Slowly Falling | [5, 6, 7, 8]

75
0
Deskripsi

[Part ini bisa dibaca secara gratis]

Alura adalah wanita yang baru saja dikhianati oleh tunangannya.

Sementara Favian adalah pria yang tengah menunggu cintanya.

Keduanya sepakat menjalin hubungan yang saling menguntungkan atas nama kesepakatan. Alura perlu balas dendam, dengan cara menunjukkan bahwa dia bisa bahagia bersama pria lain. Sementara Favian menikmati setiap waktunya, karena cinta yang ditunggunya dia dapatkan saat itu juga.

Namun, ketika waktu bergerak membantu dan menyisipkan cinta, apakah hubungan keduanya tetap akan berlalu menjadi sebuah kesepakatan dan balas dendam? 

Part [5]

Tidak ada kewajiban bagi Favian untuk menjelaskan kepergian Kaivan dari grup chat yang berisi teman-teman SMA-nya. Dia hanya kebetulan menjadi salah seorang yang membentuk grup itu bertahun-tahun yang lalu untuk membantu kakak tirinya—Kaezar—saat kembali menyatakan perasaan pada wanita yang dicintainya, Jena—yang kini sudah menjadi istrinya.

Nama itu dibuat secara impulsif, karena rencana ritual pernyataan cinta itu dilakukan di depan pagar rumah jena, jadi tercetus sebuah grup chat konyol bernama "Tim Sukses Depan Pager". Di luar itu, dia tidak bertanggung jawab atas apa pun, walau selama bertahun-tahun grup itu tetap bertahan.

Seperti halnya dulu, Favian hanya bisa membiarkan salah satu anggotanya, Chiasa, memutuskan untuk keluar dari grup chat itu ketika hubungannya dengan Janari berantakan. Lalu, dia kembali menambahkannya ketika diminta, tepat ketika Chiasa sudah kembali pada Janari.

Grup chat itu tidak penting-penting amat, sungguh, tidak pernah membahas hal besar seperti politik, ekonomi global, atau apa pun yang luar biasa.

Namun, di dalamnya memang selalu terasa hangat, erat, dan berisik. Notifikasi akan muncul setiap hari untuk membahas hal-hal kecil seperti kuncir rambut Jena yang hilang, rambut Davi yang dipotong, foto menu baru dari masakan Chiasa, dan hal lain.

Dan sekarang, keadaan itu berubah genting, Kaivan keluar dengan sendirinya tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Membuat semua bertanya-tanya pada Favian seolah-olah Favian tahu segalanya.

"Lho, lo kan adminnya, nggak lo tanya alasannya kenapa?" ujar Arjune.

Dan di saat yang bersamaan, Alura menyatakan dengan lugas dan tegas, "We're broken up."

Grup itu hening selama beberapa lama, lalu berubah menjadi lebih berisik. Berisik dengan suasana berbeda. Umpatan-umpatan untuk Kaivan dilontarkan oleh para wanita, terutama Jena yang menjadi pembuka jalan bagi yang lainnya untuk ikut mengumpat.

Favian pikir, urusannya hanya akan berhenti di sana. Dia hanya akan menjadi penonton lagi yang sesekali akan memberi komentar seperti apa yang dilakukannya selama ini.

Namun, langkahnya terlampau lebar, dia ikut campur terlampau jauh dan tanpa disadari masuk ke pusaran masalah. Lalu, kini dia bingung mengeluarkan diri.

Favian masih menunduk saat mendengar Mama terus bicara selepas acara makan malam. Malam itu, Mama sengaja mengundang Jena dan Kaezar datang ke rumah, untuk mengumumkan, "Akhirnya Favian memutuskan untuk serius. Mama senang banget waktu beres-beres di ruang kerjanya dan nggak sengaja nemuin surat bukti pembelian cincin." Mama menceritakan pada Jena yang duduk di sisinya, matanya berbinar, terlihat sangat antusias. "Deana pasti senang dengar ini."

Jena menepukkan tangan, menyambut rasa antusias Mama. "Aku kok malah jadi nervous." Dia memandang Favian. "Mau langsung ngajuin wedding proposal atau gimana nih? Nggak akan depan pager rumahnya, kan? Jadi nanti nama grup tim suksesnya ganti." Dia tertawa, renyah sekali, dan Kaezar ikut tertawa mendengar ucapannya.

Sementara yang terjadi pada Jia, adik perempuan Favian yang duduk di hadapannya, hanya menatapnya iba, lalu menyendok potongan pudingnya sambil terus menyaksikan euforia yang Mama dan Jena bawa di meja makan.

"Mama mau kasih tahu Tante Diana, tapi kata Favian nggak boleh dulu." Mama menyebut nama orangtua Deana. "Kenapa sih, Fav? Kita kan harus umumin ini secepatnya."

"Ma?" Suara berat Favian mengambil alih perhatian di meja itu. Papa yang baru saja menyimpan gelas segera menatapnya, Kaezar berhenti memakan buah jeruknya. "Aku mau ngobrol dulu sama Kae, ya?"

Mama mengangguk cepat. "Iya." Lalu kembali bicara pada Jena. Samar suaranya terdengar sebelum Favian mengajak Kaezar melangkah ke teras belakang rumah, Mama membahas perihal wedding organizer pada Jena dan entah apa lagi.

Kaezar hanya mengikuti langkahnya dari belakang, lalu berhenti di teras, melirik Favian sesaat. "Kenapa nih?" Sepertinya dia sudah curiga sejak tadi, sejak melihat Favian yang hanya tergugu melihat antusiasme Mama.

Favian meraih kotak rokok dari saku celananya, mengeluarkan satu dan mengangsurkannya pada Kaezar. Selama beberapa hari ini, setiap malam dia rutin merokok sendirian.

Sesaat Kaezar tertegun, tampak bingung. Namun, tangannya meraih kotak itu dan ikut mengeluarkan sebatang rokok. Saat menyulutnya, dia bergumam, "Ini cuma buat ngehargain lo aja." Dia melirik ke belakang. "Jangan sampai Jena tahu."

Favian sudah mulai mengisap rokoknya, mengembuskan asap tipis ke udara. "Gue nggak punya hubungan apa-apa sama Deana," jelasnya tiba-tiba. "Kita sempat jalan, beberapa kali. Terus kadang dia ngajak gue ketemuan saat lunchtime, atau juga kadang gue nemenin dia dinner sepulang kantor. Tapi ..., udah. Cuma itu."

Kaezar hanya menarik napas panjang, mengembuskannya dengan embusan yang kentara. "Kenapa nggak bilang Nyokap?" Suara itu terdengar tidak terima. "Lo ngebiarin Mama larut sendiri dalam antusiasmenya, dari kabar kosong kayak gini."

"Gue nggak pernah ngasih kabar apa-apa. Mama nemuin surat pembelian cincin di meja kerja gue dan nyimpulin sendiri."

"Dan lo diem aja, Fav. Lo nggak menyangkal apa pun," balas Kaezar. "Itu sama aja."

"Mama tuh udah yakin banget gue sama Deana ini cocok sejak nyuruh gue blind date hari itu. Gue nggak ngerti caranya bilang 'nggak', terus ngejelasin kalau gue sama Deana sama sekali nggak ada klik-kliknya."

"Mama bilang, 'She's nice.' berkali-kali"

"She's nice. She's pretty. But she isn't my cup of tea." Pasti terdengar mainstream sekali alasannya.

"Lo masih belum move-on dari Davina, kali?" tebak Kaezar.

Davina adalah seorang wanita yang pernah menjalin hubungan dengan Favian satu tahun lalu. Mereka putus ketika hubungan keduanya menginjak usia enam bulan, karena merasa sama-sama tidak bisa mengatur waktu untuk bertemu sesekali di luar jam kerja.

Padahal, mereka berada di kantor yang sama, berada di gedung yang sama. Jadi, Favian pikir itu adalah alasan dari keduanya ketika tidak bisa mengatasi perasaan bosan terhadap satu sama lain.

"Nggak lah." Favian kembali menyulut ujung rokoknya yang mati karena sejak tadi diabaikan dan sibuk bicara dengan Kaezar. "Dia udah nikah juga. Gila kali. Bini orang." Bahkan semua pegawai di kantor menghadiri resepsi pernikahannya yang dilaksanakan dua bulan lalu, termasuk Favian.

Kaezar mengembuskan asap tipis di depan wajahnya, lalu memutar sembilan puluh derajat posisi tubuhnya agar menghadap langsung pada Favian. "Okay." Dia menatap Favian selama beberapa saat. "I wanna ask you." Dia menjedanya lagi. "Did you buy the ring?"

Favian diam.

"Why?"

Favian mengisap rokoknya lagi, menghindari tatapan Kaezar. "Iseng." Saat Favian meliriknya, Kaezar hanya mengernyit. "There was no reason. Pengen aja, kenapa sih, nggak boleh?"

Kaezar menatapnya tidak percaya, lalu terkekeh sendiri. "Jangan bilang lo beneran naksir bini orang terus sekarang lagi kebingungan sendiri, Fav."

Favian tidak menyahut. Dia baru saja menghampiri tempat sampah stainless di sudut teras, menggesek ujung rokok sampai baranya mati.

Lalu, "Kae, pulang yuk udah malam!" Suara Jena terdengar dari arah dalam, wanita itu meleweati pintu keluar untuk menghampiri keduanya dengan wajah girang, tanpa tahu selama beberapa saat tadi Kaezar panik dan buru-buru menyerahkan sisa rokoknya pada Favian "Fav, kita balik, ya! Gue tunggu kabar selanjutnya!"

Favian sempat mengumpat karena ujung rokok yang Kaezar sembunyikan hampir menyulut telapak tangannya. Namun, percakapan sepasang suami istri itu malah membuatnya termangu di tempat.

"Langsung pulang aja?" tanya Kaezar.

"Beli Haagen Dazs dulu, ya? Terus ke apartemen Alura. Aku udah janji sama dia tadi siang, mau beliin dia es krim." Jena mengamit tangan Kaezar, percakapan itu terdengar samar setelahnya. Dan semakin jauh, semakin tidak terdengar.

Namun, ada yang tertinggal. Favian masih berdiri di teras belakang, dan baru saja mengembuskan napas kasar saat mendengar nama itu. Alura.

***
 

Part [6]

menyahut, "Iya, nih." Omong kosong.

Namun, sebuah pertanda baik jika hari ini dia tampak baik-baik saja. Semalam, Davi mengajaknya pergi ke salon untuk melakukan beberapa treatment. Dan tepat di saat hendak pulang, dengan tiba-tiba Alura ingin potong rambut.

"Bagus, tuh. Sekalian buang sial," ujar Davi malam itu. "Nggak sekalian ganti warna rambut?"

Selama ini, Alura selalu bertahan dengan gaya rambut yang terurai panjang dan hitam. Alura dan gaya rambutnya yang tidak pernah berubah. Namun, malam itu dia mencoba hal lain. Rambutnya dipotong shaggy walau tetap panjang. Poninya yang selama ini selalu dibuat sama panjang dengan rambut belakang, kini dibuat pendek sampai sebatas alis, juga dibuat sedikit melengkung menjauhi kening. Dia juga mengubah warna rambutnya, meng-highlight-nya dengan warna caramel.

Pengalaman pertamanya setelah selama ini dia selalu menjadi Alura yang itu-itu saja.

Dia tengah menunggu di depan pintu elevator setelah baru menekan tombolnya agar ruang itu bisa membawanya ke lantai tujuh. Namun, dari arah belakang, sebuah suara terdengar dan membuatnya menoleh.

"Hi, how's it going?" Janari baru saja menempelkan jarinya pada sensor fingerprint, lalu berjalan ke arah Alura. Dia tampak repot dengan apa-apa yang dibawanya. Ada tumbler yang pasti berisi minuman sehat buatan istrinya, juga tas kerja dan jas yang menyampir di sikut. Orang nomor satu di kantor itu tidak tampak risi dengan segala hal yang disiapkam istrinya.

"Just so-so," sahut Alura setelah pria itu sampai di depannya.

Janari mengangguk. "Akhirnya gue bisa lihat lo lagi di sini." Lalu dia menjentikkan jari. "Kerjaan lo." Peringatan yang sengaja diucapkan agar Alura seolah-olah tidak terlalu menyedihkan. Mungkin, dari lubuk hatinya, sebenarnya pria itu juga merasa iba.

"Gue akan menyelesaikan semua kerjaan gue yang tertunda selama tiga hari ini. Tenang aja." Alura menjawabnya dengan senyum sarkastik sembari memegangi dada.

Janari tertawa. "Ya, ya. Harus sih kalau itu," balasnya. "Tapi beneran, Chiasa sampai bilang, 'Kabarin aku ya kalau Alura nggak masuk kerja lagi.' Kayaknya dia bakal ke apartemen lo buat ngajak makan mangga muda lagi seandainya hari ini lo masih nggak masuk."

Alura meringis, terkekeh setelahnya. "Nggak, nggak. Udah cukup kemarin. Jangan lagi."

Pintu elevator terbuka, dan keduanya melangkah masuk. Hanya ada Janari dan Alura di dalam ruangan kecil itu sebelum seseorang yang baru saja melewati meja resepsionis membuat Janari menahan pintu elevator agar tetap terbuka.

Hei! Alura melirik Janari. Mulai panik. Rasanya dia ingin menarik tangan Janari dari tombol itu dan menekan tombol lain, agar pintu itu cepat tertutup.

"Fav?" Janari mengangguk, memberi kode agar pria itu ikut masuk.

Favian yang kini tengah menempelkan jarinya di sensor fingerprint, hanya menyahut sekenanya. Dia tampak baik-baik saja. Maksudnya, tidak ada ekspresi yang membuatnya terlihat janggal. Dia tetap tersenyum ramah pada Riana, lalu bergegas melangkah menghampiri elevator ketika Janari masih menahan pintu.

"Thanks," gumam Favian. "Hai, Ra," sapanya, seperti biasa, tampak biasa. "Glad to see you."

Sesaat Alura membeku, Favian yang bergerak masuk dan melewatinya begitu saja membuat aroma tubuhnya beriringan menyapa indera penciumannya. Alura diam di tempat karena Favian dan Janari bergerak mundur, berdiri di belakangnya, membiarkan Alura berdiri sendirian di depan pintu.

Entah kenapa, Alura merasa diawasi.

Dia merasa kikuk.

Dia ... gugup.

"Gimana kemarin? Jadi meeting sama pihak advertising?" tanya Janari.

"Jadi. Kita lagi bikin analisis dari berbagai platform. Terus kita juga lagi ...."

Alura segera melirik hall indicator di atas pintu, menggigit bibirnya ketika merasa pergerakan penunjuk lantai itu lamban sekali.

Di lantai tiga, pintu terbuka. Dua karyawan laki-laki terlihat hendak masuk.

Alura masih mendengar Favian dan Janari mengobrol, juga belum memutuskan hendak bergerak ke mana saat tiba-tiba sebuah tangan menarik sikutnya dari arah belakang, membuat Alura bergerak mundur dan berdiri di sisi ... Favian. Pria itu baru saja melepaskan pegangan tangan dari sikutnya sebelum kembali bicara pada Janari.

***

Selama tiga hari Alura menghilang di kantor, Ranti kelimpungan. Alura memang tidak sepenuhnya menghilang, dia tetap melakukan pekerjaannya dari apartemen selama cuti jika itu bersifat sangat urgent, tapi tetap saja ketidakhadirannya kemarin membuatnya sangat sibuk hari ini. Sejak pagi, dia meeting dengan finance department untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang sempat terbengkalai.

"Kamu tuh kepercayaan aku banget, Ra. Makanya aku bingung banget waktu kamu nggak kerja. Tahunya, habis liburan, ya? Kelihatan lebih fresh aja lihat kamu sekarang." Ranti terus memujinya, sampai membuat Alura curiga bahwa itu dia lakukan hanya demi Alura bisa menyelesaikan pekerjaannya hari ini juga. Prediksinya, hari ini dia akan lembur di kantor.

"Udah ada dua orang yang bilang kayak gini lho," balas Alura. "Jadi curiga, apa sebenarnya penampilan aku ini aneh banget sampai segitu menarik perhatiannya?"

"No! You're so pretty. Ajak aku dong, mau ikut warnain rambut juga!" Setelah itu, percakapan berlangsung ke sana-kemari, menjadi-jadi sampai akhirnya Alura lupa bahwa sejak tadi dia belum sempat mengecek ponselnya.

Alura berjalan, melewati beberapa workstation sembari mengecek notifikasi yang ... penuh. Namun, dia tidak akan berbohong. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia menunggu notifikasi lain. Dari Kaivan.

Padahal dia tahu hasilnya akan selalu sama, dia tidak akan mendapatkan kabar apa-apa karena pria itu benar-benar sudah memutuskan untuk pergi dan tidak akan pernah melangkah untuk kembali. Kaivan sudah berada di jalan yang berbeda, bersama orang lain.

Ingat itu Alura.

Alura sampai di kubikelnya, dan dia menemukan sebuah paper bag bertuliskan Burger King di atas desk-nya. Sesaat dia menaruh laptop dan segala berkas di meja, lalu meraih paper bag itu dan melihat isinya.

"Mas Favian tadi bagi-bagi burger, Mbak," jelas Andin, salah satu rekannya di divisi accounting.

"Dia ulang tahun?" tanya Alura seraya membuka kemasan cheseeburger-nya dan duduk. Kebetulan sekali dia memang tidak sempat sarapan tadi pagi, lebih tepatnya dia memang tidak pernah sempat sarapan, tadinya mau sekalian brunch, tapi ternyata dia bisa mengganjal perutnya lebih awal.

"Nggak tahu, tapi aku lihat semua anak accounting kebagian, sih."

Alura duduk, sesaat dia hanya duduk dan menikmati sarapannya. Dia tidak memikirkan apa-apa sampai tepat setelah dia baru saja menghabiskannya, Ranti kembali memanggilnya.

Oke. Hari ini dia mesti bekerja lebih keras.

Dan Alura kembali meninggalkan kubikelnya selama beberapa jam untuk berada di ruang meeting.

Kali ini, seusai meeting, Alura tidak langsung kembali ke kubikel. Percuma, karena dia tidak akan menemukan rekan satu divisinya masih berada di tempat mengingat sudah masuk waktu istirahat makan siang. Jadi, Alura memilih berbelok menuju bagian kiri kantor untuk sampai di pantri.

Ranti sempat mengajaknya makan siang bersama tadi, tapi dia menolak dengan alasan masih kenyang. Jadi, dia memilih untuk menikmati teh kemasan pemberian Pak Luki, oleh-oleh dari workshop-nya di Hong Kong minggu lalu katanya.

Alura tengah mengaduk tehnya dengan sendok, berdiri di depan meja bar, lalu suara pintu yang terbuka membuatnya menoleh. Ada Hakim yang masuk, bergabung bersamanya di sana.

"Hai!" sapanya. Antara antusias dan kaget juga. "Udah balik kerja?"

Alura berbalik, menyandarkan sebagian tubuhnya pada meja pantri. Lalu menyesap pelan tehnya. "Udah dong."

Hakim sempat menoleh, tersenyum, lalu mengambil cangkir dari kabinet yang menggantung di atas meja pantri. "Belum lunch?" tanyanya. "Gue tadi meeting di luar, terus sekalian aja makan sebelum balik ke sini."

Ya memang sih, memang sebaiknya begitu. Karena jika sudah berada di kantor yang berada di lantai tujuh ini, siapa pun akan malas mengantre turun hanya untuk mendapatkan makan siang. "Masih kenyang," jawab Alura. "Tadi Favian bagi-bagi burger gitu, ulang tahun ya dia?"

"Hm? Nggak ah, masih lama kok dia," jawab Hakim. "Bagi-bagi burger di mana?"

"Di accounting. Di lo nggak memangnya?"

Hakim menggeleng, lalu menyesap tehnya yang baru selesai dia buat. "Nggak ada. Apa memang karena seharian gue nggak di kantor kali?"

Alura mengangguk. "Iya kali."

Selama beberapa saat hening menjeda keduanya, lalu Hakim kembali bicara. "Ra?" Dia menatap Alura selama beberapa saat. "Ini pasti kedengaran tiba-tiba banget, tapi, are you okay?"

Alura mengangkat dua bahu. "I've had better day, right?" ungkapnya sedikit jujur.

Hakim mengangguk. "Gue nggak mau ajak lo untuk ingat Kaivan, tapi ... aneh juga kalau nggak membahas masalah ini setelah semua yang terjadi." Dia menghela napas panjang. "Kaivan nggak bisa dihubungi, dia ngilang."

"Just let him go." Alura tersenyum. "Trust me, I'm okay." Dia meyakinkan, walau dia sendiri tidak yakin.

Alura hanya sedang tidak menginginkan pembelaan atau mendapatkan keadaan Kaivan yang disudutkan oleh semua pihak. Saat ini, dia hanya ingin benar-benar melepaskannya, melupakannya.

Walau ternyata sulit sekali.

Hakim kembali menghela napas panjang. Ada perasaan yang belum lepas, tapi terlihat bingung juga. Namun, dia menggumam untuk menyetujui. "Okay. Just let him go."

Alura sudah berniat kembali ke kubikelnya sesaat sebelum pintu ruangan kembali terbuka. Ada Kaezar yang muncul lebih dulu di sana, disusul Favian yang berjalan di belakangnya. Tepat setelah Favian mengalihkan tatapan dari layar ponselnya, pandangannya menemukan Alura.

Favian tersenyum, Alura membalasnya.

Sudah.

"Lo di sini? Pantesan gue cari ke tempat lo tadi nggak ada," ujar Kaezar pada Hakim seraya meraih cangkir dari kabinet.

"Baru balik meeting, tadi ketemu klien di luar," jelas Hakim. "Mau ngajak nyebat ya lo?" tuduhnya.

Kaezar menggeleng, dia hanya membawa cangkir kosong tanpa mengisinya dengan apa pun. "Nggak lah. Semalam udah habis kena ceramah panjang gara-gara ketahuan nyebat. Ini nih." Kaezar menggedikkan dagu ke arah Favian yang kini ikut meraih cangkir dari kabinet. "Galau banget dia sampai minta ditemenin nyebat."

"Nggak ada yang minta lo nemenin," bantah Favian cepat.

"Lagi random banget dia." Tatapan Kaezar masih tertuju pada Favian. "Bikin heboh sekeluarga."

"Lo ngapain, Fav?" tanya Hakim.

Namun, Kaezar lebih menyambar pertanyaan itu. "Habis iseng-iseng beli cincin."

"Widiii, mau lamar cewek nih kayaknya?" sahut Hakim sambil menunjuk wajah Favian.

Oh, jadi itu great progress yang Jena bicarakan kemarin? Favian benar-benar akan melamar kekasihnya? "Selamat ya, Fav." Alura ikut menimpali.

Favian hanya menoleh, gerakan mengangguknya terlihat samar.

Melihat respons itu, Kaezar malah terkekeh.

"Lo bukannya ada meeting sama Janari, ya?" ujar Favian santai, menatap Kaezar sesaat sebelum menghampiri meja dan menaruh cangkirnya.

Kaezar melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Lho, udah jam satu aja," gumamnya. "Gue duluan ya." Dia membawa cangkir kosongnya, yang biasanya akan dia isi oleh teh-teh bunga yang dibekali oleh Jena.

Hakim menyimpan cangkirnya ke wastafel. "Gue duluan juga deh, banyak kerjaan," ujarnya. Namun, langkahnya harus tertahan karena Kaezar berhenti di ambang pintu dan berbalik.

Kaezar menunjuk Favian. "Hati-hati, Ra. Favian akhir-akhir ini lagi demen iseng." Dia hanya mengangkat alis saat melihat Favian hanya menatapnya malas.

Setelah dua orang itu pergi, Alura melirik Favian yang berdiri di sisinya, pria itu mulai membuka kemasan teh yang sama—seperti yang Alura seduh tadi. Pak Luki sepertinya berkeliling ke setiap divisi untuk membagikan oleh-oleh yang sama.

Tidak ada suara selama beberapa saat. Ini adalah kali pertama mereka berada dalam keadaan hanya berdua, setelah apa yang mereka lewati malam itu.

Dan. Tentu saja, canggung.

Alura bisa saja langsung memilih pergi, tapi entah kenapa kakinya terasa kaku. Atau, diam-diam, di dalam dirinya sedang ingin memperhatikan bagaimana sikap Favian padanya? Memastikan apakah pria itu menepati janjinya atau tidak.

"Nggak makan siang, Ra?" tanya Favian.

Alura menggeleng. "Masih kenyang—oh, iya, thanks ya tadi. Kebetulan belum sempat sarapan juga." Lalu dia menggumam. "Dalam ... rangka apa nih? Bagi-bagi makanan?"

"Iseng aja, ada promo."

Benar Kata Kaezar, Dia lagi demen iseng.

Favian masih mengaduk tehnya dengan sendok kecil yang baru dia raih dari laci. "Mau nitip sesuatu nggak? Kebetulan jam dua nanti gue ada meeting di luar."

Alura menggeleng lebih dulu, baru bersuara. "Oh, nggak usah," tolaknya. "Gue bisa pesen makanan atau ... apa gitu, kalau lapar nanti. Tapi, thanks by the way."

Favian mengangguk lagi. "Tinggal chat aja kalau nanti berubah pikiran."

Alura sudah membuka bibirnya, tapi berakhir hanya memberi anggukkan. Dia mengarahkan tangan ke pintu keluar. "Gue duluan ya, lagi hectic banget hari ini."

"Oh, ya, ya," sahut Favian di sela kegiatan menyesap tehnya.

Alura meninggalkan ruangan itu dengan membawa cangkir berisi teh di tangannya, langkahnya terayun cepat, tapi terhenti di ambang pintu.

Karena Favian kembali bersuara. "Ra?" tahannya, yang membuat Alura segera menoleh. Tangan pria itu menunjuk samar ke arahnya. "Poninya. Lucu."

***
 

 

Part [7]

Favian masih duduk di balik kursi kerjanya dengan punggung yang bersandar sepenuhnya. Dia sudah tidak memikirkan lipatan kusut kemejanya sekarang, toh waktu pulang kerja sudah berlalu sejak beberapa jam yang lalu, tidak akan ada yang memperhatikan penampilannya ketika dia keluar dari ruangannya nanti.

Matanya setengah terpejam, kakinya bergerak-gerak lemah, membuat kursinya sedikit berputar-putar. Satu tangannya masih menempelkan ponsel ke telinga, karena suara Mama masih terdengar begitu antusias di seberang sana.

"Nggak sengaja Mama ketemu sama Tante Diana. Kok, bisa ya? Mungkin memang kamu udah jodoh sama Deana." Untuk kedua kali Mama mengatakan kalimat itu, menceritakan bahwa dia bertemu Tante Diana tanpa direncanakan saat sedang pergi dengan Jia ke Senayan City tadi sore. "Kami makan bareng, ngobrol tentang banyak hal. Tapi tenang aja, Mama nggak bilang kok kalau kamu udah beli cincin." Mama terkikik setelahnya.

Favian menghela napas panjang. Dia ragu hendak bicara, tapi kesalahpahaman ini harus diluruskan. Jadi, "Ma?"

"Ya?"

"Mama pengin banget ya aku cepet-cepet nikah?"

Pertanyaan itu menghasilkan hening yang cukup panjang, Mama seperti kehilangan antusias yang membakarnya sejak tadi. "Kok ..., kamu ngomongnya gitu? Mama berlebihan, ya?" gumamnya.

"Nggak. Cuma ...." Bentar. Gimana ya bilangnya?

"Mama nggak maksa kamu untuk cepat-cepat nikah kok, sama sekali nggak." Kali ini Mama sudah mendapatkan ketenangannya saat bicara. "Gini Fav ..., Mama pikir, saat kamu merasa nggak punya tujuan hidup yang jelas, mungkin pasangan kamu bisa bantu. Ngerti nggak?"

"Nggak."

"Contohnya gini ...." Mama kembali bicara dengan sabar. "Seandainya kamu nggak punya target apa-apa dalam hidup kamu, kamu bisa bantu mewujudkan target pasangan kamu."

Favian tidak menyahut.

"Kamu tuh kan santai banget orangnya, Fav. Seandainya ada wanita yang kamu cintai, dia bisa bikin kamu punya target masa depan. Kayak, misal wanita itu punya target nikah di usia berapa, punya anak di usia berapa, mau tinggal di mana. Sebagai orang yang mencintai dia, kamu pasti bantuin dia wujudin itu semua, kan?" Mama menjeda, seolah memberi Favian kesempatan merespons, tapi Favian tidak menggunakannya. "Percaya deh, itu menyenangkan kok. Mewujudkan apa-apa yang diinginkan orang yang kamu cintai itu rasanya menyenangkan. Bonusnya, hidup kamu bakal lebih terarah, nggak gini-gini aja."

Gini-gini aja. Jadi menurut Mama arah hidupnya nggak jelas begitu, ya? Favian merasa dia punya target kok, tapi ya tidak harus diumumkan pada setiap orang juga, kan?

"Kamu sekarang udah bisa punya rumah sendiri, punya tabungan juga, kerjaan udah enak. Habis itu kamu anteng aja gitu. Mama pikir Deana nggak akan—"

"Bukan Deana, Ma." Favian tahu seharusnya dia membicarakan masalah ini secara langsung, tapi mendengar Mama terus-menerus membahas Deana, isi kepalanya membenarkan apa yang dikatakan Kaezar kemarin. Dia tidak seharusnya memberi harapan palsu pada Mama untuk bisa berbesanan dengan teman lamanya—Tante Diana. "Bukan Deana orangnya."

Hening.

"Ma?"

Hening.

"Mama?"

Hening.

"Ma? Mama masih dengerin aku?"

"Fav ...." Akhirnya gumaman itu terdengar.

"Ya?"

"Kok ..., kamu jahat?"

"Jahat gimana?"

"Mama udah seneng lho .... Tapi sekarang kamu kok gini?"

"Ma, aku sama Deana tetap baik-baik aja kok, kita tetap berhubungan baik, tetap temenan."

Hening lama sebelum akhirnya Mama bicara lagi. "Oke .... Itu pilihan kamu, Mama bisa apa?" Embusan napasnya terdengar. "Tapi kamu inget nggak Fav, kalau Deana adalah pilihan keempat yang Mama bawa untuk kamu?"

"Aku inget kok."

"Dan keempatnya nggak ada yang bikin kamu tertarik?" tanya Mama, tidak membiarkan Favian menjawab, Mama hanya sedang mengungkapkan rasa heran. "Terus siapa? Kamu beli cincin kemarin buat siapa?"

Favian bangkit dari kursinya, membicarakan masalah cincin dan sikap impulsifnya saat membeli benda itu, tidak pernah membuatnya bisa bersikap santai. Seperti ada yang berusaha menyumbat tenggorokannya, dan tidak kunjung lepas. "Ada." Jawaban yang samar, dia tahu Mama tidak akan puas mendengar jawaban itu.

"Pertanyaannya 'siapa?'. Kok, jawabnya 'ada'."

Favian berjalan melewati mejanya, dia bergerak menuju jendela ruangan yang sejak tadi kacanya tertutup roller blind, meraih remote dan membukanya. "Nanti Mama tahu kok. Aku juga bingung soalnya."

"Lho? Lho? Kamu nih. Kok gini?" Mama malah terdengar panik. "Kamu nggak lagi naksir istri orang kan, Fav?"

Favian terkekeh. "Aku nggak mungkin ngejar Davina lagi, Ma. Ya ilah, nggak akan."

Ada helaan napas yang terdengar gusar. "Terserah kamu deh." Akhirnya Mama menyerah. "Kamu mau pulang kapan? Padahal kita bisa bicara di rumah, tapi malah teleponan gini."

Lho .... Yang telepon duluan dan bahas Deana kan, Mama? "Ini udah selesai kok. Tadi tuh aku mau pulang sebelum Mama telepon." Favian membuka roller blind lebih lebar agar bisa melihat ke luar, ke arah workstation yang sepertinya sudah tidak berpenghuni. Hanya ada gelap. Dan—tunggu. Favian mendekat, dan dia menemukan sebuah cahaya temaram yang berasal dari salah satu kubikel.

"Ya udah, Mama tunggu di rumah. Kita ngobrol—"

"Bentar, Ma." Favian tertegun selama beberapa saat. Dia belum yakin pada posisi kubikel itu sampai akhirnya dia melihat seorang wanita bangkit dari posisinya semula. Dan sekarang dia bisa melihatnya dengan jelas. Lalu, "Aku kayaknya ini, ada kerjaan yang belum selesai, Ma. Aku lembur agak malam."

Setelah mematikan sambungan telepon, Favian melihat Wanita itu duduk tegak, dua tangannya diangkat tinggi-tinggi untuk mengikat rambutnya asal. Lalu, dia merasa de javu, gerakan itu pernah dia lihat sebelumnya, tepat di depan matanya.

***

Alura menyipitkan mata, menatap layar monitor yang membuatnya lelah. Kenapa kerjaannya tidak kunjung selesai bahkan ketika dia melewatkan makan malam untuk terus bekerja?

Satu tangannya masih bergerak di atas touchpad, sementara tangan yang lain masih menempelkan ponsel ke telinga. Suara Tante Lita terdengar lagi. "Kamu belum sempat nemuin Papa kamu pasca keluar dari rumah sakit, La?"

Alura bergumam, mengiyakan. Dia sudah menjenguk Papa ketika Papa masih dirawat di rumah sakit bulan lalu, beberapa kali menemaninya ketika bisa pulang agak sore. Namun, setelah mendapat kabar dari Tante Rea yang bilang kalau Papa sudah pulih dan bisa pulang ke rumah, Alura belum sempat lagi menemuinya.

Atau memang tidak menyempatkan diri.

Tidak ingin menyempatkan diri.

"Belum, Tan."

"Sibuk, ya?" tanya Tante Lita. "Tante juga bilang kok sama Papa kamu, pasti Lula lagi sibuk banget sekarang sampai belum sempat jenguk lagi," belanya.

Papa adalah anak tunggal di keluarganya. Sedangkan Tante Lita adalah sepupu terdekatnya, yang paling sering menjenguk Alura semenjak Mama pergi, yang menjadi orang pertama saat Alura selesai operasi usus buntu di rumah sakit, menjadi orang yang selalu ingat hari ulang tahunnya.

Terkadang Alura juga akan datang ke rumahnya hanya untuk memeluknya, saat dia benar-benar lelah. Benar. Satu lagi orang yang ada dalam hidupnya, yang dia temukan masih menganggapnya ada guna di dunia.

Alura mengembuskan napas kasar, mengingat waktu-waktunya beberapa hari lalu. Bertanya, apakah patah hati selalu membuat seseorang merasa hidup sebatang kara di bumi yang seramai ini?

"Aku akan jenguk Papa. Weekend ini ... mungkin?" Alura mengucapkannya dengan ragu.

"Papa kamu pasti senang dengar kabar ini." Tante Lita terkekeh senang. "Aniway, Tante cuma mau mastiin kalau kamu baik-baik aja. Walau ternyata kenyataannya jam segini kamu masih di kantor dan kerja. That's bad news, tapi Kaivan jemput kamu, kan?"

"Ng .... Mm ...." Alura menggumam tidak jelas. "Dia nggak selalu bisa jemput aku." Dia menggumam lagi, untuk selanjutnya bicara lebih jelas. "Aku udah biasa kok pulang sendiri. Nggak usah khawatir, Tan."

Percakapan berlangsung selama beberapa saat setelahnya, Tante Lita memastikan Alura juga akan mengunjungi toko kuenya setelah bertemu Papa akhir pekan ini. Dan setelah itu sambungan telepon terputus.

Alura menjauhi monitor yang membantu pencahayaan di ruangan itu selain strip light yang berada di batas kubikelnya. Dua tangannya terangkat untuk mengikat rambut, membentuknya menjadi cepol yang tidak sempurna karena beberapa helai rambut masih terurai. Penampilannya sudah tidak rapi lagi, dia tahu. Bahkan dia sudah menanggalkan vest-nya dan menyisakan blus putih yang dia kenakan sejak pagi.

Dia kembali menerima e-mail dari beberapa orang, lalu chat yang datang silih berganti. Kalimat seperti, "Thanks, Ra. Gue nggak tahu kalau nggak ada lo jadinya gimana." Itu akan terdengar biasa saja, dia akan mendengarnya beberapa kali dari orang yang berbeda.

Namun kali ini, kalimat itu sedikit mengobatinya. Dia tidak menyesal untuk tetap hidup baik-baik saja ketika beberapa hari kemarin memikirkan 'Apa gunanya dia hidup?'

Alura akan membalas pesan-pesan itu, dalam tersenyum sepersekian detik sebelum akhirnya kembali fokus pada monitor. Tangannya beberapa kali akan meraih keping choco chips yang ditinggalkan Andin tadi sore untuknya. Lalu, tenggelam lagi dalam pekerjaan.

Alura dan segala hal dalam dirinya. Dia tidak bisa menunda-nunda pekerjaan, tidak peduli pada gelap, tidak masalah diam sendiri di ruang luas yang kosong.

Dia tidak ambisius. Hanya tidak bisa jika jadwal kerjanya besok berantakan karena hari ini tertunda. Dia tidak perfeksionis. Hanya tidak bisa tenang jika susunan pekerjaannya tidak diselesaikam secara berurutan.

Dia hanya ingin hidupnya teratur. Dan itu pasti terasa sangat membosankan bagi beberapa orang.

Wah, pantas saja kamu ditinggalkan, Alura.

Alura menggeleng, semakin malam biasanya waktu semakin memberi ruang pada pikiran buruk untuk leluasa hidup di kepalanya.

Sampai akhirnya ....

"Ra?"

Alura terperanjat, memegang dadanya sambil mendongak ketika merasakan kehadiran seseorang di depannya.

"Sori, kaget, ya?" Pria itu menyengir, dua tangannya memegang laptop yang terbuka, cahayanya menyiram wajahnya.

Ya menurut lo aja gimana? Alura hanya mendengkus kecil, lalu mengalihkan tatap dari pria itu.

Favian, iya, pria itu. "Gue pikir lo udah balik." Lalu berjalan memutari kubikelnya untuk meraih kursi Andin dan duduk di sana, tepat di samping Alura.

Hal itu membuat Alura mengernyit, menatapnya dengan tatapan tidak mengerti. "Lo ngapain?"

"Kerja," jawabnya.

Lho, ya, iya. Alura juga tahu, tapi, "Kenapa di sini?"

Favian berdeham. "Pak Luki bilang, semua fungsional area harus ngasih data ke lo?"

"Sekarang?"

Favian mengangguk.

Alura mengecek jam tangan di pergelangan tangannya. "Gue harus nginep di sini gitu?" protesnya ketika tahu sekarang sudah pukul sembilan malam.

"Ya nggak juga. Lo kerjain kalau semua kerjaan lo udah selesai aja." Favian berbicara seraya menatap monitor laptopnya.

"Ya udah lo kirim aja dulu datanya. Gue kerjain kalau kerjaan ini udah selesai." Dia kembali menginput data. "Tapi ya, nggak sekarang juga."

"Iya," sahut Favian. "Udah gue kirim ya."

"Okay." Jemari Alura berhenti bergerak di atas keyboard, lalu menoleh. "Masih ada lagi?" tanyanya pada Favian yang masih duduk di sisinya.

Favian menggeleng. Menatapnya selama beberapa saat.

Alura tidak mengerti, tapi sesaat dia bisa menangkap tatapan sesal di sana, tatapan putus asa, tatapan ... mengasihani? Dia tidak tahu harus merespons bagaimana, jadi pilihannya hanya menghindari tatapan itu.

"Makasih karena lo ... masih baik-baik aja sampai saat ini, Ra." Akhirnya Favian bersuara. Dengan tiba-tiba.

Mendengar ucapan itu, seperti ada yang menyiram tubuhnya dengan seember air es. Entah apa perasaan yang lebih dominan, dia hanya ingin lupa pada malam itu, tapi Favian kembali mengingatkannya. "You still remember what you promised me, right?" Nada suaranya pasti terdengar setengah mengancam.

Favian mengangguk. "Of course."

"So?"

Favian menggeser kursinya lebih jauh, lalu mengangkat alis, seolah-olah sedang berkata, "Ini yang lo mau?"

"Nothing happened between us." Alura mengatakannya dengan cara bergumam, juga tidak sembari menatap mata pria itu, karena dia tahu tubuhnya sudah mulai gemetar.

Kekeh singkat Favian terdengar, pria itu tidak terlihat sedang terhibur, dia melakukannya sebagai bentuk sarkasme, lalu bergumam, "I don't understand you."

Kali ini Alura menoleh sepenuhnya, menatap Favian yang mulai menutup laptop dan membawanya begitu saja.

Pria itu menatapnya lelah, seolah-olah sedang menghadapi seorang anak yang bebal. "Gue tunggu di lobi." Sebelum mendengar bantahan Alura, dia kembali bicara. "Let me take you home," ujarnya dengan nada sedikit memaksa, lalu melakukan tindakan preventif agar Alura tidak kembali berpikir macam-macam. "Sebagai seorang teman, atas dasar rasa kemanusiaan. Nilai PKn gue bagus banget waktu SMA kalau lo mau tau."

***

 

 

Part [8]

Sudah menjadi tradisi yang akan berlangsung terus-menerus, jika ada seseorang yang resign dari kantor, maka akan ada farewell party kecil-kecilan yang diadakan oleh pihak kantor. Dan hari ini, tepat setelah satu bulan Christian mengajukan one month notice.

Namun, tidak seperti biasanya di mana segalanya akan disiapkan dan ditanggung oleh pihak kantor, kali ini Christian mengundang seluruh staf untuk datang ke farewell party yang dia adakan sendiri. Dia menggelarnya di sebuah club malam yang berada di kawasan Kemang.

Ash Club and Lounge, yang ternyata merupakan milik Christian, yang menjadi alasannya resign dari kantor, yaitu ingin fokus pada bisnisnya. Club baru itu sudah siap dibuka, tapi Christian menjadikan teman-teman kantornya tamu pertama di sana bahkan sebelum dia melakukan grand opening.

Dentum keras musik memekakkan telinga saat memasuki area club. RnB, hiphop, dan twerk diusung menjadi tema musik malam itu. Pendar lighting bergerak-gerak, berganti warna menyiram ruangan, juga orang-orang yang hanya duduk-duduk di sana sambil minum dan tertawa di sela perbincangan.

Ash mengusung konsep yang dark, tapi tetap terlihat elegan. Dengan elemen dekorasi geometris berwarna keemasan di langit-langit, sempat mencuri perhatian Favian sebelum akhirnya sadar tatapnya sejak tadi tidak bisa berhenti mencari-cari.

Tidak seperti pemandangan club malam biasanya, kali ini ruangan itu diisi oleh orang-orang berpenampilan kantoran yang penat seharian oleh pekerjaan. Bar yang didesain memanjang dekat dengan dance floor membuat para staf betah berlama-lama di sana.

Namun di sisi lain, ada sekumpulan pria yang hanya duduk-duduk di sofa sembari memperhatikan keadaan di dalamnya alih-alih menikmati.

Favian, Hakim, Janari, dan Kaezar. Empat pria berkemeja kusut itu berada di sofa marun berbentuk U, terpisah dengan kerumunan yang lain. Sudut ruangan terkadang menjadi ruang paling aman agar tidak terlibat lebih jauh dengan keadaan, keramaian, walau kebisingan tentu tidak bisa mereka hindari untuk saat ini.

Mereka hanya menikmati mocktail yang dipesannya saat masuk. Itu merupakan usul Janari dan Kaezar sebenarnya, yang memaksa untuk tidak ada alkohol di meja karena keduanya bisa didamprat habis oleh masing-masing pasangannya jika ketahuan. Padahal Favian dan Hakim setuju-setuju saja saat Christian hendak menyuruh bartender-nya menyiapkan minuman terbaik di sana.

"Keren ya Christ, resign buat punya usaha sendiri kayak gini," ujar Janari setelah menyesap mocktail-nya. Dia bicara keras-keras, berlomba dengan dentum musik yang memenuhi ruangan.

"Katanya sama beberapa temannya sih dia bangun ini, nggak sendiri. Tapi ya memang, keren," sahut Kaezar dengan suara tidak kalah kencang.

"Tapi ... ini kita jangan seneng dulu, kita nih kelinci percobaannya Christ sama temen-temennya." Hakim mengangkat bahu sambil melotot. "Kita ini pengunjung pertama lho!" Lalu dia menatap seram ke arah langit-langit.

"Lo bayangin plafon-plafon itu jatoh gitu?" tanya Favian. Setelah mencoba bicara, dia sadar keadaan, bahwa bicara terlalu banyak bisa memutuskan pita suaranya sendiri.

"Gue nggak bisa lama-lama lho, Chia sendiri di rumah. Bentar lagi gue balik," ujar Janari seraya melihat jam di pergelangan tangannya.

Kaezar meliriknya. "Lo balik, gue juga balik deh. Bini gue suka lapor-laporan sama bini lo, serem juga."

Janari mengangguk, lalu mencondongkan tubuh ke arah depan. "Lo tahu nggak gue bilang apaan sama Chia waktu izin pergi?" tanyanya yang disambut gelengan tiga pria di depannya. "Aku mau ngehadirin farewell party-nya Christ, soalnya Christ udah punya usaha sendiri. Waktu dia tanya usaha apa, gue jawab rumah makan Padang."

Jadi itu alasannya dari tadi dia melarang keras ada minuman beralkohol di meja?

Semua tergelak.

Hakim mengumpat. "Anjing juga!"

"Biar nggak panjang urusannya," ujar Janari lagi.

Sejak tadi, fokus Favian terbagi, tatapan matanya terus memendar. Dia melihat dance floor sudah diisi oleh orang-orang yang mulai bergerak mengikuti irama dan dentum musik. Namun ... wanita itu tidak ada di sana.

"Fav?"

"Fav!"

Favian menoleh, menatap Hakim yang kini tengah mengernyit sambil memperhatikan tingkahnya. "Kenapa?" tanya Favian.

"Dari tadi, planga-plongo doang." Hakim geleng-geleng. "Janari sama Kae mau balik, mau nambah minuman nggak?" tanyanya penuh arti.

Favian menggeleng. "Nggak deh, balik nyetir sendiri gue."

"Ah, cupu nih!" ledek Hakim.

Fokus Favian kembali teralih, kali ini menyapu sisi-sisi ruangan, tatapannya menyisir sofa-sofa marun berbentuk U. Tidak ada.

Pagi tadi, Favian bertemu dengan wanita itu. Dia mengenakan blouse model kimono putih dengan tali di pinggang dan pencil skirt berwarna light blue. Jadi, mari temukan keberadaannya!

Lalu, nah! Sofa emerald yang berada di tengah ruangan, yang membentuk lingkaran cukup besar mengelilingi sebuah meja hitam di tengahnya. Favian menemukannya.

Alura berada di sana, iya, wanita itu, duduk di sisi rekan satu divisinya-Andin, bergabung bersama orang-orang dari divisi lain.

Alura Si Penonton, seperti apa yang selalu dilakukannya selama ini, dia hanya akan merespons obrolan orang-orang dengan tawa atau seruan singkat, lalu akan bicara jika diminta dan mendapat pertanyaan. Dan sama halnya seperti saat ini, dia hanya duduk di sana sembari memegang gelas minumannya sambil tertawa sesekali.

Favian tidak bisa menebak apa isi dalam gelas wanita itu, tapi ... Alura tidak akan menjadi lengah untuk kedua kali dengan minum alkohol lagi, kan?

Favian membungkuk, tatapannya menatap satu titik, matanya menyipit. Dia memperhatikan keadaan di sofa emerald itu, melihat bagaimana sekarang orang-orang bersorak ketika Redian berdiri untuk menumpahkan botol minuman beralkohol pada gelas tinggi yang berada di meja.

Tepuk tangan dan seruan terdengar setelahnya, orang-orang di meja itu tertawa, lalu terus berseru menyebut nama ... Alura.

Favian mendengkus. Tahu bahwa sekarang orang-orang itu sedang menyuruh Alura untuk menghabiskan minuman yang baru saja dituang.

Tanpa sadar tangan Favian menggebrak meja. "Shit!"

"Kenapa?" Entah suara siapa, tapi dia tahu sekarang tiga pasang mata pria di hadapannya tengah menatap ke arahnya dengan heran.

Favian menunjuk lagi ke arah sofa emerald, kali ini dengan fokus telunjuk yang lebih jelas. "Alura tuh ..." Favian bangkit, "... nggak boleh dia dibiarin minum kayak gitu."

Ketiga temannya mendongak, heran. Seolah-olah bertanya, "Kenapa dah lu?"

"Dia tuh nggak kuat minum. Bakal berubah jadi reaktif banget kalau kena alkohol." Favian menghabiskan mocktail-nya sebelum memutuskan untuk meninggalkan mejanya.

Namun ada pertanyaaan yang saling bersahutan dari ketiga temannya yang membuat Favian berubah seperti orang tolol sekarang. "Emang lo pernah lihat Alura mabuk? Kapan?"

***

Alura sedikit menyesal karena sudah menurut saja saat Andin menariknya untuk bergabung ke sebuah sofa yang letaknya berada di tengah ruangan, menjadi pusat bagi semua untuk berkumpul di sana. Andin yang duduk di sampingnya sudah mulai meracau dengan keadaan sedikit mabuk.

Sekarang Alura tidak akan menjadi pusat perhatian jika saja Andin hanya meracau tentang dirinya sendiri. Namun, sejak tadi, teman satu divisinya itu beberapa kali memeluknya sambil menangis, "Lo pasti sedih banget kan, Mbak? Mantan lo tuh ... emang paling jahanam sih." Andin menatap semua mata pria yang duduk di sofa itu. "Lo semua nih, cowok-cowok, kalau nggak niat serius, nggak usah ngajak pacaran sampai sepuluh tahun segala. Buang-buang waktu cewek aja itu namanya, Brengsek!"

Okay. Dan setelah itu, semua tahu bahwa, "Alura dan cowoknya-yang udah hubungan selama sepuluh tahun itu-putus."

Sekarang, Andin hanya bersandar di sofa, lalu sesekali akan ikut tertawa jika seseorang melontarkan sebuah lelucon atau apa pun. Dia seolah lupa pada apa yang telah dia beberkan sebelumnya, yang selama beberapa saat tadi membuat Alura menerima beberapa tatapan iba.

"Okay!" Christian berdiri. "For Dearest Alura, your happiness is our responsibility now."

Lalu, Redian berdiri untuk menuangkan minuman beralkohol pada gelas. "Please enjoy your freedom first," ujarnya seraya mengangsurkan gelas itu ke hadapan Alura.

Semua bertepuk tangan, menyerukan nama Alura berksli-kali, lalu tertawa. Namun, Alura tidak hanyut dalam tawa yang bahagia itu, dia hanya ingin keadaan itu cepat berakhir dan pergi. Jadi, dia mengambil gelas itu dan mengangkatnya, menaikan alis untuk meyakinkan semua orang bahwa dia akan meminumnya.

Namun, tepat sebelum Alura menempelkan gelas ke bibirnya, seseorang merebut gelasnya, menariknya paksa.

Favian, entah sejak kapan pria itu berada di belakangnya. Dia menenggak habis minuman di gelas lalu menunjukkan gelas yang sudah kosong di tangannya.

Semua berseru kecewa.

"Apa-apaan, nih?" tanya Christian sambil tertawa.

Redian mengambil kembali gelas baru dan mengisinya. Namun dia batal mengangsurkannya pada Alura ketika melihat Favian melompati sofa dan duduk di ruang kosong yang berada di sisi Alura.

Favian menaruh gelas kosong ke meja dengan entakan yang sedikit kencang. Lalu dia menoleh saat sadar bahwa sejak tadi Alura menatapnya. "She won't drink at all."

Christian tertawa lagi, entah karena sudah berhasil resign dari kantor dan memulai hidup baru bersama bisnisnya sekarang atau bagaimana, kebahagiaannya terlihat berlimpah hari ini. "Kenapa harus lo yang memutuskan?" Lalu tangannya menunjuk Alura. "Dia mau kok."

"Teman lo masih nyuruh lo jagain Alura? Atau gimana?" tanya Redian. "Bilang sama dia, kalau dia beneran brengsek banget."

"I did," sahut Favian santai.

"Okay. Dan sekarang lo hanya perlu membiarkan Alura bersenang-senang." Redian kembali mengangsurkan gelas yang sudah terisi pada Alura, dan Favian kembali merebutnya.

"Fav." Alura menatapnya penuh peringatan, tapi Favian mengabaikannya dengan kembali meminum gelas kedua sampai tandas.

"Don't be wet blanket. Okay?" Redian sudah mulai kesal, dia bangkit dari sofa dan menatap Favian malas.

"Don't ask her to drink anything. Okay?" Favian mengucapkan setiap kata dengan penuh penekanan.

Christian mendecih, sedangkan Redian baru saja hendak maju untuk menarik kemeja Favian.

"Okay, stop!" Alura lebih dulu bangkit. Dia menatap Redian sesaat sebelum menarik tangan Favian untuk mengikuti langkahnya. Dia berjalan cepat, melintasi dance floor untuk menuju pintu keluar. Dia tahu bahwa sekarang sudah menjadi pusat perhatian, tapi siapa peduli?

Dia harus menghentikan perdebatan konyol itu sebelum berubah menjadi baku hantam yang nyata.

Alura mendorong tubuh Favian setelah berhasil keluar dari club. Lalu mendesah kencang setelah pintu club di belakangnya tertutup. Mereka terlepas dari suara bising dan dentuman kencang di dalam sana, juga pendar cahaya acak yang membuat pening.

Sekarang, mereka tidak perlu lagi menyuruh pita suara untuk bekerja lebih keras saat bicara. Namun, tanpa sadar suara Alura keluar begitu nyaring. "Why are you being annoying?!"

Alura menatap tajam mata itu. Namun, sepasang mata itu malah menatapnya sayu, lemah, seperti memutuskan untuk mengalah lebih dulu walau Alura mencacinya.

"Lo kenapa, sih?" gumam Alura. Dia memalingkan wajah untuk memijat keningnya. "Kenapa lo jadi kayak gini?"

Favian diam.

Alura melirik ke belakang, dia benar-benar takut ada yang mendengar percakapan tolol itu. "Nggak ada yang tertinggal setelah hari itu. Gue bisa pastikan itu. Okay?" Dia meyakinkan. "Let's just say that never happened." Ini pasti terdengar seperti permohonan.

Favian hanya menatapnya, dan Alura berharap pria itu hanya akan seperti itu sampai akhir, lalu menyetujui apa yang Alura katakan. Namun, dia bersuara. "Wanna know the truth?"

Pertanyaan itu membuat Alura kesulitan menelan ludahnya sendiri, mata pria itu menatapnya lemah, tapi entah mengapa begitu mengintimidasi.

"Gue ingat. Gue sadar .... Gue ingat detailnya," aku Favian.

Dan Alura mengambil satu langkah mundur. Tangannya meraba dinding dingin di belakangnya.

Favian ikut melangkah, maju. Lagi-lagi, dia tidak terlihat memiliki niat untuk mengintimidasi, tapi pengakuannya membuat Alura merasa terkurung. "Saat itu harusnya gue berhenti. Tapi nyatanya, gue ... tetap melakukannya. Gue melakukannya sampai akhir."

"Lalu setelah itu, setelah apa yang kita lakukan, lo merasa harus menganggap gue ini tanggung jawab lo? Lo merasa harus bertanggung jawab atas diri gue?" tanyanya. "Why so conservative?" gumam Alura, masih berusaha menyangkal bahwa sekarang dia sudah tidak baik-baik saja.

"Sori karena telah membuat lo tidur dengan laki-laki yang konservatif, primitif, atau apa pun itu, karena nggak bisa menganggap malam itu sekadar one night stand, dan setelahnya ... semua selesai. Sorry." Favian menatap mata Alura lamat-lamat, menyusur setiap sudut matanya, seperti sedang mencari tahu sesuatu. "I'm your first. Right?" tanyanya. Kali ini kedua matanya memakukan tatap dalam-dalam. "Gue yang pertama."

***
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Slowly Falling
Selanjutnya Slowly Falling | [9, 10, 11, 12, 13]
61
0
[Part ini bisa dibaca secara gratis]Alura adalah wanita yang baru saja dikhianati oleh tunangannya.Sementara Favian adalah pria yang tengah menunggu cintanya.Keduanya sepakat menjalin hubungan yang saling menguntungkan atas nama kesepakatan. Alura perlu balas dendam, dengan cara menunjukkan bahwa dia bisa bahagia bersama pria lain. Sementara Favian menikmati setiap waktunya, karena cinta yang ditunggunya dia dapatkan saat itu juga.Namun, ketika waktu bergerak membantu dan menyisipkan cinta, apakah hubungan keduanya tetap akan berlalu menjadi sebuah kesepakatan dan balas dendam?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan