Slowly Falling | [35, 36, 37]

77
0
Deskripsi

[Part ini bisa dibaca secara gratis]

Alura adalah wanita yang baru saja dikhianati oleh tunangannya.

Sementara Favian adalah pria yang tengah menunggu cintanya.

Keduanya sepakat menjalin hubungan yang saling menguntungkan atas nama kesepakatan. Alura perlu balas dendam, dengan cara menunjukkan bahwa dia bisa bahagia bersama pria lain. Sementara Favian menikmati setiap waktunya, karena cinta yang ditunggunya dia dapatkan saat itu juga.

Namun, ketika waktu bergerak membantu dan menyisipkan cinta, apakah hubungan keduanya tetap akan berlalu menjadi sebuah kesepakatan dan balas dendam? 

Part [35]

 

Favian baru tiba dari Bandung dan harus langsung ke kantor untuk menyerahkan banyak berkas pada Janari. Dia tersenyum sendiri memandang pekerjaan di mejanya sudah kosong. Dia berbalik sambil merogoh saku celana untuk meraih ponsel.

Percakapan terakhirnya dengan Alura adalah saat Favian mengunjungi pusat kerajinan tangan di Bandung bersama Kaezar. Ada beberapa rencana proyek baru ke depannya di tempat itu yang membuat keduanya harus berada di sana siang tadi.

Namun, saat waktu bergerak lamban menunggu persetujuan berkas yang diserahkan, Favian mencoba satu kegiatan pengrajin pembuatan gelas-gelas dan piring, dia mencoba untuk melukis salah satu mug di sana yang hasilnya bisa dibawa pulang setelah dibayar.

Alura tidak meminta apa-apa saat Favian berkali-kali bertanya, "Mau dibawain apa?" Jadi, dia membeli banyak hal. Selain makanan khas Bandung yang sekarang berjejal di mobilnya, salah satu buah tangan yang paling dia banggakan adalah dua buah mug yang dilukis oleh tangannya sendiri.

Favian baru saja menghubungi Alura, tapi tidak kunjung diangkat padahal beberapa menit yang lalu dia baru saja memberi tahu bahwa saat ini sudah tiba di kantor dan sebentar lagi pulang.

Dia masih menempelkan ponsel ke telinga, sudah bergerak ke dalam lift saat sebuah langkah cepat tiba-tiba terdengar mengejar pintu lift yang akan tertutup.

Favian memencet tombol di samping pintu agar tetap terbuka. Sebuah tangan menjulur ke dalam, bersamaan dengan itu, seorang wanita masuk dan mengucapkan kata 'terima kasih' berkali-kali. Favian belum sadar terhadap sosok yang kini berdiri di sampingnya hingga pintu lift tertutup.

"Hai ...." Sampai akhirnya suara itu membuatnya menoleh. Ada senyum familier yang dulu sempat dipujanya.

"Oh—hai, Vin."

"Apa kabar, Fav?"

"Baik ..., baik." Favian menjawab canggung.

"Kayaknya udah lama banget kita nggak ngobrol ya setelah proyek di Surabaya kelar."

"Iya. Sekitar enam bulan yang lalu kalau nggak salah, kan?"

Wanita yang bersamanya sekarang adalah Davina, teman satu kantor yang dulu sempat menjadi teman kencannya selama satu tahun dan berpisah karena alasan klasik—sama-sama sibuk, hingga akhirnya dia mendengar wanita itu menikah dengan pria lain.

Davina dan suaminya saat itu mengadakan private party di Bali, tidak banyak teman kantor yang datang ke sana selain teman-teman terdekatnya. Berbagai ucapan selamat dan kado pernikahan menyusul setelah dia kembali ke Jakarta.

Lalu, kenapa Favian menjelaskan hal itu? Ya, hanya untuk menjelaskan bahwa hubungan di antara keduanya pernah sedekat itu lalu putus dengan keadaan yang ... sekadar itu. Tidak ada drama panjang siapa yang ingin putus dan siapa yang tetap ingin bertahan. Hubungan yang berakhir adalah kesepakatan keduanya.

"Waktu kamu nikah, aku nggak bisa datang, soalnya lagi sakit, butuh bed rest banget waktu itu. Sori ya."

"Nggak apa-apa." Favian memasukkan ponsel ke sakunya lagi. "Aku juga nggak sempat datang waktu kamu nikah."

Ada senyum yang samar terlihat, tapi tidak membuat Davina membalas ucapan Favian tentang resepsi pernikahannya. "Berat banget waktu itu, akhirnya aku kehilangan janinku walau udah berusaha semaksimal mungkin."

"Oh ...." Raut wajah Favian berubah. Kenapa akhir-akhir ini dia kerap menerima kabar kehilangan?

Davina terkekeh, suaranya masih terdengar renyah seperti dulu. "Aku udah nggak apa-apa, lho. Kamu masih aja gitu ya kalau canggung, lucu banget raut wajahnya." Wanita itu berjalan duluan saat pintu lift terbuka. Keduanya sama-sama turun di lantai dasar. Sempat melirik Favian lagi sebelum melangkah lebih jauh,Dlalu kembali bicara. "Kalau dilihat-lihat, kok kamu kelihatan jadi lebih gimana ... gitu setelah nikah."

Favian menunduk untuk menatap penampilannya sendiri. Raut wajahnya pasti terlihat bertanya-tanya. "Kenapa?"

Davina menggeleng. "Bener yang katanya, kalau mantan udah punya pasangan tuh suka kelihatan lebih menarik?" Davina kembali terkekeh, membuat Favian mengernyit dan ikut terkekeh pelan.

"Bisa aja." Hanya itu komentarnya sebelum Davina melambaikan tangan dan pamit untuk pulang lebih dulu.

Favian masih berdiri di depan meja resepsionis yang kosong karena jam operasi kantor sudah habis. Ada seorang sekuriti yang masuk dari pintu lobi beriringan dengan Hakim di belakangnya. Pria itu tampak membawa satu paper cup bertuliskan salah satu brand kopi dengan lengan kemeja yang sudah digulung di bawah sikut.

"Lembur?" tanya Favian yang baru saja mengeluarkan id card dari aakunya.

Hakim mengangguk. Tatapannya terarah ke pintu keluar. Dari dinding dan pintu kaca ruangan, dia melihat Davina masih berdiri di teras luar. "Lo bareng sama Davina tadi?" tanyanya.

Favian menunjuk pintu lift. "Nggak sengaja ketemu pas mau turun."

Hakim mengangguk-angguk. "Lagi banyak diomongin anak-anak IT tuh."

"Kenapa?"

"Lagi proses cerai sama suaminya." Hakim menepuk lengan Favian. "Ti-ati ah."

***

Favian tidak menemukan Alura di kantor, jadi dia menebak bahwa Alura sudah tiba di rumah lebih dulu. Dia tidak lagi mencoba menghubungi wanita itu, hanya buru-buru mengemudi untuk pulang dan sampai di rumah secepat yang dia bisa.

Dia rindu ....

Tiga hari terpisah jarak membuatnya merasa tidak cukup hanya berkomunikasi dengan Alura lewat ponsel. Dia selalu butuh interaksi yang lebih dari itu, dia harus menyentuh wanita itu sekarang, memeluknya, lalu memastikan bahwa Alura baik-baik saja.

Favian sudah membuka pintu rumah. Langkahnya terayun masuk bersama antusiasnya yang menggebu, sebanyak paper bag yang kini dijinjingnya. Namun, keadaan ruangan yang gelap membuatnya bertanya-tanya.

Sekarang baru pukul sembilan malam, Alura jarang tidur dalam waktu secepat itu.

"La ...?" Favian menggumam. Lalu bergerak menyalakan lampu di ruang tamu dan bergerak ke ruang tengah. "La?" Suaranya lebih nyaring saat melihat pantri dan lantai dua yang juga gelap.

Dia lupa menaruh segala hal yang dijinjingnya karena langsung bergegas menaiki anak tangga dan menuju ke kamar, memastikan Alura ada di sana dalam keadaan tertidur karena kelelahan atau ....

Namun, ruangan itu juga sama gelapnya. Dan saat Favian menyalakan lampu kamar, Alura tidak ada di sana.

Tangan kirinya menaruh jinjingan paper bag ke atas tempat tidur. Langkahnya terayun menuju lemari pakaian dan dia menemukan ruang milik Alura kosong. Kali ini dia yakin, wanita itu benar-benar sudah pergi.

Dia menemukan ruang hidupnya kosong hanya dalam beberapa detik saat tahu bahwa ... Alura memutuskan untuk meninggalkannya.

Tidak ada lagi jejak Alura di kamar itu selain jar happiness di atas meja kecil di samping tempat tidur. Favian menghela napas sesak sebelum melangkah gamang menuju botol yang masih terbuka itu. Duduk di sana bersama rasa antusias yang kini berbalik menikamnya.

Tidak ada hal yang dia lakukan selain duduk di tepi tempat tidur dan termenung.

Kemarin, dia meminta Alura berpikir untuk mengambil keputusan, dan dia begitu gusar memikirkan keputusan apa yang akan Alura ambil. Namun, di saat semuanya sudah jelas, Favian merasa ... ingin kembali pada waktunya yang dipenuhi rasa gusar itu, waktu saat dia diliputi kalut dan risau.

Merasa takut kehilangan ternyata lebih baik daripada tahu bahwa dia benar-benar sudah kehilangan.

Setidaknya, kemarin dia masih bisa melihat Alura di dekatnya, masih bisa menyentuh wanita itu dalam jangkauannya, masih bisa mendekapnya tanpa penolakan.

Kini ... segalanya hilang.

Ada getar ponsel yang terasa di saku celananya saat dia masih duduk ditemani cahaya lampu tidur yang kini menyala sendirian. Dia membuka sambungan telepon tanpa peduli siapa yang menghubunginya sekarang.

Lalu, sebuah suara yang terdengar dari seberang sana membuatnya terhenyak. "Fav .... kamu udah pulang?"

"Hm-mm." Hanya gumaman itu yang bisa dia lakukan karena tidak yakin suara dan kata-katanya akan terdengar baik-baik saja sekarang. Dia perlu banyak mengambil napas untuk kembali bicara. "Dan kamu ... nggak ada di sini."

"Iya ...." Suara Alura hanya terdengar seperti bisikan. "Aku pergi ya."

"Seharusnya kamu bilang begitu ketika kamu masih ada di sini."

"Aku takut ragu lagi kalau dengar suara kamu sebelum pergi," ujarnya. Lama Alura mengambil waktu untuk diam.

"Kesepakatan kita, rumah ini jadi milik kamu apa pun yang terjadi. Jadi seharusnya kamu tetap di sini, aku yang pergi," ujar Favian di sela hening. "You broke our deal."

"Jangan bikin semuanya lebih sulit buat aku, Fav," pinta Alura. "Aku harus pergi tanpa bawa apa-apa, karena selama ini aku juga nggak pernah memberikan apa-apa."

Wanita itu bisa berkata demikian di saat Favian menganggap kehadiran dan segala yang ada dalam dirinya adalah segalanya. Alura menganggap dia tidak pernah memberikan apa-apa saat Favian mati-matian ingin memiliknya. "Boleh aku tahu kenapa akhirnya kamu memilih pergi?" tanyanya. "Aku nyakitin kamu ya ... kemarin?"

"Nggak." Alura berdeham saat suaranya terdengar mencicit. "Justru ... aku ingin berhenti nyakitin kamu. Aku udah banyak nyakitin kamu sejak awal. Maafin aku, ya?"

Favian tidak bersuara.

"Segala alasan yang kita punya sejak awal untuk hidup bersama itu udah salah. Kita nggak bisa lanjutin semuanya." Alura berdeham lagi, suaranya mulai terdengar lirih. "Aku merasa harus berhenti. Kita harus berhenti."

Favian menyentuh sudut-sudut matanya yang terasa berat sebelum kembali bicara. "Bilang sama aku, apa yang bisa aku lakuin supaya kamu kembali?"

"Fav, please ...."

"Aku harus minta maaf? Aku harus apa?"

"Favian ...." Suara Alura menghentikan ucapan Favian. "Nggak ada. Nggak ada yang harus kamu lakuin. Kamu udah melakukan banyak hal buat aku. Biarin aku sendiri, ya?"

Hening. Favian tidak ingin menyetujuinya, tapi dia tahu saat ini tidak ada celah untuk menolak.

Tidak ada suara lagi dari seberang sana. Hanya ada isakan kecil yang terdengar sebelum sambungan telepon terputus begitu saja.

Favian menunduk dalam. Menaruh ponselnya begitu saja, lalu tanpa sengaja melirik tumpukan paper bag di sisinya. Dia meraih salah satunya, mengeluarkan kardus kecil berisi dua mug hasil karyanya sendiri. Dia memandangnya lama. Ibu jarinya menyentuh permukaan sisinya.

Di mug yang dipegang oleh tangan kirinya, ada gambar sesosok pria yang menebarkan banyak hati untuk di terbangkan ke arah wanita yang tergambar di mug yang dipegangnya di tangan kanan. Hati itu terkumpul begitu banyak, hingga bisa membuat si wanita terbang bersama hati yang telah diberinya.

Seperti saat ini, Alura yang kini pergi setelah Favian menyerahkan seluruh hatinya.

Favian masih memandang gambar di mug itu. Masih mengusap permukaannya. "Kenapa sih, La ...?" Dia mulai terdengar mengeluh. "Kenapa kamu kayak gini?" tanyanya. "Kenapa kamu nggak pernah mengizinkan aku untuk benar-benar masuk ke dalam hidup kamu?"

***

 

Part [36]

Favian baru keluar dari ruang meeting bersama Janari dan Kaezar. Mendengarkan dua pria yang melangkah di depannya terus mengobrol dan dia membuntuti di belakang. Sesaat dia merogoh ponsel dan mengeceknya, yang dia sendiri tidak tahu dilakukan untuk apa.

Karena biasanya dia akan melakukan hal itu untuk mengecek keadaan Alura. Sekadar ingin tahu dia akan makan siang di mana dan bersama siapa ketika keduanya tidak bisa makan bersama.

"Kayaknya gue nggak makan di luar deh, Chia mau kirim makanan ke sini," ujar Janari. Ketiga pria itu sedang berjalan di koridor menuju pantri. "Ikut makan bareng gue aja, karena dia pasti bawain banyak."

"Jena udah kirim makanan juga, tadi udah dikirim pake Go-Send katanya," ujar Kaezar.

"Janji nggak ada biji ketumbar, nih?" ujar Janari membuat Kaezar menoleh. "Dia ni masih trauma banget sama ketumbar, Fav." Tangannya menunjuk wajah Kaezar.

Kaezar tertawa. "Agak ngeri-ngeri juga kadang ya karena kita nih semacam kelinci percobaan."

"Masih trial and error aja kayaknya nih ya?" sahut Favian.

"Lo nggak ikut-ikutan dikasih bekal, Fav?" tanya Janari.

"Bekalnya pake yang lain kayaknya nih ya, lihat dong matanya udah kayak nggak tidur semaleman." Kaezar balas menunjuk wajah Favian.

"Digempur setelah tiga hari di Bandung kayaknya," tambah Janari.

Dan Favian hanya terkekeh. Enggan menanggapi itu. Bingung juga. Dia tidak mau berbohong, tapi juga tidak ingin menceritakan apa yang dia lakukan sepanjang malam.

Mereka sudah melewati koridor, melangkah menuju pantri dan berniat menunggu di sana sebelum makanan milik Janari dan Kaezar datang, karena setelah ini mereka memiliki satu jadwal meeting lagi sebelum lepas ke lapangan siang nanti. Ada beberapa bangku di sisi pantri yang menghadap ke sebuah dinding kaca, menampakkan taman kecil di tengah-tengah putaran antara sayap kanan dan kiri.

"Gue mau pakai tim yang dulu buat proyek selanjutnya," ujar Janari. Mereka mulai membicarakan masalah pekerjaan sesaat sebelum memasuki pantri.

"Tim yang mana?" tanya Kaezar.

"Timnya Favian, yang proyek di Surabaya itu. Kerjanya cukup bagus soalnya," lanjut Janari. Dia menoleh ke belakang? "It's okay, kan, Fav?"

Favian mengangguk. "Bagusnya sih sekalian masukin anak-anak baru ya."

"Iya. Nanti gue minta masukin anak baru juga, gue udah bilang Pak Hari kok," ujar Janari. "Biar mereka bisa—" semua percakapan terhenti ketika Janari tiba-tiba menyapa. "Ra, lo di sini? Dicariin Favian nih."

Favian mendongak, menatap Janari bingung.

Janari mengangkat alis. "Biasanya kan gitu, tiap makan siang lo nyariin Alura."

Favian berdeham kecil, lalu menatap Alura yang tengah duduk di salah satu meja. Di hadapannya ada Andin yang ceritanya terpotong oleh sapaan Janari dan ikut menoleh untuk memberi anggukkan sopan.

Alura dan Andin memang seringnya memesan menu makanan diet dari salah satu katering langganannya, jadi keduanya jarang pergi keluar untuk makan siang kalau memang sedang tidak bertugas di luar.

"Oh ... ya?" Alura terlihat canggung sambil menusuk-nusuk makanannya dengan garpu. "Kenapa ..., Fav?"

"Kenapa, Suamiku? Gitu dong," cibir Andin.

Favian menoleh pada Janari. Dari tadi dia tidak berkata apa-apa padahal. Namun, ya memang, setiap waktu makan siang biasanya Favian akan mencari Alura, Janari sudah tahu itu, tapi keadaannya berbeda untuk kali ini. "Nggak .... Mau mastiin kamu, udah makan siang." Dia melirik Janari yang kini tengah meraih air dari water dispenser.

"Oh .... Udah." Alura menyahut singkat sambil menatap makanannya.

"Kayaknya udah nyampe deh kiriman dari Jena, gue ke depan bentar, ya," ujar Kaezar seraya mengotak-atik layar ponselnya dan berjalan keluar.

"Ra, kayaknya gue bakalan bikin Favian lebih sibuk nih ke depannya. Nggak apa-apa, kan?" tanya Janari.

Alura mengangguk. "Hm-mm. Nggak apa-apa." Dia setengah mengunyah.

Ada tawa kecil yang terdengar dari arah luar ruangan, yang kemudian suaranya terdengar lebih dekat. Davina dan satu temannya melangkah masuk membawa sekotak makanan yang terlihat mirip dengan yang selalu Alura pesan. "Eh, ada Bapak di sini," sapa Davina, sementara temannya yang lain sudah menyisi memilih salah satu meja yang dekat dengan dinding kaca. "Katanya ada proyek baru, ya? Ada nama saya juga kata Pak Hari?"

Janari mengangguk. Melirik Favian kikuk, dia seperti baru sadar bahwa di dalam tim ada Davina juga. Tatapnya melirik pada Alura yang kini hanya menunduk dan mendengar Andin yang masih terus bercerita. "Iya. Masih bakal ada kemungkinan berubah kok, belum fix."

"Oh. Kangen juga sih sama tim yang dulu, jarang banget kita kumpul lagi di satu tim yang sama ya, Fav?" Suara Davina membuat Alura mendongak, sambil mengunyah pelan, wanita itu menatap ke arah Favian. "Baru juga kemarin kita ketemu terus bahas sedikit masalah ini, eh ketemu lagi di tim yang sama."

Favian mengangguk. "Hm. Iya. Kebetulan banget." Dia sama sekali tidak membalas tatapan Alura, walau tahu wanita itu sempat menatapnya tadi. Dia hanya sedang bingung bagaimana menanggapi keadaan ini.

Alura tidak meninggalkan pesan apa-apa tentang sikap apa yang harus mereka tunjukkan di depan orang-orang. Pura-pura baik-baik saja? Atau, terus terang saja tentang keadaan keduanya yang akan berpisah dan tidak apa-apa orang lain tahu?

Alura terlihat menutup kotak makanannya, begitu juga dengan Andin. Keduanya bangkit dari tempat itu dan berjalan keluar seiring dengan Davina yang kini berjalan ke arah meja yang sudah diduduki temannya.

Saat Favian masih berdiri bersama Janari di dekat meja pantri,  Alura berjalan melewatinya begitu saja. Dan Favian juga hanya diam.

Berbarengan dengan itu, Kaezar masuk bersama dua paper bag yang dibawanya, sempat melihat bagaimana cara Alura melangkah keluar tanpa sedikit pun menoleh pada Favian. Matanya bolak-balik menatap Favian dan Alura bergantian.

Kaezar berdecak. "Wah .... Drama baru nih," gumamnya.

Sementara Janari masih menatap kepergian Alura. "Asik, nih. Giliran jadi peonton kita."

***

Alura masih duduk di sofa bersama pakaian kerja yang dia kenakan seharian. Blus putihnya sudah begitu lusuh, dan roknya sudah tidak lagi bisa mengikat blus yang dikenakannya agar tidak keluar dari batas pinggang.

Kepalanya bersandar ke lengan sofa dengan kaki menekuk. Ruangan dibiarkan gelap, hanya ada sorot dari latar televisi yang menyala tanpa dia simak sama sekali.

Sudah empat hari dia kembali ke apartemennya setelah pergi dari rumah yang ditinggalinya bersama Favian. Sepanjang waktu, jika sedang berada di apartemen, dia tidak akan melakukan apa-apa, dia hanya diam dan menghela napas berkali-kali sambil sesekali melihat ke arah ponselnya.

Tidak ada notifikasi apa-apa.

Favian mengikuti maunya untuk membiarkannya sendiri.

Walau ragu, akhirnya dia mengambil keputusan itu. Dia merasa harus menepi. Harus mempelajari perasaannya sendiri. Tentang apa itu cinta yang sebenarnya, atau hanya balas budi, atau bahkan sekadar pelarian.

Dia harus mengerti. Lalu yakin.

Hari ini tidak ada banyak pekerjaan yang membuatnya sudah pulang di waktu sore hari. Dan selama dua jam setelah sampai, dia habiskan hanya untuk duduk dan berdiam diri.

Ada suara bel yang terdengar dari arah luar, yang membuat Alura terkesiap dan segera bangkit. Perasaannya terlonjak, gugup juga, menebak-nebak siapa tamu yang datang. Pasalnya, tidak ada yang tahu keberadaannya di sini selain Favian.

Alura bergerak menuju pintu, melihat monitor kecil di sampingnya, lalu tersenyum saat tahu siapa tamunya. Dia membuka pintu, dan, "Hai!" Pelukan erat diterimanya dari Chiasa yang kini mengenakan dress biru muda dengan perutnya yang buncit. Wanita itu membawa sebuah paper bag selain sling bag yang dikenakannya.

"Bener kan lo di sini!" ujarnya seraya bergerak masuk, membiarkan Alura menutup pintu di belakangnya. "Gue tadi ke rumah, terus kata Bi Ati, lo nggak ada. Jadi ... gue ke sini." Wanita itu bergerak lebih dalam, menyalakan lampu-lampu di ruangan. "Kok, bisa betah banget gelap-gelapan kayak gini?" tanyanya.

Alura melangkah mendekat, menghampiri Chiasa yang sudah mengeluarkan isi paper bag-nya di atas meja bar yang berada di pantri kecil apartemennya.

"Gue bawa rujak," ujar Chiasa, membuat Alura melepaskan tawa.

"Malem-malem?" tanya Alura.

Chiasa mengangguk. "Gue bingung mau makan sama siapa, cuma lo yang bisa mengerti selera pedas yang gue punya." Dia berjalan ke arah sofa, duduk di sana dan membuka kotak berisi potongan buah-buah mengkal dan satu stoples saus kacang pedas. "Sini dong." Dia menepuk-nepuk sofa.

Alura mendekat, duduk di sisinya, lalu melihat Chiasa mulai memakan potongan buah mangga mengkal dan menggigitnya dengan suara 'kriuk'. "Janari nggak marah lo ke sini? Ini udah malam, lho."

Chiasa menggeleng. "Nggak dong. Dia ngizinin kok."

Lama keduanya diam. Lalu terkadang tertawa, menonton serial Netflix pilihan Chiasa, karena wanita itu sudah berhenti menikmati buah-buahan yang kebanyakan terasa asam itu. Hening, tidak ada suara saat keduanya menghayati dialog di drama.

Namun, tiba-tiba saja. "Lo belum mau ngomong apa-apa gitu, sama gue?" tanya Chiasa.

Alura berdiri dari sofa. "Mau gue ambilin minum nggak?" tanyanya.

Dan Chiasa mengangguk.

Tidak ada percakapan selama Alura menuangkan air pada dua mug tinggi. Lalu duduk kembali di sisi Chiasa dan menyerahkan satu mug pada wanita itu.

"Jujur, gue tahu dari Janari," ujar Chiasa.

Alura menoleh, lalu kembali menunduk menatap mugnya. Dia duduk dengan punggung bersandar sepenuhnya pada sandaran sofa, menatap lurus ke arah televisi di depannya. Sementara dia tahu sekarang Chiasa sudah duduk bersila dan menghadap padanya sepenuhnya. "Janari bilang apa?" tanya Alura.

"Katanya, hubungan Alura sama Favian kelihatan lagi nggak baik-baik aja." Chiasa terdengar menghela napas. "Dan bener kan. Waktu tadi gue ke rumah lo, lo nggak ada. Terus ... nggak ada pilihan lain. Kayaknya lo ada di sini."

Alura mengangguk pelan. "Thanks ya, Chia ...." Karena wanita itu tidak pernah datang bersama marah atau kesal terhadap apa pun pilihannya. Dia tidak pernah menghakimi dan menyalahkannya.

Chiasa mengusap pundak Alura. "Ra .... Gue ngerti keadaan lo sekarang. Makanya sedikit pun gue nggak akan pernah menyudutkan lo, tentang keadaan lo, keputusan yang lo ambil ...." Dua tangannya memegang lengan Alura. "Tapi gue boleh tau kan, alasan yang bikin lo ada di titik ini tuh apa?"

Alura menoleh, lalu mengangguk.

"Kenapa?" tanya Chiasa.

"Gue rasa, kayaknya gue harus berhenti dulu deh ...." Alura menatap Chiasa lagi, berharap tidak ada yang berubah dari pandangan itu terhadapnya. "Gue pengen ngerti dulu keadaan gue sendiri, gue pengen gue yakin sama perasaan gue sendiri."

"Bukan untuk kembali sama Kai, kan?" tanya Chiasa terdengar khawatir. "Oke. Itu memang hak lo. Tapi, Ra, lo harus pikir lagi puluhan kali seandainya punya pilihan untuk itu," ujarnya. "Gue nggak akan marah, nggak sama sekali, karena itu memang hak lo. Tapi, gue pasti kecewa."

Alura terkekeh pelan. Dia mencoba menatap Chiasa. "Jujur. Beberapa kali gue masih ingat Kaivan. Gue belum bisa sepenuhnya lepas buat lupain dia. Kayak misal ... gue lagi ketawa-ketawa sama Favian, tiba-tina gue bisa mikirin Kaivan yang ... dia nyesel nggak ya ninggalin gue? Dia lagi nyesel nggak ya sama pilihannya kalau lihat gue seneng?" jelasnya. "Gue masih kayak gitu, gue masih mikirin kemalangan Kaivan untuk jadi tolak ukur kebahagiaan gue. Gue belum bisa lepas dari itu."

"Dan itu yang bikin lo pengen sendirian dulu?"

Alura mengangguk. Dia mengakuinya. "Kayaknya ... akhir-akhir ini gue sadar kalau gue udah sayang sama Favian. Tapi saat gue ingat Kaivan, gue takut perasaan gue ke Favian itu sekadar pelampiasan, yang sewaktu-waktu malah bisa lebih nyakitin dia. Gue takut perasaan gue ini cuma balas budi karena kebaikan dia. Gue takut banget salah paham sama perasaan gue sendiri, Chia ...."

Chiasa mengangguk-angguk, lalu mengusap-usap bahunya.

"Kalau gue tetap bersama Favian, gue makin nggak keruan. Lo tahu nggak sih, dulu, setiap kali Favian baik banget sama gue, gue kayak ... nggak percaya bisa diperlakukan sebaik itu. Kayak ... nih orang bener nggak sih baik sama gue? Bikin gue bertanya-tanya, apa yang bikin gue layak diperlakuin seistimewa ini? Dan malah jadi bumerang buat gue sendiri, takut gue nggak bisa balas dengan hal yang sama." Alura merasa semua keluh kesahnya terkuras. "Waktu gue tahu dia mencintai gue, sementara gue masih nggak yakin sama diri gue sendiri kayak gini .... Gue nih ngerasa kayak ... nggak tahu diri banget," aku Alura. "Gue takut banget nggak bisa balas perasaan dia sebesar dia mencintai gue, gue takut banget nyakitin dia ...."

Chiasa bergerak meraih tisu dari tengah meja, menyerahkannya pada Alura. "Iya, gue ngerti."

"Gue tuh nikah sama dia, awalnya dengan alasan yang salah. Salah banget. Dan gue nggak mau ngelanjutin yang udah salah, gue pengen reset semuanya, dari awal. Seandainya nanti gue kembali sama Favian, itu karena tulus gue butuh dia, karena tulus gue sayang dia. Bukan karena alasan dendam lagi. Bukan karena alasan Kaivan lagi." Alura diam di sela isak tangisnya. "Ribet banget ya pikiran gue?"

"Nggak kok. Gue bisa bayangin gimana beratnya jadi lo." Pegangan tangan Chiasa mengerat. "Lo disakitin berkali-kali, sama dua laki-laki yang lo cintai. Ayah lo sendiri. Terus Kaivan—yang selama sepuluh tahun lo sayang dan lo percaya banget. Setelah itu, kenyataannya lebih parah lagi, dua laki-laki itu milih perempuan yang ... selama ini lo anggap pernah hancurin hati lo dan nyokap lo. Berat banget pasti ...."

Alura menyesap air minumnya perlahan untuk meredakan sesak.

"Ini jadi trust issue yang ... pasti mengerikan banget buat lo. Lo pasti udah berusaha sebisa lo untuk melalui ini sampai akhirnya lo berada di titik ini .... Belum lagi, lo juga harus ngebangun kepercayaan terhadap diri lo sendiri." Chiasa memeluk Alura dari samping. Menepuk-nepuk pelan pundaknya.

Lama.

"Susah, ya? Berat?" tanya Chiasa.

Alura diam saja, tapi air matanya sudah meleleh banyak.

"Lo memang harus punya waktu untuk nge-reset semua. Gue setuju. Tapi, kayaknya Favian perlu tahu ini. Biar dia nggak kecewa. Nggak ngerasa ditinggalin. Biar dia juga ngerti keadaannya." Chiasa sedikit menjauhkan tubuhnya. "Gimana?"

Alura diam. Masih ragu.

"Tapi, Ra ...."

"Hm ...?"

"Lo kayak gini ... nggak lagi hamil, kan?"

***















 

Baby Shower

Favian Keano created Baby Shower.

Favian Keano added Shahiya Jenaya.

Favian Keano added Janari Bimantara.

Favian Keano added Alkaezar Pilar.

Favian Keano added Hakim Hamami.

Favian Keano added Arjune Advaya.

Favian Keano added Janitra Sungkara.

Favian Keano added Davi Renjani.

Favian Keano added Alura Mia.

Favian Keano deleted Alura Mia.

Favian Keano
Ada yang mau masukin Alura ke grup nggak?

Favian keano added Alura Mia.

Davi Renjani
Kenapa keluar-masukin bini lo gitu?

Eh, kok keluar-masukin(?)

Keluarin masuk.

Ih apa sih.

Hakim Hamami
Apaan dah. Hahahaha.

Favian Keano
Udah gue jadiin admin semua ya, Jenaaa.

Silakan gue mau kerja dulu.

Shahiya Jenaya
Weekend ini pada free, kan?

Kita ngadain baby shower party buat Chia di villa Janari yang di Bogor ya.

Harus dateng semua. 😊

Janitra Sungkara
Ada apa dengan emot itu? Kenapa terlihat menyeramkan sekali:(

Shahiya Jenaya
Absen yang mau ikut?

Hakim Hamami
🙌

Janitra Sungkara
👍

Janari Bimantara
Gue ikut.

Shahiya Jenaya
Kalau lo nggak ikut sih ya dongo aja namanya.

Alkaezar Pilar
🙆🏻‍♂️

Shahiya Jenaya
Uuu tayang tayang.

Arjune Advaya
🖕

Hakim Hamami
Buset. Ampun, Bang.

Arjune Advaya
Lagi fobia sama pasangan suami-istri.

Alkaezar Pilar
Nyokap lo nyuruh lo nikah mulu ya?

Shahiya Jenaya
🤭

Davi Renjani
👌

Favian Keano
🤘

Shahiya Jenaya
Satu lagi nih. Alura.

Fav, kasih tau dong.

Favian Keano
@Alura Mia, scroll ya.

***
 

 

Part [37]

Alura menatap travel bag ukuran sedang yang masih disimpan di atas tempat tidur. Grup berisi percakapan rencana baby shower untuk Chiasa sudah membunyikan notifikasi berkali-kali, semuanya sudah siap berangkat sementara dia masih berdiri di dalam kamarnya dengan bimbang.

Ada satu titik temu yang disetujui untuk berkumpulnya mereka setelah berangkat, yaitu di rest area Sentul, salah satu rest area di Jalan Tol Jagorawi menuju Bogor. Beberapa mengabari telah berangkat; Davi, Hakim, Arjune, dan Sungkara. Kabar Jena dan Kaezar akan menyusul, sementara semuanya yakin bahwa Alura akan berangkat dengan Favian.

Memang belum ada yang tahu keadaannya yang sudah berpisah dengan Favian selain Chiasa. Sementara sahabatnya itu tidak tahu apa-apa tentang rencana ini dan akan datang paling akhir bersama suaminya.

Alura jelas cukup tahu diri untuk tidak menghubungi Favian lebih dulu. Selama satu minggu berpisah, keduanya hanya akan bertemu di kantor dan berpapasan tanpa saling sapa kecuali dalam keadaan sangat terdesak, misal ketika ada banyak orang yang memperhatikan keduanya. Mereka berusaha tampak baik-baik saja walau dengan sapaan yang sangat canggung.

Dan kemarin siang, Alura sempat melihat Favian berjalan berdua dengan Davina selepas istirahat makan siang. Saat Alura hendak pergi dengan Ranti, Favian terlihat baru kembali meeting dari luar—bersama timnya memang, tapi entah kenapa obrolannya dengan Davina terlihat lebih serius sementara tim yang lain hanya membuntuti di belakang.

Alura menghela napaa mendengar lagi dentingan notifikasi di ponselnya. Keputusannya seperti sedang dikejar waktu sekarang. Jika dia datang dan berkendara sendirian, pasti semua bisa menebak bahwa memang sedang terjadi sesuatu antara dia dan Favian, sementara harusnya di momen bahagia Chiasa ini, dia tidak memberi kabar buruk yang akan berdampak pada berjalannya acara selama di Puncak.

Jadi, haruskah Alura memutuskan untuk tidak ikut saja?

Alura kembali duduk di tepi tempat tidur, lalu menjatuhkan punggungnya begitu saja. Padahal dia sudah siap sejak tadi, floral dress biru muda dengan dasar putih sudah dikenakan sejak satu jam yang lalu, dan dia hanya menghabiskan waktu sebanyak itu untuk mondar-mandir di dalam kamar.

Dentingan notifikasi di ponselnya sudah reda. Semua temannya pasti sudah berangkat dan dia masih belum memutuskan akan pergi atau tidak.

Lalu, sebuah dering panjang membuatnya meraba-raba di mana letak dia menyimpan ponselnya tadi, mengangkat layar ponselnya tinggi-tinggi, dan terbelalak melihat siapa yang kini meneleponnya.

My Fav is calling ....

Slide to answer ....

Dan Alura perlu beberapa detik untuk berpikir. Sebelum dia menggeser ibu jarinya di layar ponsel untuk membuka sambungan telepon.

"Halo?" Suara Favian terdengar dari seberang sana.

"Halo ...." Alura hanya membalas sapaan itu dan menunggu lagi Favian bicara.

"Aku udah di depan lobi apartemen kamu. Aku nggak masuk ke basement. Cepet turun, ya."

Alura menatap layar ponselnya yang kini menampakkan sambungan telepon yang sudah terputus. Dia baru saja mendapatkan jawaban dari kebingungannya sejak tadi, tapi sekarang keadaannya malah semakin membuatnya bingung.

Langkahnya terayun juga. Dia tidak mungkin tiba-tiba tidak hadir tanpa konfirmasi apa-apa. Jadi, dia segera meraih travel bag-nya dan menyeret flat shoes yang sudah tergeletak di sisi tempat tidur dengan kakinya. Dia bergerak keluar dari unitnya dan turun. Saat keluar dari lobi, dia menemukan Favian tengah berdiri dengan setengah tubuh yang tengah bersandar ke sisi mobil.

Pria itu, yang kini mengenakan kaus dan celana jeans serba hitam, juga sandal slip on berwarna sama, berjalan mendekat saat menyadari kehadiran Alura. Sesaat setelah berdiri di hadapannya, pria itu meraih travel bag dari tangan Alura tanpa mengatakan apa-apa.

Diam.

Sampai pria itu selesai memasukkan travel bag ke bagasi bersama tasnya dan membukakan pintu di samping jok pengemudi.

Alura sempat berdiri sebelum masuk. Dia hendak bertanya, tapi Favian bicara lebih dulu. "Kita bicara di dalam," ujarnya.

Alura tidak membantah, dia masuk dan duduk, lalu melihat Favian berjalan memutari bagian depan mobil sebelum duduk di sisinya.

Ada aroma parfum yang menguar saat pria itu bergerak masuk, membawa Alura pada malam-malam yang selalu dua habiskan untuk menghirupnya sepanjang malam. Yang kemudian membuatnya sesak dan menghela napas panjang.

Sesaat Favian melirik ke arahnya, lalu bergumam, "Nggak bawa jaket?" Belum sempat Alura menjawab, dia sudah membalas ucapannya sendiri. "Tapi ya terserah kamu sih, mau pakai jaket atau nggak."

Jadi Alura diam.

Mobil mulai melaju, dan Favian kembali bicara. "Aku jemput kamu karena takut yang lain bingung kalau kita datang sendiri-sendiri," ujarnya tanpa menoleh. "Aku cuma nggak mau masalah kita malah merusak suasana bahagia Janari sama Chia aja."

Alura menyetujui itu, jadi dia diam saja sampai akhirnya Favian berkata lagi.

"Terus, aku juga belum tahu, aku harus menunjukkan sikap kayak gimana di depan mereka?" tanyanya. "Kita belum bicara masalah ini sebelumnya, karena kamu perginya buru-buru banget."

Alura sempat menoleh, menanti pria itu kembali menatapnya, tapi dia tidak kunjung menemukan matanya. "Seperti yang kamu bilang tadi, kita nggak boleh merusak kebahagiaan Janari dan Chia."

"Jadi?"

"Keberatan untuk bersikap kayak biasa seolah-olah nggak terjadi apa-apa?" tanya Alura.

Favian terdiam, dia masih fokus pada kemudi. "Kayak biasa?"

"Untuk dua hari ini."

Favian hanya mengangguk. "Oke ...."

"Dan hadiah untuk Chiasa—"

"Aku juga udah nyiapin hadiah," sela Favian.

"Mereka akan curiga kalau tahu kita masing-masing kasih hadiah. Jadi, harus kita putusin hadiah dari siapa yang mau kita kasih?"

Favian mengulurkan satu tangannya dengan malas. "Aku yakin hadiah pilihan kamu lebih bagus sih."

Lalu hening ....

Alura memilih menatap ke sisi kiri tanpa bicara apa-apa sampai rasanya lehernya terasa pegal, Favian juga lebih memilih fokus mengemudi tanpa mengajaknya bicara lagi.

Jika biasanya Favian akan terus mencari topik pembicaraan dan melayani pemikiran Alura tentang segala hal random di sekelilingnya, untuk kali ini, dia tidak menemukan suasana itu. Jika biasanya Favian akan mengusap pipi atau tengkuknya saat mendapatinya diam saja, tentu saat ini dia tidak akan mendapatkannya.

Alura baru berniat membuka mulutnya, hendak bicara sedikit tentang kepergiannya. Berpikir bahwa ucapan Chiasa itu benar, Favian harus tahu tentang alasannya pergi.

Namun sebuah telepon yang sepertinya terlihat penting membuat Favian harus menaruh ponsel pada holder dan bicara pada Si Penelepon dengan bantuan speakerphone.

Alura dan Favian sempat bersitatap saat mendengar suara yang keluar dari speakerphone adalah suara seorang wanita. Lalu, dimulailah percakapan tentang rencana proyek timnya yang tidak patut dicurigai sehingga membuat Alura merasa tidak harus memperhatikan.

"Aku udah coba tanyain ke Pras, nanti siang laporannya dia kasih," ujar wanita di seberang sana yang Alura ketahui, bahwa Si Aku itu adalah Davina.

Walaupun lehernya pegal, Alura masih berusaha memalingkan wajahnya ke luar jendela. Berusaha tidak peduli dan menutup telinga, sampai akhirnya mobil melaju lamban ketika memasuki pintu tol. Suara Favian terdengar. "Nanti aku telepon lagi, ya. Udah mau masuk tol soalnya."

"Oh, are you driving?" tanya Davina seperti terkejut. "Pergi sama siapa?"

Favian tidak langsung menjawab, ada jeda yang dia ambil. "Biasa." Alih-alih menyebut nama Alura, dia memilih jawaban yang tidak speskfik.

"Okay, call me when you get there ya!" ujar Davina. "And mind you go, Fav ...."

"Thank you ...."

Kepala Alura menoleh tanpa bisa dicegah, dia menatap Favian dengan raut tidak percaya. Sesantai itu dia menerima telepon dari seorang wanita di depan Alura dan membalas pesan manis itu?

Tentu saja Favian tidak membalasnya dengan ucapan manis yang sama, tapi pria itu kelihatan tidak keberatan.

Favian dengan santai mematikan sambungan telepon dan kembali fokus mengemudi setelah menempelkan e-toll card. Tidak ada percakapan lagi karena Alura beringsut untuk memundurkan posisi duduknya dan tertidur.

Semalam dia tidak memiliki cukup waktu tidur, atau lebih tepatnya, setiap malam dia memiliki jam tidur yang buruk. Jadi Alura mencoba memejamkan matanya saat Favian juga tidak lagi mengajaknya bicara.

Alura menggenggam tangannya sendiri karena terasa dingin, tapi tidak terlalu mengganggu. Karena, ada suasana nyaman yang selama berhari-hari tidak dia dapatkan; ketenangan, kehangatan, keberadaan Favian yang berada sangat dekat ketika tertidur. Mungkin dia merindukan itu, sehingga keadaan itu membuatnya lebih cepat lelap.

Sangat lelap. Dan lama.

Alura membuka matanya ketika mobil sudah berhenti. Saat Favian bergerak membuka pintu dan keluar, Alura menebak bahwa mereka sekarang sudah sampai di rest area yang dijanjikan. Namun, tunggu ....

Mata Alura menyipit melihat lahan parkir yang luas dan penuh pepohonan tinggi berdaun rimbun di sisinya. Posisi tidurnya juga berubah, joknya dibuat lebih tidur dengan sebuah jaket yang merungkup tubuhnya.

Dari aroma parfum yang menguar, Alura tahu itu adalah jaket milik Favian.

Saat melihat Favian mulai membuka bagasi mobil, Alura membawa jaket itu di lengannya dan bergerak turun. Dia melihat Favian membawakan travel bag miliknya dan mendekat seraya mengenakan topi hitan dengan posisi yang terbalik.

"Kita nggak berhenti di rest area, ya?" tanya Alura kebingungan saat mendapati bahwa mereka sudah tiba di villa milik Janari. Ada angin yang berhembus membawa udara dingin, membuat ujung dress Alura bergoyang di betisnya.

Alura menoleh ke sisi kanan, melihat bangunan yang ornamennya terbuat dari serba kayu itu berdiri jauh di atas tempatnya berada sekarang, perlu menaiki puluhan anak tangga untuk sampai di sana. Sementara dua mobil milik teman-temannya sudah terparkir lebih dulu.

"Berhenti kok," jawab Favian seraya membenarkan strap di belakang topinya, lalu mengenakannya lagi dengan benar.

"Kok, aku nggak tahu?"

"Kamu tidurnya pules banget tadi, jadi nggak aku bangunin."

Alura mengernyit. Serius? Padahal seingatnya, dia bukan tipe orang yang akan tidur sampai selelap itu jika sedang dalam perjalanan. Dia bahkan selalu bisa menjadi teman mengobrol yang baik untuk pengemudi di sisinya sepanjang perjalanan.

Atau mungkin karena alasan untuk bicara sudah habis jadi dia benar-benar lelap tertidur?

Alura masih berdiri sedangkan Favian sudah menaruh travel bag miliknya di dekat kakinya."Mau aku bawain nggak?" tanya pria itu.

Jika Favian bersikap seperti Favian yang biasanya, dia tidak akan bertanya demikian dan akan langsung membawa tas itu bersama genggaman tangannya di tangan Alura. Karena kali ini keadaannya berbeda, jadi Alura menjawab. "Nggak usah. Aku bisa bawa sendiri."

Di luar dugaan, pria itu langsung mengangguk bergerak menjauh, berjalan lebih dulu. "Ya udah," gumamnya sambil terus melangkah.

Alura sempat menatap punggung itu, yang kini semakin jauh dan mulai menaiki anak tangga satu per satu.

Alura hanya mendengkus dan memalingkan wajah, ada suara cicit burung yang membuatnya mendongak, tersenyum. Ada sepasang burung yang sedang bertengger di atas ranting kecil di salah satu pohon. Dia merogoh saku dress-nya dan hendak membidik pemendangan itu dengan kamera ponsel.

Namun, sebuah suara membuatnya menoleh, dia melihat Favian sudah kembali menuruni anak tangga. Tanpa bicara apa-apa, pria itu meraih tali travel bag milik Alura dan mengamit tagannya untuk ikut bergerak masuk ke villa.

***

Alura dan Favian memasuki villa berkonsep vintage itu. Selain dinding kayu dan lantai parket, sekat-sekat ruangan di dalam bangunan itu juga terbuat dari kayu. Bangunannya terlihat modern, tapi furniture di sana seperti sengaja diberi sentuhan kuno yang antik. Ada sofa warna-warni di ruang depan, dibatasi oleh sekat kayu, ada sebuah ruang keluarga yang amat luas.

Di sana semuanya sudah berkumpul.

Ada obrolan yang sudah lama tidak terdengar dan menghasilkan gelak tawa. Favian bergabung di sana setelah menaruh tasnya dan tas milik Alura di dekat tas-tas lain, sementara Alura sudah dipanggil oleh Jena untuk mencicipi menu yang dihidangkan oleh para asisten di villa saat menyambut kedatangan mereka pertama kali.

Alura duduk di sebuah kursi tinggi, menghadap sebuah meja bar yang terbuat dari kayu solid mengilat. "Soto mie-nya enak deh, La," ujar Davi seraya mengangsurkan semangkuk hidangan yang baru saja diberi kuah hangat itu ke hadapan Alura.

"Tadi waktu berhenti di rest area, kata Favian lo tidur. Jadi pasti belum makan," ujar Jena.

Ketiga wanita itu duduk di sana, sementara para pria dibiarkan menguasai ruang tengah dengan televisi yang sudah menyala. "Iya. Nggak tahu deh, kayak ngantuk banget," jawab Alura.

Alura sempat menoleh pada Favian, hendak mengajak dia untuk ikut makan—atau melakukan hal apa pun yang biasa dan terlihat normal, tapi dia melihat pria itu tengah mengobrol serius dengan Hakim.

"Hadeuh, Fav!" Seruan Jena membuat keadaan para pria hening. "Alura jangan dibikin begadang terus dong kalau malem. Ini udah tahu mau berangkat, masih aja lo."

Kekeh Favian terdengar, lalu menyahut sekenanya. "Iya, iya."

Alura tersenyum samar, tidak menanggapi hal itu dan lanjut menyendok kuah sotonya setelah menambahkan ini dan itu. Di depannya, masih ada Jena dan Davi yang menemaninya makan juga, sekaligus mengajaknya mengobrol. Lalu, perhatian dua wanita itu terhenti karena kini Favian dan Hakim mendekat.

"Fav, makan dulu. Tadi kan di rest area nggak ikut makan," ujar Jena.

Alura menoleh, melihat Favian yang kini duduk di sisinya sementara Hakim masuk ke pantri. "Mau makan?" tanya Alura. Mereka bertatapan selama beberapa saat, lalu mengerti bahwa itu dilakukan untuk menutupi segalanya.

Favian meraih sendok baru dan ikut mencicipi kuah soto milik Alura. Sesaat setelah itu, dia mengernyit dengan wajah menjauh. "Kok, asem banget?"

"Hm?" Alura menatap mangkuknya. "Kebanyakan masukin jeruk kali tadi," gumamnya. "Tapi ini biasa aja kok." Alura ikut mencicipi kuah sotonya, saat merasa tidak ada yang aneh, dia mulai menyendok lebih banyak.

"Jadi enaknya gimana? Gue ikut aja nanti?" tanya Hakim seraya menghampiri Favian.

Dua pria itu membicarakan masalah pekerjaan—masih saja. "Nanti gue bilang Janari deh, enaknya lo ikut juga." Favian masih bicara. Namun, saat Alura sedikit menunduk untuk menyendok makanannya lebih banyak, dia merasakan dua tangan pria itu berada di tengkuknya, menahan rambutnya agar tidak terurai ke depan. "Atau gue rasa lo masuk tim aja deh, biar terjun sekalian. Anggota timnya nggak banyak juga."

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Slowly Falling
Selanjutnya Slowly Falling | [38]
58
0
Alura adalah wanita yang baru saja dikhianati oleh tunangannya.Sementara Favian adalah pria yang tengah menunggu cintanya.Keduanya sepakat menjalin hubungan yang saling menguntungkan atas nama kesepakatan. Alura perlu balas dendam, dengan cara menunjukkan bahwa dia bisa bahagia bersama pria lain. Sementara Favian menikmati setiap waktunya, karena cinta yang ditunggunya dia dapatkan saat itu juga.Namun, ketika waktu bergerak membantu dan menyisipkan cinta, apakah hubungan keduanya tetap akan berlalu menjadi sebuah kesepakatan dan balas dendam?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan