadis yang ditemuinya.

“Ikut aku yuk, ke sekolah.” Herlina mengajak gadis itu dengan memasang sedikit senyuman. Mungkin gadis itu jadi yang pertama teman sekolah yang pernah melihatnya tersenyum. Itu dapat ditunjukkan dari ekspresi terkejut di wajahnya.

“Eh? Tapi motor Ayahku gimana?”

“Kamu bisa tinggalin dulu di sini, sementara diperbaiki.”

“Memangnya motor ayahku bisa diperbaiki sampai kapan, Paman?” tanya si gadis kepada paman pemilik bengkel.

“Waduh, kayaknya bisa jadi sekitar jam delapan nanti, karena bukan cuman motormu saja yang mau diperbaiki.” ujar paman pemilik bengkel setelah menyeruput nikmat secangkir kopi yang baru saja diambil dari dalam gubuk bengkel.

“Ini juga sudah masuk jam 7 loh. Bisa gawat kalau nantinya kita sampai telat upacara.” tambah Herlina.

“Eum, baiklah.” Gadis itu mengiyakan. Ia segera bangun dari bangku lalu berjalan mengikuti Herlina seraya memasang helm yang sedari tadi dipeluknya. Ia kemudian menaiki jok sepeda motor lalu duduk di belakang dengan cara menyamping.

“Paman. Motor Ayahku dijaga, ya.” pintanya kepada paman pemilik bengkel.

“Siap! Motormu yang paling dulu diperbaiki, kok.” jawab paman pemilik bengkel meyakinkan.

“Makasih.”

Mentari pagi yang bersinar hari ini cukup cerah. Cahaya hangatnya yang membiasi bangun-bangunan dan pepohonan rindang, membentuk bayangan memanjang yang secara selang-seling meneduhkan sebagian dari permukaan jalanan aspal. Kendaraan yang melaju di atasnya ikut terkena biasan selang-seling itu. Namun suhu dingin sisa semalam masih belum ingin beranjak pergi. Membuat orang-orang jadi merasakan udara hangat sekaligus kedinginan pada waktu yang bersamaan. Sedari tadi gadis yang dibonceng Herlina tidak henti-hentinya memasang ekspresi riang di wajahnya. Ia merasa begitu terselamatkan karena bisa mendapat tumpangan dari teman sekolah yang bahkan baru pertama kali disapanya. Ia juga tidak menyangka kalau seseorang yang diketahuinya sedikit bicara itu nyatanya adalah gadis yang baik.

“Hei, kita belum kenalan. Aku Renita Arina. Kamu bisa memanggilku Renita. Namamu siapa?” ucap si gadis memperkenalkan diri lalu kembali bertanya dengan mengeraskan nada bicara.

“Aku Herlina Nirmala. Kamu bisa memanggilku Herlina.” jawab Herlina dengan nada yang juga ia tinggikan.

“Herlina? Nama yang bagus. Tahu enggak? Aku sebenarnya dari dulu sangat ingin.. berteman denganmu.” ungkap gadis itu seraya menekan suaranya.

Herlina bertanya penasaran. “Kenapa?”

“Enggak ada, aku cuman penasaran sama sikapmu yang sedikit bicara. Ternyata kamu orangnya baik banget.”

“Heum, kalau begitu mulai sekarang aku sudah jadi temanmu.”

“Beneran? Wah, kalau begitu makasih!” teriakan riang Renita sampai terdengar oleh semua pengguna jalan yang berada berdekatan.

***

Seluruh pasukan upacara akhirnya dibubarkan dan upacara bendera akhirnya selesai dilaksanakan. Lapangan utama yang menjadi tempat pelaksanaannya kemudian ditinggalkan oleh semua siswa-siswi termasuk mereka yang jadi petugasnya. Hingga alarm pergantian waktu berbunyi. Tidak ada jeda yang diselipkan di antara jam pelaksanaan upacara bendera dengan jam pelajaran pertama. Bel listrik yang berbunyi secara otomatis itu memaksa setiap siswa untuk segera memasuki ruang kelasnya masing-masing. Di saat seperti itu, kondisi tiap lorong-lorong kelas sedang diramaikan dengan para penghuninya yang tengah menanti akan datangnya guru pengajar.

“Lagian, ini udah dua minggu, loh. Masa kelas kita belum bisa menemukan tema yang pas untuk acara karnaval besok?” Putra mengomel protes perihal kelasnya yang belum dapat menentukan tema untuk acara ulang tahun sekolah yang akan datang. Ia yang menjabat sebagai bendahara kelas 10 IPA 2 mulai terdengar kecewa.

“Mau gimana lagi? Pas musyawarah, pasti ada aja di antara kita yang enggak setuju. Kalau sudah begitu, yang lain malah ikut-ikutan bilang enggak setuju.” Abi mengernyit pasrah menyahuti omelan Putra.

Alika juga ada di antara mereka. Seperti biasanya ia sedang membaca buku di tempat duduknya. Tadinya Putra yang baru masuk kelas langsung datang menghampiri. Putra kini tengah berdiri bersandarkan meja kayu. Sedangkan Abi sedari awal sudah duduk di depan Alika. Posisi bangku tempat duduk Abi berada tepat di depan meja Alika.

“Tadi Putri dari IPA 5 cerita, hari Sabtu kemarin kelas mereka sudah mulai jahit kostum.” Alika yang memang mendengar perkataan Putra ikut menanggapi. Bukan berarti ia hanya terfokus pada bacaan buku di tangannya.

“Masa? Bukannya itu kecepetan?” Abi dikejutkan dengan pernyataan Putra karena belum percaya.

“Bukan kecepetan, kitanya yang bertindak kelamaan.” Putra juga tahu akan hal itu. Itu karena ia juga merupakan anggota OSIS bersama dengan Putri dan Alika. Mereka pastinya sering saling berbagi cerita ketika berkegiatan.

“Kalau kamu sendiri gimana?” Abi melempar pertanyaan kepada Alika. Ia kemudian menyambungkan. “Menurutmu tema yang sebaiknya kita pakai untuk kelas kita bagusnya apa?”

“Heum, kalau aku apa pun juga boleh. Cuman masalahnya dari awal kelas kita terkesan agak sulit buat kompak. Mungkin karena alasan itu juga kita masih belum bisa menentukan tema.”

“Pokoknya hari ini kita harus musyawarah lagi! Kali ini harus yang terakhir!” Putra bersorak dengan niat agar yang lain mendengarkan. Namun seisi sekelas hanya meliriknya  sebentar.

“Kalau enggak salah, Ketua kelas pernah bilang kalau dia punya pilihan terakhir yang digadang-gadang sebagai solusi mutakhirnya.” ungkap Alika menambahkan.

“Solusi terakhir? Aku jadi ragu.” saut Putra membalas.

“Memangnya kenapa?”

“Kamu belum tahu, Alika? Ketua kelas kita itu wibu akut! Kalau diserahkan ke dia entar jadi aneh-aneh, dah.” Dari sana obrolan gosip akhirnya dibuka Putra.

“Heh!”

“Beneran! Dari pertama kali lihat dia, aura wibu-nya sudah sangat terasa.” Abi ikut menambahkan dengan heboh.

“Kalian enggak ada kerjaan lain apa selain ngegosipin Ketua kelas pagi-pagi gini?” balas Alika menggerutu.

“Herlina. Buku yang kupinjam kemarin sudah aku kembalikan ke kamu, kan?”

“Udah hari sabtu kemarin. Kamu enggak ingat?”

“Oh, maaf. Aku sampai lupa. Soalnya kemarin aku lagi di rumah nenek. Aku sibuk bantu–”

Gadis yang duduk sebangku dengan Herlina itu bernama Fitri. Ia juga merupakan anggota OSIS selain Alika, Putra dan Herlina di kelas 10 IPA 2. Kehadirannya tanpa sengaja membuat Alika mengalihkan perhatian dari obrolan gosip Abi dan Putra. Sama seperti Alika, Herlina juga memiliki kebiasaan yang sama. Gadis itu sering menghabiskan waktu dengan menyendiri sambil membaca buku di tempat duduknya. Anehnya meskipun punya sedikit teman, namun seisi sekelas selalu mengagumi Herlina yang sedikit bicara. Mungkin karena Herlina yang tidak pernah ikut campur dalam urusan orang lain. Alika juga mengagumi hal itu dan tanpa sadar, ia diam-diam sering memperhatikan Herlina dari tempat duduknya.

Tempat duduk Herlina berada dekat dengan jendela. Terletak di barisan ketiga dari urutan terdepan. Cukup berjauhan dari tempat duduk Alika yang berada di tengah-tengah ruang kelas. Dari sudut itu, Alika tidak bisa menghindar dari keberadaan Herlina yang selalu berhasil membuatnya terpikat akan perasaan aneh yang tidak bisa dipahaminya. Rambut panjang Herlina yang diikat selalu saja terurai ketika tiupan angin berhembus masuk melalui celah jendela kelas yang sedikit terbuka. Di saat seperti itu, dari sudut itu juga Alika bisa menatap sececah wajah tampak sedu yang tidak bisa ditutupi gadis itu. Terkadang pipinya berwarna sedikit kemerahan tanpa sebab yang pasti. Tatapan matanya begitu tajam namun terlihat sayu pada waktu yang bersamaan. Seseorang yang menyadari semua itu pasti akan dibuat terpesona, karena semua itu sudah cukup untuk mengalihkan Alika dari menariknya bacaan buku di tangannya.

Tidak banyak sesuatu yang dapat terungkap dari Herlina meskipun Alika sudah satu sekolah dengan gadis itu semenjak berada di bangku sekolah menengah pertama. Yang diketahui Alika mengenai Herlina adalah dirinya dengan gadis itu menggemari hal yang sama. Dan itu adalah membaca buku. Namun di balik sikapnya yang terkesan menutup diri, siapa sangka kalau Herlina adalah seorang atlet bela diri Taekwondo. Hebatnya lagi, ia pernah mewakili provinsi dalam mengikuti kejuaraan sampai tingkat nasional. Beberapa orang bahkan masih sering melihat Herlina mengenakan Dobok, yaitu baju wajib yang dikenakan saat latihan Taekwondo. Tidak heran kalau tidak ada orang yang berani macam-macam dengannya. Mungkin karena itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa siswa laki-laki bisa dibuat ciut dengan keberadaan gadis itu.

“Riana, tadi sebelah mataku rasanya kok kayak gerak-gerak sendiri, ya?” Bayu si Ketua kelas menanyakan keanehan yang dirasakannya.

“Heum, itu tandanya ada yang ngegosipin kamu, Yu.”

“Heh! Emang iya?!”

***

Kantin sekolah memang selalu diramaikan dengan siswa-siswi yang datang untuk mengisi perut yang kosong. Tenaga selalu terkuras habis setelah mereka selesai dengan penerimaan pelajaran dari para guru pengajar. Apalagi kebanyakan dari mereka yang tidak sempat sarapan di rumah. Bahkan di saat jam belajar sedang berlangsung, pasti selalu dapat ditemukan beberapa siswa-siswi yang bertengger di tempat itu. Entah dengan alasan seperti apa, yang pastinya pihak kantin tidak terlalu menghiraukan hal itu. Karena sejatinya mereka yang berjualan di sana hanya menjalankan apa yang menjadi amanah. Kantin yang berlokasi di dekat mushola sekolah itu menyediakan banyak menu sarapan yang menjadi daya tarik utama. Mulai dari nasi campur, nasi goreng, bakso, bahkan juga mie ayam. Aneka jenis makanan ringan dan minum-minuman juga dapat ditemukan di sana. Ada juga di antara siswa-siswi yang datang hanya untuk membeli snack dan minuman yang kemudian dibawa kembali ke dalam kelas untuk disantap bersama. Kebanyakan dari mereka yang seperti itu memang adalah kalangan para siswi. Karena sejatinya para siswa akan gengsi membawa kantong plastik berisikan makanan ke dalam kelasnya.

“Hey, Awika. Puwang sekowah hawi wabu besok udah muwai dekowasi, kan?” tanya Adistio yang duduk di hadapan Alika. Bicaranya jadi tidak jelas karena mulut yang dipenuhi kunyahan risol mayo.

“Iya. Lagian kalo ngomong itu, dihabiskan dulu makanan di dalam mulut!” ketus Alika yang baru saja selesai membuka bungkusan roti isi.

Adistio menelan risol mayo yang habis dikunyahnya bulat-bulat. “Aku jadi makin penasaran, acara besok bakal semeriah apa, ya?”

“Semoga saja enggak ada kendala yang bisa sampai menghambat acaranya.” tutur Alika.

“Heum, iya juga.” Adistio bergumam kecil lalu mengalihkan pandangan. Ia yang duduk berhadapan dengan Alika secara tidak sengaja menemukan Herlina  bersama dengan Renita yang baru saja keluar dari kerumunan meja tempat kantin berjualan. Dua gadis itu tampak tengah membawa sarapannya menuju meja kosong yang berada di dekat sudut tembok. 

“Eh! Lihat tuh, Herlina lagi duduk sama Renita.”

Alika memutar kepala untuk menengok. Seperti yang dikatakan Adistio, Herlina memang sedang duduk dengan Renita di meja yang berada di dekat sudut tembok kantin. Cukup jarang Alika menemukan gadis itu menunjukkan batang hidungnya sambil duduk-duduk di kantin sekolah. Karena setahu Alika, Herlina biasanya pergi ke kantin hanya untuk membeli beberapa roti isi yang kemudian dibawa kembali ke dalam kelas. Kalau tidak ke kantin, gadis itu biasanya bawa bekal sendiri dari rumah. Alika tahu akan hal itu karena ia sering melihat Herlina mengeluarkan kotak makan dan sebuah termos dari dalam tasnya.

Renita yang menyadari keberadaan Alika dan Adistio tiba-tiba melambaikan tangannya tinggi-tinggi dari kejauhan. Menyadari hal itu, Herlina dibuat ikut mengarahkan pandangan menghadap mereka berdua. Adistio berdiri lalu membalas melambaikan tangan tinggi-tinggi. Alika hanya bisa tersenyum ragu lalu ikut melambaikan tangannya setinggi bahu. Setelah itu, dua gadis itu kembali dalam obrolan mereka. Entah sedang membicarakan apa.

“Dasar, Renita. Selalu saja jadi yang paling heboh.” ucap Adistio lalu kembali mengalihkan pandangan.

“Haha.. dari dulu dia memang udah kayak begitu.” ungkap Alika membenarkan.

Mengenai Renita, ia dulunya pernah sekelas dengan Alika ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Gadis itu dikenal periang dan selalu terlihat ceria. Ia juga baik dan cepat akrab dengan siapa pun. Sifatnya yang mudah akrab itu membuat dirinya bisa dikenal banyak orang. Buktinya Renita sekarang sudah bisa berteman dengan seorang seperti Herlina. Meskipun terkadang sikapnya memang agak sering sembrono. Namun dari dulu sampai sekarang, Renita merupakan siswi yang cukup pintar di kelasnya. Selain itu ia juga pernah andil bagian sebagai pasukan pengibar bendera 17-an di bulan Agustus yang lalu.

“Bukannya kamu satu anggota sama Herlina di seksi perlengkapan? Minggu kemarin pas rapat pembagian tugas, seksi-seksi yang akan bertugas untuk acara besok bakal tetap sama, kan? Menyesuaikan posisi di keanggotaan OSIS.”

“I–iya juga, sih.” balas Alika singkat kemudian mengalihkan pandangan ke arah di mana Herlina berada. Ada hal lain yang membuatnya merasa sungkan.

“Seksi perlengkapan kayaknya bakal punya tugas yang merepotkan. Kalau aku yang berada di seksi keamanan paling cuman diminta jaga ketertiban doang.”

Sejujurnya Alika tidak mempermasalahkan seksi perlengkapan yang pastinya akan disibukkan dengan banyak keperluan dan kebutuhan acara. Terlebihnya lagi, ada banyak kenalan yang satu anggota dengan dirinya di seksi itu. Herlina yang menjadi teman sekelasnya juga salah satunya. Akan tetapi meskipun satu kelas, sampai sekarang pun Alika masih belum bisa akrab dengan gadis itu. Tidak heran juga karena kebanyakan siswa-siswi lain di keanggotaan juga begitu.

“Heh, masa?! Beneran kamu enggak pernah ke kantin?!” Renita membelalak terkejut setelah mendengar cerita Herlina. Ia juga sangat terkejut setelah mengetahui kalau teman barunya itu ternyata selalu bawa bekal sendiri dari rumah.

“Bukan berarti enggak pernah. Kadang-kadang aku juga sering ke sini meskipun cuman beli jajan ataupun alat tulis.” jelas Herlina. Ia hanya memesan beberapa roti isi dan risol dengan minuman jus jeruk. Sedangkan Renita memesan nasi goreng dengan minuman yang sama seperti Herlina.

“Tapi aku salut, loh. Soalnya bawa sarapan dari rumah itu praktis juga, jadi lebih hemat uang belanja. Jarang banget ada yang kayak kamu. Tapi menu sarapan di sini juga enak-enak. Aku paling sukanya mie ayam, tapi kali ini nyoba nasi goreng. Sesekali kamu harus coba juga.”

“Makasih sarannya. Lain kali aku bakal coba juga, deh.”

“Gitu dong. Ngomong-ngomong, Adistio yang tadi duduk sama Alika itu teman sekelasku. Tahu enggak, kalau aku berhasil jebak dia biar mau jadi Ketua kelas. Hahaha.”

“Kamu jahil banget, ya.”

Bagi Herlina, Renita adalah gadis yang penuh dengan cerita. Ia tidak pernah menyangka kalau selepas kelas tadi Renita ternyata langsung datang menjemputnya bahkan sampai menariknya agar mau diajak ke kantin. Syukurlah karena sekarang ada seseorang yang sepertinya akan menjadi teman dekatnya. Di saat terpikirkan akan hal itu, Herlina seketika menyadari seseorang yang meniliknya dari kejauhan. Ia kemudian menolehkan wajahnya menatap Alika yang seketika langsung berpaling. Aneh? Sambil memiringkan kepala, Herlina dibuat memasang ekspresi penuh tanya. Ada apa dengannya?

***

Alika berjalan sendiri menyusuri koridor kelas dengan membawa tote bag kecil berisikan buku-buku di tangannya. Beberapa dari buku-buku itu akan dikembalikan ke perpustakaan setelah sebelumnya dipinjam dari empat hari yang lalu. Ini juga menjadi kali kedua Alika telat mengembalikan buku yang dipinjam dari perpustakaan. Itu dikarenakan minggu lalu Alika cukup disibukkan dengan acara pernikahan sepupu yang berasal dari pusat kota. Sepulang sekolah, ia dengan ibu dan adiknya pastinya langsung pergi ke sana untuk ikut membantu persiapan acara.

Hampir setiap hari Alika memang selalu menyempatkan diri mengunjungi perpustakaan. Hal seperti itu bahkan sudah menjadi rutinitasnya semenjak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Membaca buku seperti sudah menjadi sesuatu yang begitu melekat di dalam dirinya. Bagaimana tidak? Kalau sering senggang, untuk sebulan Alika bisa membaca habis hingga belasan buku banyaknya. Tidak heran orang-orang bisa memanggilnya kutu buku. Lokasi perpustakaan yang akan dituju Alika berada di lantai dua gedung bagian barat dan berjarak dua ruangan ke arah selatan dari ruang OSIS. Sebelumnya lantai dua gedung bagian barat tidak dapat digunakan untuk semua aktivitas baik oleh siswa maupun para guru pengajar. Itu dikarenakan beberapa tembok bangunan yang retak akibat dari bencana gempa yang pernah terjadi satu setengah tahun yang lalu.

“Eh, lihat tuh. Si kutu buku akhirnya datang juga.”

“Buset. Culun banget tuh orang.”

“Hahaha..”

Alika mengubah raut wajah masam tatkala melihat tiga senior kelas seperti sedang menunggu kehadirannya dari kejauhan. Mereka adalah berandal sekolah yang dikenal kerap merundung orang-orang termasuk Alika. Karena dibuat muak dengan sikap yang seperti itu, tidak heran banyak yang menantikan kelulusan mereka yang tahun ini sudah menginjak kelas 12.

Menyadari keadaannya, Alika seketika turun dari lantai koridor untuk menghindar. Namun merasa tidak diacuhkan, mereka yang menunggu di sana malah ikut turun hanya untuk menghadang langkah Alika.

“Eits! Mau ke mana?” tanya salah seorang dari mereka yang merupakan ketuanya.

Alika menatap sedikit tajam senior kelas yang berdiri di hadapannya itu. “Apa masalahmu, Bima?”

Bruk! Tote bag yang dipeluk Alika dengan sebelah tangan langsung terlepas dan berjatuhan setelah pundaknya didorong keras oleh siswa senior yang dikenal bernama Bima. Alika lantas menunduk memunguti buku-bukunya yang berserakan.

“Berani juga nih orang.” ucap siswa senior di sebelah Bima.

“Anak kelas sepuluh belagu amat.” sahut yang lain.

Setelah berdiri dari posisi, Alika langsung beranjak pergi meninggalkan mereka tanpa ada niat memberikan perlawanan. Mau bagaimana pun, Alika tetap menahan diri. Tidak ingin membuat permasalahan yang ia rasa tidak perlu. Perlakuan Bima dengan teman-temannya yang seperti itu memang akhir-akhir ini sering terjadi. Apalagi setelah mengetahui kalau mereka kembali bertemu di sekolah yang sama setelah sekolah menengah pertama. Tidak ada cara lain bagi Alika untuk mengatasi mereka selain menjauh dan menghindar. Akan berbeda cerita kalau Alika yang kini tergabung ke dalam kepengurusan OSIS sampai berbuat masalah di sekolah.

“Alika Artha. Kamu telat kembalikan bukunya. Tenggat waktunya kemarin.” ujar petugas perpustakaan setelah melihat kartu peminjaman yang ada di balik sampul dari dua buku yang dipinjam Alika. 

“Maaf, Bu. Kemarin juga hari Minggu.”

“Walaupun hari Minggu kamu harus tetap bayar. Dua buku yang kamu pinjam ini sudah melewati tenggat masa pinjam!” tegas petugas perpustakaan.

“Iya, Bu. Aku tahu. Bayarnya berapa?”

“Kamu telat kembalikan bukunya sehari. Berarti bayarnya enam ribu.”

Dengan sergap Alika mengambilkan tiga lembar uang kertas bernilai dua ribuan dari dalam saku celana lalu diberikan langsung kepada petugas perpustakaan. “Ini, Bu. Uangnya.”

“Iya, terima kasih.”

Koleksi buku yang tersimpan di dalam ruang perpustakaan terbilang cukup beragam. Karena apa yang ada di sana bukan hanya terbatas pada buku pelajaran sekolah saja. Berbagai macam judul ilmiah, metode kreasi, ilmu budaya dan sejarah, serta karangan fiksi dari banyak penulis dapat ditemukan di dalamnya. Dengan fasilitas seperti itu, Alika tentunya dapat dengan leluasa mengekspresikan antusiasnya menelusuri lorong-lorong rak kayu untuk menilik setiap buku yang ada. Dari memainkan jemari memilih buku-buku yang tersusun rapi di dalam rak. Membaca setiap judul pada buku-buku yang berhasil memikatnya. Hingga akhirnya memilih buku yang kemudian menuntunnya menuju meja baca yang disediakan di dalam ruangan itu. Namun sebelum sampai di sana, inisiatif Alika ternyata telah didahului oleh seorang maniak buku yang tak kalah saing dengan dirinya. Siapa lagi kalau bukan Herlina. Kali ini gadis itu ditemani Renita yang mulai hari ini sering terlihat bersamanya.

Bukan hanya Alika seorang. Gadis penyendiri itu nyatanya juga dikenal sebagai seorang kutu buku. Akan tetapi daripada dipanggil gadis kutu buku, orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan gadis perpustakaan. Itu dikarenakan setiap orang yang masuk ke dalam perpustakaan pasti akan disuguhkan dengan keberadaan Herlina yang sudah berada di sana ditemani tumpukan buku di sekitaran tempat duduknya. Dibandingkan dengan Alika, Herlina bahkan lebih masif dalam memilih-milih buku yang menariknya. Syukurlah kalau kali ini gadis itu tidak datang sendiri dan ada yang menemani. Akan tetapi karena masih merasa canggung, Alika lebih memilih untuk meminjam lagi buku yang tadi diambilnya.

“Hah?! Kenapa enggak sekalian nyari buku dulu, baru kembalikan buku yang sudah dipinjam?”

“Ma–maaf.”

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ify. Chapter 03 - Semu-semu
0
0
“Kalau kamu, sukanya genre apa?” ia bertanya balik.“Eh, aku? Sebenarnya ada banyak. Ada genre misteri, action, thriller, fiksi ilmiah juga. Apa lagi, ya? Tapi yang pasti, semua orang punya alasan tersendiri akan genre novel yang disukai.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan