The Marriage Cure | [20. Sekarang hujan, Teta]

232
74
Deskripsi

[TSDP #6] Part 2

Saat memutuskan untuk berpisah di usia pernikahan yang sudah menginjak tahun ketiga, Hakim dan Favita sadar bahwa memberi kabar tentang perceraian pada orang-orang terdekat sama halnya dengan menghancurkan kebahagiaan mereka.

Jadi, demi menjaga kebahagiaan setiap orang agar tetap berputar pada porosnya, Hakim dan Favita sepakat untuk menunda dan memilih momen yang pas untuk mengumumkan kabar pahit itu.

Namun di antara penggal waktu itu, ada banyak kesalahpahaman yang akhirnya terkuak,...

The Marriage Cure | [20. Sekarang hujan, Teta]

***

Malam itu, entah bagaimana mulanya, pertengkaran di antara keduanya terjadi begitu saja. Favita sudah memutuskan untuk bungkam dan hendak melangkah menaiki anak tangga, tapi Hakim terus bicara dan membuat Favita menggagalkan niatnya untuk menghindari perdebatan.

“Ke mana kamu pergi hari ini?” Pertanyaan itu merujuk pada Favita yang tidak hadir di kantor, Hakim mengetahuinya. “Favita!” 

Suara itu membuat Favita berbalik. Mereka sama-sama baru tiba di rumah pada pukul sebelas malam. Sama-sama tampak lelah. Favita datang lima menit lebih dulu sebelum akhirnya mobil Hakim tiba. 

“Aku masih suami kamu, kalau kamu lupa!” ujarnya lagi. “Aku berhak tahu!”

Favita tetap diam di dekat tangga, memegangi pagarnya kuat-kuat. “Oh, ya?” Dia tatap sepasang bola mataitu bergantian. “Aku nggak pernah ingin tahu tentang kamu, tapi kenapa kamu selalu mendesak aku untuk ngasih tahu semuanya sementara kamu sendiri menyembunyikan banyak hal?

“Menyembunyikan banyak—menyembunyikan apa?”

“Kamu nggak bilang apa-apa saat bertemu Hanan.”

“Aku bilang kalau aku bertemu teman—“

“Mantan pacar?” potong Favita. “Dia Hanan. Yang namanya kamu tulis di notes biru itu.”

Hakim memalingkan wajah sambil mendecih. “Ini nih, jeleknya kamu. Kita lagi bahas hari ini kamu ke mana. Kenapa nggak bilang aku? Tapi malah balik ngelempar kesalahan yang jelas-jelas—“

“Kamu juga nggak bilang saat mau ketemu Hanan untuk kesekian kali.”

“Aku nggak sengaja ketemu dia saat aku kehujanan. Aku udah jelasin sama kamu. Kami ngobrol. Udah. Kalau kamu ingin tahu apa yang kami bicarakan, kamu tinggal tanya.” Hakim terlihat yakin. “Nggak pernah ada yang aku sembunyiin dari kamu,” ujarnya pasti.

Termasuk tentang menceritakan masalah rumah tangga mereka yang tengah kacau itu?

“Apa lagi?” tanya Hakim. “Alasan apa lagi yang akan kamu pakai untuk menghindari pertanyaan aku?” Hening. Lalu Hakim kembali bicara dengan suara yang melunak. “Ke mana kamu hari ini?”

Hari ini, Favita berada di rumah sakit, menunggu keadaan Mama sampai membaik, walaupun dia tidak mendapatkan kabar baik tentang keadaannya sampai dia pulang. Dia bicara banyak dengan Tante Diah, membicarakan kebiasaan Mama yang mulai bisa membuka jendela di kamar dan melihat keluar saat pagi hari. Bicara tentang Mama yang tatapnya mulai fokus ketika diajak mengobrol.

Lalu, mereka juga bicara tentang Hakim. “Kapan kamu mau ajak Hakim ketemu mamamu? Mamamu harus lihat, mereka harus bertemu,” ujar Tante Diah. 

“Favita?” Hakim mengulang nama lengkapnya untuk kedua kali, penuh peringatan sekali. 

Favita tidak merespons, dia mengambil mug hitam di atas meja bar yang sempat diisinya tadi dengan air putih. Niatnya, air hangat itu hendak dia berikan pada Hakim yang baru saja pulang bekerja. Namun, pertengkaran datang terlalu cepat sehingga dia tidak sempat melakukannya.

Tangan Favita hendak bergerak minum, tapi Hakim lebih dulu merampas mugnya dan benda itu tanpa sengaja jatuh ke lantai. Mug berwarna hitam bertuliskan 66—tanggal 6 bulan 6—sesuai dengan tanggal lahir Hakim itu, yang Favita buat sendiri di museum gerabah sambil mengingatnya ..., kini sudah menjadi beberapa bagian pecahan keramik.

Cengkraman kuat Hakim di pergelangan tangannya membuat Favita mendongak. Hakim memakukan tatap di matanya. Tajam, menusuk, rahangnya tampak mengeras. Dia marah sekali. “Bisa nggak ... sekali aja, pertengkaran kita ini menghasilkan satu kesepakatan yang berarti?” tanyanya. “Nggak sekadar, aku marah, kamu diam, lalu semua selesai. Dan berulang lagi. Capek lama-lama, Ta.”

***

“Udah masuk, Ta?” Arjune bicara tanpa menoleh ke arahnya saat Favita masuk ke ruangannya untuk menyerahkan berkas yang harus ditandatangani. “Kirain mau kamu genapin tiga hari cutinya?”

“Tadinya sih gitu, Pak. Malah awalnya ngide buat langsung nyambi liburan ke Lombok.” Favita mengingatkan pada jadwal tiket liburan yang waktunya sudah tinggal menghitung beberapa hari lagi. “Boleh nggak?”

“Boleh dong ....” Arjune mendongak kali ini, dia menyerahkan berkas sambil tersenyum. “Tapi habis itu kamu dimutasi dari kantor pusat.”

“Nggak ketemu Bapak, kan?” tanya Favita. “Aman sih, saya masih mau kalau gitu.”

Bombastic side eyes. Pokoknya mirip-mirip begitu gerak mata Arjune saat menatap Favita sekarang. Tidak pernah ada suara bernada rendah yang ramah, selalu ketus dan tinggi. Dia bertanya lagi, “Jadwal saya siang ini ke mana? Jadi ke PT. Bimantara?”

“Jadi, Pak. Sebelum makan siang Bapak ada jadwal pertemuan di sana. Setelahnya, Bapak ada janji  makan siang dengan Pak Kartama di Lobbyn Sky.” Favita menyebutkan satu nama restoran yang terletak di kawasan Kemang. “Lalu—“

“Ya udah, nanti saya tanya kamu lagi. Pokoknya yang paling penting, yang dua itu kan. Siapkan materi untuk meeting-nya.”

“Sudah, Pak.”

Arjune mengernyit. “Kamu kan kemarin nggak kerja?”

“Tapi saya tahu hari ini saya harus kerja, jadi saya siapkan sebelum Bapak marah-marah.” Favita tersenyum tanpa perasaan bersalah. Arjune selalu mampu menemukan celah untuk mengkritik, jadi Favita harus selalu bisa melakukan tindakan preventif. 

“Ya sudah, kamu hubungi Hakim deh. Dia lagi meeting di sini tadi,” ujarnya. Sudah sibuk menatap data di layar laptop. “Kita nebeng dia aja ke kantornya, soalnya sopir kantor lagi pada di luar—tadi saya mau minta tolong jemput istri saya aja nggak bisa.”

“Baik, Pak. Mungkin nanti saya minta ke bagian GS untuk atur ulang jadwal sopirnya menyesuaikan jadwal Bapak.”

Wajah Arjune tetap tertuju pada layar laptop, tapi telunjuknya mengacung ke sembarang arah. “Nah, gini nih kalau kamu nggak ada. Tamara kan tahunya nggak sedetail kamu. Pakai acara bentrok segala jadwal sopir kantor. Repot kan akhirnya?”

Lu kali ah, yang demen repot sendiri. “Baik, Pak. Kalau begitu saya izin keluar ya. Kalau ada apa-apa, Bapak tinggal hubungi saya.” Favita melangkah mundur, lalu berbalik dan berjalan keluar dari ruangan itu.

Sesuai dengan instruksi yang disampaikan oleh atasannya. Hari itu dia harus menghubungi Hakim. Tanpa telepon tentu saja, Favita hanya mengirimkan pesan.

Lalu, mau tahu balasan pesannya?

Mas Hakim

Ok.

Dia masih marah. Atau lebih tepatnya, mereka masih saling dalam keadaan marah. 

Tiba waktu jauh sebelum jam makan siang. Hakim sudah menunggu di depan teras lobi, di dalam mobilnya. Sementara langkah Favita kini tengah mengikuti gerak Arjune, berjalan di belakangnya. Saat mendapati mobil Hakim, Arjune langsung bergerak tanpa menunggu di teras lagi. Dia tidak menunggu Favita membukakan pintu untuknya dan langsung mengambil tempat di jok belakang.

Sementara Favita, dia harus tertegun dulu sebentar sebelum akhirnya membuka pintu yang membuatnya harus duduk di samping jok pengemudi, yang artinya, dia duduk di samping Hakim.

Tidak ada suara selama beberapa saat setelah mobil bergerak, melaju untuk berbaur bersama kendaraan lain di jalan raya. Mungkin Arjune menyadari keheningan itu, jadi, dia yang mengalah membuka pembicaraan. “Oh, iya. Tentang santunan ke rumah sakit itu, perusahaan lo jadi ikut partisipasi, kan?”

“Jadi, kok.”

“Oke. Hubungi Favita kalau ada pertanyaan atau apa tentang teknis rencananya,” ujar Arjune.

“Tepatnya tanggal berapa, sih?” tanya Hakim. “Kayaknya kita harus adain meeting khusus buat bahas acara ini.”

“Ta?” Arjune meminta Favita yang menjawab, entah benar-benar lupa tentang tanggalnya atau hanya supaya Favita memiliki pekerjaan selama perjalanan.

Favita menemukan notes-nya, dia hendak bicara, bahkan bibirnya juga sudah setengah terbuka. Namun urung. Favita baru sadar bahwa dia dan Hakim sedang tidak baik-baik saja. Jadi, dia membuka platform text to speech dan menyuruh suara wanita datar dari platform itu untuk menjawabnya.

“Tanggal. Dua puluh. Delalan. Bulan depan.” Suara wanita yang keluar dari speaker ponselnya terdengar terbata-bata. 

Jelas hal itu membuat Hakim menoleh, Arjune mungkin kini sedang mengerutkan kening dengan tatap yang bolak-balik terarah pada Hakim dan Favita—Favita bisa membayangkan bagaimana raut wajahnya yang bingung.

Rundown acaranya udah selesai? Tolong nanti kirim sebelum kita meeting,” pinta Hakim. 

Favita mengeluarkan lagi suara dari speaker ponselnya. “Oke.”

“Soalnya harus di-briefing dari jauh-jauh hari sama sekretaris bos buat menyesuaikan sama jadwal mereka,” lanjut Hakim.

“Baik. Y.” Favita mengeluarkan suara datar itu lagi. Yang terdengar menjengkelkan bagi Hakim. Karena setelahnya, Hakim merampas ponselnya dan menyembunyikannya di balik punggung 

“Kamu tuh, bisa nggak sih profesional dulu?” tanya Hakim. “Kita kan lagi ngomongin masalah kerjaan, kesel ya kesel, tapi di rumah aja nggak usah dibawa-bawa ke sini.”

Suara dehaman Arjune terdengar dari arah belakang, membuat Favita dan Hakim menoleh serempak ke arahnya. Namun, Arjune pura-pura tidak mendengar apa-apa, dia sibuk mengotak-atik ponselnya. Mungkin dia hanya memberi tahu, menyadarkan Hakim dan Favita tentang keberadaannya di sana. 

Perjalanan kembali diisi oleh hening. Favita memalingkan wajah ke sisi lain, walau begitu, dia tahu sesekali Hakim menelengkan kepala agar bisa langsung menatap wajahnya. Namun, ingat pada ponselnya yang Hakim sembunyikan, dia menoleh, “HP-ku mana?” Favita mengulurkan tangan untuk menyelip di belakang punggung Hakim, berusaha meraih ponselnya. 

Hakim tidak menghalangi usahanya, dia biarkan Favita mendapatkan ponselnya lagi. Namun, pria itu bicara lagi. “Kalau aku telepon, kamu bisa angkat nggak, sih?” tanyanya. “Seharian kemarin kamu nggak bisa dihubungi.”

“Kamu juga pernah nggak bisa dihubungi, tapi aku nggak protes tuh. Jadi terserah aku lah.” 

Begitulah nasib hubungan keduanya sekarang. Saling mencari kesalahan, mencari salah untuk saling menyerang. Padahal, pernikahan tidak seharusnya seperti itu, kan? 

“Tuh, kan?” Hakim mendengkus kesal. 

“Kamu kan ngehubungin aku, deketin aku, kalau ada butuhnya doang,” balas Favita. Dia beri lirikan maut sebelum fokusnya beralih sepenuhnya pada layar ponsel.

“Lah, apaan, sih?” Hakim tidak terima. “Malah jadi ke mana-mana kalau dikasih tahu.”

Dehaman Arjune terdengar lagi. 

“Lho, emang begitu kok.”

“Ini gara-gara semalam aku nggak nyamperin kamu ke kamar, ya?” tuduh Hakim. 

Dehaman Arjune terdengar lebih kencang.

“Ih, apaan? Nggak ada hubungannya. Tiap malem aku tidur sendiri juga biasa aja.” Favita melotot. Tidak terima dituduh serendah itu. Walau sebenarnya, semalam dia tidur terlambat karena beberapa kali mengira Hakim akan datang menemuinya untuk minta maaf. 

“Lho, kamu yang mulai duluan tadi. Kata kamu, aku deketin kamu kalau lagi ada maunya doang, kan?” Hakim masih mengajaknya berdebat. “Lah, padahal kamu sendiri mau juga tiap aku deketin. Nggak inget apa siapa yang narik dan bisik mau lagi mau lagi?”

“Heh? Kapan?!” Favita makin tidak terima. “Aku narik kamu karena kamunya tuh—“

“Suka gengsian kamu tuh—“

“Oke. Stop!” teriak Arjune.

Hening.

“Gila gua lama-lama,” keluh pria yang duduk di jok belakang itu. “Bisa nggak lo berdua depan gue tuh kayak … ya anggap aja kayak gue nggak tahu apa-apa tentang masalah lo berdua gitu?” ujarnya. “Heran, stres banget gua dari tadi dengerin lo berdua.”

“Dia duluan tuh, Pak,” tujuk Favita. 

“Lah, kamu yang duluan kok, bisanya nyalahin orang.”

“Jangan mulai lagi” ujar Arjune. Penuh peringatan. Dia memijat pelipisnya dengan raut wajah putus asa. Mobil menepi, tiba di tempat tujuan. Selanjutnya, Arjune menjadi yang lebih dulu turun dari mobil. “Sialan, dosa apa sih gua mesti tahu masalah kalian berdua?” gerutunya sesaat sebelum menutup pintu.

Favita bergegas turun juga, menutup pintu. Langkahnya terayun menjauh. 

Namun, suara Hakim di belakang sana terdengar. Wajahnya muncul dari balik kaca jendela. “Heh? Mau ke mana? Salim dulu!” 

***

Favita sudah mengantar Arjune ke PT. Bimantara. Lalu mengantar pada jadwal selanjutnya, yaitu janji makan siang dengan seorang kolega di kawasan Kemang. Dia tidak sempat bertemu dengan Hakim tadi, seseorang memberi tahu bahwa Hakim sedang meeting di luar. Dan dia juga tidak berusaha mencari tahu ada di mana suaminya. 

Favita menjauh setelah dua orang itu selesai membicarakan pekerjaan, mengambil tempat di balkon, berdiri, masih menempelkan ponsel ke telinga. Mendengar orang di seberang sana terus berbicara lebih banyak dari biasanya. 

Sesekali Favita akan tersenyum, atau tertawa setelah menimpali ucapan Si Penelepon. Lama dia memandangi langit dengan suara hening panjang, karena seseorang di sana berbicara, “Teta, aku mau pup dulu tapi Teta jangan tutup teleponnya.”

“Iya,” sahut Favita sebelum suara itu benar-benar menghilang. 

Kama meneleponnya, untuk memberi kabar bahwa dia baru saja pulang sekolah. Katanya, dia dijemput oleh sopir Yesa dan Gege karena sopirnya tidak ada yang bisa menjemput. Dia juga bercerita tentang Gege yang memeluk lengannya, memelototi Laika layaknya Kama miliknya. 

Begitu awal mula mereka melakukan percakapan panjang. Dan Favita berhasil tertawa berkali-kali. 

Favita menarik napas. Akhir-akhir ini siangnya Jakarta tidak sepanas biasanya. Lewat tengah hari, biasanya awan mulai bergerak rendah, tampak keberatan di dorong oleh air hujan yang selanjutnya akan turun berbondong-bondong.

Sekarang belum hujan, sih. Jadi Favita masih aman diam di bawah kanopi lebar itu sambil memegangi pagar balkon.

Lalu, “Halo, Teta?” Suara itu kembali menggugah kesadaran Favita. 

“Halo ….” Favita balik menyapa dengan senyum. 

“Oke. Sampai di mana ya tadi—Oh iya, jadi apa yang paling Teta suka?” Aturannya, hanya Kama yang boleh bertanya. Favita dilarang melakukannya dan hanya perlu menjawab. 

Favita bergumam selama beberapa saat. “Teta suka … pekerjaan Teta—“

Selain itu?” tanya Kama, yang tidak bisa dijawab cepat oleh Favita. “Teta suka bunga?” Dia bertanya lebih spesifik. 

“Suka. Teta suka bunga.” Beberapa kali, dulu, Favita pernah berpikir. Ketika dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dan mati, orang akan menaburkan bunga di atas kuburannya. Apakah akan terlihat indah warnanya?

“Hal yang paling bikin Teta takut?” 

“Darah?” gumam Favita. Dia pernah membayangkan andai saat itu memegang pisau, akan dia tusukkan pisaunya ke berbagai arah. Oh ya, mungkin sebenarnya dia tidak takut darah, dia hanya takut pada dirinya sendiri yang berdarah-darah. 

Kama menggumam pelan. “Iya, sih. Aku juga nggak suka darah,” ujar Kama. “Teta punya sesuatu yang paling Teta nggak suka?” 

“Hujan,” jawabnya. “Teta nggak suka hujan.” Setelah jawaban itu, Favita mendongak karena ada titik-titik air yang mulai jatuh membasahi wajahnya. 

Favita melangkah mundur, menemukan air hujan serupa tirai tipis di depannya. Lalu hanya berdiri. Menatapnya. 

“Sekarang hujan, Teta,” ujar Kama memberi tahu. “Teta jangan keluar dulu. Tunggu sampai hujannya reda. Jangan hujan-hujanan, ya?”

“Iya.” Itu adalah pertanyaan dan jawaban terakhir sebelum akhirnya Kama mengakhiri telepon. Sementara Favita masih berdiri di sana sambil memandang hujan. Dia memang tidak suka hujan. Namun, pada akhirnya, kita hanya perlu membiasaka diri dengan hal yang tidak kita sukai. 

Favita berbalik, melihat Arjune sudah selesai bicara dan mereka tampak berjabat tangan sambil berdiri. Langkah Favita kembali terayun masuk, menghampiri meja dua pria itu. Bertanya, apakah ada yang diperlukan lagi?

Mereka menjawab ‘Tidak’. Keduanya memutuskan untuk mengakhiri pertemuan itu. Pak Kartama pulang lebih dulu, sementara Arjune dan Favita ikut mengantarnya sampai teras depan.

Restoran itu tidak memiliki lahan parkir yang luas, sehingga Pak Husni, sopir kantor yang tadi Favita hubungi harus menunggu di tempat parkir yang jaraknya terhalang oleh satu bangunan. Dengan tergesa, dia datang membawa dua buah payung untuk menjemput keduanya di teras luar. 

Air hujan mulai menyerang hebat. Berbondong-bondong seolah-olah membuktikan kebenciannya. Langkah Favita masih tertahan, sementara Arjune baru saja mengangsurkan payung.“Nih, kamu bawa payung ini, saya bareng Pak Husni aja,” ujarnya.

Saat tangan Arjune mendorong payung, Favita melangkah mundur. Dia menggeleng. 

“Ta, ayo.” Kening Arjune mengernyit. 

“Saya lari aja, Pak.”

“Lho?” Arjune masih tampak kebingungan. “Jangan cari gara-gara, nanti Hakim marahin saya disangkanya saya yang tega sama kamu nyuruh kamu hujan-hujanan.” Arjune mendorong lagi ujung payung. 

Dan Favita kembali melangkah mundur sambil menepis payung itu sampai jatuh.

“Ta?” Arjune tidak habis pikir. “Kamu tahu kan habis schedule saya hari ini padat banget. Jadi—“

Suara Arjune terhenti karena tiba-tiba dari anak tangga muncul seorang pria yang kini melangkah bergegas di antara deras hujan. Dia membuka jas yang dikenakannya, menghampiri Favita. Lalu, dia raih tubuh Favita hingga merapat ke tubuhnya, dia rungkupkan jasnya di atas kepala keduanya. “Dia bareng gue aja, June,” ujarnya.

Hakim, iya, pria itu sudah bergerak  mengajak Favita berjalan di antara serangan air hujan sebelum Arjune sempat menyetujui apa pun, setengah berlari menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Menyuruh Favita masuk lebih dulu, lalu berlari memutari bagian depan mobil sebelum menyusul masuk. Hal pertama yang dia lakukan adalah menarik beberapa lembar tisu, menyusap tangan Favita yang terkena air hujan. Padahal, keadaan dirinya sendiri yang harus lebih diperhatikan. Dia nyaris basah kuyup. Menarik tisu lagi, dia membungkuk untuk membuka sepatu Favita dan mengusap bagian kakinya yang basah. “Dingin nggak?” tanyanya sambil menurunkan AC mobil. “Aku antar ya? Kamu mesti balik ke kantor lagi, kan?” 

***

Oh iya. Rencananya, kalau keburu, minggu ini akan ada additional part lagi. Pokoknya tiap minggu diusahain ada bisr kalian ga eneg-eneg banget liat mereka berantem mulu. 

Walaupun dipublish di KK, isinya nggak ena-ena doang ya. Biasanya diselipin clue atau hal apa pun untuk kebutuhan cerita. Hehe. Jadi pilihan aja, kalau mau beli boleh, nggak juga nggak apa-apa paling ya miss dikit gitu. 

Oke? Jadi? Mau additional Partnya nggak??? Bakal dibikinin kalau apinya banyak 😡🏻🔥🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Marriage Cure | [Additional Part 20]
718
94
Haiii. Selamat membaca part manis isinya full Hakim-Favita bonus Kama dan Bapak Rempong TSDP yaaa. Ada kode voucher yang khusus dibagikan di ig story citra.novy Selamat membaca yaaa <3
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan