
[TSDP #6] Part 2
Saat memutuskan untuk berpisah di usia pernikahan yang sudah menginjak tahun ketiga, Hakim dan Favita sadar bahwa memberi kabar tentang perceraian pada orang-orang terdekat sama halnya dengan menghancurkan kebahagiaan mereka.
Jadi, demi menjaga kebahagiaan setiap orang agar tetap berputar pada porosnya, Hakim dan Favita sepakat untuk menunda dan memilih momen yang pas untuk mengumumkan perceraian keduanya.
Namun di antara penggal waktu itu, ada banyak kesalahpahaman yang akhirnya terkuak,...
Ini kita flashback ke satu tahun lalu ya. Di detik-detik sebelum komflik terjadi.
Udah penasaran, kan?
Kalau sekarang udah boleh minta api belum? Wkwkwk Semangat vote komennyaa yaaa 🔥🔥🔥🔥🔥
***
Ini Grup Ya
Hakim Hamami
Maaf maaf nih gua. Lo bisa nggak bikin bini gua angkat telepon atau balas chat sekali aja, June?
Janitra Sungkara
WKWKWK. DIULTI.
Arjune Advaya
Gue nggak bikin dia sibuk yang gimana-gimana. Ke sana-kemari doang itu gue suruh.
Favian Keano
Ke sana kemari membawa Alfamart~~~
Janitra Sungkara
Ternyata Favita lebih kuat dari Ayu Tingting.
Membawa Alfamart.
Janari Bimantara
Favita .... Kerja sewajarnya aja. Ingat, gajimu kecil.
Alkaezar Pilar
WKWKWK. BISA DIEM SEKALI AJA GA?
Arjune Advaya
Dia tuh mulai duluan.
Hakim Hamami
Balikin bini gue nggak?
Arjune Advaya
Mau gue balikin.
Tapi katanya Favita bakal bertahan. Soalnya cicilan KPR masih belum lunas.
Janitra Sungkara
Si Sombong. Najis.
Arjune Advaya
Cicilan KPR aman, Sung?
Hakim Hamami
Jangan sombong kalau lagi di atas.
Janari Bimantara
Soalnya di bawah juga enak. 😡
Hakim Hamami
Anjing ah. Ga gitu.
Janitra Sungkara
Dia nggak sadar bisnis kadang naik-turun.
Janari Bimantara
Kalau nggak naik-turun bisa ganti pake muter-muter. 😡
Alkaezar Pilar
Siapa pun kick lah Janari dari sini. Suruh dia kerja yang bener. Masih jam kerja.
Arjune Advaya removed Janari Bimantara.
Favian Keano added Janari Bimantara.
Janari Bimantara left.
***
Mari kita mengulang satu titik yang telah lalu dari sisi Hakim. Satu tahun lalu, di mana saat itu, dia merasa hidupnya baik-baik saja. Karirnya perlahan naik, dia juga sudah berhasil mendapatkan wanita yang begitu dicintainya dan tinggal di rumah sendiri setelah menikahinya dua tahun lalu.
Kehidupan rumah tangga mereka berjalan sempurna. Nyaris tanpa cela.
Mungkin saat itu Hakim menganggap bahwa dia sudah menggenggam hampir semua tujuan hidupnya. Yang harus dia jalani selain menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan kakak yang baik untuk adik-adiknya adalah, membahagiakan Favita.
Hakim memutar roda kursi kerjanya seraya menempelkan ponsel ke telinga, beralih ke sisi kiri meja kerjanya, dia melihat sebuah foto yang berada di dalam bingkai, membuatnya tersenyum. Foto itu adalah foto yang Favita pilih sebagai foto terbaik yang harus dia pajang di meja kerja. Katanya, “Di foto ini kamu ganteng banget. Aku suka.”

Dan Hakim tidak peduli, karena yang dia selalu lihat adalah wajah Favita. Dia usap foto bagian wajah wanita itu yang tengah berada dalam pelukannya. Lalu, “Kamu lagi apa?” Hakim berbicara pada seseorang di seberang telepon yang baru saja berhasil dia hubungi sejak pagi.
“Sayaaang .... Maafin aku ya, aku sibuk banget hari ini. Kamu tadi udah makan siang kan walau aku nggak ingetin?” tanya Favita, suaranya terdengar sangat khawatir.
“Makan dong. Kamu sendiri udah makan?”
“Udah. Tapi buru-buru sih. Aku ngejar meeting selanjutnya. Pak Arjune hari ini jadwalnya padat banget jadi—eh, Sayang. Udah dulu yaaa. Meeting udah mau mulai. Aku sayang kamu banget-banget-banget. Jangan lupa jemput aku nanti sore. I love youuu!”
“I love you moreee ....”
Sambungan telepon terputus, tapi tatap Hakim masih tertaut pada foto wanita yang berada dalam bingkai di atas meja. Dia bisa tersenyum sepanjang hari jika terus menatap wajah itu. Merasa bahagia sangat lama, seolah-olah lupa, bahwa dalam satu entakan, takdir bisa membalikkan dunianya yang tanpa cela, menjadi penuh luka.
***
Sore itu Hakim menepati janjinya untuk menjemput Favita. Namun, titik temu keduanya berubah. Favita tengah berada di salah satu restoran yang berada di hotel bintang lima. Dia baru saja menemani Arjune bertemu rekan bisnisnya. Sesaat, laju mobil Hakim berhenti di depan teras lobi dan menemukan wanita itu menunggunya di sana.
Terlihat gerakan terburu Favita saat menuruni anak tangga. “Haiii!” Dia masuk ke mobil dan mencium pipi Hakim. Selalu dengan suaranya yang riang dan wajahnya yang ceria. Dia bergerak menaruh tas ke jok belakang, lalu melingkarkan lengannya di lengan kiri Hakim dengan pundak yang kini dijadikan sandaran kepalanya. “Aku kangennn ....” Kebiasaan yang sering dia lakukan saat pertama kali bertemu di malam atau sore hari selepas kerja, karena seringnya pekerjaan seharian membuat wanita itu terpenjara sampai sulit dihubungi.
Hakim melajukan mobilnya cepat karena tidak ingin membuat antrean kendaraan dan diamankan oleh sekuriti. Tangan kirinya melingkar di dagu Favita, telapak tangannya menjangkau wajah wanita itu, mengusapnya. “Aku juga kangen tahu.” Sesaat dia mengendara dengan satu tangan saat mobil sudah berbaur ke jalan raya. “Kamu ngapain aja seharian deh?”
“Ya gitu-gitu aja, ngerjain kerjaan yang nggak ada habisnya.”
Sore hari, jam pulang kantor, jelas kendaraan di jalanan padat dan menyebabkan macet di titik-titik tertentu. Kendaraan mereka tertahan. Di depan lampu lalu lintas sedang berwarna merah.
“Mas, aku mau cerita deh.”
Hakim menoleh. Wajahnya meneleng, alisnya terangkat.
Alih-alih langsung bercerita, wajah Favita malah berjengit mundur. “Ih .... Kamu kenapa sih kalau natap aku tuh ... gitu banget?” gumamnya.
Hakim mengernyit. “Gitu banget, gimana?” Karena dia merasa tatapannya biasa saja. Maksudnya, dia hanya hendak menyimak ketika wanita itu bilang ingin bercerita.
“Aneh. Gitu.” Favita mengusap wajah Hakim dengan telapak tangannya. “Kamu tuh kalau natap aku kayak—apa ya? Kayak ... lagi natap apaaa gitu.”
Hakim tertawa. “Natap apa, sih? Maksudnya gimana?”
Favita mengalihkan pandangan. “Kayak dalem banget natapnya, aku jadi salting.”
Dan Hakim tergelak. “Memang iya?”
“Iya. Kamu nggak sadar, ya?”
Hakim menggeleng. “Biasa aja ah.”
“Beda tahu. Aku sering merhatiin saat kamu natap orang, terus beralih natap aku. Itu beda.”
Ini dia jadi cerita tidak, sih? Kenapa jadi malah bahas tatapan? “Ya beda lah. Natap kamu mah harus beda. Kamu tuh kan ... apa, ya? Tujuan hidup aku. Ya pasti beda lah.”
“Beda gimana?”
“Beda. Natapnya ada sange-sangenya dikit.” Jujur dia hanya bercanda.
Dan Favita menampar tangannya sambil berdecak. Hakim pikir, Favita akan mengomel dan marah. Namun, dia malah menanggapi lelucon itu. “Kamu kan udah mengobok-obok aku hampir dua tahun, memangnya masih ada sange-sangenya cuma natap doang?”
“Lho, ya masih lah. Gimana, sih?” Dia tidak harus menceritakan ranjang mereka yang seringnya berantakan setiap bangun tidur kan? “Ini kamu nggak jadi cerita?” tanya Hakim. Lampu sudah berubah warna. Dan mobilnya kembali melaju.
“Nanti aja deh di rumah ceritanya.” Favita menyandarkan kepalanya ke pundak Hakim. Dan ketika Hakim mencium puncak kepalanya, Favita bergumam. “Jangan cium rambut aku! Bau tahu, seharian keringetan. Belum keramas.”
“Ya udah nanti aku bikin keramas.”
Favita menempar pahanya.
Perlahan, ada titik-titik air yang jatuh membasahi kaca jendela. Gerimis. Lalu lenguh pelan Favita yang terdengar mengeluh. Hujan selalu berhasil membuat beberapa titik macet menjadi lebih parah. “Sabar ya, Sayang,” gumam Hakim saat kendaraan mereka merayap pelan.
“Mm ....”
Tidak ada suara, sementara Favita masih menyandarkan kepalanya di pundak Hakim. Seolah-olah, dia tengah mengistirahatkan lelahnya di sana.
“Sayang ...?” Hakim kembali membuka percakapan. “Kamu nyaman banget sama kerjaan kamu sekarang, ya?”
“Iya.”
“Lebih senang mana, kerja atau sama-sama sama aku?”
“Ya sama kamu lah.” Favita menjauhkan wajahnya. “Kenapa tiba-tiba nanya gitu?”
Hakim menyalakan wiper, hujan mulai deras. Dan dia mendengar Favita mendengkus berkali-kali. Favita memang tidak suka hujan, beberapa kali dia mengatakannya dan membuat Hakim selalu ingat. “Kamu ... kamu tau kan kalau kamu nggak bisa kayak gini selamanya—maksudnya, kalau kamu mau terus kerja, ya kamu harus perhatikan jenjang karir kamu, nggak terus diam di bawah telunjuk Arjune kayak gini.”
“Iya aku tahu kok,” ujarnya. “Mungkin ke depamnya aku akan terima kalau ada promosi jabatan, tapi ya ... setelah itu, ada masanya nanti aku harus berhenti dan diam di rumah. Tapi kenapa kamu ngomongin ini tiba-tiba banget?”
“Karena akhir-akhir ini aku lihat kamu capeeek banget. Dan aku pengen bilang—bukan untuk mengecilkan pekerjaan kamu, sama sekali nggak, bahwa aku ... mampu kok biayain kamu, seandainya kamu udah capek banget dan pengen berhenti.” Hakim menoleh, melihat bagaimana Favita akan menanggapinya, memperhatikan bagaimana ekspresi wajahnya.
Apakah dia tersinggung?
Terluka?
Atau ....
“Iyaaa,” sahut Favita. “Makasih ya. Tapi untuk saat ini ... aku kayaknya lebih milih untuk kerja aja. Nggak apa-apa, kan?”
“Lho, ya nggak apa-apa dong.” Kembali Hakim mencium pelipisnya. “Semangat kerjanya ya.” Tangannya meraih tangan Favita, mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara.
“Semangat sampai cicilan KPR kita lunas!” tambah Favita.
“Eh, serius. Kamu nggak mau resign bukan gara-gara cicilan KPR, kan?” Hakim mendadak ingat pesan singkat Arjune.
“Ih, bukaaan! Kamu jangan dengerin Pak Arjune lah. Mana ada aku kayak gitu? Kalau mau, besok atau lusa juga aku bisa resign, aku percaya sama kamu yang mampu menuhin segala kebutuhan aku kok.” Favita mengusap sisi wajah Hakim. Dia tertawa, tapi terus meyakinkan. “Kamu beneran nggak usah dengerin dia deh! Bahkan aku nggak pernah ngomongin apa-apa sama dia—apalagi tentang cicilan KPR.”
Percakapan mereka terus berlanjut. Tidak pernah hening hidup Hakim saat bersama Favita. Sampai akhirnya mereka tiba di rumah, hujan masih saja turun dengan deras. Hakim tidak menyediakan payung di mobil, karena dia tahu Favita tidak menyukainya, dia juga tidak membawa outer semacam jaket, jas, atau semacamnya.
Seolah-olah bisa membaca keadaan, Favita menatap Hakim. “Aku bisa lari kok biar nggak kehujanan.”
Hakim mengangguk. “Ya udah, kita lari ya,” katanya. “Nanti aku lari sambil peluk kamu biar nggak kehujanan.”
Favita tertawa, dia hendak menolak, tapi berakhir menyetujuinua.
Setelahnya, Hakim beranjak keluar mobil, lalu membukakan mobil Favita dan segera menangkap tangannya yang terulur. Satu tangan Hakim lekas meraih tubuh Favita sambil bergumam, “Hap! Lalu ditangkap!”
Favita tertawa lagi saat tangan Hakim yang lain sudah melindungi kepalanya. Dengan langkah yang berirama sama, mereka bergerak ke arah teras cepat-cepat.
Ada siaa tawa saat mereka tiba di teras dalam keadaan tubuh yang setengah basah. Hakim juga sempat memastikan keadaan Favita sesaat sebelum membuka kunci rumah dan bergerak masuk. Mereka melangakh di ruangan yang gelap, yang satu per satu lampunya Hakim nyalakan sembari berjalan lebih dulu sehingga Favita tidak kesulitan harus berjalan di keadaan gelap.
“Langsung mandi ya, Mas. Kamu duluan. Kamu basah banget soalnya.” Favita mengatakan hal itu saat keduanya sudah tiba di kamar. “Sini, aku bantu buka.” Favita menggantungkan handuk yang sudah dibawanya di sikut, sementara kini dua tangannya tengah membuka kancing-kancing kemeja pria di hadapannya itu.
Seakan sadar tengah Hakim perhatikan, Favita menarik bola matanya ke atas. Melirik Hakim sinis. “Tuh kan, kamu natap akunya begitu lagi.”
Hakim tertawa. “Emang gimana sih aku nggak ngerti?”
Favita tidak menjawab, dia baru saja selesai membuka kancing dan menarik keluar kemeja Hakim sehingga menyisakan selembar kaus putih di tubuh pria itu yang ternyata basah juga. “Sana mandi.” Favita mendorong tubuh Hakim saat pria itu mulai mengalungkan dua lengan di pinggulnya.
Di saat-saat seperti itu, Favita selalu terlihat gugup, sesekali dia akan mengalihkan tatap, ke segala arah, sebelum akhirnya Hakim meraih dagunya dan mencium lembut bibirnya.
Dingin. Sedikit basah. Hakim melakukannya lagi. Satu kali. Dua kali. Ternyata tidak cukup hanya mengecup, dia beri lumatan singkat dan samar suara desah dia dengar keluar dari bibir wanita itu ketika dia berhasil menjamah dadanya yang terasa basah.
Oke. Dia pastikan akan ada teriakan-teriakan kecil di kamar mandi setelah ini.
***
Part selanjutnya masih flashback ya. Udah siap kan?
Aku kasih waktu buat siap-siap dulu 🙂
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
