The Marriage Cure | [22. Menyembuhkan Luka Lama]

222
15
Deskripsi

[TSDP #6] Part 2

Saat memutuskan untuk berpisah di usia pernikahan yang sudah menginjak tahun ketiga, Hakim dan Favita sadar bahwa memberi kabar tentang perceraian pada orang-orang terdekat sama halnya dengan menghancurkan kebahagiaan mereka.

Jadi, demi menjaga kebahagiaan setiap orang agar tetap berputar pada porosnya, Hakim dan Favita sepakat untuk menunda dan memilih momen yang pas untuk mengumumkan kabar pahit itu.

Namun di antara penggal waktu itu, ada banyak kesalahpahaman yang akhirnya terkuak,...

The Marriage Cure | [22. Menyembuhkan Luka Lama]

 

 

Haiii. Lumayan cepet kan update-nyaaa. 

 

 

Sekali lagi sekali lagi sekali lagi terima kasih banyak karena masih setia bersama Hakim dan Favita ya. Terima kasih karena masih mau mendengarkan mereka bercerita. 

 

 

 

 

***

 

Hakim berjalan di jalan setapak menuju taman rumah sakit itu, di antara wajah-wajah lelah dan putus asa, panik dan khawatir. Atau terkadang, mereka melepaskan tawa tanpa alasan apa-apa. Mereka berjalan, duduk, menunggu, termenung, bicara sendiri. Entah apa yang terjadi pada masa lalu mereka. Mungkin mereka adalah manusia yang pernah terluka, mungkin juga sedih mengurungnya terlalu lama. Tidak ada yang mengerti, sehingga mereka punya dunianya sendiri.

Hakim melihat tatap-tatap kosong itu menatap nyalang, lurus. Beberapa terlihat antusias, tapi terkadang berlebihan.

“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Hasan, seseorang yang merupakan perwakilan dari manajemen rumah sakit yang sejak tadi menemani Hakim mengelilingi kawasan rumah sakit itu. 

“Dengan senang hati, saya akan segera laporkan rencana acaranya. Mungkin harus ada meeting kedua di antara panitia dan pihak rumah sakit nanti? Kami juga membutuhkan bantuan dari beberapa petugas rumah sakit untuk mengkondisikan kegiatan saat berlangsungnya acara.”

Butuh waktu agak lama untuk bisa tiba di sana, rumah sakit jiwa yang berada di kawasan Jakarta Barat itu akan menjadi tempat diadakannya salah satu kegiatan sosial dari  rangkaian acara yang diselenggarakan oleh perusahaan. Hakim menjadi penanggung jawab acara di rumah sakit itu.

“Akan segera kami diskusikan. Kami siap membantu dalam hal apa pun,” ujar Pak Hasan.

“Kami juga membutuhkan satu area terbuka yang luas, Pak.” Hakim menatap ke sekeliling taman. Sore hari, di sana, ada beberapa pasien yang tengah mengobrol bersama perawat. Ada yang sekadar berjalan-jalan bersama anggota keluarga. Ada juga yang hanya melamun dan duduk sendirian di bangku. “Boleh kami gunakan area ini?”

Pak Hasan mengangguk. “Tentu. Silakan. Kami akan bantu mengkondisikan juga.”

“Baik, terima kasih banyak.” Hakim menjabat tangan pria paruh baya itu, sebelum akhirnya, dia meninggalkan Hakim sendirian di sana karena harus kembali pada pekerjaannya.

Hakim berdiri di tengah-tengah taman, dengan kemeja abu sewarna awan yang seharian ini tampak begitu kusam. Mendung, tapi tidak kunjung hujan. Dia tatap lagi sekelilingnya, beberapa pasien mulai dihampiri oleh petugas, diajak bicara sebelum mereka dipapah untuk meninggalkan area taman.

Hakim hendak pergi, karena urusannya di sana sudah selesai. Namun, sebuah dering membatalkan niatnya untuk melangkah pergi. Dia berdiri, merogoh saku dan melihat layar di ponselnya menyala, nama Favita muncul di sana.

Faviluv❤️ is calling ....

“Halo, Ta?” Satu tangan Hakim masuk ke saku, tangan lainnya memegang ponsel di telinga. Tatapnya masih memendar. “Kenapa?”

“Nggak. Cuma mau tanya, kamu lagi di mana?” 

“Di luar. Aku lagi di rumah sakit nih, lagi survei tempat untuk rangkaian kegiatan sosial—yang kita obrolin kemarin.” Hakim mengernyit, menatap seorang wanita paruh baya yang masih duduk di bangku taman sendirian. Wanita berkemeja sewarna putih tulang, tampak ditemani oleh seorang perawat, tapi dia tampak mengabaikan. “Kamu jadi nganter Fathe sama Inka pulang dari kantor nanti?”

“Jadi. Nanti aku pulang malam ya.”

“Aku juga kayaknya pulang malam kok. Banyak kerjaan soalnya di kantor. Habis ini aku balik ke kantor lagi.”

“Oh .... Jangan lupa makan kalau gitu. Aku pesenin makan nanti.”

Hakim tersenyum. Tipis saja. Dia menikmati waktu-waktu pemulihan di dalam pernikahannya bersama Favita. Melakukan hal-hal kecil yang tidak lagi pernah mereka lakukan, seperti; saling memperhatikan, saling memberi kabar, makan bersama, dan yah ... terkesan sepele, tapi membuat hubungannya mulai membaik akhir-akhir ini.

Mungkin benar kata Arjune, dia tidak perlu menang. Jika dulu dia pernah kalah dan terluka, maka sekarang dia hanya perlu lupa. Walau dia sendiri tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi di waktu mendatang, masalah seperti apa atau kebahagiaan sebesar apa yang akan menghampiri rumah tangganya. Namun hari ini, dia hanya perlu berjalan. 

“Iga bakar sama cah kangkung, ya?” ujar Favita. “Aku kirim ke kantor kamu nanti.”

“Iya. Makasih, ya.”

“Sama-sama.”

“Kamu hati-hati.”

“Iya ....” Suara Favita menggumam. Lalu, “Mas ...?”

“Ya?” 

Hening. Lalu suaranya terdengar dari seberang sana. “Nggak .... Ya udah. Dah ....”

Setelahnya, sambungan telepon terputus. Hakim baru saja memasukkan ponselnya ke saku celana. Hendak melangkah keluar dari area taman. Namun tiba-tiba saja, suara jeritan terdengar. 

Wanita berkemeja putih yang tadi duduk dan melamun di bangku, kini berlari ke arahnya. Dalam beberapa saat, Hakim kebingungan. Apalagi ketika wanita itu tiba-tiba mencengkram pergelangan tangannya dengan tangan lain yang berusaha meraih bagian wajahnya. 

“Jangan sakiti!” teriaknya. “Jangan sakiti dia!” Teriakan wanita itu semakin melengking seiring dengan cengkraman yang menguat. Beberapa petugas rumah sakit kini sudah menghambur ke arahnya, membantu menenangkan, yang lain berusaha melepaskan. “Jangan sakiti anakku! Jangan sakiti ...!” Raungan kencangnya terdengar.

Hakim masih mematung saat beberapa petugas berhasil melepaskan cengkraman wanita paruh baya itu. Masih menatap nanar bagaimana wanita itu dibawa pergi sambil meronta-ronta. 

Terakhir, Hakim kembali mendengar wanita itu berteriak. “Dunia jahat! Kamu jangan jahat! Dunia sudah jahat pada anakku!” 

***

Hari ini, Favita menemani Fathe dan Inka untuk melihat keadaan Plataran Candani yang akan menjadi tempat dilangsungkannya pernikahan keduanya. Di sana, rancangan desain sudah mulai disesuaikan dengan keinginan Inka. Ada tumbuhan-tumbuhan baru yang sengaja ditanam. Ada juga tanaman rambat yang kontras sekali warna hijaunya saat menempel di dinding yang bercat putih.

Persiapan pernikahan keduanya yang tinggal beberapa pekan lagi sudah ada di tahap delapan puluh persen. Yah, Fathe dan Inka luar biasa sekali. Segala hal mereka rencanakan dan jalani berdua. Tampak tenang, jarang terjadi perselisihan dan percekcokan seperti calon pengantin kebanyakan. Karena seingatnya, dulu Favita mengalami mood swing yang menyebalkan sekali, selalu ada alasan untuk berdebat dengan Hakim, selalu punya ide membuat Hakim menghela napas lelah dan mengalah. 

Usia dan mental yang dewasa membuat sepasang calon pengantin itu tampak begitu siap. Entah harus merasa bersalah atau malah bersyukur atas hal itu, karena tentu saja, salah satu alasan kenapa Fathe dan Inka terus menunda pernikahannya adalah demi melihat Favita mendapatkan kebahagiaannya lebih dulu, memastikan Favita berada di tangan pria yang tepat.

Hingga akhirnya, hari ini tiba.

Sekarang, Favita tengah berdiri di dekat kolam yang suara percikan airnya terdengar berisik. Dia baru saja menerima pesan dari Hakim.

Mas Hakim

Makasih makanannya. 

Udah habis ya.

Favita tersenyum, karena selain sederet kalimat, pesan itu juga memuat sebuah foto yang menunjukkan bahwa makanan yang dikirimnya benar-benar habis. Jemarinya baru saja hendak bergerak membalas. Namun, suara Fathe dari kejauhan membuat wajahnya mendongak. Pesan dari Hakim terabaikan. 

“Ada yang mau ketemu nih, Ta ....” Suara Fathe seperti sengaja dibuat misterius.

Sementara itu, Favita hanya terdiam di tempatnya. Dia tidak melangkah mendekat untuk tahu siapa seseorang yang kini sengaja datang hanya untuk bertemu dengannya. Dia juga tidak penasaran.

Lalu, setelahnya, dia melihat seorang wanita yang potret wajahnya begitu dia kenali muncul dari balik tubuh Fathe. Seorang wanita dengan tunik cokelat dan rok panjang berwarna cream, penampilannya tidak pernah berubah. Selalu tampak sederhana, keibuan, dan hangat.

Wanita paruh baya itu tersenyum, dengan matanya yang ikut menyampaikan kebahagiaan saat menemukan sosok Favita. Dia tampak bahagia bisa melihat lagi sosok Favita. Sedangkan Favita sendiri, masih berdiri di sisi kolam, bersama suara percikan air yang monoton, juga gemuruh di kepalanya yang bangkit lagi setelah beberapa hari ini mampu dibungkamnya erat.

“Tata ...?” Suara itu masih terdengar sama, lembut, penuh kasih. “Apa kabar?” tanyanya.

Favita belum menjawab.

“Masih ingat Ibu?” Wanita bermata teduh itu adalah Bu Dewi, sosok pertama yang membuat Favita kecil berani bicara untuk pertama kali—entah untuk bercerita atau sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan pendek yang keluar dari bibirnya.

Tentu saja Favita masih ingat, wanita yang menemani hari-hari Favita kecil yang penuh ketakutan. Wanita itu, pertama kali datang ketika Favita kecil baru saja bangun dari gelap dan tertidur lama di ranjang rumah sakit. Dia memperkenalkan diri saat itu. 

“Bu Dewi ....” Favita menyebut namanya. 

Bu Dewi adalah seorang psikolog yang saat itu dipilih oleh pihak rumah sakit untuk menangani Favita. Sejak kejadian itu, satu-satunya yang bisa membuat Favita bersuara adalah sosok wanita berwajah ramah itu. Wanita yang akhirnya bertahun-tahun menjadi temannya bicara; Favita kecil, Favita anak-anak, Favita remaja yang usianya menginjak masa SMA. Lalu setelahnya, keduanya kehilangan kabar. Karena Bu Dewi harus pergi. Saat keadaan Favita membaik, Bu Dewi dipindahtugaskan ke luar kota bersama suaminya. 

Iya .... Wanita itu memang menemaninya hanya untuk bekerja. Namun, Favita pikir, dia bukan sekadar seseorang yang datang untuk membantunya, dia adalah sosok malaikat yang sempat dikenalkan Tuhan padanya ....

Bu Dewi menghampirinya, menatapnya dengan mata teduh yang sama, senyum hangat yang masih mampu dia ingat. “Senang sekali Ibu bisa bertemu kamu lagi.” Suaranya kembali terdengar, suara lembut yang mampu membuat Favita percaya bahwa ... tidak semua orang berniat menyakitinya.

Wanita itu datang, memeluknya. Masih sama rasa hangatnya, masih sama gerak usap telapak tangannya di punggung Favita. Kembali lagi malaikat itu, bisa dia peluk seperti dulu. Bisa dia jadikan pundaknya tempat menangis sambil terisak-isak lirih seperti saat itu.

Yah, saat itu Favita terlalu banyak menangis tanpa perlu mencari alasan. Tiba-tiba dia akan sedih, tiba-tiba dia merasa tidak berharga, tiba-tiba merasa tidak berguna. Pilu dan ngilu yang dia terima, Bu  Dewi yang menjadi pendengar pertama. Jadi, hanya dengan menangis, Bu Dewi bisa meraba bagaimana keadaannya.

Fathe dan Inka masih berdiskusi dengan pihak wedding organizer di dalam villa. Sementara Favita dan Bu Dewi, kini memilih duduk di sisi joglo. Kaki keduanya terjulur ke bawah, menggantung dan dibiarkan bergoyang pelan sesekali. Menatap kejauhan air kolam yang mulai diterangi oleh cahaya dari lampu-lampu bulat yang berjajar di sisinya. 

Sudah pukul delapan malam saat Bu Dewi datang menemuinya. Dan, “Ibu sudah satu bulan di Jakarta. Dan orang yang pertama Ibu ingat sejak Ibu kembali adalah ... kamu.”

Favita menoleh, dia mendapatkan lagi senyum itu. “Aku turut berduka cita atas kepergian Bapak.” Pernah beberapa kali Favita bertemu dengan sosok Pak Raharja, suami sekaligus ayah dari anak-anak Bu Dewi yang saat itu usianya berada di atas Favita. Walau mereka tidak pernah terlibat dalam banyak percakapan, Favita sering melihat keberadaannya. “Aku tahu kabar ini dari Fathe.”

Bu Dewi mengangguk. “Bapak sudah tenang di sana. Ibu sudah ikhlas ....” Dia menoleh. Tersenyum lagi. “Lalu, bagaimana kabar kamu sekarang? Ibu rindu sekali ....”

Favita tersenyum. “Aku juga ....” Kali ini dia menjawab tulus dan jujur. Dia juga merindukan wanita itu, tapi tidak dengan masa-masa tergelapnya dulu. 

“Ibu sempat berusaha mencari kamu, tapi tidak menemukan hasil apa-apa. Sampai akhirnya, takdir membawa Ibu bertemu Fathe.” Kini, tangan Bu Dewi mengusap pundak Favita. “Akhirnya Ibu mendengar kabar kamu, mendengar cerita kamu dari Fathe .... Dan Ibu bahagia sekali.” Wanita itu tidak bisa menyimpan harunya sendirian, air matanya mulai menyebar di bola mata. “Kamu sudah menikah ...,” bisiknya, hampir menangis.

Dan saat Favita mengangguk, Bu Dewi benar-benar melepaskan tangis. “Namanya Hakim,” ujar Favita.

“Seperti apa? Orangnya?” tanyanya.

“Dia ... orang yang selalu menerima suasana hati pasangannya, selalu mendengar. Bisa melakukan segala hal dan bisa diandalkan.”

Senyum Bu Dewi mengembang lebih lebar. “Dia pasti pria yang baik, pria yang begitu mencintai kamu.”

“Sangat,” ujar Favita. “Akhirnya ... aku berani memutuskan untuk menikah ....” Suatu keadaan yang dulu begitu Favita khawatirkan. Atau lebih tepatnya, sempat berpikir untuk tidak ingin dia lakukan. “Aku pikir, aku sudah sembuh ....”

Bu Dewi menggeleng kencang. “Kamu tidak pernah sakit, Nak ....” Telapak tangannya merungkup sisi wajah Favita.

“Setelah bersama dia—pria yang kupikir adalah orang yang tepat—mimpi-mimpi buruk itu ... jarang kembali, aku nggak pernah lagi panik tanpa alasan, aku jarang menangis lagi sendirian. Aku nggak pernah lagi terpikir untuk ... menyakiti diriku sendiri.”

“Dia benar-benar orang yang tepat ....” Bu Dewi menepuk-nepuk pipi Favita lembut.

“Aku pikir begitu .... Sampai akhirnya, masalah itu datang lagi, dia ... datang.”

Air wajah Bu Dewi berubah, bahagianya lenyap dan hanya tersisa raut khawatir di sana. “Dia .... Siapa?”

“Dewa ...,” jawab Favita. “Dia datang meminta aku mengatakan yang sebenarnya, dia datang meminta aku bersaksi lagi untuk ... berkata jujur.” Ngilu sekali rasanya saat dia mengatakan hal itu. “Dan kesalahpahaman terjadi setelahnya. Titik di mana masalahku dan Hakim meledak dan nggak bisa lagi aku kendalikan. Duniaku yang kupikir sudah cukup sempurna, tiba-tiba menjadi ... sangat berantakan.”

“Hakim tidak pernah tahu tentang masalah ini?”

Favita menggeleng. “Nggak. Dia nggak pernah tahu,” ujarnya. “Aku nggak akan pernah membiarkan dia tahu.”

Hakim tidak pernah tahu apa-apa, bahkan setelah mereka menikah. Pria itu, bahkan tidak pernah mengenali Favita walau mereka sudah berkali-kali tidur bersama. Saat awal menikah, saat tubuh pria itu menindih tubuhnya, Hakim hanya akan mendengar engahnya tanpa tahu bahwa isi kepala Favita begitu risau dan kalut. Saat Favita mendorong wajahnya minta berhenti, Hakim menyangka Favita sedang meraba wajahnya sehingga dia hanya menciumi telapak tangan Favita. Saat Favita berusaha mendorong tubuhnya dengan lemah, Hakim menyangka Favita mengusap dadanya dan dia akan menciumi Favita dengan lebih menggila. Lalu, saat Favita menggenggam rambutnya untuk menyakitinya, Hakim akan tersenyum dan menciumi lekuk leher atau pundaknya lebih dalam lagi. 

Ya .... Favita tidak pernah membiarkan Hakim untuk tahu tentang apa pun.

“Kamu mencintainya?” tanya Bu Dewi, membuat Favita menoleh, menatapnya dengan mata yang kini melelehkan air.

“Ya ....” Kali ini, Favita bisa menjawabnya tanpa harus menunggu lebih lama.

“Pernah berpikir untuk bicara ... tentang semuanya?”

Favita menggeleng. 

Tidak. Jelas tidak pernah. Favita terlalu takut terhadap penolakan. Karena sebelumnya, kehadirannya ditolak oleh orang yang begitu dicintainya, Mama yang hampir melenyapkan nyawanya. Jadi dia tidak ingin hal itu terjadi lagi. Tidak ingin Hakim yang pernah begitu jatuh cinta padanya itu berpaling dan berakhir menolaknya. 

“Aku sudah berjuang keras untuk ... memulai hidup, membangun kepercayaan diri. Memulai dengan hidup baru.” Dan setelah apa yang dia lakukan selama ini, masalah-masalah dari masa lalu datang, kembali menghampirinya, berusaha menghancurkannya. “Aku nggak ingin dia tahu. Tapi dengan begitu, aku hanya bisa menyakitinya.”

Bu Dewi mengangguk. “Hanya kamu yang berhak memutuskan untuk membuka atau menyimpan semuanya.” Wanita itu tidak pernah menyudutkannya. “Dan hanya kamu yang berhak menjalani segala kemungkinan dari setiap pilihan, segala konsekensi dari jalan yang kamu ambil. Iya, kan ...?”

Favita terdiam.

“Apa dengan begini, kamu merasa bahwa ... kamu sudah selesai dengan diri kamu sendiri?” tanya Bu Dewi. “Dengan Favita kecil, Favita di masa lalu ....” 

Favita menggeleng kali ini. Ya, dia terlalu benci. Terlalu ... ingin lupa. Namun di sisi lain, dia begitu mencintai Hakim sampai tidak sadar bahwa, dengan cara menerima dan membawa Hakim ke dalam kehidupannya, dia malah menyakiti dirinya sendiri dan juga pria itu. “Aku takut ....” Aku takut kehilangannya. “Aku merasa terancam setiap kali sadar bahwa aku ... terlalu mencintainya.”

 “Tata .... Di dunia ini, akan ada tersisa setidaknya satu, seseorang yang bisa menerima segala hal tentang kamu, dan mungkin saja, salah satunya adalah Hakim ....” Lalu, wanita itu bicara lagi. “Kamu tahu apa yang bisa menyembuhkan kamu dari rasa takut dan terancam?” tanyanya Bu Dewi. Hanya hening, Favita tidak menjawab. “Kejujuran.”

***

 

 

 

 

 

 

 

 

Kamu akan tahu segala hal tentang Favita sebentar lagi.

 

Mungkin Hakim juga.

 

 

Harapan kamu setelah ini, apa? Untuk dua manusia yang sama-sama sedang bingung dan terluka ini?

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kae & Jena | [Special Part 11]
462
320
Kode voucher bisa dilihat di ig story citra.novy (Terbatas yaaa) Semoga mengobati kangen kalian pada Kae, Jena, dan Yesa. Dan juga antek-anteknyaaaa xD
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan