The Marriage Cure | [9. Tentang Satu Hal, Malaikat Kecil]

169
29
Deskripsi

[TSDP #6] Part 2

Saat memutuskan untuk berpisah di usia pernikahan yang sudah menginjak tahun ketiga, Hakim dan Favita sadar bahwa memberi kabar tentang perceraian pada orang-orang terdekat sama halnya dengan menghancurkan kebahagiaan mereka.

Jadi, demi menjaga kebahagiaan setiap orang agar tetap berputar pada porosnya, Hakim dan Favita sepakat untuk menunda dan memilih momen yang pas untuk mengumumkan kabar pahit itu.

Namun di antara penggal waktu itu, ada banyak kesalahpahaman yang akhirnya terkuak,...

The Marriage Cure | [9. Tentang Satu Hal, Malaikat Kecil]

 

Haiii

 

 

Terima kasih lagi karena masih bertahan di sini untuk menemani Hakim dan Favita menemukan jalan. Semoga tidak lelah membersamai langkah mereka. 🤎🌻

 

 

Kasih satu emot buat hari ini dong?

 

 

Selamat membaca yaaa. 🤎🌻

 

***

 

Di tempat itu, Hakim masih menjadi primadona anak-anak. Di salah satu single sofa, punggung kaki Hakim diduduki, betisnya digelantungi. Ada yang mengajaknya mengobrol di sisi sambil mengelayuti lengan, ada yang berbisik-bisik padanya sambil memeluk tengkuk dari belakang.

Dan Hakim menghadapi semua itu dengan sabar. Alih-alih terlihat lelah, dia berkali-kali membuat anak-anak kecil itu tertawa. Rambutnya tampak berantakan karena beberapa kali bocah-bocah itu memainkan kepalanya, kemejanya jelas sudah tidak keruan karena beberapa kali ditarik-tarik dimintai perhatian

Awalnya, Favita menemaninya di sisi, tapi dia tahu dia harus menyingkir ketika beberapa kali tangan-tangan mungil itu berusaha menyentuhnya atau mengajaknya bermain. Jadi, akhirnya Favita hanya melihat dari kejauhan. Melihat bagaimana Hakim tergelak bersama anak-anak itu.

Baik, dari sudut tempatnya berada saat ini, Favita bisa melihat, selain anak-anak itu, Hakim juga tampak menggemaskan. 

Favita tidak begitu suka anak kecil, tidak suka, belum suka, atau ... entah. Namun dia sadar setiap kali melihat interaksi Hakim dengan anak-anak itu, hatinya terasa hangat, seolah-olah dia bisa merasakan kebahagiaan itu, walau tidak pernah terlibat. Justru terkadang, setelah menyaksikan pemandangan itu, di mana sisi kebapakan Hakim terlihat, kerap muncul rasa ingin memeluk pria itu, menciumnya, atau ... menghiburnya?

Karena, Favita tahu dia begitu jahat selalu menjauhkan harapan Hakim dari anak-anak.

Dan karena saat ini Favita tidak mampu melakukannya, Favita memilih untuk menyingkir, mengalihkan perhatian dari rasa bersalah dan melakukan hal lain. Seperti sekarang, saat Gege kelelahan menarik perhatian Hakim, anak kecil itu bergerak menjauh dan bicara, “Aku ingin makan es krim.”

“Ayo, Tante Favita ambilin!” Setiap kali berkumpul bersama anak-anak, tradisinya adalah, stok es krim harus tersedia banyak-banyak.

Gege melompat-lompat, berjalan lebih dulu menuju pantri, dan Favita menyusulnya di belakang. Ada dua cup besar es krim yang Favita keluarkan dsri freezer, hal itu membuat Gege bertepuk tangan dan bersorak.

“Gege mau rasa apa? Strawberry? Cokelat? Atau mix keduanya?”

“Keduanya!” jawab Gege. “Kama suka cokelat, aku suka strawberry.”

“Kalau Yesa?” tanya Favita. 

“Yesa suka semuanya. Tapi dia bisa ambil sendiri. Nggak usah aku ambilin.”

Favita terkekeh, dia meraih satu mangkuk kecil setelah mengambil es krim itu dengan scoop. “Silakan.”

“Terima kasih, Tante Favita yang paling cantik.” Gege menyilangkan kaki, satu tangannya ke depan, tangan yang lain disimpan di punggung, tubuhnya sedikit membungkuk. Persis bagaimana Sungkara—Om Kesayangannya itu—mengajarkannya. 

 Melihat sikap itu, Favita tertawa. 

“Aku makan ya!” ujarnya seraya mengambil mangkuk es krim dari tangan Favita. Tangan mungil itu tanpa sengaja menyentuh punggung tangan Favita, membuat Favita sedikit berjengit dan menarik diri. Setelah Gege melangkah pergi meninggalkannya, Favita menatap punggung tanganya, mengusap pelan.

Efeknya selalu ... tidak menyenangkan, padahal dia suka bagaimana setiap kali Gege menyapa dan memanggilnya, lalu mendekatinya, tapi ... dia selalu terkejut saat anak-anak itu tiba-tiba menyentuhnya.

Favita masih diam di pantri, setelah menyendok satu scoop es krim cokelat, dia menarik stool dan duduk di sana untuk menikmati keramaian di ruang tengah. Tidak lama dia sendirian, karena Davi datang setelah turun dari lantai dua bersama suaminya.

Arjune memilih riuh di ruang tengah, sedangkan Davi memilih sepi dan menepi bersama Favita.

“Ih, mau dong, Ta ...!” ujarnya antusias, setelahnya, dia duduk di samping Favita seraya menadahkan mangkul kecil untuk menerima dua scoop es krim yang Favita berikan. “Pasti cape banget deh habis tugas ke luar kota terus harus lanjut datang ke sini,” ujarnya. 

Favita menggeleng. “Nggak kok. Biasa kerja rodi.” Dia tertawa, karena sindiran itu kerap dia ungkapkan pada istri bosnya sendiri. 

“Oh iya. Kata Arjune kamu mau ambil cuti, ya?” Davi menatapnya setelah menyendok lagi es krim besar-besar. “Mau ke mana? Untuk paket liburan yang kita kasih, itu nggak perlu cuti lho, spesial buat kalian, dapet waktu libur.”

Favita tertawa. “Makasih, lho!” ujarnya. “Tapi kali ini kita pergi bukan untuk paket liburan itu.” Favita bahkan baru ingat tentang hadiah ulang tahun pernikahan berupa paket liburan yang bahkan sampai saat ini belum pernah Favita dan Hakim diskusikan. Terakhir kali setelah merayakan anniversary hari itu, mereka bertengkar hebat, segalanya terlupakan. “Ibu minta kami ke Yogya, soalnya mau ada pertemuan keluarga untuk rencana lamaran Hashi.” Favita menyebutkan nama adik perempuan Hakim satu-satunya. 

“Oh, ya?” Davi tampak takjub. “Ya ampun, bocah itu udah mau lamaran aja. Cepet banget, ya?” 

Favita mengangguk. “Cepet banget.” Entah bagaimana ekspresi wajahnya sekarang, tapi keadaannya membuat Davi tiba-tiba meraih tangan Favita dan menepuk-nepuk punggung tangannya. 

“Pasti bukan hal yang mudah untuk melewati momen-momen kayak gini. Di mana keluarga besar berkumpul dan akan bertanya tentang ini dan itu.” Davi mengembuskan napas berat. “Aku ngerti banget.”

Favita tahu. Dia akan kembali melewati momen di mana sepupu-sepupu Hakim berkumpul dan para tante akan memamerkan cucu lalu bertanya. “Favita sama Hakim kapan nyusul sih? Kok, lama banget? Ayo dong usaha lebih keras lagi!” Atau, “Udah coba program?” Atau, “Tante punya nih kenalan dokter obgyn, kalian mau coba konsultasi nggak?” Namun, semua hal itu tidak perlu dia khawatirkan lagi karena tiga tahun menikah dengan Hakim membuatnya terlatih untuk menghadapi keadaan itu.

Justru yang sangat dia khawatirkan sekarang adalah, bagaimana dia menyampaikan kabar tentang rencana perceraiannya dengan Hakim?

“Tapi aku yakin kamu bisa melewati semuanya dengan mudah.” Davi memberi semangat. “Hakim selalu ada di samping kamu.”

Favita balas senyum itu dengan senyum yang sama. Dia ingin sekali berkata bahwa sekarang keduanya sudah berada di jalan yang berbeda, tidak lagi bersisian, Hakim tidak lagi di sampingnya, mereka tentu akan memilih jalan masing-masing setelah mengakhiri pernikahan nanti. Namun, dia jelas tidak mungkin mengatakannya di tengah-tengah momen riang ini.

“Kamu tahu nggak sih, ketika kamu menikah dengan Hakim. Hal yang pertama aku khawatirin itu ... kamu?” tanya Davi, tidak disangka sama sekali. “Pekerjaan kamu membuat kamu terbiasa untuk selalu melihat orang lain dan mengenyampingkan diri kamu sendiri. Lalu, aku tahu juga bahwa kamu selalu menempatkan kepentingan orang lain di atas segalanya. Tapi ternyata kekhawatiran aku nggak beralasan, kamu memilih pria yang tepat.”

Benar. Hakim mencintai Favita melebihi dia mencintai dirinya sendiri. Dan dia nggak pernah membiarkan Favita mengalah.

“Jodoh yang tepat,” tambah Davi.

Favita masih tersenyum, sebelum Davi turun dari stool meninggalkannya karena mendengar suara anak kecil yang menangis.

Favita masih diam di tempat itu dan meraih ponselnya karena baru saja benda itu menyala dan menyampaikan satu pesan, yang selanjutnya membuat Favita bergegas melepaskan benda itu, memalingkan wajah, lalu turun dari stool untuk segera mengambil air putih dengan gerakan tergesa.

 

+628223xxxxxxxx

Favita, kamu tahu aku nggak akan pernah berhenti sampai kamu bersedia. Aku akan berusaha lagi.

Lakukan semuanya, untuk membela diri kamu sendiri, untuk kita. 

***

Hakim banyak bicara dengan Kama setelah bocah-bocah lain sudah tumbang dan tertidur lalu diangkut oleh para orangtuanya. Kama duduk di sisinya, duduk bersila menemani Hakim di sofa itu. “Laika cemburu. Dia marah,” ujar anak kecil yang baru saja menerima rapor Gold di kelas matematikanya itu. “Laika lihat Gege cium aku.”

Hakim tertawa kecil. “Kok, bisa Laika lihat Gege cium kamu?”

“Waktu itu aku diantar sama Om Favian ke sekolah, Gege juga, mau berangkat sekolah. Terus, pas udah sampai di sekolah, aku turun, Gege ikut turun. Terus Gee cium pipi aku. Sambil bilang, ‘Dadah, Kama!’.” Kama bergerak melambaikan tangannya, mempraktekan bagaimana Gege melakukannya. “Laika lihat.”

“Jelasin dong sama Laika, Gege itu adik kamu.”

“Tapi Gege selalu bilang dia pacar aku. Sama semua orang.”

Oh, Tuhan, rumit sekali kisah cinta para bocah itu.

“Om Hakim bisa kasih tahu Gege? Aku nggak mau jadi pacarnya.”

Hakim meringis. “Nanti Gege sakit hati.”

“Aku suka Laika. Dia cinta pertama.” 

Hakim tertawa lagi mendengar ucapan itu. “Kamu tahu dari mana sih tentang cinta pertama?”

“Pia yang bilang. Kalau aku suka Laika, berarti Laika cinta pertama.”

Hakim mengangguk-angguk. “Benar. Laika cinta pertama kamu.”

“Om Hakim punya cinta pertama?” tanya Kama.

“Punya.”

“Tante Favita?”

Ucapan itu membuat Hakim menoleh, pada Favita yang tengah duduk di depan meja bar bersama Davi. “Bukan.”

“Pia bilang, Mia juga bukan cinta pertama Mia. Tapi Pia menikah dengan Mia.” 

“Mm ....” Hakim mengangguk. “Cinta pertama nggak harus kamu miliki.”

“Pia juga bilang, Pia mengejar Mia, makanya mereka bisa menikah.”

Demi Tuhan, Janari. Apa saja yang dia katakan pada Kama sehingga bocah kecil itu bisa mengatakan banyak hal tentang cinta dan perjuangan di usianya yang baru menginjak lima tahun?

“Om Hakim juga mengejar Tante Favita?” tanyanya, polos sekali.

“Iya.” Hakim mengangguk cepat. “Laki-laki memang harus mengejar.”

“Sampai sekarang? Om Hakim masih mengejar?”

Kali ini Hakim menggeleng. “Nggak. Sekarang Om Hakim sudah berhenti mengejar,” jawabnya. Diam-diam, dia kembali melirik Favita.

“Kenapa berhenti?” tanya Kama. 

“Karena Tante Favita sudah ada di samping Om Hakim.” Lalu, memang ada alasan lain dia harus berhenti mengejar, karena saat ini keduanya sudah tidak lagi berada di jalan yang sama. 

“Pia pernah bilang, Pia nggak boleh berhenti kejar Mia walaupun Pia udah mendapatkan Mia. Karena, kalau Pia berhenti mengejar, Mia bisa pergi.”

Kata-kata itu yang membuat Hakim terdiam. Walau seharusnya, dia tidak memikirkan kalimat yang diucapkan oleh bocah berusia lima tahun tentang cinta, kan?

Namun, entah bagaimana, kalimat itu terngiang di telinganya sampai dia pulang bersama Favita. Selama perjalanan, hal itu membuatnya mengingat-ingat, tentang sebuah usaha mengejar yang lama tidak dia lakukan lagi. Dia sudah berhenti mengejar, entah sejak satu tahun yang lalu, atau memang benar sejak lama, sejak mendapatkan wanita itu berada di sisinya.

“Pak Arjune bilang koper dan semua barangku udah dia kirim ke rumah, tadi dia juga pinjam kunci rumah agar orang yang mengantarkan barang-barang itu bisa menyimpannya di dalam rumah,” ujar Favita saat keduanya turun dari mobil dan sampai di carport.

Mereka melangkah, Hakim berjalan lebih dulu untuk menjejak anak tangga menuju teras. Dia merogoh kunci di saku celananya dan membuka pintu. Dia akan selalu menjadi orang pertama yang masuk ke rumah, menyalakan semua lampu agar Favita tidak melangkah di dalam gelap—Favita tidak suka gelap. 

Ini bukan tentang perhatian, tapi tentang kebiasaan yang bertahun-tahun Hakim lakukan. 

“Oh, benar. Mereka taruh semua barangnya di sini.” Favita menghampiri kopernya. Mengeluarkan sesuatu di sana. Sesaat setelahnya, wanita itu menghampiri Hakim ke ruang tengah, membawa manisan rumput laut dan Kopi Prabe, oleh-oleh khas lombok yang dulu kerap Hakim beli ketika pergi ke sana.

Namun, segalanya jelas tidak akan pernah Hakim lakukan lagi. Dia pernah memakan manisan rumput laut yang tiba-tiba terasa sangat pahit dan Kopi Prabe yang uapnya tidak menyenangkan. Setelah menemukan Favita bersama pria brengsek itu.

“Hari ini aku memutuskan untuk download aplikasi kencan,” ujar Hakim.

Sejenak gerak Favita terhenti. Dia baru saja hendak menjauh, tapi langkahnya  tertahan dan memutuskan untuk lebih lama menatap Hakim. “Oh ..., Tinder?” 

“Bukan. MeNu namanya.”

Favita mengernyit. “Kayak nggak asing namanya,” gumamnya.

“Pernah denger? Atau kamu pernah pake juga kali?” Tiba-tiba Hakim merasa tidak terima dilangkahi.

Favita berdecak. “Aku nggak butuh aplikasi konyol kayak gitu deh kayaknya.”

“Aku butuh ini buat move-on.

Favita hampir melepaskan tawa. Namun, dia menahan diri untuk tidak melakukan sikap yang tidak sensitif itu. “Oh, wah, aku pikir kamu udah move-on lama dari aku. Karena setiap kali lihat aku, kayaknya kamu benci banget?”

“Aku nggak tahu ya, rencana perceraian ini akan membuat kamu sedih atau nggak. Tapi untuk aku, semua perpisahan nggak akan terasa menyenangkan—walau kita sudah sangat sepakat untuk melakukannya,” ujar Hakim. “Jadi ya ... untuk mengantisipasi kekosongan dan kehilangan, aku mungkin harus mulai mencari—mengalihkan perhatian.”

Favita mengangguk. “Bagus, sih. Visoner sekali.” Suaranya jelas tidak terdengar memuji. Favita melangkah menjauh setelah mengambil kemasan kopi. “Kamu mau aku bikinin kopi nggak? Ada kerjaan yang bikin kamu bakal begadang nggak?”

Hakim menggeleng. “Nggak. Aku mau tidur aja,” ujarnya. “Lagi pula, besok kita harus nemenin Fathe dan Inka, kan? Jam berapa mereka minta kita datang?”

“Jam sebelas siang.”

“Mm. Oke.”

“Kamu nggak ada janji kan besok?”

“Sampai saat ini nggak ada. Nggak tahu kalau besok tiba-tiba Janari nyuruh ini-itu.”

Favita melepaskan kekeh pelan..“Ya udah, aku masukin aja kopinya ya. Kamu ambil sendiri kalau mau seduh.”

“Mm.” Hakim mengotak-atik ponselnya. Dia menemukan beberapa notifikasi dari aplikasi kencan itu. Seharusnya, dia bangga di-notice oleh beberapa wanita, karena itu tujuannya, kan? Namun dia mengabaikannya saat melihat Favita mulai mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi untuk mencepol rambut. 

Wanita itu menjauh dan kembali menghampiri kopernya.

“Biar aku yang bawa nanti,” ujar Hakim saat Favita sudah hendak menarik kopernya. “Aku angkat ke kamar kamu nanti.”

“Oh. Oke.” Favita menjauhi kopernya. “Aku langsung ke kamar ya, kemejaku lengket, Gege nggak sengaja numpahin es krim tadi waktu minta tambah.”

Hakim memperhatikan bagian kemeja Favita, tidak dia lihat noda kemeja hitam di sana, mungkin sudah dibersihkan?

“Gege lucu banget deh, dia minta maaf berkali-kali. Sambil bilang kalau dia menyesal karena nggak sabaran dan bikin es krimnya tumpah.” Favita terkekeh sendiri. “Dia mau bantu bersihin kemejaku, katanya, dia bisa cuciin kalau aku mau. Terus aku bilang, nggak usah.”

Sesaat Hakim menangkap ekspresi bahagia dan hangat di wajah Favita saat menceritakan tentang interaksinya dengan beberapa bocah kecil itu. Pernah Hakim berpikir bahwa wanita itu akan baik-baik saja jika hidup bersama anak kecil. Pernah Hakim pernah berharap bahwa mereka akan memiliki beberapa malaikat kecil yang menggemaskan juga. Pernah ... Hakim berharap banyak ... tentang hal itu.

“Gege lucu banget,” lanjut Favita.

“Mereka selalu lucu,” tambah Hakim. “Mereka selalu lucu, Ta.”

Sejenak, Favita tampak terusik dengan ucapan itu. Seraut ekspresi tiba-tiba melintas di wajahnya, seperti tegang, rasa tidak suka, atau entah .... Yang jelas ekspresi itu menetap di wajahnya dan melenyapkan kesan berbinar-binar saat menceritakan tentang Gege.

“Kamu pernah berpikir untuk memiliki malaikat-malaikat seperti mereka?” tanya Hakim, suaranya ditekan rendah, hati-hati. “Mereka memang berisik, tapi mereka akan—“

“Kita pernah membicarakan masalah ini, kan?” tanya Favita. Tatap matanya berubah tajam. “Kita bisa saja melahirkan mereka ke dunia, tapi apa jaminannya kita nggak menyakiti mereka? Ribuan kasus kekerasan terhadap anak setiap harinya menjadi bukti bahwa tidak semua manusia mampu menjadi orangtua yang baik. Dan aku nggak mau menjadi salah satu orang jahat itu. Lakukan semua hal yang ingin kamu lakukan, tapi jangan pernah memaksa siapa pun orang untuk melakukan hal yang nggak pernah mereka inginkan!” Suara Favita naik, intonasinya berubah lantang dan tinggi. “Kamu nggak berhak memaksa aku untuk melakukan apa pun!” Kali ini dia membentak, matanya menatap Hakim nyalang, napasnya terengah, dua tangannya terkepal di sisi tubuh.

Hakim belum bergeming. Hanya menatapnya lama. Melihat bagaimana Favita yang kini berusaha untuk menelan ludah dan tidak lagi berteriak. Hakim bangkit dari sofa, melangkah menghampiri wanita yang kini mematung itu. Perlahan, dengan suara sangat pelan, dia bertanya. “Kenapa kamu marah?” Menatapnya lebih dekat. “Aku nggak memaksa kamu untuk melakukan apa pun. Sejak lama ..., sejak dulu, aku nggak pernah memaksa kamu untuk melakukan hal apa pun yang nggak kamu inginkan.” Masih menatap dua bola mata yang kini tampak bergetar irisnya. “Ta, sejak menikah dengan kamu, aku menyetujui kesepakatan itu—kita nggak akan pernah punya anak. Dan sekarang ... jelas kita nggak akan pernah melakukannya. Karena kita akan berpisah. Ingat?” gumamnya. “Jadi kamu nggak usah marah hanya karena hal ini.”

***

 

 

 

 

 

Ini sampai di sini pengen tahu kalian ada di tim mana sih?

Hakim

Favita

 

Alasannya kenapa?

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Marriage Cure | [10. Lebih Cepat Hilang]
143
13
[TSDP #6] Part 2Saat memutuskan untuk berpisah di usia pernikahan yang sudah menginjak tahun ketiga, Hakim dan Favita sadar bahwa memberi kabar tentang perceraian pada orang-orang terdekat sama halnya dengan menghancurkan kebahagiaan mereka. Jadi, demi menjaga kebahagiaan setiap orang agar tetap berputar pada porosnya, Hakim dan Favita sepakat untuk menunda dan memilih momen yang pas untuk mengumumkan kabar pahit itu.Namun di antara penggal waktu itu, ada banyak kesalahpahaman yang akhirnya terkuak, rahasia-rahasia yang terbongkar, orang-orang dari masa lalu yang datang menjelaskan. Lalu, apakah setelahnya mereka akan tetap memutuskan untuk keluar dari kotak siksaan yang mereka sebut 'Pernikahan'?  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan