The Marriage Cure | [18. Jangan Takut Lagi]

243
36
Deskripsi

[TSDP #6] Part 2

Saat memutuskan untuk berpisah di usia pernikahan yang sudah menginjak tahun ketiga, Hakim dan Favita sadar bahwa memberi kabar tentang perceraian pada orang-orang terdekat sama halnya dengan menghancurkan kebahagiaan mereka.

Jadi, demi menjaga kebahagiaan setiap orang agar tetap berputar pada porosnya, Hakim dan Favita sepakat untuk menunda dan memilih momen yang pas untuk mengumumkan kabar pahit itu.

Namun di antara penggal waktu itu, ada banyak kesalahpahaman yang akhirnya terkuak,...

The Marriage Cure | [18.  Jangan Takut Lagi]

Aku tidak menyangka pas baca-baca komen kemarin  ternyata masih ada yang belum bisa move on dari Hakim-Hanan :’) 

Mereka emang manis sih. Tapi berat banget gasih? 😅

Mau kasih satu emot dulu nggak? 🤎

Dan tolong tandai typo yaaa. Happy reading 🌻🤎

***

Hanania Kamaya

Kamu beneran bayar di kasir sebelum pulang, ya?

Hakim Hamami

Harus lah. Itung-itung ikut support bisnis kamu. 

Thank you ya.

Hanania Kamaya

Yah .... Nggak bisa minta traktir dong.

Hakim Hamami 

Lah, traktir beda lagi. Bisa diatur.

Hanania Kamaya

Hahaha.

Oh ya, aku iseng cari akun instagram kamu nih.

Aku diunfoll dooong. Wkwk.

Hakim Hamami

Haha.😅

Hanania Kamaya

Ada nama lain di-following kamu yang cuma sebiji itu. 

Namanya Favita Mahira ya. Cantik. 

You love her so much.

Pesan itu membuat Hakim tertegun. Pesan terakhirnya, berupa pertanyaan? Atau benar hanya pernyataan? Dia sempat menunggu pesan yang lain, tapi tidak kunjung datang. Jadi, akhirnya dia akhiri. Hakim menaruh ponselnya lalu bangkit untuk sadar bahwa hari ini dia tidak baik-baik saja saat terbangun pertama kali dari tidurnya. Dia sudah terjaga sejak pagi sekali, tapi terus mengulur waktu untuk bangun sampai akhirnya, pada pukul enam pagi dia belum melakukan apa pun dan hanya meringkuk di atas tempat tidur.

Kepalanya terasa berat, sendi-sendi di tubuhnya terasa ngilu bahkan ketika digunakan untuk sekadar bergerak pelan. Ini pasti gara-gara kemarin sore dia sempat kehujanan dan berdiri di luar dalam waktu yang cukup lama sebelum Hanan mengundang masuk ke tempatnya.

Hakim mencoba berjalan dengan tubuh agak sempoyongan, tangannya menempelkan ponsel ke telinga untuk menghubungi Favian. Dan karena teleponnya untuk kedua kali berakhir diabaikan, Hakim mengirimkan sebuah pesan yang memberi tahu bahwa hari ini keadaannya tidak begitu baik.

Lalu, tiba Hakim di lantai dasar di mana dia melihat sebuah cangkir berisi teh berada di meja pantri. Dia berjalan ke arah sana, tahu bahwa pemilik teh itu adalah Favita. Meraihnya, meminumnya tanpa menghidu dulu wangi teh yang aromanya sudah hilang. Dia biarkan cairan yang pahit dan agak asam itu melewati kerongkongan sebelum akhirnya dia memuntahkan sisa air itu di mulutnya. Membungkuk di atas kitchen sink, dia terbatuk-batuk, lama, kumur-kumur. Lalu melirik ke arah cangkir yang masih berisi setengahnya. “Kebiasaan,” gerutunya. 

Bukan untuk pertama atau kedua kali Hakim tanpa sengaja meminum teh yang Favita buat dan dia taruh begitu saja di pantri. Wanita itu sering lupa pada teh yang dibuatnya dan meninggalkannya sampai keesokan hari, atau esoknya lagi. Sampai Hakim menjadi korban tetapnya berkali-kali.

Sesaat kemudian, Hakim menaruh ponselnya karena matanya tidak tahan lama-lama berhadapan dengan cahaya di  layar ponsel. Di jatuhkan tubuhnya ke sofa, menekuk lutut dan meringkuk di sana.

Lalu, “Lho, Mas? Aku pikir kamu udah berangkat kerja lho.” Suara Favita terdengar.

Saat menoleh, Hakim sudah mendapati wanita itu menuruni anak tangga, menjinjing sepatu yang kini dia kenakan sambil membungkuk sambil memegangi sandaran sofa. “Ta ....” Hakim menutup dadanya sendiri dengan telapak tangan, memberi isyarat bahwa tadi bagian dadanya terbuka, dan Favita refleks meniru. “Kamu biasain kalau bungkuk tuh tutup dada, Ta. Kelihatan itu.”

“Kalau di luar ya aku tutup lah, di rumah ngapain?” Favita berjalan memasuki pantri. Melihat cangkir yang berisi setengah teh sudah berada di kitchen sink. “Cuma lihat dada yang sering kamu remes-remes kan nggak akan bikin kamu turn-on juga.”

“Gegabah. Sini pegang kalau berani.”

Favita berdecak. “Morning wood doang paling.” Dia mengabaikan Hakim yang masih tidak terima, lalu kembali membuat teh di cangkir baru. Menaruhnya di meja bar. “Kamu nggak kerja, Mas?”

“Lagi sakit. Memangnya nggak kelihatan?”

Favita menggeleng. “Lebih kelihatan ngantuk aja sih.” Favita membawa tehnya sambil berjalan ke arah Hakim. Hak sepatunya bertepuk dengan lantai. Wanita itu menaruh teh di meja. “Kamu demam?” Tangannya memegang kening Hakim, memeriksa. “Oh, iya. Demam,” gumamnya.

Dulu, biasanya, setiap kali tidak enak badan atau benar-benar sedang sangat sakit, Hakim akan berubah menjadi lebih cengeng dan bertingkah kekanakkan. Dia akan merengek-rengek sambil memohon pada Favita untuk tidak berangkat kerja. Dan Favita akan memohon-mohon balik agar tetap diizinkan berangkat dengan alasan tidak sanggup mendengar langsung ceramah panjang Arjune keesokan harinya.

Namun,  akhir-akhir ini jelas Hakim tidak pernah lagi melakukannya. Seperti sekarang, dia membiarkan Favita berjalan menjauh sambil membenarkan helai-helai rambutnya di bahu. 

“Ta?”

“Hm?” Favita berbalik, baru saja menarik dua katup blazer hitam yang menutup kemeja peach di dalamnya.

“Aku lihat vas bunga yang di depan nggak ada,” ujar Hakim. Dia ingat, vas bunga itu adalah vas bunga buatan Favita. Hakim yang mengantarnya ke museum gerabah hari itu, memperhatikan Favita yang serius menciptakan vas bunga seukuran botol air mineral dengan tangan penuh noda tanah liat. “Kamu kemanain?”

“Oh ....” Favita berdeham. “Pecah.”

Kening Hakim mengernyit. “Kok, bisa?” 

“Nggak sengaja kesenggol.”

Kening Hakim makin berkerut. “Kesenggol gimana?”

“Semalam mati lampu, aku lagi cari senter buat—“

“Mati lampu?” Hakim mulai khawatir. Tahu sekali bagaimana kebiasaan Favita saat menghadapi gelap.

“Iya. Sebentar doang.”

“Kok, nggak telepon aku buat—” Hakim tertegun, ingat pada deret panggilan tak terjawab di layar ponselnya semalam. Jangan-jangan, itu adalah panggilan untuk meminta pertolongan? Hakim ingat, ponselnya mati saat dia masih bersama Hanan. 

Seolah-olah tidak ingin membahasnya lagi, Favita langsung mengalihkan arah pembicaraan. “Kamu nggak apa-apa aku tinggal kerja?”

Hakim mengangguk pelan. “Iya .... Nggak apa-apa.” Dia hanya bergumam, isi kepalanya masih tertaut pada kejadian semalam. Benarkah saat sedang dibutuhkan, dia malah diam bersama wanita lain dan tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi pada Favita?

Favita berjalan. Menoleh sekali. Tampak ragu hendak pergi. Melirik jam tangan di pergelangan tangannya. “Aku pergi ya, Mas. Kalau ada apa-apa, hubungi aku.” 

Sekali lagi, Hakim hanya menggumam.

Favita berjalan, menoleh lagi. Langkahnya terhenti. Mendengkus pelan. Bibirnya terbuka, lama tidak mengeluarkan suara. Lalu, kembali langkahnya terayun dan hilang di balik dinding ruang tamu. Hakim sempat mendengar pintu yang terbuka dan tertutup sebelum kembali merebahkan bagian belakang kepalanya ke sandaran sofa. Terdiam. Matanya terpejam.

Dalam suasana yang hening. Hakim pikir hal yang akan dia dengar selanjutnya adalah suara deru mesin mobil yang menyala. Namun, pintu depan terdengar membuka dan menutup lagi. Setelahnya ada tepukan hak sepatu yang mendekat. Hakim kembali bangkit, melihat Favita yang baru saja melepas sepatu dan berjalan ke arahnya sambil menjinjing sepatu. Blazer hitam dia lepas, lalu dia taruh sembarangan di atas stool. Bergerak mengangkat dua tangannya untuk mencepol asal rambut—yang Hakim tahu butuh waktu sangat lama untuk menatanya hingga gelombangnya terlihat sempurna. Lalu berkata, “Aku nggak jadi berangkat kerja deh.” Sesaat, wanita itu menyingsingkan lengan kemeja sampai sikut, membuka satu kancing kemeja di bagian dada. “Kamu mau aku masakin apa?” 

***

Favita melepaskan apron, berjalan ke arah Hakim dengan kemeja dan pencil skirt-nya.yang gagal dia kenakan ke kantor. Hari ini, dia memutuskan untuk tidak masuk kerja karena melihat keadaan Hakim yang terlalu mengkhawatirkan. Ini bukan tentang Hakim saja, tapi juga tentang Ibu. Dia tidak bisa membayangkan harus memberi kabar buruk pada Ibu tentang anak laki-lakinya yang pingsan atau tidak sadarkan diri di rumah sementara dia sendiri tetap bekerja di kantor seperti biasanya.

Favita menaruh semangkuk sup ayam serabut telur di hadapan Hakim yang baru saja selesai dibuat. Kepulan uap panasnya masih terlihat. Lalu, Favita melihat Hakim bergerak mendekatkan wajahnya ke atas mangkuk, menghirup udara di sana. 

“Ini pasti wangi dan enak banget, ya?” tanya pria itu. “Aku hampir nggak bisa cium aromanya.” Dia menggosok hidungnya yang memerah sebelum meraih sendok dan menyeruput supnya.

“Habis ini ke dokter.”

“Nggak usah lah, obatin di rumah aja. Ini flu biasa.”

Favita mendengkus. Dua tangannya bersidekap sambil memperhatikan bagaimana Hakim mulai memakan supnya dengan lahap.

“Oh iya, Ta ....” Hakim mendongak. “Tentang tiket liburan yang dikasih sama anak-anak ....”

“Nggak usah berangkat lah. Aku tahu kamu sibuk.” Semakin hari, mereka semakin dekat pada jadwal keberangkatan liburan ke Lombok itu. Namun Favita tahu, Lombok tidak akan pernah meninggalkan kesan baik bagi Hakim. 

“Mereka pasti tanya alasannya kenap kalau kita nggak pergi.”

“Ya udah, bilang aja kita tetap pergi. Ambil cuti, tapi diem di rumah. Selesai.”

“Kalau mereka minta foto?” 

“Foto-foto yang dulu masih kamu simpen nggak?” tanya Favita. Dia mengambil selembar tisu untuk diusapkan di sudut bibir Hakim. “Pilih satu foto yang belum pernah kita publish.” 

Hakim terkekeh. “Kamu pikir, kamu masih kelihatan sama?” 

Ucapan Hakim membuat Favita memegang pipinya. “Aku gemukan ya sekarang?”

“Kurusan.” Hakim meraih pergelangan tangan Favita, jemarinya melingkar di pergelangan tangan itu. Seperti gelang, ujung jari tengah dan ibu jarinya saling menyentuh. “Tuh ....”

“Padahal aku udah males nge-gym tahu.” Favita bahkan lupa kapan terakhir kali melakukannya, dia jarang olahraga berat. Hanya workout sesekali di rumah. Mungkin dia malas, karena seseorang yang semangat memengaruhinya berolahraga sudah lama menjauh.

“Kamu jarang makan sih aku lihat.”

“Makan kok.” Namun selanjutnya Favita membelokkan topik pembicaraan itu. “Eh, terus gimana?” tanyanya.

“Apa? Liburan?”

Favita mengangguk. 

“Lihat nanti deh.” Hakim bangkit lebih dulu dari kursi dan berjalan ke pantri untuk menaruh mangkuk kosong di kitchen sink. “Semoga aja mereka nggak inget—walau kemungkinannya kecil banget sih.”

“Aku ngebayangin Mbak Jena lupa sama tiket liburan kita tuh kayak ... nggak mungkin banget,” tambah Favita.

Bel terdengar.

Ada tamu.

Mereka belum lanjut berdiskusi, karena kini Favita meninggalkan Hakim untuk melangkah ke pintu depan.  Siapa coba yang datang? Masih pagi. Favita sempat mengintip keberadaan seseorang di luar dari balik tirai. Lalu, dia menemukan Chiasa yang tengah menggenggam tangan Kama berdiri di sana.

Favita membuka pintu cepat. Dan, “Haiii ...?” Dia menyapa tamunya dengan ceria.

“Haiii ...!” Kama menyapanya dengan lebih bersemangat.

“Ada apa nih pagi-pagi udah ke sini?” 

“Ta, aku ada urusan, penting banget. Aku baru baca info kalau sekolah Kama libur. Dan nggak ada yang bisa dititipin karena Mbak semuanya lagi cuti, nenek-kakeknya lagi di luar kota. Terus saat tahu Hakim sakit dan nggak ke kantor, aku tahu kamu pasti nggak kerja juga. Jadi ....” Chiasa memejamkan mata. Merasa bersalah. “Aku mau ngerepotin kamu dengan nitipin Kama di sini.”

Tentu saja Favita langsung menyetujuinya. Walau dia tidak terlalu suka anak kecil, tidak pandai berinteraksi dengan anak kecil, dan kebingungan setelahnya. Favita membawa Kama, bocah kecil itu masuk ke rumah setelah Favita mengambil alih tas ransel berisi kotak bekal dan hal-hal lain yang dibawanya.

“Om, Hakim!”

“Weeei!” Hakim berseru senang. Namun, tangannya menunjuk cepat saat Kama hendak berlari. Peringatan Hakim berhasil menghentikan gerakan Kama yang antusias hendak menuju ke arahnya. “Om lagi sakit. Jangan deket-deket, ya?”

Lalu, Kama menatap Favita dengan bingung. Jelas, dia pasti akan terlihat risau saat tidak boleh mendekat ke arah om kesayangannya. Karena, jika bukan bersama Hakim, dia harus bersama siapa? Selama ini bahkan Favita tidak pernah membersamainya, apalagi menyentuhnya.

“Kama main sama Teta.” Favita menepuk dadanya. Teta adalah panggilan Kama untuknya. Anak itu memang banyak menyingkat nama panggilan orang-orang terdekatnya. Pia, Papi Ari. Mia, Mami Chia. Teta, Tante Tata.

Kama mendekat pada Favita, sesekali matanya melirik Hakim.

“Kalau mau main bola, boleh,” ujar Hakim, seolah ingin menghapus kekecewaan di wajah Kama. “Kita lari, tapi setelah Kama makan buah.”

Ucapan Hakim membuat Kama bersorak. Bocah laki-laki itu membiarkan Hakim pergi ke ruang kerjanya setelah mendengar janji. Dia duduk di ruang tengah bersama kotak bekal berisi buah yang Favita buka. 

Sesaat sebelum Favita ikut duduk di sampingnya, suara Hakim terdengar dari lantai dua. Wajahnya melongok. “Ta, inget ya, screen time Kama cuma setengah jam. Nanti alarm-nya bunyi kok. Terus, makan buahnya harus dihabisin. Jangan minta es krim sebelum makan siang. Terus jangan lupa tidurin Kama jam—“

“Mas?” Favita mengernyit, tidak terima diajari. Dia kerap melihat bagaimana Hakim menjaga bocah-bocah kecil, entah itu Kama atau yang lain. Diam-diam dia memperhatikan. “Aku tahu.”

“Oke,” putus Hakim. “Panggil aku kalau ada apa-apa.” Sepertinya dia memang akan menjadi pria yang luar biasa hebat jika menjadi ayah nanti. 

“Om Hakim mau ke mana?” tanya Kama dengan wajah mendongak, berusaha melihat Hakim.

“Ngerjain tugas dari buapakmuuu,” sahut Hakim, dan Kama tertawa.

Sempat mengulang kata itu. “Buapakmuuu.” Kama memanyunkan bibirnya, lalu terkekeh geli. Dia tusuk dengan garpu kecil potongan semangka di kotaknya. Matanya tertuju pada iPad yang menyala. “Teta?”

“Ya?”

“Aku minta toolong pindahin videonya boleh? Tanganku lengket.”

“Oh, boleh. Yang ini?” Setelah mendapatkan anggukkan, jemari Favita menyentuh layar iPad. Memutar video baru.

Thank you, Teta.”

Anytime, Kama.” Favita duduk di samping Kama, dengan jarak solah ada satu orang tak kasat mata duduk di santara keduanya. Tidak terlalu dekat. 

“Om sakit apa sih, Teta?”

Favita menoleh. “Demam. Gara-gara kemarin kehujanan.”

“Oh .... Lagian ngapain hujan-hujanan? Kayak anak kecil.”

“Mm .... Kamu marahin deh tuh Omnya. Bilangin, lain kali jangan hujan-hujanan.”

“Iya. Jadinya kan nggak kerja, ya?” ujar Kama, matanya masih tertuju pada video. “Kasihan juga Teta, ikutan nggak kerja.”

Favita tersenyum sendiri. Dia lihat bagaimana siluet wajah bocah kecil itu dari samping; tampan, lucu, perpaduan yang sempurna antara wajah ibu dan ayahnya. Oh ya, anak laki-laki itu juga memiliki bulu mata lentik. “Kenapa hari ini sekolah Kama libur?”

Kama menggeleng. “Aku nggak tahu.” Dia meraih air minumnya, menoleh pada Favita. “Aku jadi nggak bisa ketemu Laika.”

“Laika?” Favita mengulang nama itu.

Kama mengangguk. “Perempuan paling cantik di sekolah,” jelasnya. “Kapan-kapan aku akan kenalin Teta sama Laika.”

“Waw, pengin banget Teta diajak ketemu.” Favita bertepuk tangan kecil. 

Kama meminum air dari tumbler-nya. “Mia sama Pia udah lihat juga, katanya Laika cantik. Tapi mereka bilang, Gege juga cantik.” 

Favita tertawa. “Jadi ... semua cantik?”

“Semua cantik. Tapi Laika lebih cantik.” Kama menaruh tumbler-nya saat Favita masih tertawa. Botol minum itu belum sepenuhnya tertutup dan berdiri tidak seimbang. Sehingga saat Kama melepaskannya, posisi tumbler oleng dan terjatuh. 

Air di dalamnya tumpah ke kaki Kama, membuatnya berjengit karena kaget. Dia tatap Favita dengan wajah panik. “Teta, aku bisa lap sendiri,” ujarnya.

Favita lebih dulu bangkit mengambil tisu. “Nggak apa-apa. It’s okay, Kama. Nggak apa-apa.” Berkali-kali dia mengatakannya untuk menenangkan wajah panik itu. “Biar Teta yang lap,” ujarnya menghampiri Kama yang kini berdiri. “Sini mana yang basah?”

Kama mematung, tidak menjawab saat melihat Favita berlutut di hadapannya. 

Perlahan, tangan Favita mengusap sisi paha celananya, lalu .... Wajah Favita mendongak, dia dapati anak kecil itu tengah menatapnya. “Boleh kaki Kama Teta pegang?”

Kama mengerjap. Lalu mengangguk pelan. Dan diam lagi.

Favita bergerak ragu. Tangannya meraih betis Kama, memegangnya agar usapannya tidak membuat tubuh itu limbung. Ini untuk kedua kali, dengan sengaja dia memegang tubuh anak kecil. Yang benar-benar kecil. Yang rapuh. Yang kapan saja bisa disakiti dengan mudah tanpa bisa melawan. 

“Teta ....”

“Ya ...?” Favita mendongak.

 “Aku ... boleh pegang pipi Teta?” tanyanya. Melihat Favita diam saja, tangan mungil itu mulai memegang sisi wajah Favita, bergerak mengusap dengan lembut. Tersenyum, dia tampak senang bisa menyentuh pipi Favita. Perlahan, Kama bergerak maju, dua lengannya dia rangkulkan ke tengkuk Favita. Memeluknya. “Aku nggak jahat kan, Teta ...? Aku nggak akan bikin Teta sakit. Teta jangan takut lagi kalau aku sentuh, ya?”

***

Arjune Advaya

Kim. 

Hakim Hamami

Nyauttt.

Arjune Advaya

Lo urus Favita dulu deh kata gue. Mendadak cuti. Jadwal gue berantakan. Lagian, bisa-bisanya nginjek pecahan keramik sampe kakinya luka. Lo lakinya, kalau ada yang rusak atau apa, ya lo lah yang beresin biar nggak ribet semua kayak gini.

Lo bawa dia ke rumah sakit atau ke dokter mana kek yang andal banget gitu. Biar secepatnya bisa balik kerja.

Hakim Hamami

Hah?

***

Malem mingguan sama mereka mau nggakkkkk? XD 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Marriage Cure | [Additional Part 18]
734
107
Kode voucher potongan 2000 sudah diinfokan di ig story citra.novy yaaa. Cek sekarang karena vouchernya terbatasss Part ini hanya diunggah di Karyakarsa, berisi interaksi full gemes Favita-Hakim, nyempil-nyempil Kama jugaaa. Semoga suka yaaa. Happy readiiing. <3
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan