Aku Tak Mau Jauh Darimu (2)

1
0
Deskripsi

Untuk pertama kalinya sejak bertemu, Marika dan Cheryl terpisah karena keluarga mereka memiliki rencana masing-masing dalam menghabiskan waktu liburan semester, Marika liburan di kapal pesiar tempat papanya bertugas sementara Cheryl dan keluarganya pulang ke kampung halaman sang bunda.

Ruang lobi pelabuhan yang megah menyambut keluarga kecil itu sebelum naik ke kapal. Marika sampai ternganga dibuatnya.

“Hahaha… Kamu pasti heran ya melihat lobi khusus penumpang kapal pesiar yang berbeda dari lobi untuk penumpang biasa?" Sela sang ayah gembira melihat reaksi Marika.

“Iya, Pa. Jauh lebih mewah daripada yang Marika lihat di TV!” Jawab Marika antusias.

“Lobi ini berada di gedung yang terpisah dari lobi untuk penumpang biasa. Itu karena kapal kita bersandar di area khusus supaya tidak mengganggu lalu lintas kapal penumpang reguler,” jelas sang ayah ramah.

Usai melewati lobi, sebuah lorong yang cukup panjang menyambut Marika dan kedua orang tuanya. Dari jendela di sepanjang lorong itu, Marika dapat melihat pemandangan sekitar.

“Itu kapal yang akan kita naiki, Pa?” Tanya Marika bersemangat dengan kedua tangan yang menempel pada permukaan jendela.

“Hehe… Bagus kan kapal tempat kerja Papa?” Balas sang ayah dengan rasa bangga. “Nah, di sana itu tempat bersandar kapal penumpang reguler,” lanjutnya sambil menunjuk sebuah kapal jauh di hadapannya.  

Semua ini merupakan hal baru bagi Marika yang selama ini hanya bisa ia saksikan di televisi. Tak heran Ia begitu terpana dibuatnya.

“Selamat datang, Pak Fajar,” sambut sepasang kru kapal muda di ujung lorong. Keduanya mengenakan seragam yang agak berbeda dari yang dikenakan ayah Marika dengan tambahan rompi berwarna biru muda. “Sini, biar kami bantu bawakan tasnya,” lanjut sang kru pria saat melihat ayah Marika memanggul tas bawaan istri dan anaknya.

“Terima kasih, tapi biar saya bawa sendiri saja. Lagipula kedua tas ini masih cukup ringan,” ayah Marika menolak dengan halus. “Oh iya. Kenalkan, ini istri dan anak saya. Mereka akan berlayar bersama kita selama sepekan ke depan,” sambungnya memperkenalkan Marika dan sang bunda.

“Salam kenal, Bu. Saya Zaujan. Selamat datang di kapal kami,” ucap sang kru pria memperkenalkan diri dengan menempelkan kedua telapak tangan di depan dada dan sedikit menundukkan kepala.

“Dan saya Layni. Semoga Anda menikmati pelayaran bersama kami,” sambung sang kru wanita juga dengan gerakan yang sama.

“Salam kenal juga. Saya Helene. Mohon bantuannya selama sepekan ke depan ya,” balas ibunda Marika juga dengan sedikit menundukkan kepala.

“Salam kenal, Kak. Namaku Marika,” lanjut Marika memperkenalkan diri dengan ceria.

“Marika cantik ya,” puji Layni seraya membungkukkan badan dan mengelus rambut Marika.

“Terima kasih, Kak!” Jawab Marika riang.

“Ayo, Papa antar ke kamar kalian!” Ujar ayah Marika memberi aba-aba untuk segera masuk ke kapal.

Suasana di dalam kapal yang megah dan nyaman bak hotel berbintang lagi-lagi membuat Marika takjub. Ia tak menyangka fasilitas semewah ini bisa mengapung di atas laut.

“Gimana, Marika? Dengan fasilitas begini kamu gak merasa seperti berada di atas kapal kan?” Goda ayahnya saat melihat Marika melihat sekeliling dengan penuh rasa kagum.

“Suasananya seperti di hotel saja, Pa!” Jawab Marika bersemangat.

Setelah berjalan selama beberapa menit, ketiganya tiba di depan pintu kamar yang akan ditempati Marika dan sang bunda. Dengan menggesek sebuah kartu yang diambil dari saku kemejanya ke alat yang menempel pada gagang pintu, ayah Marika dengan sigap membuka kunci kamar itu.

“Nah, ini kamar kalian,” ujar ayah Marika sambil membuka pintu.

Dari pintu masuk, terlihat kamar itu dilengkapi satu ranjang besar, sebuah meja kecil beserta kursinya dan sebuah televisi yang ditempel ke dinding dengan rangka logam. Di sebelah kiri ranjang terdapat jendela yang menampilkan pemandangan laut lepas. Terdapat pula sebuah pintu kecil yang mengarah ke kamar mandi dengan jarak hanya beberapa langkah dari pintu masuk.

“Papa nanti akan tidur bareng kita di sini kan?” Tanya Marika polos.

Mendengar pertanyaan putrinya, ayah Marika cuma bisa tersenyum sejenak sebelum akhirnya menggeleng seraya menjelaskan, “Papa masih harus bekerja, Sayang. Papa akan sering berkunjung ke sini setiap ada waktu luang.”

“Oh iya, malam ini kita makan bareng ya,” sang ayah menambahkan. “Nanti akan Papa jemput kalian berdua.”

Marika yang sesaat sempat kecewa, kembali ceria setelah mendengar ajakan makan malam bersama sang ayah.

“Oke, Pa!” Jawab Marika dengan senyum lebar.

“Sekarang Papa kembali bekerja ya, Sayang,” ayah Marika berpamitan dengan mengecup kening putri semata wayangnya lalu membelai lembut rambutnya. “Sampai ketemu nanti malam, Ma,” tak lupa ia juga berpamitan kepada istri tercinta dengan mengecup pipinya.

Setelah sang ayah kembali bekerja di ruang kemudi, tinggallah Marika dan sang bunda di kamar. Penuh rasa ingin tahu, Marika mencoba semua fasilitas yang ia temui. Mulai dari melompat di atas kasur, membuka keran di kamar mandi hingga melihat pemandangan di luar melalui jendela, tentu di bawah pengawasan sang bunda.

Dengan cekatan, Marika membuka jendela kamar untuk memberi jalan udara segar masuk.

“Whoa… Angin lautnya kencang ya!” Seru Marika saat terpaan angin laut mengenai wajahnya.

“Hati-hati ya, Sayang!” Sang bunda mengingatkan seraya mendekat untuk ikut menikmati pemandangan di luar.

Marika meresponnya dengan anggukan penuh semangat dan senyumnya yang lugu.

“Karena kapal kita masih bersandar, sementara ini kita hanya bisa melihat lalu lalang kapal-kapal lain di pelabuhan,” ungkap ibunda Marika menjelaskan. “Mama baru ingat, ini pertama kalinya kamu melihat pemandangan seperti ini kan?”

“Iya, Ma,“ jawab Marika polos sambil mengangguk pelan. “Mama kan pernah cerita kalau aku pernah diajak naik kapal waktu masih bayi, tapi aku gak ingat sama sekali.”

“Wajar kalau di umur segitu kamu belum bisa ingat apa-apa,” ujar sang bunda mengawali penjelasannya. “Waktu itu sebagai bentuk kegembiraan atas kelahiranmu, Papa mengajak Mama berlibur di kapal tempatnya bertugas. Mungkin juga itu karena kami belum sempat berbulan madu setelah menikah,” lanjutnya sambil memandangi laut di hadapannya.

“Kapal ini, Ma?” tanya Marika penasaran.

“Sepertinya bukan. Seingat Mama, kapal itu punya desain yang berbeda dari kapal ini. Perusahaan pelayaran tempat Papamu bekerja memang punya banyak kapal,” ungkap ibunda Marika.

“Karena khawatir kalau angin laut bisa berdampak buruk untuk kesehatanmu yang saat itu masih bayi, Mama hanya pergi ke dek terbuka saat cuaca sedang cerah,” imbuhnya. “Mama bersyukur sekali Papamu memiliki teman-teman yang suka menolong.”

“Dan Mama juga bersyukur bahwa kamu tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria, Marika,” pungkas ibunda Marika dengan memeluk lembut putri kesayangannya.

“Ehehe,” Marika tertawa kecil di pelukan sang bunda.

Tak terasa, tiba waktunya kapal berangkat meninggalkan pelabuhan. Peluit kapal menjadi tanda dimulainya proses angkat jangkar dan perlahan kapal mulai menjauhi dermaga. Awalnya ditarik oleh dua kapal kecil di masing-masing ujung hingga kapal bergerak dengan tenaganya sendiri ketika mendekati laut lepas.

“Lihat, Marika! Kapal kita mulai berlayar di laut lepas!" Seru ibunda Marika.

“Wah, kita benar-benar berlayar ya, Ma!” Balas Marika tak kalah antusias.

TOK TOK TOK!

Tiba-tiba terdengar bunyi pintu kamar diketuk. Awalnya Marika dan sang bunda merasa heran karena mereka tidak mengharapkan kedatangan tamu. Tak mungkin juga itu ayah Marika karena beliau memiliki kunci kamar sehingga bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk pintu.

Dengan berhati-hati, ibunda Marika membuka pintu. Seorang wanita berseragam kru kapal tampak berdiri di sana.

“Selamat sore, Bu. Terima kasih telah berlayar bersama kami,” sapa wanita itu dengan senyum dan sedikit menundukkan kepala. “Perkenalkan, saya Hana sebagai bagian dari kru Andalakara yang akan memandu Anda selama pelayaran ini,” lanjutnya memperkenalkan diri.

“Ah, selamat sore. Mohon bantuannya,” balas ibunda Marika dengan perasaan terkejut. “Mari, silakan masuk,” ajaknya.

“Terima kasih, Bu, tapi saya di sini saja. Maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk mengantar Anda berkeliling,” ungkap Bu Hana menolak secara halus.

“Oh, kalau begitu ijinkan kami bersiap-siap sebentar,” pinta ibunda Marika. “Marika, ayo kita jalan-jalan keliling kapal!”

Tanpa perlu berganti pakaian, Marika dan sang bunda bergabung dengan Bu Hana untuk sebuah tur singkat berkeliling kapal. Tempat pertama yang dikunjungi adalah toko suvenir karena letaknya paling dekat dengan kamar yang mereka tempati.

“Marika, selamat datang di pelayaran ini ya,” ujar Bu Hana ramah seraya memakaikan topi bertepi lebar di kepala Marika. “Ini hadiah untukmu. Supaya nanti kamu terlindung dari sengatan sinar matahari saat bermain di dek terbuka.”

Marika yang tidak menduga akan mendapat kado di pelayaran perdana tentu saja senang bukan kepalang karenanya. Dengan mata berbinar ia ungkapkan rasa terima kasihnya, “Terima kasih banyak, Tante Hana. Ini benar-benar pelayaran terbaik dalam hidupku.”

“Senang mendengarnya, Marika,” balas Bu Hana lembut. “Ayo, kita lanjut berkeliling!”

Sambil berjalan, ibunda Marika juga sempat berbincang dengan Bu Hana untuk saling mengenal.

“Saya sempat kaget saat Bu Hana bilang bahwa perusahaan pelayaran ini mengutus seorang pemandu khusus untuk kami,” tutur ibunda Marika membuka obrolan. “Karena suami saya tidak bilang apapun tentang ini.”

“Oh, saya yakin beliau lupa,” ujar Bu Hana sopan. “Sudah sejak beberapa hari yang lalu beliau meminta bantuan kepada rekan-rekan di divisi saya untuk memandu istri dan anaknya berlibur di kapal ini. Berjaga-jaga kalau beliau sibuk di ruang kemudi.”

“Dia itu… untuk urusan seperti ini memang pelupa dari dulu,” keluh ibunda Marika sambil menghela napas. “Saya mohon maaf karena suami saya telah merepotkan Bu Hana dan rekan-rekan.”

“Tidak apa-apa, Bu. Ini sudah menjadi tugas saya,” balas Bu Hana gugup.

Seiring tur kecil mereka berlanjut, Bu Hana juga banyak bercerita tentang seluk beluk pelayaran dan pekerjaannya di kapal pesiar.

“Rute perjalanan kita kali ini adalah menuju Indonesia tengah dan timur. Sepanjang perjalanan, kita akan singgah di beberapa daerah tujuan wisata di Bali dan Nusa Tenggara,” jelas Bu Hana kepada Marika. “Nanti kamu akan berkunjung ke desa wisata yang pasti belum pernah kamu lihat sebelumnya,” tambah Bu Hana bersemangat.

“Kira-kira apa di sekolah kamu sudah pernah belajar tentang daerah di negara kita, Marika?” sela sang bunda yang iseng bertanya.

“Aku pernah membaca ensiklopedia tentang negara kita di rumah Cheryl, Ma!” Marika bersorak.

Tak terasa waktu makan malam telah tiba, Bu Hana pun mengantarkan Marika dan sang bunda ke restoran di atas kapal untuk bersantap bersama sang ayah.

“Sudah mendekati waktu makan malam. Mari kita segera ke restoran!” Ajak Bu Hana. “Tadi Pak Fajar sudah membuat janji untuk makan malam bersama kan?”

“Benar juga. Ayo, Marika. Jangan buat Papa menunggu lama!”  Tukas sang bunda lembut seraya meraih tangan Marika.

Di depan restoran telah menunggu ayah Marika yang masih mengenakan seragam lengkap sama seperti saat menaiki kapal siang tadi. Marika melambaikan kedua tangan tinggi-tinggi dengan senyum lebar di wajahnya sebagai tanda bahwa ia gembira dengan pelayaran ini.

“Wah, Marika makin cantik ya dengan topi lebar begini,” puji sang ayah seraya menunduk dan mengelus kepala Marika. “Maaf ya, Ma. Pekerjaan di ruang kemudi menyita waktu, makanya Papa minta bantuan Bu Hana,” tambahnya memberi penjelasan kepada sang istri.

“Mama paham, Pa. Pekerjaan Papa kan juga termasuk menjamin keselamatan semua penumpang dan kru kapal ini selama pelayaran,” jawab ibunda Marika ramah.

“Terima kasih ya, Ma. Mama memang pengertian deh,” jawabnya menggoda sang istri. “Jadi makin sayang.”

“Papa apa-apaan sih?!” Sergah ibunda Marika dengan wajah memerah.

“Hahaha… Ayo, kita makan!” Ajaknya seraya tertawa kecil. “Bu Hana ikut makan bareng kita kan?”

“Kalau Pak Fajar dan keluarga tidak keberatan,” jawab Bu Hana ringan.

“Suatu kehormatan kalau Bu Hana bersedia ikut makan malam bersama kami,” balas ibunda Marika santun.

Sambil bersantap di meja untuk empat orang itu, ayah Marika dan Bu Hana bergantian bercerita.

“Suami Bu Hana bekerja sebagai juru masak di kapal ini. Bahkan mungkin makanan yang kita nikmati sekarang ini beliau yang memasak,” ungkap ayah Marika.

“Wah, hebat ya!” Puji Marika penuh semangat.

“Ah… itu karena dia memang dari dulu suka memasak,” jawab Bu Hana merendah dengan wajah yang sedikit memerah.

“Apa kalian memang sudah sejak lama saling mengenal?” Tanya ibunda Marika penasaran.

“Kalau diingat-ingat, kami sudah saling mengenal sejak di sekolah kejuruan. Waktu itu kami sama-sama di jurusan pariwisata,” jelas Bu Hana. “Tapi kami sempat terpisah selama sekitar empat tahun. Waktu itu suami saya meneruskan kuliah di luar negeri.”

“Lucunya, kami dipertemukan lagi ketika sama-sama mendaftar di perusahaan ini,” imbuhnya menutup cerita dengan tawa ringan.

“Romantisnya…,” balas Marika dengan penuh rasa kagum.

“Marika, papamu juga romantis kok. Di setiap waktu istirahat, dia selalu menyempatkan diri menghubungi keluarga di rumah,” ungkap Bu Hana.

“Ahaha… Setiap saya ketemu Bu Hana di ruang istirahat, hampir selalu saya sedang menelepon ke rumah ya,” jawab ayah Marika tersipu.

Kehangatan di meja makan itu pun berlanjut hingga hidangan di piring mereka berempat selesai disantap.

“Marika, sebelum kamu kembali ke kamar. Mau ikut Papa melihat pemandangan malam di dek terbuka?” Ajak ayah Marika setelah selesai makan.

“Mau, Pa!” Jawab Marika gembira dengan mata berbinar. “Boleh kan, Ma?” Lanjutnya seraya melempar pandangan kepada sang bunda.

“Boleh, Sayang,” jawab ibunda Marika lembut. “Sejujurnya Mama juga penasaran dengan pemandangan laut malam. Sayang sekali untuk dilewatkan di saat cuaca sedang cerah begini.”

Maka keempatnya pun lantas berjalan menuju dek terbuka dengan naik satu lantai dari restoran tempat mereka makan malam beberapa saat sebelumnya. Langit malam bertaburan bintang segera menyambut begitu pintu keluar dibuka.

Sambil berjongkok agar wajahnya bisa sejajar dengan Marika, sang ayah dengan lembut merangkul putri kesayangannya itu dan mulai menjelaskan sementara sang bunda dan Bu Hana melihat dari kejauhan.

“Nah, Marika. Coba lihat! Di sana ada empat bintang yang membentuk sebuah kotak dan beberapa bintang lain di sekitarnya yang seolah membentuk ekor,” ungkap ayah Marika seraya menunjuk bintang-bintang di langit malam. “Itu adalah rasi bintang biduk atau beruang yang menunjukkan arah utara.”

Walaupun awalnya agak bingung, perlahan Marika menerima penjelasan sang ayah.

“Kalau menurutku, bentuknya malah terlihat seperti gayung yang gagangnya patah,” Marika menimpali dengan polos.

“Hahaha… Bisa juga ya disebut begitu,” sang ayah tertawa geli mendengar ucapan Marika yang polos. “Rasi bintang memang memiliki sebutan yang berbeda di tiap daerah.”

“Sebagai contoh, sekarang coba kamu lihat ke arah barat sana,” lanjut ayah Marika dengan menunjuk ke sebelah kirinya. “Kalau kamu perhatikan, maka kamu bisa melihat sebuah rasi bintang berbentuk rumah atau gubuk.”

“Di negara-negara barat, rasi bintang itu disebut Orion karena mengingatkan orang-orang di sana akan sesosok lelaki pejuang dari legenda bernama Orion,” jelasnya lagi. “Tapi di beberapa daerah di Indonesia, rasi bintang ini justru disebut bintang bajak karena bentuknya yang mirip alat untuk membajak sawah.”

“Wah… Menarik ya, Pa!” Ujar Marika penuh kekaguman.

“Marika, leluhur kita dahulu mengarungi samudera luas dengan menggunakan bulan dan rasi bintang sebagai panduan arah,” tutur sang ayah. “Walaupun saat ini kapal modern sudah dilengkapi navigasi satelit dan berbagai peralatan canggih lainnya, Papa masih diajarkan navigasi dengan melihat langit saat sekolah dulu. Guru Papa bilang ilmu ini akan berguna kalau kita mengemudikan kapal yang tidak memiliki peralatan navigasi memadai.”

“Walaupun sayangnya sekarang ini makin sulit melihat bintang karena banyak polusi cahaya,” pungkasnya.

“Polusi cahaya itu apa, Pa?” Tanya Marika penasaran.

“Polusi cahaya itu cahaya buatan manusia yang membuat kita sulit melihat bintang di langit malam, seperti lampu-lampu di kota contohnya,” jawab ayah Marika lugas.

Tak terasa waktu istirahat ayah Marika malam itu sudah nyaris usai dan beliau pun harus kembali menuju ruang kemudi. Sebelum melepas Marika kembali ke kamarnya, beliau berpesan, “Marika, besok siang kamu datang ke ruang kemudi ya. Akan Papa tunjukkan lingkungan kerja sekaligus teman-teman yang selama ini membantu Papa.”

***

Di lain tempat, Cheryl yang tengah menuju kampung halaman sang bunda bersama keluarga baru saja terbangun dari tidurnya.

“Ah, kamu sudah bangun Cheryl,” ucapan sang bunda menyambutnya.

Cheryl yang belum sepenuhnya tersadar perlahan memakai kembali kacamatanya untuk melihat sekeliling.

“Kamu mau ke toilet? Atau lapar?” tanya sang bunda.

Cheryl hanya menggeleng sebagai jawaban.

Walaupun demikian, sang ayah tetap mengarahkan mobilnya ke area peristirahatan karena beliau berpikir bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk beristirahat.

“Ayo, Cheryl. Kita turun dulu!" Ajak sang bunda. “Abangmu ingin meluruskan kaki.”

“Cheryl, mumpung kita di area peristirahatan ini. Kita main ke tamannya yuk!” Ajak Reksa riang. Tampaknya ia berusaha untuk mengembalikan keceriaan sang adik.

“Ah iya. Area peristirahatan ini kan pernah masuk televisi karena punya taman bermain yang pemandangannya indah,” tambah ibunda Cheryl. “Kamu pergi bermain dengan abangmu dulu ya. Nanti Mama dan Papa menyusul.”

Cheryl yang tidak banyak bicara hanya menurut ketika Reksa menarik tangannya untuk menyusuri taman. Di belakangnya, Farell si anak sulung mengikuti.

“Ini dia taman bermain yang di TV itu,” ujar Reksa penuh percaya diri. “Ayo kita main sampai puas!”

“Tunggu, Kak!” Seru Cheryl yang takut ditinggal Farell dan Reksa. Ia pun harus mengerahkan tenaga untuk mengejar keduanya.

Ketiganya asyik menikmati wahana di taman bermain bersama anak-anak lainnya. Taman ini sendiri dapat diakses secara gratis oleh pengunjung area peristirahatan. Tak lama, kedua orang tua Cheryl pun datang menyusul untuk mengawasi anak-anak mereka.

“Capek ya?” Tanya sang bunda hangat kepada Cheryl yang mendekatinya dengan mata sayu. “Ini, minum dulu,” lanjutnya seraya menyerahkan botol air minum.

Segera setelah minum, Cheryl mulai bersandar pada bahu sang bunda. Tampaknya ia kelelahan setelah bermain bersama kedua abangnya.

“Ayo, kita kembali ke mobil. Oh?” Sang ayah keheranan melihat Cheryl yang sudah terlelap di pangkuan sang bunda.

Agar tidak membangunkan putri kesayangannya, perlahan ayah Cheryl menggendongnya di punggung hingga mereka tiba di area parkir untuk melanjutkan perjalanan.

“Reksa, kali ini kamu temani Cheryl di baris kedua ya,” perintah sang bunda lembut. “Farell, kamu gak apa-apa kan duduk di baris ketiga?”

“Oke, Ma! Selama ada cemilan semua lancar,” jawab Reksa dengan bercanda.

“Jangan lupa pajaknya!” Sela Farell menyindir Reksa.

Selama beberapa jam berikutnya hingga tiba di tujuan, Cheryl terlelap sementara kedua abangnya sibuk berbagi cemilan sambil membaca komik.

Sayup suara orang-orang di luar mobil membangunkan Cheryl dari tidurnya.

“Reksa masih suka ngemil dan baca komik ya,” ujar kakek ceria sambil mengelus kepala si anak tengah.

“Farell sekarang sudah semakin besar. Sudah SMP kelas dua ya?” Tanya nenek hangat seraya merangkul si sulung.

Menyadari Cheryl yang baru saja bangun melihat dari balik jendela mobil, kakek dan nenek pun segera menyambutnya.

“Ini dia cucu nenek yang cantik. Ayo sini peluk Nenek, Cheryl!” Ujar nenek riang memanggil si bungsu.

Cheryl pasrah saja begitu sang kakek memeluk dan membopongnya turun dari mobil.

Hari-hari penuh kehangatan di kampung halaman sang bunda pun dimulai, bersama kakek dan nenek yang memanjakan cucu-cucunya.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Rachel's Parents
1
0
Memperkenalkan ayah dan ibu Rachel, atau Rachel biasa memanggil mereka Papa dan Mama. Rachel merupakan anak tunggal di keluarganya. Latar belakang kedua karakter orang tua Rachel akan diceritakan setelah cerita masa lalu Cornelia. Untuk sekarang, yang bisa diketahui adalah ayah Rachel bernama Dietro dan ibu Rachel berama Gallia.Sama seperti Cornelia, Dietro juga penyuka hypercar. Salah satu koleksinya adalah Koenigsegg Jesko Absolut setelah sebelumnya sempat memiliki sebuah Mitsubishi Lancer Evolution IX. Evo IX ini nantinya akan dihadiahkan kepada Rachel saat ia cukup umur untuk memiliki SIM.Potongan rambut pendek ternyata sudah menjadi semacam tradisi di keluarga mereka.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan