
#TSDP8
Menurut Kaivan, Kanina tidak lebih dari wanita berkepala cantik yang memiliki alasan hidup hanya untuk mengoles lisptick merah di bibir, mengecat kuku, dan mengenakan stiletto yang ketukannya kerap mengganggu saat memasuki ruangan.
Menurut Kanina, Kaivan tidak lebih dari pria control freak yang memiliki alasan hidup hanya untuk kopi, rokok, dan melihat seluruh paha wanita di kantor yang kerap menyambanginya sepulang kerja.
Kisah ini, hanya akan membawa kamu pada panasnya perdebatan. Juga, pada...
The Sweetest Revenge | [11. Lagi marahan, ya?]

Aku tu pengennya seminggu update lebih dari dua kali di Wattpad sebenernya. 👉🏻👈🏻 Cuma kadang waktunya niy masih susah banget. Semoga nanti bisa yaaa. Sekarang nikmati aja dulu pokoknya dengan membakar lapak iniii 🔥🔥🔥 🙌🏻
Oh iya, Additional Part 10 kemarin di Karyakarsa tuh padet banget penjelasannya. Jadi kalau langsung baca Part 11 ini, mungkin akan ada beberapa hal terlewat gitu ya. Huhu. Yang sekarang mau main-main ke Karyakarsa dulu bole, yang mau langsung lanjut juga bole silakan—tapi mungkin agak bingung aja.
Selamat membaca yaws.
Bakar dulu dong 3700+ kata nih 😡🔥🔥🔥
***
Payakumbuh, Lembah Harau, dan Harau Sky membawa banyak kejadian yang membuat isi kepala Kanina menjadi sangat penuh. Tentang posisi di Karyatama yang diincarnya selama ini di Jakarta, tentang surat rekomendasi dari kantor pusat untuk Kaivan, tentang taruhannya dengan Kaivan yang berakhir kalah. Dan juga tentang Radika yang nempel bak lintah hingga hari di mana mereka sudah kembali ke Kuok. [Ada di Additional Part 10]
Mess di pinggir hutan yang kini ditempati oleh Kanina sudah membuatnya sangat frustrasi. Dia kehilangan kemudahan untuk mengakses dunia hiburan, juga berbagai hal yang biasa memanjakannya. Dan rongrongan Radika, kini memperburuk segalanya.
Kepala Kanina hari ini, tidak seperti biasanya. Terasa sangat penuh, berat. Matanya cepat sekali lelah, keningnya seringkali berkerut saat tatapnya terlalu lama memperhatikan monitor. Oh, buruk sekali jika dia harus kembali mengalami fase sakit untuk kedua kali dalam jarak waktu yang bahkan belum lewat satu bulan setelah dia pingsan tempo hari.
Kanina bersin satu kali, dua kali, berkali-kali.
Nube bilang, ini bukan karena cuaca Kuok yang ekstrem, bukan pula karena tubuhnya yang sulit beradaptasi. Keadaan Kanina yang sering mengeluh sakit adalah karena Kanina yang selalu membuat isi kepalanya bergemuruh setiap malam karena ambisinya sendiri untuk segera pergi dari tempat itu.
Kanina melirik Radika yang sejak tadi masih menempel di kubikelnya seperti cicak. Entah keberuntungan atau bukan, Radika datang saat hidungnya tengah bermasalah sehingga Kanina tidak bisa mencium aroma parfumnya hari ini. Entah menyengat, menusuk, atau baik-baik saja. Dia tidak tahu. Kanina bersin lagi, meraih tisu.
Namun di hadapannya, dia menemukan Radika yang minim empati. “Kamu masih ada satu utang penjelasan,” ujar Si Botol Parfum itu—begitu Kaivan menjulukinya. “Antara kamu dan Kaivan,” ujar Radika. “Kamu belum menjelaskan apa pun, ada hubungan apa di antara kalian?”
Ini pertanyaan serupa yang kelima juta kali Kanina dengar dari pria itu. “Kenapa sih mesti dibahas terus?”
“Semua orang lihat kedekatan kalian, Nin. Rumor tentang hubungan kalian udah menyebar.” Radika merentangkan tangan, seolah-olah benar bahwa seluruh dunia tahu. “Apalagi setelah Kaivan nge-post foto kamu di grup itu. Posisinya dia lagi di kamar kamu, lho?”
Kanina menanggalkan pekerjaannya untuk menaruh seluruh perhatian pada pria di hadapannya—yang sejak tadi merengek seperti anak kecil saat meminta penjelasan darinya itu. “Radika .... Begini,” Kanina bersedekap, “Kalau pun benar, di antara aku dan Kaivan ada hubungan. Apa urusannya dengan kamu?”
“Kanina, we’re in the getting-to-know-each-other phase.”
“Oh, ya? Kayaknya kamu nggak pernah berusaha cari tahu apa pun tentang aku deh. Hanya aku yang tahu segalanya tentang kamu di sini.” Kanina melepaskan tawa sinis, kembali dia nyalakan monitornya yang mulai redup. Selama beberapa saat, Kanina menemukan Radika kehilangan suara. Jadi, dia mulai kembali fokus pada pekerjaannya.
“Kanina—“
“Radika, ini waktu kerja. Dan aku hanya akan melayani pertanyaan kamu yang berhubungan dengan pekerjaan. Kalau kamu merasa nggak ada lagi yang harus kita selesaikan di sini, silakan pergi.”
Setelah Kanina mengatakan hal itu, Kanina melihat sosok Kaivan muncul dari pintu masuk ke area work station. Pria itu mengangkat wajah, mengalihkan perhatian dari dokumen yang dibawanya. Dan tatapnya kini, langsung menangkap keberadaan Radika dan Kanina di kubikelnya.
Oh, pria itu tidak sendiri, Pak Hari menyusul di belakangnya. Mungkin mereka baru saja selesai meeting?
Radika, jelas tidak lagi berani bertanya tentang apa pun di luar pekerjaan. Terlebih lagi, saat Kaivan dan Pak Hari bergerak menuju meja kosong di samping Kanina yang tidak berpenghuni itu.
Radika langsung mengubah topik pembicaraan cepat pada alasan pertama kenapa pria itu datang ke kubikelnya. “Aku tunggu data selected borrow-nya ya, Nin.”
Padahal sebelumnya, mereka sudah berdebat tentang satu area yang memang tidak terpasang item itu. Bagaimana Kanina bisa mengirimkan datanya kalau item-nya saja tidak terpasang? Kanina sampai mengehela napas. “Kamu ke lapangan nggak, sih?”
“Nggak. Makanya aku minta datanya ke kamu.”
Kanina berdeham, suaranya naik satu oktaf, dan mungkin saja keadaan itu disadari oleh Kaivan dan Pak Hari yang tengah berdiskusi di sampingnya. “Kamu nggak ke lapangan tapi ngotot minta data selected borrow harus ada?”
“Kamu bisa nggak sih kirim aja semua datanya?” balas Radika.
Kanina menghela napas. Lelah. “Aku kirim aja deh semua data lapis drainase dan top subgrade-nya ke kamu. Biar kamu lihat sendiri.”
“Lho, lapis drainase nggak usah. Buat ngitung selected borrow cuma butuh top subgrade sama sparator aja.” Radika kembali berputar di masalah yang sama.
Kanina sampai menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk wajah pria itu. “Lho ya tau, tapi kan tadi kamu yang maksa bilang ada selected borrow di situ makanya aku suruh kamu lihat aja semua data yang aku kirim.”
“Dik?” Suara Pak Hari terdengar, membuat Kanina dan Radika yang tengah berdebat itu menoleh. “Kanina kan udah bilang datanya bakal dikirim. Masih didebatin. Bikin ruangan jadi makin panas aja kamu, nggak tahu apa orang-orang lagi sumuk banget hari ini?” Pak Hari menggedikkan dagu. “Udah sana balik kerja.”
Kanina mendapatkan pembelaan, mendapatkan pertolongan juga untuk mengusir Si Botol Parfum itu pergi. Kanina menoleh pada Kaivan yang masih sibuk pada berkas di hadapannya, seolah-olah tidak peduli.
Jadi sekarang, Kanina kembali sendiri. Pak Hari juga selesai mengajak Kaivan untuk berdiskusi dan kembali ke ruangannya. Sehingga kini, Kaivan sudah kembali ke kubikelnya, berada tepat di belakang Kanina.
Sejak kepulangan dari Harau, hubungan keduanya kini menjadi ... aneh? Kaivan yang biasanya memancing Kanina untuk marah, kini lebih banyak memilih bersikap ... diam?
Kanina tidak tahu alasannya. Mungkin karena Radika yang tiba-tiba datang dan berada di tim oranye bersamanya? Atau mungkin karena Kanina menumpangi mobil yang sama debgan Radika?
Lagi pula, kenapa Kaivan senang sekali marah dengan cara diam seperti itu, sih?
Kanina berbalik, dia melihat Kaivan mengenakan lanyard-nya dengan benar. Tidak ada id-card yang disampirkan di punggung yang biasanya akan membuat foto pria itu tersenyum padanya. “Ada dokumen atau gambar yang mau disimpan di ruang arsip nggak?” tanya Kanina.
Kaivan tidak merespons.
Jadi, Kanina mengait lanyard-nya dengan bolpoin.
Alih-alih menjawab, Kaivan malah membuka lanyard-nya dan menyimpannya di desk.
Oh, tentu saja Kanina tidak kehabisan akal. Kanina meraih lagi bolpoin dan menusuk punggung Kaivan dengan bagiannya yang runcing—berhasil, Kaivan berdecak, menoleh. Dan Kanina mengulang pertanyaannya. “Aku mau ke ruang arsip. Ada dokumen atau gambar yang mau disimpan nggak?”
Kaivan, lagi-lagi, tidak menjawab. Dia hanya memutar kembali tubuhnya menghadap ke desk. Sesaat kemudian, dia mulai sibuk dengan dokumen-dokumen yang memenuhi meja kosong di sampingnya.
Dan ya, Kanina yang merasa tidak harus menunggu pekerjaannya, langsung kembali memutar kursinya untuk menghadap kembali ke desk. Kembali dia tatap layar monitornya yang menyala. Di belakang, Kaivan menumpuk-numpuk dokumen, sesekali terdengar pria itu menelepon Mira.
Sesaat kemudian, Kanina mendengar Kaivan bicara. “Ada beberapa ....” Belum sempat memutar kursinya ke belakang, Kanina merasakan Kaivan menggenggam rambutnya dan menariknya ke bawah sampai wajah Kanina agak mendongak. “Nih, dokumennya.”
***
Kanina sudah berada di titik bahwa saat ini hanya dokter yang bisa menolongnya. Saat hari sudah beranjak sore, beberapa orang mulai keluar dari gedung untuk mencari sekadar hal yang bisa mengalihkan penat, entah makanan atau kopi, suasana baru untuk bekerja atau sekadar udara segar, atau mungkin ruang merokok—tapi tidak Kanina temukan Kaivan di sana. Kanina juga kini keluar dari gedung untuk menuju klinik di kantornya.
Jaraknya cukup jauh, dia berjalan melewati satu gedung untuk tiba di ruangan dingin ber-Ac dan hening itu. “Wah, kecapekan habis dari Harau nih,” ujar Dokter Ardi.
Orang-orang bilang, Dokter muda itu masih single. Lihat, dia tampan, tidak mungkin mengecewakan ekspektasi orangtua terhadap jodohmu jika kamu datang ke rumah sembari membawanya dan mengenalkannya sebagai kekasih. Namun, karena—menurut kabar burung yang juga Kanina terima—Dokter Ardi ini adalah Pria Minang yang berasal dari Kota Pariaman, semua wanita mundur teratur sebelum terjerat lebih dalam pada pesonanya.
Katanya, “Gue nggak sanggup bayar Uang Bajapuik kalau ngajakin dia nikah nanti.”
“Demam nggak semalam?” tanyanya.
“Nggah sih, Dok. Cuma meriang-meriang aja. Sama pusing. Terus hidung mampet juga.”
Di ruangan itu, Dokter Ardi tidak hadir setiap hari. Dia akan datang di hari-hari tertentu. Kadang di sana, hanya ada dua perawat wanita yang biasanya membantunya bertugas. Yang satu memeriksa keadaan Kanina saat masuk, yang lainnya menyiapkan obat saat Kanina baru selesai diperiksa dan turun dari ranjang pemeriksaan.
“Saya kasih beberapa obat, nanti diminum sesuai resep yang saya anjurkan ya. Lalu ... obat flunya, berhenti diminum kalau sudah sembuh,” ujarnya.
“Siap, Dok. Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Kanina bangkit dari kursi dan berjalan, karena dia pikir percakapan di antara keduanya sudah selesai.
Namun, “Kanina?” Dokter Ardi memanggilnya lagi, membuat langkah Kanina terhenti. “Kamu udah pernah ke Ulu belum?”
Kanina mengernyit. “Ulu?” Dia mungkin pernah mendengar percakapan tentang tempat itu, karena rasanya begitu familier.
Dokter Ardi mengangguk. “Ke Harau kan jauh, sampai kamu sakit gini. Ulu Kasok nggak jauh dari sini. Ng .... Sekitar dua puluh menit lah ...,” ujarnya. “Deket sama proyek di section dua, ke arah Sumbar—pokoknya searah sama Gulamo. Tempatnya bagus, kalau lain kali kamu mau main-main ke sana ... saya bisa anterin. Kapan aja, nanti saya sesuaikan jadwal.”
Kanina mengerjap-ngerjap, lalu mengangguk dan tersenyum untuk menyamarkan kebingungannya. Kenapa tiba-tiba dia harus pergi ke Ulu bersama pria itu? Namun, “Boleh .... Nanti kalau ... ada waktu, saya kabarin ya, Dok.”
Kanina keluar dari ruangan setelah mendapatkan obatnya. Berjalan di selasar yang panjang. Di sampingnya, ada lapangan yang yang dipenuhi rumput hijau. Sisi lain ada gedung yang merupakan mess para karyawan pria.
Di perjalanan itu, Kanina sama sekali tidak berniat untuk berpikir tentang apa pun. Namun, tiba-tiba saja di dalam kepalanya dia memikirkan satu tulisan yang dia temukan di sudut bagian dalam dompet Kaivan. Tulisan dengan lettering yang bahkan Kanina masih ingat ukirannya. Lula. [Additional Part 10]
Semalam, Kanina bahkan sampai mencoba mencari tahu dengan menelepon Nube. Apakah ‘Lula’ adalah nama mantan istri Kaivan? Namun di seberang sana, Nube menjawab, “Kata teman gue yang kerjsa satu kantor sama mereka. Nama mantan istrinya Kaivan itu Liora. Mereka satu kantor dulu, istrinya resign saat menikah dan pindah kantor. Nggak lama, Kai yang resign dan pindah ke Karyatama.”
Liora. Lula ....
Apakah mungkin nama itu ada hubungannya?
Namun sekali lagi, mengapa Kanina harus terus peduli? Bahkan dia berpikir saat kepalanya begitu berat dan kondisi tubuhnya sudah sangat lelah bahkan untuk diajak bekerja. Kanina kembali menapaki selasar. Sunyi awalnya, sampai langkahnya tiba mendekati ruang merokok, sebuah keributan terdengar.
Di ruangan itu, seseorang baru saja menabrak dinding kaca. Beruntung sekali, kacanya memiliki ketebalan yang bisa menahan seseorang terdorong dan jatuh tanpa pecah. Tidak lama setelah itu, pintu aluminiumnya berdebum kencang dan terbuka. Seorang pria baru saja mendorong orang lain untuk keluar dari ruangan dan membuatnya terpental ke selasar.
“Anjing, jaga mulut lo!” Satu pria memukuli pria lain yang tidak berdaya.
Dan Kanina sadar siapa mereka, “Astaga .... Berhenti!”
*
Mari kita mengulang waktu yang sama dari sisi yang berbeda. Kaivan yang kini akan kita temukan sudut pandangnya. Pria itu, seperti biasa, melepaskan waktu sorenya di dalam ruangan sempit yang pengap dan berasap. Di sana, para pria duduk sambil sesekali bicara, menenggak botol air mineral atau minuman kalengan yang mereka bawa sebelum memasuki ruangan.
Tidak ada yang membuat ruangan menjadi naik temperatur udaranya sebelum Radika ikut bergabung. Ruangan yang awalnya tengah dihuni oleh empat orang itu, kini bertambah anggota.
Radika duduk di hadapan Kaivan, menyalakan rokok, mengisap ujung batangnya. Saat satu per satu di antara mereka keluar, yang terkahir bertahan adalah Kaivan dan Radika—Si Botol Parfum itu, yang ketika masuk aroma parfumnya mampu membunuh aroma nikotin dari saluran pernapasan setiap orang yang ada di sana.
Radika mulai bicara saat mereka tengah berdua. “Menurut gue, Kanina memang tertarik sama lo .... Cuma dia belum yakin aja,” ujarnya. “Makanya, kemarin-kemarin dia sempat mau lo deketin.”
Kaivan mengembuskan asap dari isapan yang ditelannya. Di sana, kepulan asap memenuhi ruangan.
“Tapi gue yakin sih, usaha gue membuahkan hasil. Buktinya, di Harau kemarin, dia lebih memilih untuk pulang bareng gue.” Radika selalu percaya diri, di beberapa waktu, hal itu menguntungkan tim. Di lain waktu, kemampuannya itu tampak sangat menyebalkan.
“Lo suka sama Kanina?” tanya Kaivan, tiba-tiba saja dia ingin menanyakan hal itu.
“Nggak usah ditanya lah .... Lo tahu rencana apa yang ada di kepala kita itu sama.”
Kaivan mengernyit. “Maksudnya?”
“Kanina enak buat diajak jalan,” lanjut Radika. “Enak buat ....” Keningnya mengernyit, menatap Kaivan dengan ekspresi yang ... penuh makna tersembunyi.
Bajingan. Kaivan melepaskan asap terakhir dari celah bibirnya, menekan ujung rokok pada tong sampah bulat di sampingnya. Bara oranye yang tadi menyala, kini mati. Dia diam, hanya mendengarkan Radika kembali bicara.
“Gue rasa tujuan kita sama lah ....” Radika terkekeh, asap-asap di mulutnya keluar berbarengan dengan suaranya yang kurang ajar. “Tapi gini .... Gue hanya punya waktu dua minggu lagi di Kuok. Itu artinya, gue hanya punya waktu dua minggu buat nikmatin Kanina.” Radika menjentikkan jari.
Sementara itu, Kaivan sudah mencari sasaran yang tepat untuk memukulnya.
“Gimana kalau kita bikin kesepakatan kecil?” tanya Radika. “Kasih gue kesempatan dua minggu ini buat sama dia. Setelah gue balik ke Jakarta, lo puas-puasin make dia.”
Dan bertepatan dengan selesainya ucap pria brengsek itu, Kaivan maju untuk memukul wajahnya. Radika memekik, terpelanting dari kursinya. Setelahnya, tidak ada jeda lama, Kaivan menarik kerah kemeja pria itu sampai tubuhnya kembali bangkit, dia dorong sampai menabrak dinding kaca. Dia raih pundaknya, dia pukul hingga pria itu menabrak pintu dan pintu ruangan itu terbuka.
“Anjing, jaga mulut lo!” umpat Kaivan.
Radika sempat terguling beberapa kali sebelum akhirnya sadar bahwa dia harus bangkit cepat. Namun tentu saja Kaivan tidak boleh membiarkan hal itu. Kaivan kembali mendorongnya, tenaganya menjadi jauh berkali lipat lebih besar dari sebelumnya dan dia kembali berhasil memukuli Radika yang tampak kewalahan melawan rasa marahnya.
Lalu, sebuah suara dari kejauhan terdengar. “Berhenti!”
Namun, tidak Kaivan indahkan jeritan itu. Dia dikuasai oleh rasa marah, terus memukul, tanpa ampun.
“Dia mukulin aku karena aku mengakui kalau aku suka kamu—Kanina tolong!”
“Mas!” Jeritan itu terdengar lagi, kali ini berhasil membuat gerak Kaivan melemah. Sebuah tangan menarik pergelangan tangan Kaivan dan membuatnya bergerak mundur dari Radika yang kini melenguh dan mengaduh-aduh. “Berhenti ....” Mata itu memakukan tatap. “Punya hak apa kamu untuk melakukan hal ini?” Suara itu terengah, bergetar, terdengar takut.
Kaivan tertegun. Tangannya yang tadi terkepal kuat, kini terurai.
“Kamu nggak berhak memukul mundur siapa pun ....,” ujar Kanina. “Kamu bukan siapa-siapa.”
***
Kanina masih ingat betul bagaimana Kaivan menatapnya. Mungkin pria itu ... tidak menyangka kata-kata itu akan dia dengar dari Kanina—yang saat itu panik, khawatir, bingung, takut. Karena, Kaivan seperti menyimpan api di matanya yang tidak kunjung reda saat memukuli Radika. Pria itu, tampak tidak bisa dikendalikan hanya dengan teriakan. Namun, setelah Kanina bicara, pria itu berjalan menjauh dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Meninggalkan Kanina yang mematung lama, meninggalkan Radika yang terus meringis dan mengaduh kesakitan.
Semalaman, Kanina memikirkan banyak hal. Tentang, apakah dia harus mencari Kaivan dan meminta penjelasan? Apakah dia harus menerima pembelaan Radika tentang apa yang terjadi sore itu? Tentang ... Apakah dia harus meminta maaf pada Kaivan atas semua yang dia katakan?
Namun, di antara segala hal itu, tidak ada yang Kanina lakukan.
Radika meneleponnya berkali-kali, mencoba menjelaskan dengan pesan-pesannya yang dikirim panjang. Namun, Kanina terus mengabaikan. Dia masih berusaha ... untuk merendahkan egonya dan menemui Kaivan untuk meminta penjelasan. Hingga pagi menjelang, hingga kini raganya sudah tiba di balik kubikelnya pagi-pagi pada pukul delapan ... dia tidak menemukan Kaivan.
Kursi pria itu kosong. Tidak ada sosok yang duduk membelakangi dengan potret id-card yang tengah tersneyum padanya. Dokumen di desk-nya juga tidak berantakan.
Ke mana perginya Kaivan hari ini?
Kanina menunggu.
Sudah pukul sembilan pagi.
Dan Kaivan masih belum muncul juga.
Padahal, Radika yang babak belur saja, tadi Kanina lihat dari kejauhan sudah sibuk berjalan di selasar dengan banyak dokumennya.
Ke mana Kaivan?
Kanina memutar kursinya. Menatap semua kepala-kepala yang muncul di balik kubikel yang tengah sibuk bekerja. Apakah di antara mereka, ada satu orang yang tahu tentang keberadaan Kaivan?
Kanina kembali menghadap monitor yang masih menyala di atas desk-nya. Dia hendak kembali bekerja, tapi sebuah denting di ponselnya membuat Kanina bergegas meraih benda itu. Dia harap, akan dia temukan nama Kaivan ... atau mungkin kabarnya dari grup percakapan Karyatama?
Namun tidak.
Dia menemukan sebuah nomor asing mengiriminya pesan.
+62832211xxx
Kanina, gimana keadaannya sekarang?
Boleh ke klinik kalau mau kontrol.
Ini Dokter Ardi.
Kanina berdecak. Sikap Dokter Ardi mencurigakan sejak awal mereka bertemu. Juga saat mengajaknya untuk mengunjungi Ulu. Hari ini, sikapnya juga sedikit berlebihan, karena ... dia tidak mungkin menghubungi setiap pasien yang datang untuk menanyakan keadaannya, kan?
Namun, oke. Kanina butuh sebuah informasi.
Kanina Rhea
Udah baikan kok. Jadi kayaknya nggak usah kontrol.
Kanina bersin satu kali. Jadi sebenarnya, keadaannya tidak terlalu membaik, hanya sedikit terabaikan karena dia terlalu sibuk berpikir tentang hal lain.
Kanina melanjutkan pesannya.
Kanina Rhea
Dokter, boleh tanya nggak?
Kemarin, atau hari ini, ada teman saya yang datang ke klinik nggak, ya?
Namanya Kaivan Ravindra, PIC Struktur.
Kanina menunggu pesan itu sambil beranjak dari kursinya. Dia butuh air hangat untuk menyeduh potongan jeruk lemon di mug-nya. Selama di perjalanan menuju ke pantri, sesekali dia memeriksa pesan masuk di ponselnya. Balasan dokter Ardi belum ada.
Kanina mengisi air hangat dari water dispenser, lalu duduk di salah satu kursi yang berada di breakout zone. Sesekali dia terbatuk, lalu bersin. Dia lupa mengenakan maskernya hari ini. Baru saja hendak meraih mug untuk meminum airnya, Kanina menemukan denting di ponselnya.
+62832211xxx
Nggak ada. Hari ini saya baru ada satu pasien dan itu anak QS.
Kanina berdecak kecil. Dia tanggalkan ponselnya tanpa membalas lagi pesan itu. Setelah meminum beberapa teguk air hangat di mug-nya, keadaan tenggorokannya sedikit membaik. Namun, dia tidak cepat-cepat beranjak dari tempat itu karena sekarang Pak Andri dan Mira hadir di mejanya.
Sebuah kebetulan yang menguntungkan.
Kanina didatangi oleh dua orang yang memiliki kemungkinan besar tahu di mana Kaivan sekarang. Kanina berdeham, melirik Pak Andri yang kini duduk di hadapan Mira, di sampingnya. “Baru selesai meeting, Pak?”
Pak Andri mengangguk. “Iya, nih.” Lalu menyesap kopi dari paper cup yang dibawanya. “Suara kamu agak beda, Nin. Lagi sakit, ya?”
“Iya nih, Pak. Lagi flu.” Kanina kembali meminum air hangat di mug-nya menggunakan dua tangan. Sepasang matanya kini mengejar Pak Andri dan Mira bergantian, di antara keduanya, siapa yang akan dia incar untuk mengetahui keberadaan Kaivan ya?
“Kecapekan itu, Mbak Kanin,” ujar Mira. “Waktu main paintball serius banget soalnya.”
Kanina tertawa pelan.
“Serius banget ngejar Kaivan dia.” Pak Andri sampai menyadarinya. “Aneh banget, sama pacar bukannya satu tim malah jadi musuh.”
“Pacar apaan sih, Pak ...?” Kanina kembali meminum air di mugnya. Sambil sesekali melirik. “Sekarang aja saya nggak tahu tuh dia ke mana.”
“Lho, kamu nggak tahu?” Pak Andri terkejut, berlebihan sekali. “Masa Kaivan nggak ngasih tahu kamu kalau dia pergi ke Jakarta tadi malam?”
Kanina menoleh cepat. “Ya?” Keningnya mengernyit.
“Iya. Dia lagi koordinasi sama orang Kemenhub. Proyek di Jakarta sebelumnya kan dia yang ngurusin masalah ini. Jadi, biar lancar aja, dia kan udah tahu celahnya, banyak yang dia kenal juga di sana.” Pak Andri kembali menyesap kopinya seraya menatap Kanina. “Kamu beneran nggak dikasih tahu?”
Kanina menggeleng.
“Wah, keterlaluan nih Kaivan. Saya jadi merasa bersalah,” ujarnya. “Jadi, tujuan kamu ngajak saya ngobrol, buat protes karena Kaivan tiba-tiba dikirim ke Jakarta?”
Kanina menggeleng, tangannya dengan cepat mengibas-ngibas. “Nggak, Pak.” KAN, BAPAK YANG NGOMONG SENDIRI?
Pak Andri berhenti bicara karena kini ponselnya bergetar, keningnya mengernyit.
Padahal, Kanina masih ingin mendengar dia bercerita. Kanina belum tahu, berapa lama Kaivan berada di Jakarta? Apa yang akan dia lakukan setelah urusan dengan Kemenhub selesai? Apakah dia akan mengsmbil surat rekomendasi untuk meninggalkan Kuok? Memang tidak semudah itu, tapi itu bisa saja terjadi dan Karyatama mengirimkan orang baru untuk menggantikannya.
“Wih, panjang umur. Kaivan nih.” Pak Andri tertawa seraya menggerakkan jemari di layar ponselnya. “Halo, Kai? Gimana? Lancar?” Selama beberapa saat, Pak Andri hanya mendengarkan Kaivan bicara di seberang sana.
Kanina sebenarnya sudah tidak ada keperluan apa-apa lagi untuk tetap diam. Namun, akan sangat tidak sopan jika dia pergi diam-diam saat Pak Andri tidak menyadarinya. Jadi, Kanina masih menunggu, sampai pria itu selesai dengan teleponnya.
“Oke. Kamu tunggu sampai urusannya selesai, ya? Bisa?” Diam lagi. “Oke, deh. Thanks, Kai.” Pak Andri melirik Kanina. “Tapi kabarin dong Kanina selama kamu di Jakarta. Protes tuh dia sama saya gara-gara kamu tiba-tiba dikirim ke Jakarta.”
Kanina melotot. “Eh—Pak, kapan? Saya nggak ngomong apa-apa.”
“Tuh, Kai. Dengar nggak? Perempuan tuh gitu, pura-pura nggak mau tahu, pura-pura nggak peduli. Padahal dia nunggu kabar kamu.” Dengan sengaja, Pak Andri mengaktifkan speaker ponselnya. “Kasih tahu nih Kanina, kapan kamu balik ke Kuok?”
Suara Kaivan terdengar dari seberang sana. Berat. Terkesan lelah juga. Namun dia sempat melepaskan kekeh—yang pasti dipaksakan—agar Pak Andri tidak curiga tentang keadaan di antara keduanya sekarang. “Habis urusannya selesai langsung balik ke Kuok kok ...., Nin.”
“EAAA ....!” Pak Andri berseru kencang, sampai membuat Kanina terperanjat.
Kanina terbatuk-batuk. Lalu, setelah batuknya reda, dis kembali bicara “Norak Bapak lama-lama. Udah ah.”
Kanina bangkit dari kursinya. Saat berjalan menjauh, dia masih bisa mendengar sura Pak Andri yang masih berusaha menggodanya di belakang sana.
“Lagi marahan ya, Kai? Padahal Kanina lagi sakit tuh, flu katanya. Kasih kabar lah, kasih perhatian walaupun jauh .... Kasihan ....”
Kemudian, suara Pak Andri hilang. Kanina sudah melangkah sangat jauh dan keberadaannya sekarang tidak mampu membuat indera pendengarnya menjangkau suara pria itu. Kanina sudah kembali duduk di balik kubikel. Menyimpan mug. Memajukan kursi. Mencoba kembali tenggelam dalam pekerjaan.
Hingga waktu bergerak semakin siang. Orang-orang sudah sibuk bicara tentang tempat makan, sedangkan Kanina masih bertahan di posisinya. Di luar, tampak mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Kondisi tubuhnya akan makin memburuk jika dia terkena air hujan nanti.
Jadi, mungkin Kanina harus puas dengan makanan di area kantor yang bisa dia pesan lewat OB?
Kanina baru saja meraih ponselnya, hendak menghubungi salah satu OB yang biasa dititipi makan siang. Namun, Pak Marwan, OB yang tengah dia pikirkan itu. Kini melangkah tergopoh-gopoh ke arahnya sembari membawa nampan berisi mangkuk yang tertutup oleh plastik. Kanina mengernyit saat mangkuk itu ditaruh di atas desk-nya.
“Nih, Mbak Kanin. Udah saya siapkan sop ikannya sesuai pesanan ya.”
“Pesanan?” tanya Kanina. Bahkan dia belum memesan apa-apa. “Ini dari siapa?”
“Lho, tadi ada sekuriti yang antar makanan ini ke lobi. Katanya ini suruh diangetin di microwave terus dianterin ke meja Mbak Kanin.”
***
Siapa coba yang pesenin? WKWKWK.
DAH KETEBAK BANGET DAH AH.
Oiaaaa. Siapa tau nanti bisa update lagi hari Jumat terus Sabtunya kita malem mingguan bareeenggg.
BAKAR DULU VOTE SAMA KOMENNYA TAPIII 🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
