Simplify Our Heartbreak | [23, 24]

95
1
Deskripsi

[Part ini bisa dibaca gratis]

Davi pikir, segalanya sudah menjadi buntu. Sampai akhirnya, suatu kondisi memberikan sebuah celah untuk jalan keluar.

 Walau benci, dia akan kejar pria itu untuk menjadi pembuka jalannya.

Part [23]

Karena kejadian kemarin malam, Davi banyak berpikir. Dia meninghalkan Arjune dalam keadaan kemejanya yang basah dan hampir kering. Lalu agak sedikit menyesal tidak memastikan pria itu mengganti pakaiannya dahulu sebelum pergi.

Arjune memang bukan anak kecil yang menjadi tanggung jawab Davi seluruhnya, dia hanya sedang menjadi bagindanya sekarang.

Davi yakin ini bukan tentang khawatir atau apa. Dia hanya sedang gusar mengenai respons Tante Ardani tentang apa yang dialami anaknya semalam. Tentang luka lebam di tulang pipi kirinya, juga tentang keadaannya setelah itu setelah kehujanan.

Davi melangkah keluar kamar. Sempat memeriksa keadaan Arjune pagi ini, yang ternyata tidak perlu terlalu dia khawatirkan karena pria itu sudah pergi bekerja bahkan saat Davi belum sempat menemuinya.

Davi memiliki hari libur kerja yang tidak menentu. Seperti minggu ini, dia memiliki jadwal off pada  weekday. Namun, sejak pagi dia sudah bersiap pergi. Dia memiliki janji pada Nua, akan menemuinya hari ini. Niana juga memberi tahu bahwa mereka sudah menemukan rumah kontrakan baru dan pindah ke sana.

Davi sudah keluar dari gedung apartemennya. Langkahnya terayun dari teras lobi, bergerak keluar, lalu berhenti.

Ada SUV hitam yang kerap kali mengantar-jemputnya, yang kini terparkir di pelataran gedung seperti sengaja tengah menunggunya. Davi tidak perlu mengendap-ngendap saat menghampirinya, karena tahu Arjune sudah pergi. Dia hanya melangkah mendekat, dan sebelum langkahnya sampai, dia menemukan Rui yang kini keluar dari mobil.

"Mbak?" Davi hendak protes. "Aku udah izin di telepon kan, tadi? Aku nggak bisa ikut kelas hari ini. Aku harus—"

"Davi?" Tiba-tiba kaca jendela di jok belakang terbuka, wajah Tante Ardani muncul. "Saya akan antar kamu."

Jelas tidak ada pilihan lain ketika Tante Ardani sudah bertitah. Rui mengemudi, membawa kendaraan menuju daerah Duren Sawit, Jakarta Timur. Sementara Davi sudah duduk di jok belakang bersama Tante Ardani.

"Tadi saya sudah bertemu Arjune pagi-pagi sekali di kantor. Saya minta izin untuk bertemu kamu pagi ini, agar dia tidak curiga saat tahu bahwa saya yang antar kamu sekarang," ujar tante Ardani.

Jika mendengarnya, seharusnya Tante Ardani tahu tentang luka lebam di pipi pria itu, kan? Namun dia tidak membahasnya sama sekali.

"Saya pikir hari ini kamu nggak ke mana-mana, tadinya, mau saya ajak makan siang," ujar Tante Ardani lagi. "Kita belum bertemu setelah saya pulang dari luar kota kemarin."

Davi memperhatikan wanita itu dengan saksama. "Ada yang mau Tante sampaikan ke saya?" Dia semakin gusar.

Tante Ardani menggeleng. "Nggak," jawabnya. "Kenapa kamu selalu berubah tegang begitu setiap kali saya ajak makan siang?" tanyanya.

Karena biasanya, setiap kali Tante Ardani ingin bertemu, dia hanya akan membahas kesalahan Davi.

"Saya ... cuma ... kayaknya udah lama aja nggak ketemu." Iya, akhir-akhir ini, Tante Ardani memang jarang menghubunginya seperti dulu, tidak masif lagi. Dia cenderung percaya dengan apa yang akan Davi lakukan pada anaknya? "Kalau kamu punya waktu, boleh nanti kita makan siang sama-sama?"

Davi mengangguk. "Boleh. Tante tinggal hubungi saya aja."

Ada senyum yang tak kentara, tapi tetap bisa Davi tangkap dari raut wajah wanita itu. "Banyak yang mau saya sampaikan. Tapi intinya, saya berterima kasih karena kamu sudah berhasil bikin Arjune menjatuhkan pilihan di kamu." Kali ini senyumnya lebih lebar.

Entah senyum tentang bagaimana dia bisa mengalahkan lawannya—Tante Fony—atau benar-benar tulus karena kebahagiaan anaknya. Davi tidak tahu, lagipula itu tidak harus menjadi urusannya.

"Saya tahu kamu, salah satu temannya Arjune saat SMA. Lalu, saya lebih kenal kamu saat ... pertengkaran Arjune dan Yuana di malam pertunangan itu." Tante Ardani tiba-tiba bercerita. "Arjune memilih untuk menemui seorang wanita yang saat itu baru saja kehilangan ibunya daripada menyelesaikan pesta pertunangannya dengan wanita yang dicintainya."

Davi tidak menyangka bahwa malam itu suasananya sekacau itu. Sampai Tante Ardani sendiri tahu tentang Arjune yang pergi dari pesta untuk menemuiny.

"Saya mencari tahu tentang kamu sejak saat itu." Tante Ardani melepaskan kekeh singkat. "Impulsif saja, tidak ada tujuan apa-apa. Hanya ... penasaran," ujarnya. "Dan ternyata sekarang ada gunanya. Saya memilih wanita yang tepat."

"Maksudnya ..., Tante?"

"Membuat Arjune jatuh cinta sama kamu, nggak terlalu sulit. Karena mungkin saja ... dia sudah tertarik pada kamu sejak dulu. Iya, kan?" Tante Ardani menjadikan alasan kaburnya Arjune di pesta pertunangannya itu, alasan yang benar-benar bias.

Sempat tertegun, Davi masih kehilangan kata-kata dengan ucapan yang dia dengar. Entah harus senang atau bagaimana. Dia masih bingung. Tante Ardani terlalu abu-abu, entah berada di pihak mana, ingin mengalahkan siapa, dan memenangkan siapa.

"Mulai sekarang, saya akan lepaskan kamu. Kamu punya pilihan sendiri untuk melakukan ini dan itu," lanjut Tante Ardani. "Tapi tetap, kesepakatan di antara kita masih berjalan. Tenang saja, saya akan memberikan apa yang kamu mau."

"Termasuk untuk nggak ikut kelas-kelas yang Tante kasih?" Davi melakukan negosiasi. Walau dengan ucapan yang hati-hati.

"Kalau untuk itu, nggak." Tante Ardani menolak cepat. "Davi, dengar." Raut wajah Tante Ardani berubah menjadi sangat serius. "Saya pernah mengalami ... sedikit kejadian tidak mengenakan ketika pertama kali diajak oleh suami saya—yang saat itu masih menjadi kekasih saya, untuk bertemu keluarga besar Advaya," akunya. "Saya hanya gadis biasa, yang terlahir dari keluarga biasa. Saya tidak tahu apa-apa tentang ... kecilnya saja, table manner atau apa pun itu. Jangankan bicara dengan banyak orang." Dia menceritakannya dengan kesan sedikit gores luka di matanya. "Saya ketakutan sekali saat itu, menemukan banyak tatap mencemooh. Sampai akhirnya saya berjuang sendirian agar layak masuk ke kehidupan keluarga Advaya." Tangan Tante Ardani memegang bahu Davi, menepuknya pelan. "Saya nggak mau kamu mengalami hal yang sama. Sebisanya, saya akan menjadikan kamu layak saat masuk ke dalam keluarga Advaya. Sebisanya, saya akan membuat kamu tidak takut saat nanti berhadapan dengan mereka. Selama saya mampu, saya akan membiayai semuanya."

Davi tertegun, berpikir. Mungkin sekarang dia sedang berada di antara ibu-anak yang penuh kepura-puraan. Namun mendengar ucapan itu membuat sebagian dari dirinya percaya bahwa Tante Ardani tidak akan menyakitinya. Di luar rencana yang dia punya, setidaknya wanita itu tidak berniat menghancurkannya.

Rui membawa Davi sampaj ke alamat yang dia tuju, yang sebelumnya sama sekali belum pernah dia kunjungi. Sampai akhirnya, mobil itu memasuki kawasan sebuah komplek perumahan, tiba di depan sebuah rumah satu lantai bercat putih-abu-abu dengan pagar putih yang tingginya melewati tinggi orang dewasa pada umumnya.

"Aku turun ya, lain kali Tante bisa hubungi aku untuk makan siang sama-sama." Davi bergergas turun, tapi Rui menahan langkahnya yang hendak pergi.

"Bu Ardani sudah beli banyak sekali makanan di bagasi," ujar wanita itu seraya memutari mobilnya dan membuka pintu di bagian belakang mobil.

Davi menghampiri, ikut melihat bagasi yang kini terbuka. Ada berkantung-kantung makanan di sana, yang disukai kebanyakan anak kecil. Davi menatap Rui, bingung.

"Kata Bu Ardani, ini untuk Nua."

Begitulah ceritanya bagaimana rumah kecil itu kini dipenuhi oleh tujuh kantung plastik besar berisi makanan yang membuat Nua bersorak kesenangan. Ada Niana juga yang menyambut kedatangan Davi di rumah itu. "Kok, repot-repot banget sih, Vi?"

"Nggak repot, kok." Padahal, niat Davi sebelumnya adalah akan mengajak Nua ke minimarket dan membuat bocah kecil itu memilih makanan apa pun yang dia suka. Namun, seperti yang selalu dia ketahui selama ini, Tante Ardani memiliki satu-dua langkah lebih jauh dari rencananya. "Gimana kerjaan Mbak? Lancar?"

Niana tersenyum. "Lancar. Yah, yang penting sih lingkungan kerjanya nyaman." Wanita itu mengabari bahwa dia kembali bekerja di kantor tempatnya bekerja dulu, sebelum dia memiliki Nua. "Selama kerja, Nua sama omanya, diantar-jemput sekolah sama om atau tantenya." Karena sebelumnya, dia juga bercerita bahwa lingkungan rumahnya sekarang masih berada dekat dengan kawasan rumah orangtuanya.

Nua sudah menjauh ke ruang tamu bersama sebungkus snack yang tadi minta dibukakan. Terlihat ceria, tampak baik-baik saja. "Mas Rayan sempat datang?" tanya Davi.

Niana mengangguk. "Dia ingin bertemu Nua, tapi saat itu Nua lagi di rumah omanya, jadi ... nggak sempat aku pertemukan," jawabnya. "Aku juga ... sudah kasih tahu dia tentang gugatan cerai yang aku berikan."

Davi mengangguk. Rayan sempat mengatakannya, tapi dia hanya menunggu Niana kembali bicara.

"Dia marah," ujar Niana. Dia berkata setelah menghela napas panjang, terlihat tidak mudah melakukannya, mengatakannya. "Tapi aku rasa, untuk sekarang itu yang terbaik."

Davi mengangguk. Beberapa kali dia sudah meminta maaf pada Niana, tentang kesalahan kakak laki-lakinya yang brengsek itu. Jadi, pasti Niana sudah bosan sekali mendengarnya. Lagi pula, sekarang dia tidak membutuhkan permintaan maaf. "Aku akan bantu sebisaku, apa pun. Bilang sama aku kalau Mbak butuh apa-apa, atau mengalami kesulitan apa-apa."

Niana mengangguk. "Makasih ya, Vi."

Percakapan mereka terhenti. Karena Nua tiba-tiba berlari dengan cengirannya yang ceria. Tidak lagi ada snack di tangannya, dia memeluk sebuah mobil jeep mainan bersama remote control di tangan kananya. Mobil itu terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang mungil.

Niana menjadi orang pertama yang merespons kehadirannya. "Nua, kamu bawa mainan punya siapa?"

Nua mendongak. "Punya aku. Dari Papa."

Jawaban itu sontak membuat Davi dan Niana bangkit. Merasa perlu melindungi apa pun di sana, Davi bergerak lebih dulu ke arah ruang tamu. Dia berjalan cepat sampai menemukan sesosok pria yang kini berdiri di teras rumah.

Dia tidak menemukan Rayan di sana. Pria yang kini mengenakan kemeja khaki dan celana hitam itu menoleh. Ada dasi yang menggantung lelah di sela kerahnya, satu tangannya memegang tumbler berlogo salah satu coffee shop. "Tadi Mami bilang, Rui nganter lo pergi," ujarnya. "Jadi selesai meeting di luar, gue langsung ke sini." Kepalanya sedikit meneleng. "Lo bilang Mami saat mau pergi, tapi lo nggak bilang gue? Bagus begitu?"

***

Arjune berjongkok di samping Nua, dengan pakaian kerjanya yang kini sudah kusut karena terlalu banyak bergerak dan berlari. Dia tertawa saat mobil berjalan tersendat-sendat. Namun akhirnya, dia berhasil membuat remote control itu berguna lagi.

Sesaat sebelum menghampiri Davi, pria itu mengusap puncak kepala Nua, meninggalkannya sendirian.

Mereka kini duduk di sebuah bangku yang dinaungi oleh rimbunnya daun-dsun dari pohon kiara yang berbentuk seperti payung, teduh. Keduanya mengajak Nua pergi ke taman komplek untuk bisa memainkan mobil remote control yang tadi Arjune bawakan untuknya.

Melihatnya dari kejauahan, bocah kecil itu berlari ke sana kemari di antara rumput-rumput hijau yang dinaungi oleh jenis pohon yang sama. "Lo sengaja ke sini karena tahu nyokap lo nganterin gue?"

Arjune menoleh, ada lebam yang warnanya sudah berbayang di tulang pipi kirinya, sementara matanya terlihat sayu dengan kerjapan yang lemah. Selain itu, Davi juga melihat hidung yang memerah, yang tadi digosoknya beberapa kali, membuat Davi ingat pada kejadian tadi malam, saat pria itu mengenakan kemeja basahnya sampai kering sambil mengobati lukanya.

"Nggak juga sih, lebih ke ... kangen aja belum ketemu sama lo dari pagi." Arjune bicara dengan tenang, seolah-olah itu benar.

Davi menggeleng seraya mengalihkan tatapnya. Namun dia spat mendorong pipi Arjune yang kini mendekat. "Sumpah norak," gumamnya.

"Tadi, waktu gue sampai, Nua tiba-tiba tanya. 'Om siapa? Bawa apa?'," ujar Arjune. "Terus saat lihat apa yang gue bawa, dia tanya lagi, 'Ini dari Papa ya?'. Jadi, gue jawab, iya." Arah tatap Arjune tertuju pada Nua yang masih berlari mengikuti gerak mobilnya. "Udah berapa lama doa nggak ketemu papanya?"

Davi menggeleng, tidak tahu pasti. "Selama beberapa bulan terakhir. Sekitar ... lima bulan?"

Arjune mengangguk-angguk. Tatapnya masih tertuju pada Nua. "Kasihan ...."

Dan Davi hanya menyuarakan gumaman kecil.

Hening. Tidak ada suara selain tawa Nua. Dan suara bising kendaraan dari kejauhan yang seseksli melintas.

"Oh, ya .... Tadi pagi gue ketemu Papi, dia minta lo datang ke rumah."

Bola mata Davi membulat. "Gimana?"

"Papi." Arjune menggerakkan tangannya, meraih serpihan daun kering dari rambut Davi.

Davi sudah bertemu dengan Om Bram sebelumnya dan tahu bahwa pria itu sama sekali tidak mengerikan. Tapi, mendengar pernyataan Arjune barusan, tetap saja membuatnya terkejut.

"Dia bingung saat tahu lo belum dibawa ke rumah. Kok bisa? Katanya." Arjune tersenyum karena tatapnya menemukan Nua yang kini tertawa sendiri. "Dia minta lo dikenalkan ke keluarga besar secara resmi."

Davi menganga. Dia seharusnya bersuara, tapi belum kunjung menemukan kata. Dia mendengar ucapan ini seklias dari Tante Ardani tadi, tapi dia pikir semuanya tidak akan menjadi nyata secepat ini. Dia akan diperkenalkan di keluarga besar Advaya sebagai apa? "Kenapa harus sejauh itu?"

Arjune menoleh dengan kernyitan di keningnya. "Maksudnya?"

"Hubungan kita. Lo tahu gue nggak bener-bener—" cinta sama lo, dia melanjutkan kalimatnya dalam hati. "Lo tahu hubungan kita ini nggak untuk maju ke jenjang yang lebih jauh."

"Gue tahu. Tapi bokap gue nggak tahu. Keluarga gue juga nggak tahu."

"Ya harusnya lo cegah dong. Harusnya lo kasih alasan .... Apa, kek?"

Arjune mengubah posisi duduknya, kali ini dia mengeluarkan tangannya dari sandaran bangku agar dapat menatap langsung wajah Davi. "Kenapa, sih?" tanyanya. "Apa ruginya kalau memang hubungan ini berlanjut? Lo akan dapat lebih banyak dari yang lo inginkan."

Justru itu yang Davi takutkan. Bagaimana jika Davi menginginkan lebih banyak?

"Lo pikirin lagi deh." Arjune bangkit dari bangku terlebih dahulu. "Gue harus balik ke kantor," ujarnya seraya melihat jam tangan.

Matahari sudah bergerak untuk bersembunyi dari balik pohon-pohon kiara yang berada di bagian barat taman. Dia melihat Nua masih berlari, lalu memanggilnya. "Nua!" Tangan Davi melambai. "Pulang, udah sore."

Dan Nua bergegas meraih mobil jeep-nya sambil berlari. Langkahnya bergabung di paving block yang berada di sisi taman. Bocah itu sudah berjalan mendahului Arjune dan Davi yang kini berjalan menyusuri sisi-sisi taman.

"Mau gue antar pulang dulu?" tanya Arjune.

Davi menggeleng. "Gue di sini dulu." Menunduk, dia menatap langkah kakinya di samping pantofel hitam yang mengayunkan langkah seirama dengannya. Punggung tangan keduanya saling bersentuhan, yang seharusnya biasa saja, tapi hal itu membuat Davi cepat-cepat menarik tangannya ke tengah.

"Makan malam nanti lo udah pulang?" tanya Arjune lagi. Dia melambaikan tangan pada Nua yang sudah menunggu di sisi taman.

Davi mengangguk. "Udah. Kenapa?" tanyanya, dia terkesiap saat Arjune tiba-tiba saja menggerakkan tangannya untuk meraih tangannya guna menggeserkan tubuhnya ke sisi kiri. Pri itu berpindah tempat ke sisi kanan saat ada segerombolan anak muda laki-laki berjalan berlawanan arah.

"Nanya aja," ujar Arjune. Keduanya masih berjalan bersisian, beriringan, dengan irama yang makin sama, dengan tangan Arjune tidak kunjung dilepaskan bahkan ketika gerombolan anak muda itu sudah jauh melangkah di belakang sana.

***









 

Tim Sukses Depan Pager

Alkaezar Pilar
Gue pikir meeting sore tadi bakal ketemu lo, June.

911
Ada Pak Indra kan tadi? Gue suruh dia gantiin.

Alkaezar Pilar
Tumben ....

Janari Bimantara
Nggak kerja, June?

911
Kerja mulu. Nanti tambah kaya, nggak enak sama yang lain.

Hakim Hamami
Tertawa dengan tatapan kosong seperti saldo.

Favian Keano
Tai.

Baru dapet bonus project baru juga.

Janari Bimantara
Arjune mah kalau nggak sampe sekarat biasanya tetep kerja.

Alakaezar Pilar
Sakit, June?

Shahiya Jenaya
Perhatian amat, Abi.

911
Sedang tidak butuh Kaezar, butuhnya Davi.

Shahiya Jenaya
HALAH.

911
Davi, sini dong.

Davi Renjani
Di mana, June?

911
Kamar.

Janari Bimantara
Enak ya Arjune sakit udah ada yang nemenin.

Favian Keano
Dulu sakit sendiri. Meriang sendiri.

Hakim Hamami
Dulu juga gue gitu. Sakit sendiri. Meriang sendiri. Sekarang gue udah bisa ketawa sendiri sama senyun-senyum sendiri.

911
Ternyata enak ya dipeluk lagi sakit tuh ....

***
 

Part [24]

Davi menepati janjinya hari ini, dia menemani Tante Ardani yang datang untuk mengajaknya makan siang di sela-sela waktu kerjanya. Dia baru saja pulang dari salah satu restoran yang berada di Kawasan Mega Kuningan, tempat terakhir kali Tante Ardani bertemu dengan koleganya.

Davi pikir, setelah itu, Tante Ardani akan bergegas pulang, nyatanya wanita itu memilih untuk menghabiskan waktu makan siangnya di Blackbeans, memesan sepotong cheesecake dan secangkir green tea.

Masih di sela jam kerja, saat pekerjaannya sudah tidak hectic lagi, Davi menghampiri Tante Ardani yang duduk bersama Rui di sebuah sofa bludru dekat fasad bangunan. "Ini serius kamu yang bikin?" tanya Tante Ardani saat Davi sudah mengambil tempat duduk di samping Rui.

Dari tempatnya sekarang, mereka bisa melihat suasana luar Blackbeans yang ramai. Para pejalan kaki yang berlalu lalang di trotoar, dinaungi oleh warna awan yang sudah keruh.

Davi mengangguk. "Sebelum kerja di sini, aku ikut kelas pastry."

"Dan kerjaan kamu sebenarnya di sini?"

"Saya pegang kitchen, khusus untuk dessert. Tapi karena kadang beberapa karyawan istirahat dan lain-lain, saya bantu di depan juga."

Tante Ardani mengangguk-angguk. "Enak ...," pujinya. "Mengingatkan saya pada cake yang Arjune kasih saat saya ulang tahun dulu." Dia tersenyum lagi saat mengingatnya. "Kamu lho ... satu-satunya orang yang pernah bikinin saya cake khusus buat saya selain ibu saya dulu."

"Padahal waktu itu saya belum ahli banget lho, Tante. Cuma lagi semangat-semangatnya karena baru bisa bikin."

Tante Ardani menyimpan sendok di sisi piring cake-nya, dua tangannya saling bertaut di atas meja saat menatap Davi. "Saya bisa lho ... bikin mimpi kamu jadi nyata dalam waktu cepat. Saya bisa membiayai Sweetness Slice agar—"

"Nggak, Tante." Davi menolak bahkan saat Tante Ardani belum selesai menyatakan penawaran. "Saya akan bangun Sweetness Slice sendiri." Dia tahu Tante Ardani akan memberi segalanya, tapi jelas akan ada timbal-balik. Dan ... Davi tidak ingin terlibat lebih banyak dengan membayar lebih besar dari kesepakatan awal.

Dia cukup kewalahan dengan keadaannya sekarang. Jadi, keinginannya sudah benar-benar sangat disederhanakan, dia hanya ingin Sweetness Slice kembali.

"Beberapa kali saya melihat Arjune mengobrol dengan papinya akhir-akhir ini," ujar Tante Ardani. Davi cukup takjub saat wanita itu langsung mengalihkan topik pembicaraan dan tidak memaksakan penawarannya. "Dan saya sedikit-banyak  tahu apa yang papinya bicarakan."

Davi hanya menunggunya lanjut bicara.

"Mereka bicara tentang kamu." Tante Ardani kembali menekuri cheesecake-nya.

"Ini kabar baik? Atau sebaliknya?" tanya Davi. Dia menoleh saat mendengar Rui melepaskan kekeh pelan.

Tante Ardani ikut tertawa kecil. "Saya nggak tahu, ini bakal jadi kabar baik atau nggak buat kamu. Tapi kayaknya, suami saya sedang membujuk Arjune supaya cepat melanjutkan hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius."

Davi terperangah. Karena Tante Ardani tengah menyesap minuman di cangkirnya, dia segera menoleh dan menatap Rui untuk mencari jawaban. "Terus aku harus gimana?" tanyanya. "Ma-maksudnya, ini di luar rencana, kan? Kita nggak pernah berpikir bahwa semua akan sejauh ini."

"Saya kan sudah menyerahkan dan memercayakan semuanya pada kamu. Jadi kamu dong, yang harus handle semua dan bikin keputusan sendiri." Tante Ardani kembali ke dalam perannya yang antagonis. Sayap malaikatnya hilang. Lalu tubuhnya condong ke depan. "Keinginan saya sejak dulu nggak muluk-muluk, hanya ingin Arjune meninggalkan Yuana," ujarnya. "Dan sekarang, saya cukup senang saat Arjune tiba-tiba berbalik menyukai kamu. Tapi tentu saja, saya nggak senaif itu, saya harus pastikan bahwa ini semua bukan hanya akal-akalan Arjune untuk mengelabui saya."

***

Davi bisa pulang setelah jam makan siang karena hari ini dia memiliki jadwal shift pagi. Baru mengecek ponsel, dia menemukan satu panggilan tak terjawab yang berasal dari nama kontak '911'.

Bagaimana bisa nomor darurat itu menghubunginya di saat seharusnya Davi yang melakukannya?

Davi mencoba menghubungi nomor itu sekali. Tidak ada jawaban. Mengecek beberapa pesan singkat, dan dia menemukan Arjune menyebut-nyebut namanya di salah satu percakapan di grup. Pria itu juga mengaku kalau hari ini dia sedang sakit.

Jadi, tempat tujuannya saat pulang sekarang bukan unitnya, melainkan unit apartemen Anak Manja yang sejak tadi mencoba menghubunginya, tapi tanpa sengaja dia abaikan. Davi memasuki unit apartemen itu dan tidak menemukan tanda-tanda kehidupan. Hanya ada sepasang sepatu yang ditaruh serampangan tepat di depan pintu masuk.

Davi melangkah lebih dalam, dan dia tidak menemukan Arjune di ruang yang berada di lantai dasar. Davi tidak mencoba memanggilnya, karena bisa saja pria itu sedang tertidur di kamarnya.

Dan benar. Arjune tengah tidur menelungkup di satu sisi tempat tidur, wajahnya hampir jatuh, sementara tangan kanannya sudah terjulur ke lantai. Pria itu pergi bekerja tadi pagi, tidak mengeluh sama sekali, karena benar kata Janari, dia akan tetap bekerja selama kakinya masih bisa diajak untuk berjalan.

Dan siang ini, pria itu memutuskan untuk pulang, yang artinya dia benar-benar sakit. Davi memeriksa keningnya, lalu sisi lehernya. Arjune demam, dan Davi berdecak. Tidak segera beranjak dari sana, Davi duduk di sisi tempat tidur seraya memandangi wajah lelap itu.

Selama perjalanan pulang, Davi gusar. Dia khawatir ketika mendengar kabar bahwa Arjune sakit. Ada garis batas yang seharusnya benar-benar dia tarik dan pastikan. Agar tidak gamang seperti sekarang. Kekhawatirannya, apakah hanya sekadar melihat pria itu sebagai sertifikat rumahnya  seperti dulu atau ... karena dia tulus mengkhawatirkannya?

Davi sadar ada sesuatu yang berubah dari dalam dirinya saat Arjune menolongnya malam itu. Saat Arjune melindunginya dari Rayan. Kembali dia ingat bagaimana Arjune merebut ketakutannya dan menenggelamkannya dalam aman. Lama, Davi berpikir, sampai akhirnya dia akui detik ini.

Bahwa, Arjune adalah aman yang tidak pernah dia temukan lagi semenjak ayahnya pergi. Arjune adalah hangat yang tidak pernah dia rasakan lagi semenjak ibunya pergi.

Memangnya boleh seperti itu?

Seharusnya tidak.

Jemari Davi mengusap helai rambut Arjune yang jatuh ke wajahnya. Memperhatikan bagaimana lekuk wajah itu terlihat. Dia, yang selalu datang saat Davi sedang jatuh dan sendirian, sekaligus orang yang selalu terang-terangan memberi pernyataan bahwa dia tidak seharusnya diharapkan.

Jahat sekali.

Davi membenarkan posisi tidur Arjune, menggulingkan tubuhnya ke bagian tengah tempat tidur dengan hati-hati. Menemukan kemejanya yang kusut sekali dan dasi yang terlipat karena tadi tertindih dadanya sendiri. Davi melonggarkan simpul dasi sebelum beranjak dari kamar itu.

Dia tidak tahu bagaimana kebiasaan Arjune saat sakit, tapi dia akan coba melakukan sesuatu untuk pria itu. Katakan saja, sederhananya Davi hanya merasa bersalah dan membalas budi, saat dia memutuskan untuk membuat sebuah menu makanan dengan bahan-bahan makanan yang dia temukan dari dalam lemari es.

Davi masih berada di pantri, baru saja mematikan kompor saat mendenger sayup-sayup suara parau Arjune yang tengah berbicara. Suara itu mendekat, beriringan dengan langkah kaki yang kini terdengar semakin jelas.

Keduanya bertemu tatap saat Davi berbalik sambil membawa semangkuk cream soup ayam yang baru saja berhasil dibuatnya. Wajah Arjune yang terkantuk-kantuk tampak terkejut saat mendapati kehadiran Davi, tapi dia terus berjalan dengan gerakan lunglai sambil bicara dengan seseorang di telepon.

Duduk di stool, satu tangannya menyangga kening. Beberapa kali hanya menyuarakan gumaman. Lalu bicara hanya untuk menutup percakapan. "Oke. Kirimin aja, nanti saya periksa." Padahal wajahnya terlihat tengah menahan nyeri di kepala, tapi dia memutuskan untuk tetap bekerja. "Lama banget kayaknya gue tidur." Dia tampak menyesal ketika melihat jam tangan, decakan terdengar di ujung kalimat.

"Bisa sakit juga, ya?" tanya Davi. Dia mengambil tempat duduk di samping Arjune dan menyaksikan pria itu mengambil iPad untuk memeriksa pekerjaannya. "June?"

Arjune menoleh.

Davi menggedikkan dagu ke arah mangkuk.

Dan Arjune hanya membuka mulut.

Davi memutar bola mata. Dia menggeser sup agar lebih dekat ke arah Arjune. Merebut iPad di tangannya, menggantinya dengan sendok. "Makan dulu bisa nggak, sih?"

Arjune hanya tertawa. Tidak banyak mendebat seperti biasa, dia pasrah saja saat Davi menjauhkan iPad-nya.

"Ini pasti gara-gara malam itu lo ujan-ujanan deh." Davi meringis ketika ingat lagi. Lalu kembali membayangkan jika Tante Ardani tahu. "Lain kali nggak usah aneh-aneh deh."

Arjune mengernyit, mungkin merasa diremehkan. "Gue nggak selemah itu ya. Bukan karena alasan ujan-ujanan gue langsung sakit. Malam itu gue baru balik dari Makassar, belum makan. Sengaja nyamperin lo mau ngajak makan malam bareng, tapi malah berakhir ... Yah, gitu." Dia seperti tidak ingin membahasnya lebih jauh.

"Jadi malam itu lo lagi laper?" gumam Davi. "Pantes emosi lo meledak-ledak ya." Dia ingat saat Arjune memukul Rayan tanpa ampun. "Orang laper kan biasanya emosinya nggak kekontrol."

Arjune terkekeh. Tangannya mengganung di udara, sup menetes di ujungnya. Dia menatap Davi. "Lo beneran ke sini? Gue pikir bakal cuek aja," ujarnya sebelum lanjut makan. "Udah pengen banget dibilang calon istri idaman apa gimana?"

"Terserah deh." Ada sesal karena tadi dia sempat begitu khawatir. "Karena lo lagi sakit, jadi lo bebas mau mikir kayak gimana."

Arjune masih terkekeh. "Thanks lho, pertama kalinya punya cewek yang pinter masak," akunya. "Jujur ini enak."

"Bukan karena lo lagi lapar?"

"Bukan, Sayang. Ini beneran enak."

Mungkin ucapannya benar, tidak mengada-ada, karena Davi menemukan mangkuknya yang kini kosong. Arjune menggesernya ke sisi, lalu menenggak habis air minum dari gelas yang Davi berikan.

"Lo mau gue suruh Rui panggilin dokter?" tanya Davi.

Arjune menggeleng. "Nggak usah."

"Ada obat yang biasa lo minum kalau lagi sakit gini?"

Arjune meraih kembali iPad-nya, lalu menoleh. "Jangan jadi perhatian gini dong, Vi, kalau gue baper lo mau tanggung jawab?"

Davi berdecak. "Gue serius." Dia turun dari stool untuk mengambil kotak obat dari kabinet di bawah tv. Dia tahu pasti letaknya.

Dan Arjune membuntutinya, duduk di sofa sambil menunggunya mengambil kotak itu mendekat.

"Gue telepon Rui untuk nanya obatnya." Davi baru saja meraih ponselnya, tapi Arjune segera menurunkan tangannya.

"Kenapa nggak lo peluk aja guenya? Kayaknya gue lebih butuh itu."

Davi menghela napas panjang. Dia sudah menyerah dan menaruh kotak obat di pangkuannya ke atas meja. "Lo mau gue ambilin air putih lagi?" tanyanya. "Kayaknya demam lo tinggi banget deh sampai ngelantur mulu." Dia beranjak dari sofa, meninggalkan Arjune yang kembali tenggelam dalam pekerjaannya.

Davi baru saja mengambil segelas air dari water dispenser. Melewati meja bar, dia menemukan ponsel Arjune dengan layar yang menyala-nyala. Nama 'Yuana' muncul dan terus membuat ponsel itu bergetar. Davi melirik Arjune yang masih fokus pada layar iPad. Mungkin normalnya, dia memberi tahu bahwa ada seseorang yang kini tengah menghubunginya.

Sempat tertegun, berpikir.

Mungkin saja, Yuana sedang membutuhkan Arjune sekarang. Entah untuk apa. Namun, membayangkan Arjune akan membagi dekapannya dengan wanita lain, ada sebagian dalam diri Davi yang tiba-tiba tidak bisa terima.

"Vi ..., gue udah bilang belum kalau hari ini gue bicara sama Papi?" Suara Arjune membuat Davi terkesiap dan mengabaikan ponsel yang tadi sempat diam dengan layar meredup sebelum akhirnya kembali menyala-nyala.

"Kenapa?" Davi kembali menghampirinya, mengangsurkan segelas air. Tatapnya sempat melirik ke arah meja bar sebelum memutuskan kembali duduk di samping pria itu.

"Papi minta gue ngajak lo makan malam di rumah."

"Hah—kapan?"

"Katanya, kalau bisa malam ini." Arjune bicara tanpa menatap Davi. Dia masih menunduk, matanya tidak lepas dari layar iPad. "Dia pengen ngenalin lo ke keluarga besar."

"June ...."

"Favita yang bakal urus semua. Kalau lo setuju, lo tinggal bilang apa yang lo butuhkan."

"Nggak. Gini." Davi meminta waktu untuk diperhatikan dan berhasil. Arjune menoleh, menatapnya. "Lo pernah berpikir nggak, saat nanti kesepakatan kita selesai ..., hubungan kita juga selesai, apa kata keluarga besar lo?"

"Memangnya, lo tahu kesepakatan kita selesai di mana?" tanya Arjune. "Lo tahu kita bakal berhenti di mana? Misal lo harus dapet apa dari gue atau—lo punya target sendiri untuk itu?"

Seperti ditembak tepat di tenggorokan. Davi sulit bicara. Tentu saja itu titik di mana Tante Ardani sudah menyerahkan kepemilikan Sweetness Slice dan rumahnya. Dia akan berhenti. Seluruh kesepakatannya terhenti. Termasuk kesepakatannya dengan Arjune.

"Gue minta nomor Favita." Davi memutuskan untuk tidak menanggapi pertanyaannya.

Arjune mengangguk. "Oke." Dia hanya tersenyum. "Gue akan kasih tahu Papi kalau lo setuju."

Davi berdiri, beranjak dari sofa. "Lo nggak butuh apa-apa lagi, kan? Gue mau balik."

Arjune mendongak. Kakinya menyilang dengan iPad yang masih dia genggam. "Sebenarnya gue butuh lo, sih." Wajahnya meneleng. "Tapi lihat tagihan credit card bulan ini, malah bikin gue canggung mau ngapa-ngapain lo."

"Maksudnya?"

"Lo pakai credit card dari gue buat apaan, sih?"

Davi mengingat-ingat. Dia ingat malam-malam pernah kehabisan stok pembalut sementara di tasnya dia lupa tidak menyertakan dompet. Sementara kartu kredit pemberian Arjune memang sengaja dia taruh di salah satu saku tas agar tidak bergabung dengan uang-uang di dalam dompetnya.

Namun, malam itu terpaksa dia harus menggunakannya. Dia belanja dengan minimal pembayaran seratus ribu. Dan dia mengambil lebih banyak stok pembalut untuk mencapai minimal pembelanjaan.

"Ini antara ... lo memang menghargai diri lo dengan nominal segitu atau memang lo sengaja supaya gue nggak berhak nyentuh lo lebih jauh?" tanya Arjune.

"Terserah lo mau mikir kayak gimana."

"Dua-duanya gue nggak suka," ujarnya tersinggung. "Seratus ribu doang gue bayar. Kesannya gue pelit dan perhitungan banget." Arjune mendecih sinis. "Gue masih punya harga diri lah buat nggak nyentuh lo dengan harga segitu. Lain kali lo bisa pakai lebih banyak, biar gue juga nggak sungkan ngapa-ngapain lo."

"Memang lo sanggup bayar berapa?" tantangnya. Dia terlalu marah, terlanjur luka. Tangannya terulur, menengadah. Seperti yang Rui bilang, seharusnya dia tidak boleh gentar untuk memberi Arjune pelajaran.

Arjune menaruh iPad-nya ke sofa. Dari saku belakang celananya, dia meraih dompet. Mengeluarkan lembar-lembar seratus ribuan yang entah berapa jumlahnya. Mengulurkan tangan. Tatapnya terarah ke bibir Davi, lalu turun ke dadanya. "Segini cukup nggak?"

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Simplify Our Heartbreak | [25, 26]
110
0
[Part ini bisa dibaca gratis]Davi pikir, segalanya sudah menjadi buntu. Sampai akhirnya, suatu kondisi memberikan sebuah celah untuk jalan keluar. Walau benci, dia akan kejar pria itu untuk menjadi pembuka jalannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan