
#TSDP8
Menurut Kaivan, Kanina tidak lebih dari wanita berkepala cantik yang memiliki alasan hidup hanya untuk mengoles lisptick merah di bibir, mengecat kuku, dan mengenakan stiletto yang ketukannya kerap mengganggu saat memasuki ruangan.
Menurut Kanina, Kaivan tidak lebih dari pria control freak yang memiliki alasan hidup hanya untuk kopi, rokok, dan melihat seluruh paha wanita di kantor yang kerap menyambanginya sepulang kerja.
Kisah ini, hanya akan membawa kamu pada panasnya perdebatan. Juga, pada...
The Sweetest Revenge | [8. Korban Si Pria Pendongeng]

Wiiii malem mingguan bareng niii kitaaa. PERCAYA GA PERCAYA PART INI 4000+ KATA. KAYAK HAH? NULIS APAAN AJAAA DAH? JADI KALAU VOTE SAMA KOMENNYA NGGAK DIGAS AKU BAKAL KIT ATI BANGET SI JUJUR INI MAH 😭
***
“Gue pikir Radika bakal membatalkan rencana malam ini, nyatanya nggak. Dia malah ... pura-pura nggak peduli pas mergokin gue sama Kaivan. Terus tetap ajak gue pergi tanpa nanya apa-apa.”
“Radika-Radika nih antara dia laki banget tuh, atau emang nggak peduli ya.” Suara Nube berbarengan dengan suara kripik yang dikunyahnya. Di seberang sana, wanita itu masih berada di kantor menikmati waktu lembur dan camilan malamnya.
Kanina sudah duduk di balik meja salah satu coffee lounge yang berada di Bangkinang. Jaraknya cukup dekat dengan kantor, sehingga tempat itu sering digunakan untuk meeting atau berbagai pertemuan oleh para karyawan di Karyatama. Mereka melalui perjalanan sekitar dua puluh menit untuk sampai di lokasi itu.
Nama tempatnya Sunny Coffee Lounge, letaknya di Jalan Sisingamangaraja, tempat yang lumayan menjanjikan untuk dijadikan tempat kencan pertama. Hampir seluruh dinding bangunannya dipenuhi jendela yang lebar, sebagian dibiarkan terbuka sehingga angin malam masuk dan menyisip di antara para pengunjung. Sementara saat datang tadi, Radika memilih tempat outdoor di lantai dua yang dekat dengan balkon. Sehingga, sesekali Kanina mengangkat bahu dan mengusap lengan untuk menahan dingin saat angin kencang datang.
Kanina masih duduk sendirian, karena Radika tiba-tiba harus menerima telepon dan menjauh saat mereka baru saja tiba di tempat itu. Pria itu tampak bicara pada seseorang di telepon, merapat ke balkon. Menu yang mereka pesan belum hadir. Jadi karena tidak ada yang bisa benar-benar Kanina lakukan, dia mengisi waktu kosongnya dengan menghubungi Nube.
Kanina kadang tidak bisa menyimpan isi pikiran untuk dirinya sendiri saat sudah mendengar suara nyaring wanita itu dari seberang sana, walau berkali-kali dia temukan kesialan setelah mengatakan apa pun pada Nube, dia tetap menceritakan apa yang baru saja dilaluinya.
“Kaivan kayak udah berasa beliin apaan aja, timbang sandal sama pembalut doang udah mau sok-sokan gagalin rencana kencan lo. Bilangin sama dia, kalau mau dianggap tuh minimal beliin rumah mewah.”
Dengar, kan? Bagaimana responsnya yang membuat Kanina selalu mampu melepaskan tawa. “Asal lo tahu ya, hari ini dia makin besar kepala gara-gara voice note lo semalam itu bocor. Kesel banget gue.”
“Oh, ya?” Alih-alih merasa bersalah dan minta maaf, Nube malah terkejut sekaligus antusias. Lagi pula, itu bukan kesalahannya juga, Kanina akui, dia yang terlalu ceroboh. “Serius gue ikutan kesel sih.” Nube cekikikkan. “Dia ngomong apa memangnya?”
“Dia nanya tuh, dengan muka sok gantengnya yang songong itu. Katanya, ‘Bagaimana cara aku datang di mimpi erotis kamu semalam?’.”
Di seberang sana, Nube tertawa hingga tersedak. Sesaat dia hanya terbatuk-batuk. “Aduuuh. Terus lo jawab apaan?”
“Nggak gue jawab lah tuh pertanyaan sinting. Ngapain ngeladenin orang gila?”
“Lo harusnya bilang dong, cara kamu masuk ke mimpi aku tuh, kamu ngetuk pintu kamar sambil bilang ‘Assalamu’alaikum, Nin. Boleh masuk?’.” Nube tertawa lagi. Puas sekali. “Pasti lagi merasa di atas angin banget tuh cowok sekarang. Pengen banget gue lihat tampang sengaknya.” Kekehnya masih terdengar, dan perlahan mereda. “Udah ah, Nih. Lo lagi nge-date sama cowok lain, tapi masih sempat-sempatnya nelepon gue buat ngomongin Kaivan.”
Sesaat setelahnya, dari kejauhan Kanina melihat Radika berjalan mendekat. Pria itu sudah selesai dengan urusannya. Kanina mengakhiri telepon, tersenyum, menyambut Radika yang datang bertepatan dengan makanan pesanan mereka yang kini dihidangkan di meja. Semua makanan itu, Radika yang mengambilnya saat namanya dipanggil oleh pelayan yang terdengar dari balik microphone meja pesanan.
Wangi parfum pria itu tercium kuat. Menyengat. Entah bagaimana caranya dia mengenakan cairan wangi itu. Apakah dia menumpahkan satu botol utuh parfum ke tubuhnya? Atau bagaimana! Namun, ini lebih baik. Karena selama di perjalanan, saat harus duduk di samping jok pengemudi, Kanina sampai kesulitan bernapas, dia merasa kepalanya pusing sekali.
Namun, oke tenang, Kanina. Kesalahan—dan kekurangan—ini bisa diperbaiki di kemudian hari. Pria dengan parfum menyengatnya itu jelas harus dia anggap beribu kali lipat lebih baik dari Kaivan. Dan mari kita lihat bagaimana Kanina akan memberikan nilai pada pria itu selepas kencan malam ini.
“Sori, ya, Nin. Bikin kamu nunggu lama.” Pria itu duduk di hadapannya, membawa aroma musk yang menusuk hidungnya tiba-tiba.
Kanina menggeleng, sesaat memalingkan wajah untuk menghela napas bebas. “Nggak apa-apa kok.” Dia mengerti, pekerjaan mereka tidak punya batas waktu yang jelas. Ketika terjun menjadi bagian dari proyek ini, Kanina tahu bahwa seluruh waktunya sudah digadaikan untuk pekerjaan.
Malah, pernah Kanina harus mencari file dokumen pukul dua pagi karena tiba-tiba Kaivan meneleponnya.
Oke. Lupakan Kaivan. Kini, Kanina sudah berada di hadapan Radika. Ketika diperhatikan, pria itu cukup manis. Warna kulitnya sawo matang khas laki-laki kebanyakan, senyumnya lebar dan menampakkan barisan giginya yang rapi.
Lalu, mereka mulai bicara. Tentang pekerjaan, tentang Karyatama, tentang proyek yang berjalan. Sampai akhirnya, “Kamu ... terakhir kali punya hubungan dekat sama cowok, kapan, Nin?”
“Satu tahun yang lalu .... Mungkin?” Kanina baru saja mengingat Kaivan lagi sepertinya.
“Hm .... Cukup lama, ya?” Radika mengangguk-angguk. “Tapi mustahil sih selama itu kamu nggak ada yang deketin.” Dia tertawa. “Iya, nggak?”
Kanina menggeleng, seingatnya, selama satu tahun terakhir dia terlalu menyibukkan diri dengan segala hal. Agar lupa, pada luka-luka yang pernah dia dapatkan dari Kaisar, pada jeda-jeda waktu yang menyakitkan, lalu ... pada kebencian yang dia pupuk untuk Kaivan. [Ini dijelasin di Additional Part 6 kemarin ya 🥲🙏] “Aku lagi nggak mau diganggu banget sih selama satu tahun terakhir, kayak sengaja menutup diri aja,” ujarnya. “Kalau kamu? Gimana?”
Radika tiba-tiba menyimpan sendok dan garpunya, meraih gelas berisi air mineral dan meminumnya. Dua tangannya saling genggam di atas meja, menatap Kanina dengan serius. Pria itu, seolah-olah tengah bersiap menceritakan satu hal yang sangat penting. “Wah, kalau aku sih rumit,” ujarnya.
“Oh, ya?” mata Kanina membulat, dua alisnya terangkat, membuat respons seolah-olah dia menaruh banyak minat. Memang harus seperti itu kan sikap seseorang saat di awal kencan?
“Aku punya mantan, yang ... dia masih cari tahu segalanya tentang aku.” Radika menggeleng putus asa. “Sampai sekarang. Masih neleponin, masih suka kirim makanan ke kantor—sampai saat ini aku pergi ke Bangkinang, dia tahu.” Radika menghela napas kasar. “Parah, bagi aku, dia udah kayak stalker sih.”
“Wah ....” Kanina sesaat kehilangan kemampuan merespons. Bertanya dalam hati, saat tengah bersama Radika seperti ini, dia tidak ikut-ikutan diintai oleh mantannya itu, kan? “Hubungan kalian sebelumnya ... lama memangnya, ya?”
“Nggak sih. Cuma enam bulan. Kami putus secara baik-baik juga kok.” Radika lebih bersemangat menceritakan tentang kisahnya. “Tapi mungkin ya, yang dia sadari setelah putus, dia nggak menemukan lagi laki-laki seperti aku.”
Kanina hampir tersedak saat menyesap tehnya. Setelahnya, dia agak kehilangan minat makan malam padahal baru satu suap makanan yang berhasil masuk ke perutnya.
“Yah, di usia aku saat ini kan ... Aku udah menggenggam sembilan puluh persen apa-apa yang aku inginkan. Kayak ... rumah, mobil, tabungan—aku juga punya beberapa rencana bisnis untuk masa depan setelah memutuskan kontrak dan selesai dengan Karyatama nanti.”
“Ah .... Ya, ya.” Kanina mulai meraih kembali sendok dan garpu, menunduk, mengernyit dalam-dalam. Kenapa dia kehilangan kemampuannya untuk meladeni pembicaraan pria itu ya? Tangannya mengacak makanan.
“Semoga pria-pira visioner kayak aku gini, jadi salah satu kriteria kamu dalam memilih pasangan ya, Nin,” tambah Radika.
Dan Kanina mengangguk, tersenyum kaku. Dia mulai bertanya-tanya, apakah pria ini hanya sedang merasa bangga atau sengaja menyombongkan diri?
“Asal kamu tahu, Nin. Aku pernah nolak lima belas cewek dalam satu bulan.”
Kanina merasa seseorang baru saja memukulkan nampan di keningnya. Ini sudah tidak tertolong. Kanina semakin kehilangan suara. Karena ternyata, alih-alih mengobrol, Radika lebih senang bercerita satu arah tanpa perlu timbal balik yang berarti dari Kanina.
Kanina menjadi sangat tahu informasi-informasi penting tentang: di mana Radika telah memberi rumah untuk masa depannya, berapa jumlah tabungannya, berapa jumlah mobil di parkiran rumahnya, berapa dia mengirimi orangtua dan adiknya selama satu bulan, berapa banyak wanita yang dia kencani, lalu ... banyak lagi.
Sampai makanan di meja habis, Radika belum berhenti bicara. Tentu saja membicarakan tentang dirinya. Juga tentang pandangan-pandangannya yang berujung memuja dirinya sendiri. Melebar ke mana-mana. “Yah, aku nggak ngerti sama anak-anak zaman sekarang.”
Kanina mengangguk-angguk selama mendengarkan cerita. Sesekali mengerjap untuk menahan kuap, lalu tangannya bergerak cepat mengambil cangkir teh dan menyesapnya untuk menutupi.
“Kayak, kerja tuh ya untuk hidup saat ini. Banyak healing alasan untuk ngilangin stres dan capek. Mereka nggak tahu, keuangan yang seimbang justru yang menenangkan. Kadang aku suka ingin mengajari mereka tentang perencanaan anggaran dan pengendalian keuangan. Biar mereka belajar, bahwa hidup kayak aku ini tuh enak banget.”
“Mm ....” Kanina menyahut sekenanya. Perutnya mulai terasa menekan sakit, mulai terasa nyeri karena makanan di mejanya nyaris utuh. Dia rasakan tubuhnya mulai sedikit menggigil karena angin tidak berhenti menerpa kencang. Dia juga merasakan sakit menusuk sebelah kepalanya.
Astaga, ini kencan yang cukup menyiksa.
Untuk menyamarkan keadaan itu, Kanina meraih cangkir teh, minuman kedua yang dipesannya di meja itu. Menyesapnya perlahan. Dan Radika belum juga berhenti bicara. Tidak menyadari Kanina yang hampir pingsan.
Oke, memang tidak dipungkiri, mungkin saja setelah kencan pertama ini, Radika menyimpan kebaikan-kebaikan lain yang akan membuatnya terkesan. Namun, sebagai seorang pria, bukankah seharusnya dia tahu bahwa yang disukai wanita saat kencan pertama adalah sebuah pertanyaan?
Itu adalah hal dasar. Wanita senang jika dirinya ingin diketahui. Wanita senang jawaban-jawabannya didengar dan diperhatikan.nNamun pria di hadapannya, tidak mengerti aturan itu.
Dan kali ini, Kanina tidak bisa menahan kuapnya yang mendorong kuat hingga dia harus menutupinya dengan telapak tangan.
Demi Tuhan, saat ini, Kanina ingin menyerah. Dia baru saja berkata pada dirinya sendiri bahwa, berdebat dengan Kaivan sampai membuat jantungnya berdebar-debar nyeri karena benci, seribu kali lipat lebih baik daripada mendengarkan cerita terpanjang Radika.
Oh, dia memikirkan Kaivan lagi. Sialan.
Kanina sempat melirik samar arloji di pergelangan tangannya. Sudah hampir dua jam dia hanya duduk dan membiarkan ‘Si Pria Pendongeng’ di hadapannya itu terus bersuara. Mengerjap lemah matanya, kembali menyesap teh. Diam-diam dia berharap seseorang menolongnya malam ini.
Entah itu menemukan keberadaannya, atau meneleponnya, atau—Oh, Demi Tuhan! Kanina terlonjak senang saat ponselnya berdering.
“Pokoknya gini, Nin. Solusi agar keuangan kamu tetap stabil—“
Kanina bangkit, menghentikan suara Radika. “Aku angkat telepon dulu sebentar.” Dia bahkan tidak perlu menunggu persetujuan pria itu untuk langsung pergi menjauh. Satu tangannya menempelkan ponsel di telinga. Telepon dari pihak laundry di wisma tempatnya tinggal, untuk saat ini begitu berharga.
“Halo, Mbak?” Suara seorang wanita, dari seberang sana terdengar.
“Iya, halo. Mbak Wulan?” Kanina berjalan ke arah balkon. “Kenapa, Mbak?” Memegangi kening, sakit di kepalanya terasa semakin nyeri.
“Saya sudah melakukan pesanan Mbak untuk menyuruh pegawai saya mengantarkan pakaian ke kamar 177 ya, Mbak. Atas nama Mas Kaivan, kan?”
“Iya benar. Untuk sisa pakaian yang lain, antarkan ke kamar saya aja ya, Mbak. Tapi—“ Kanina melirik jam tangannya lagi, “—sekitar satu jam lagi bisa? Soalnya saya masih di luar.”
“Sebentar.” Ada jeda yang diisi kosong. “Maksudnya sisa pakaian punya Mbak Kanina? Lho, saya udah kirimkan semua pakaian ke kamar nomor 177.”
Kanina mengernyit, sesaat menyuruh kepalanya yang nyeri itu berpikir. Lalu, “LHO?!” Matanya membulat. “MBAK NGGAK BACA SEMUA PESAN SAYA, YA? SAYA KAN CUMA MINTA ANTERIN JAKET KE KAMAR 177 TERUS—ASTAGA, MBAK! ITU SEMUA SISANYA PAKAIAN DALAM SAYA LHOOO!”
***
Kaivan tidak pernah benar-benar berteman dengan seseorang di kantornya. Tidak pernah percaya bahwa mereka sepenuhnya bisa dijadikan bagian dari kata ‘tulus berteman’. Atau, begini, jangan percayai mereka lebih dari dua puluh persen untuk menjadi teman berbagi cerita di luar urusan kantor. Karena, saat mereka menepuk pundak, bisa saja di belakang, mereka sedang berencana menikammu. Saat bergerak merangkul, bisa saja mereka berencana memelintir lehermu, atau bahkan mencekik?
Sore saat beberapa orang sudah memutuskan untuk meninggalkan kantor, Kaivan memutuskan untuk duduk di balik smoking room dengan beberapa pria yang tidak berhenti bicara. Di ruangan itu, dia dengar tentang proyek baru di Jakarta yang posisinya akan menjadi rebutan banyak orang, dia juga dengar tentang pengumuman kepindahan tempat tinggal para tim Karyatama dari Bangkinang ke Kuok, juga ... tentang Radika yang semua orang tahu bahwa hari ini berhasil mengencani Kanina.
Di titik itu, entah kenapa rasanya Kaivan enggan mendengar. Dia langsung keluar dari ruangan pengap itu untuk menghirup udara di luar selain asap rokok. Lalu ... pulang?
Banyak tempat yang bisa dia kunjungi di Bangkinang, tapi tidak dia yakini akan terasa bagus jika dia jalan sendirian. Dan untuk ide mencari partner saat di perjalanan, dia sedang tidak menginginkan.
Jadi, benar, malam itu, selepas urusan pekerjaannya selesai, Kaivan pulang ke wisma untuk membereskan seluruh barangnya, kepindahan akan dilakukan esok hari ke Kuok. Para pria akan menempati salah satu gedung di kantor sebagai mess, sementara para wanita memiliki gedung mess lebih layak yang jaraknya bisa ditempuh dua kilometer dari kantor.
Kini, Kaivan tengah berada di dalam kamarnya yang dia tempati bersama rekannya yang lain, orang yang malam ini mungkin saja sedang menghabiskan akhir pekan di luar. Asal tahu saja, orang-orang di Karyatama senang sekali melakukan vacation di waktu-waktu senggang untuk menghilangkan tekanan di kepala akibat pekerjaan yang sehari-hari terasa berat.
Harusnya Kaivan pun begitu. Mungkin pekan depan, atau entah.
Kaivan duduk bersila, memasukkan beberapa berkas dan buku-buku yang dibawanya dari Jakarta ke dalam koper. Lalu, selembar foto berwarna hitam-kecoklatan jatuh dari salah satu notes yang baru saja hendak dia masukkan.
Kertas foto itu jatuh di lantai dengan posiai menelungkup, yang kemudian Kaivan raih. Foto itu, selalu mampu mengiris hatinya saat melihat, tidak ada kesan baik setelah menatapnya, tapi dia berjanji untuk tidak pernah membuangnya. Dia mempertahankan benda itu, seolah-olah untuk mrnjadi bukti bahwa ... dia pernah menjadi begitu bajingan.
Foto itu adalah foto USG dari janin di kandungan Liora yang saat itu berusia dua belas minggu. Yang harus gugur dan pergi bahkan sebelum Kaivan bisa merasakan tendangannya.
Kaivan mengusap kertas foto itu dengan ibu jari, tak ayal, ingatan, perdebatan, pertengkaran, dan segala hal yang terjadi di masa lalu menyerbunya cepat-cepat seolah-olah tidak rela Kaivan melupakannya dalam waktu dekat.
Kaivan ingat lagi.
Malam itu, Liora duduk di balik meja riasnya. Air matanya berderai, foto USG di tangannya tidak kunjung dia tunjukkan. “Maaf, Kai ....” Dia meminta maaf untuk kesalahan yang terbongkar saat satu bulan usia pernikahan. “Aku tahu hubungan kita diawali dengan kesalahan.”
Benar. Keduanya menikah karena janin itu muncul di dalam kandungannya tanpa diduga-duga. Oh, tentu saja Kaivan ingat bahwa mereka memiliki malam bersama sehingga hal itu bisa terjadi. Mereka melakukannya. Mereka bercinta. Namun, alasan di balik itu, baru saja Kaivan dengar.
“Aku memang ... sengaja menjebak kamu malam itu. Aku tahu kamu adalah pacar Alura,” dia menyebutkan nama kakak perempuannya, “aku memperalat kamu untuk membalaskan dendamku pada Alura selama ini. Dia harus merasakan sakit, dia harus merasakan tersingkir, dia harus merasakan tidak diinginkan—“ Tangisnya pecah.
Alura namanya, tunangan Kaivan yang saat itu baru saja dia hancurkan hatinya. Kaivan melakukab kesalahan dengan meniduri adiknya dan membuatnya hamil. Kaivan kehilangan Alura, wanita yang begitu dicintainya.
“Aku memasukkan sesuatu ke dalam minuman kamu malam itu,” aku Liora. “Aku memanfaatkan keadaan kamu yang mabuk, untuk ... bisa melakukannya.”
Wanita itu mengakuinya. Bahwa dia setengah gila.
“Tapi, apa pun—apa pun alasan aku saat itu, nggak akan bisa mengubah kenyataan bahwa janin ini adalah benar anak kamu. Nggak akan mengubah kenyataan bahwa ... aku memang jatuh cinta sama kamu. Jangan sudutkan aku.”
“Aku tahu, Liora. Bahwa aku brengsek.” Sangat-sangat brengsek. “Tapi Demi Tuhan. Aku nggak pernah menyangka bisa menjadi bagian dari rencana balas dendam kamu seperti ini.”
“Lalu apa mau kamu sekarang? Setelah kamu mengetahui semua ini?” Liora bangkit, berbalik dan berjalan ke arah Kaivan yang masih duduk di tepi ranjang. “Meninggalkan aku? Meninggalkan kami?” Liora memegangi perutnya. Wajah wanita itu tampak lesu, tubuhnya kuyu, beberapa pekan terakhir dia terlalu sulit memasukkan makanan ke tubuhnya. Dia tampak lemah.
Jadi, Kaivan mengulurkan tangan, mencoba berdamai, setidaknya untuk saat ini. Anak yang ada di dalam kandungan wanita itu tidak boleh terlalu banyak mengalami hal buruk akibat keegoisan kedua orangtuanya. “Kita tunggu sampai anak ini lahir.”
“Setelahnya?” Liora mendesak keputusan. “Kamu akan pergi?”
Kaivan diam. Kembali ujung tangannya bergerak-gerak, walau Demi Tuhan, untuk saat ini dia begitu enggan menyentuh wanita lain. Alura masih menguasai isi kepalanya. Penuh. Sesak. “Ayo, istirahat. Sudah malam. Besok kita—“
Liora melempar botol parfum dari meja riasnya, mendarat di lantai dan hancur. “Lihat aku, Kaivan. Terima aku. Sesekali, kamu lihat keberadaan aku yang begitu mencintai kamu di sini!”
“Aku menerima kamu! Aku menikahi kamu! Apalagi yang kamu mau?” Kaivan terpancing untuk menaikkan nada suaranya.
“Tapi kamu cukup sekadar itu! Cintai aku! Lupakan Alura!”
Kaivan bergeming. Kaivan sadar dia tidak bisa melakukannya. Tidak pernah bisa berjanji.
“Lihat?” Liora menggeleng, tampak sangat putus asa. Air matanya berderai semakin banyak. “Kamu nggak pernah bisa berjanji untuk melakukannya.”
Malam itu, Kiavan muak terus didesak. Kaivan muak untuk terus disudutkan atas perasaannya. Jadi, dia memutuskan untuk pergi, bangkit dan melangkah keluar. Cepat. Di belakang, Liora mengejar. Memanggilnya.
“Kaivan!” teriaknya. “Berhenti!”
Namun, Kaivan menuli. Dia menuruni anak tangga dengan gerak tergesa. Selanjutnya, tiba di lantai dasar rumahnya. Dan seper sekian detik setelahnya, dia mendengar sebuah jeritan. Liora terguling-guling di puluhan anak tangga.
Dan Kaivan berbalik, berlari, berusaha memburu tubuhnya, tapi tentu saja tidak berhasil. Liora tergeletak di anak tangga terendah sambil meringis, suaranya lirih, merintih. Di kakinya, darah mengalir merah.
Sejak saat itu. Mereka kehilangan bayinya. Tidak bisa diselamatkan. Termasuk hubungan pernikahan keduanya, yang tidak bertahan lama setelahnya.
Kaivan mengusap kasar wajahnya. Menarik kembali dirinya dari ingatan masa lalu. Kini, dia masih duduk di dalam kamar itu. Tangannya masih menggenggam foto USG empat-lima tahun silam. Sudah lama sekali. Benar. Seharusnya, Kaivan sudah lupa. Liora juga selalu berusaha melanjutkan kembali hidupnya.
Namun, di antara keduanya, tidak ada yang sanggup melakukannya. Kaivan masih bertahan dengan image brengseknya sebagai pertahanan diri. Sementara Liora, beberapa kali mencoba menjalin hubungan dengan beberapa pria. Dan di saat yang bersamaan, wanita itu tetap mencoba peruntungan untuk kembali pada Kaivan.
Padahal, Kaivan begitu brengsek, tapi Liora enggan menyadarinya. Hingga hubungannya dengan beberapa pria, membuat Kaivan harus terlibat dan bersitegang dengan pria-pria itu karena terus disangka hidup di dalam hubungan mereka. Pertama Leon yang tiba menonjok wajahnya, kedua Rendra yang datang ke kantor dan mencoba menghajarnya. Dan saat ini, Kaivan tidak berharap Liora kembali goyah dengan pernikahannya bersama pria bernama Devan.
Kaivan kembali menyimpan foto itu di antara lembar-lembar kertas notes-nya. Menutupnya. Menumpukkannya dengan berkas lain. Dia melepaskan napas, berpikir, andai mengemas masa lalu semudah dia mengemasi semua barangnya.
Kaivan baru saja bangkit, sesaat melangkah untuk meraih handuk. Dia perlu mandi malam ini. Namun, niatnya terhenti karena di luar pintu suara ketukkan terdengar beberapa kali. “Laundry!” teriaknya.
Semua pakaian yang telah dicuci bersih dan rapi memang akan diantarkan saat malam hari, saat mereka memastikan bahwa penghuni kamar sudah kembali dari kantor.
Kaivan bergerak membuka pintu, melihat seorang pria menjinjing dua kantung laundry yang membuatnya mengernyit.
“Banyak banget?” gumam Kaivan. “Perasaan kemarin saya cuma kirim beberapa baju aja.”
“Iya, Mas. Ada pesan dari Mbak Kanina, katanya laundry-annya suruh anterin semua ke sini.”
Kaivan mengernyit, masih kebingungan. Namun dia tetap menerima dua kantung pakaian itu dan mengucapkan kata terima kasih. Dia menaruhnya di atas tempat tidur. Mencoba mengingat-ingat selama beberapa saat dan—Oh, ya. Pasti Kanina hendak mengembalikan jaket yang pernah Kaivan pinjamkan. Wanita itu pasti sengaja menyuruh jasa laundry untuk mengirimkannya karena enggan untuk langsung mengembalikan.
Kaivan membongkar satu kantung berisi pakaian-pakaian miliknya. Dia harus mengemasinya sebelum benar-benar pindah ke Kuok besok. Lalu, setelah semua berada rapi di balik lemari, dia beralih pada kantung kedua.
Di sana, dia menemukan jaket miliknya.
Dan ada lagi.
Kaivan merogoh kantung itu, dan mengernyit dalam-dalam saat menemukan celana dalam. Dia mengumpat pelan. Kembali dia rogoh isi di dalamnya, dia temukan lagi bra, beberapa. Dia rogoh lagi, lalu dia temukan—
Brak! Brak! Brak!
Tangan Kaivan berhenti bergerak saat menemukan suara brutal dari balik pintu kamarnyam “Sebentar!” Dia berseru, karena tamu di balik pintu itu tidak berhenti menggedor pintu, terdengar tidak sabar.
Kaivan membuka kunci, menarik handle pintu. Lalu, dia temukan Kanina berdiri di hadapannya. Masih mengenakan midi dress marun, tapi kini rambutnya diikat satu, tidak digerai lagi. Dia sudah pulang dari kencannya?
Kedatangan wanita itu malam ini, entah pertanda apa, tapi saat Kaivan menemukan wanita itu, alam seolah-olah menjanjikan keramaian. Dia yakin setelah ini, mereka pasti akan berdebat panjang.
“Pihak jasa laundry salah kirim pakaian tadi!” ujar Kanina dengan suara tergesa. Dia tidak meminta izin untuk bergerak masuk, langkahnya terayun melewati Kaivan, telapak tangannya yang terasa begitu dingin mendorong lengan Kaivan yang masih menempel pada handle pintu.
Wanita itu, langsung menuju ke arah kantung laundry yang sudah terbuka. Sesekali, dia terdengar menggerutu. “Kok, kamu buka, sih? Nggak sopan!” bentaknya sambil membungkuk dan meraih semua pakaian dalamnya.
“Pakaiannya kan dikirim ke sini, jadi wajar lah kalau aku buka.” Kaivan jelas membela diri.
Wanita itu mengemasi pakaian dalamnya ke dalam kantung laundry dengan gerak terburu. “Kamu bongkar lagi semua!” Kanina berdecak. “Sengaja ya kamu?!”
Kaivan melepaskan kekeh kencang. Jelas dia tidak terima dengan tuduhan itu. “Apa?”
“Kalau kamu tahu, bawah semua pakaian ini bukan punya kamu, harusnya berhenti lah. Jangan buka-buka! Jangan pegang-pegang!” Kembali wanita itu menoleh hanya untuk melotot. “Mesum!”
Wah?
Saat Kanina melangkah ke pintu keluar, Kaivan yang masih berdiri di sana segera menutup pintu dan menguncinya.
“Minggir nggak!” Kanina yang tampak terkejut dengan sikap Kaivan itu segera melotot marah. “Aku lagi nggak mau berantem ya!” Dia meringis. Memegangi kepalanya yang tampak nyeri.
“Sini deh.” Kaivan menggerakkan tangannya, mengajak wnaita itu untuk mendekat. “Mau aku kasih penjelasan gimana cara kerja orang mesum?” Kaivan bergerak maju, Kanina beringsut mundur. “Pegangnya tuh bukan celana dalam sama bra yang ada di sini.” Kaivan menunjuk kantung pakaian yang tengah Kanina jinjing. “Tapi aku bakal pegang-pegang bra sama celana dalam yang lagi kamu pake ini.”
Kanina tidak mereapons. Biasanya dia marah dan meledak-ledak, tapi kali ini tubuhnya malah terkulai ke lantai, dia jatuh pingsan.
***
KEDIRI
[Ketikung Temen Sendiri]
Shahiya Jenaya created KEDIRI.
Shahiya Jenaya added Chiasa Kaliani.
Shahiya Jenaya added Davi Renjani.
Shahiya Jenaya added Kaivan Ravindra.
Chiasa Kaliani
Jena bener-bener.
Davi Ranjani
Grup apaan, nih?
Shahiya Jenaya
Grup haters Kaivan.
Davi Renjani
WKWKWK.
ALURA MESTINYA JADI KETUANYAAA DONG.
Shahiya Jenaya
Nggak usah. Alura nggak usah dimasukkin grup.
Nanti Kaivan jadi baper.
Davi Renjani
Serius, guna ini grup apaan?
Chiasa Kaliani
Buat bantuin Kaivan nyari jodoh—yang asal bukan Alura ataupun Gista.
Davi Renjani
Minta dipenggal pala tuh laki kalau sampe berani ngincer Alura lagi.
Kalau Gista, belum ngelangkah aja Kaivan udah kena nuklir yang dikirim Kalil.
Chiasa Kaliani
Wkwkwk. Yakan.
Makanya.
Shahiya Jenaya
Menurut lo semua, hal pertama yang harus kita lakuin sebelum nyariim Kaivan cewek, apaan?
Davi Renjani
Benerin kelakuan brengseknya dulu sih kata gue.
Chiasa Kaliani
Dengan cara?
Davi Renjani
Ruqyah.
Shahiya Jenaya
Kai tuh sebenernya kalau gue liat-liat, dia malah kayak sengaja bikin image dirinya jelek tahu.
Dia kayak nggak yakin bakal jatuh cinta lagi selain sama Alura.
Davi Renjani
Gue sih nggak mikir sampe sejauh itu ya.
Yang gue tahu, gue benci aja sama Kaivan. Sama kelakuannya.
Chiasa Kaliani
Tapi kalau dipikir-pikir. Bener juga kata Jena sih.
Hidup dia kacau banget setelah lepas dari Alura. Kayak, dia cuma menjalani hidup. Luka di masa lalu malah sengaja dia tutup pake kelakuannya yang brengsek.
Davi Renjani
Tapi gue benci.
Walaupun kenyataannya begitu, gue tetep benci. Dan gue nggak mau minta maaf juga udah benci dia.
Chiasa Kaliani
Ya udah. Nggak apa-apa.
Lagian Jena bilang, grup ini kan memang buat haters-nya Kaivan.
Lo pantes ada di sini. 👍🏻
Davi Renjani
Iya, sih.
Jadi rencana kita selanjutnya apaan?
Jena?
Yeu.
Malah ngilang.
Chiasa Kaliani
Tau nih.
Ini masih mau dilanjut gasi briefing-nya?
Gue mau tidur.
Shahiya Jenaya
Bentar deh.
Gue lagi beresin album foto-foto lama.
Terus, tiba-tiba aja guelihat foto Kae zaman dulu, kayak mikir ANJIR LAH SUAMI GUE GANTENG BANGET DARI DULU. 😭😭😭
Davi Renjani
WKWKWK. Gue kadang juga mikir gitu.
JANGAN SAMPE CHAT INI BOCOR.
Shahiya Jenaya
Lo pernah gasi, pas liat dia lagi di atas. Mikir kayak ANJIR LAH GANTENG AMAT LO HAH! 😭🏻
HAH. TIBA-TIBA AJA.
Abis gimana ya. Dia laki banget kalau lagi begitu.
Davi Renjani
Sambil merem melek apalagi. 😭🏻
Gue kadang ngintip dikit kalau lagi di bawah.
Chiasa Kaliani
Mendadak kayak bad boy gasi?
Gantengnya di luar nalar.
Sampe kadang gue nanya sama diri sendiri. Anjir ini serius gue lagi dipake?
Kaivan Ravindra
Apaan nih?
Grup baru?
Bentar scroll dulu.
WEEEI? ANJING?
***
Kaivan selamat datang karena hidupnya akan mulai direcoki dsn dirusuhi. 🥲
Aku tuh rencananya gini. Besok pengen bikin additional part khusus di Karyakarsa yang isinya manis-manis greget antara Kaivan-Kanina. Ngelanjutin part ini. Biar Karyakarsaku rame aja gitu. WKWKWKWKWKWKWKWKWKWKWKKWKWKWWKWKWKWKWKWK.😭🙏
MAU NGGAK? KALAU MAU BESOK AKU BIKININ. SEMOGA KEBURU NGETIKNYAAA.
TAPI BENTAR DEH. AKU LIAT APINYA DULU? LEMES AMATTTT DARI KEMAREEEN BAKAR-BAKARNYA 🔥🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
