Simplify Our Heartbreak | [21, 22]

93
4
Deskripsi

[Part ini bisa dibaca gratis]

Davi pikir, segalanya sudah menjadi buntu. Sampai akhirnya, suatu kondisi memberikan sebuah celah untuk jalan keluar.

 Walau benci, dia akan kejar pria itu untuk menjadi pembuka jalannya.

Part [21]

"Davi?" Arjune kembali bersuara ketika Davi masih membeku dalam bingung. "Will you marry me?" Dia bertanya untuk kedua kali.

Di antara riuh suara banyak orang yang terkagum-kagum pada adegan itu, Davi melihat Arjune yang menatapnya dengan senyum—terlalu santai untuk seorang pria yang baru saja melamar wanitanya di depan banyak orang.

Seseorang sudah memberinya microphone, tapi Davi masih membeku. Perlahan dia melirik Tante Ardani yang kini ikut menatapnya dengan wajah gusar. Sama sekali tidak ada petunjuk atas jawaban yang harus dia berikan. Skenario sejauh itu, sama sekali belum mereka persiapkan.

Sorak suara orang-orang di sekelilingnya kembali menyadarkan Davi yang selama beberapa saat tadi terperangkap dalam gamang. Dia mencoba menatap Arjune sekali lagi, memastikan pria itu tidak lagi mengatakan omong kosong.

Dan, dia tidak menemukan petunjuk apa-apa sampai sorak dan tepuk tangan itu layaknya dorongan sebelum satu langkahnya membawanya masuk ke jurang. Dia jelas tidak mungkin menolak ajakan itu karena akan membuat Tante Ardani dan Om Bram malu setengah mati di depan banyak orang.

Namun, terlalu berisiko ketika dia menyetujui. Arjune dengan segala tingkah impulsif yang tidak bisa ditebak membuat Davi semakin kelabakan. Sementara dia harus tetap menjawab. Jadi, dia menjawab dengan suara ragu yang bergetar, "Yes, I will."

Setelah itu, dia tahu langkahnya tentu tidak boleh berhenti di sana. Dia harus mengikuti segala permainan Arjune ketika memutuskan untuk terus mempertahankan kerjasamanya dengan Tante Ardani. Walau tentu saja, dengan penuh hati-hati.

Sesaat setelah itu, Davi melihat Arjune bergerak turun. Pria itu datang dengan sekotak cincin yang dia pamerkan isinya. Saat tiba di hadapannya, Arjune merasa tidak perlu repot-repot meminta izin, tangannya menyematkan cincin di jari manis Davi tanpa mengatakan apa-apa.

Di antara riuh suara kagum dan takjub, Arjune masih belum puas. Wajahnya bergerak merunduk, memberi ciuman singkat yang tipis di bibir Davi seolah-olah itu adalah hal yang wajar. Davi tidak menemukan aroma alkohol dari bibirnya, dari napas tipis yang tadi menerpa wajahnya, tapi dia tetap ingin memastikan. "Lo nggak lagi mabuk, kan?"

Dan Arjune hanya menyeringai seraya menelengkan wajah, ibu jarinya mengusap sisi bibirnya sendiri, menemukan noda lisptik merah milik Davi uang menempel di sana. "Nggak transferproof, ya?" tanyanya, random sekali.

***

Dari kejauhan, Davi melihat Rui baru saja mengurai diri dari Arjune dan teman-temannya. Ada Favian di sana, orang yang terakhir mengangguk dan memberi senyum pada Rui saat wanita itu pergi. Tamu-tamu lain berangsur pergi, orang-orang di ruangan itu berangsur surut. Tersisa beberapa rekan bisnis Tante Ardani dan Om Bram yang kini masih duduk di salah satu meja, masih sibuk mengobrol dengan tampang-tampangnya yang serius.

Davi sedikit terkesiap saat ponselnya yang berada di dalam clutch memberikan getar panjang. Dari tadi dia berdiri menepi seperti baru saja menerima sebuah kabar teramat buruk, padahal dia baru saja menerima lamaran seorang pria. Dan pria itu adalah Si Tuan Muda Gila yang kini sedang tertawa-tawa bersama teman-temannya.

Davi menatap layar ponselnya, ada nama Rui di sana yang kemudian membuat Davi menggeser ke kanan ibu jarinya dengan tergesa. "Mbak, sumpah aku butuh bantuan kamu. Aku kayak orang linglung dari tadi."

Jarak keduanya hanya terpaut beberapa meter saja, tapi tidak memungkinkan untuk bercakap-cakap dalam jangkauan penglihatan Arjune. "Kamu bisa tenang dulu. Oke, saya tahu ini semua nggak ada dalam rencana kita. Saya juga belum bisa bicara dengan Bu Ardani karena—seperti yang kamu lihat—beliau sibuk sekali dari tadi."

"Lalu?" Davi tahu langkahnya sudah terayun sangat jauh.

"Kita bicara besok," ujar Rui. "Untuk malam ini, saya percaya kamu bisa handle Arjune sendirian."

Davi menghela napas berat, sambungan telepon terputus karena keberadaan Rui dihampiri oleh Arjune dan teman-temannya. Mereka tampak kembali saling sapa untuk pamit pergi. Sampai akhirnya, Arjune menghampirinya sendirian. Pria itu mengulurkan tangannya untuk meraih pinggang Davi sementara satu tangannya masih dia masukkan ke saku celana.

"Mami udah bilang kalau malam ini kita nggak harus pulang?" tanyanya.

Davi menoleh. Seiring dengan tangan Arjune yang menarik pinggangnya, langkahnya juga ikut terayun, bergerak mengikuti Arjune. Mereka sudah keluar dari ballroom, tapi Arjune tidak membawanya ke lobi. "Maksudnya gimana?" tanya Davi.

Dan setelahnya, Tante Ardani hadir bersama Om Bram. Ada senyum semringah yang mengembang dari wajah pria paruh baya itu, tampak bahagia setelah melihat anak laki-lakinya berhas melamar seorang wanita dan diterima.

Ah, seharusnya Om Bram tahu bahwa Davi tidak seistimewa itu untuk diberi penghargaan senyum selebar itu.

"Favita sudah Mami suruh check-in kamar untuk kalian berdua. Karena kalian pasti lelah sekali. Besok saja pulangnya."

Dan Arjune mengangguk. Menggumam untuk mengiyakan. Sebelum pergi, Tante Ardani menatap Davi, hanya tersenyum tanpa isyarat apa-apa. Namun, dia tahu urusan di antara keduanya semakin pelik. Setelah itu, seorang wanita yang Tante Ardani sebut bernama Favita tadi, menghampiri Davi dan Arjune sembari membawa keycard.

Arjune mengucapkan terima kasih, sementara Davi masih memperhatikan kartu yang berada di tangan pria itu. "Ini ada dua kok keycard-nya," jelas Arjune, seolah-olah bisa membaca kerisauan Davi. Dia menunjukkan dua lembar kartu yang masih terbungkus kertas berlogo hotel. "Mami nggak sesembrono itu buat bikin kita tidur bareng," ujarnya. "Walaupun ya gue nggak akan nolak kalau lo mau," lanjutnya.

Davi tidak bicara apa-apa. Jika saja ada seseorang yang menghapus make-up-nya sekarang, pasti wajahnya masih terlihat pucat. Dia masih syok dengan keputusannya sendiri bahwa sekarang beberapa orang tahu dia adalah calon menantu keluarga Advaya. Davi bungkam sampai langkahnya bergerak ke dalam lift, keluar untuk menyusuri koridor yang dibatasi oleh pintu-pintu kamar. Langkah keduanya teredam karpet tebal, sampai akhirnya tiba di depan sebuah pintu kamar, dan Arjune berhenti untuk membukanya.

Arjune mempersilakan Davi masuk lebih dulu, sementara dia melangkah di belakang dan ikut melangkah masuk setelah memastikan lampu di kamar itu menyala. "Padahal sebenarnya satu kamar aja cukup nggak, sih?" Arjune melangkah masuk sembari membuka jas hitamnya dan menyampirkannya begitu saja di salah satu sofa panjang yang berada di dekat dinding kaca. "Iya nggak?"

Davi baru saja menaruh clutch-nya di meja. Seharusnya dia takjub dengan ruangan luas yang dijejaknya saat ini. Dekorasi dan furniture di ruangan itu terlihat mewah, ada ukiran batu dan pahatan kayu bergaya Bali, lampu gantung kristal, juga lukisan yang menempel di backdrop salah satu sisi dinding.

Ruangan itu mengurung siapa saja yang ada di dalamnya dari aktivitas sibuk Jakarta. Terasing dari bising, terjauh dari riuh. Dan dari Kaca jendela yang baru saja Arjune sibak gordennya, Davi bisa melihat gedung-gedung tinggi dengan lampu-lampu terang menyala di luar sana.

"Gue mau istrihat, lo bisa keluar nggak?" Davi tidak mendengar instruksi apa-apa, jadi dia tidak ingin mengambil tindakan lebih jauh untuk lama-lama bersama Arjune di sini. Dan dia sedang tidak percaya diri seperti apa yang Rui yang bilang bawah dia bisa meng-handle Arjune,

"We have to celebrate deh kayaknya," ujar Arjune, pria itu sudah duduk di sofa dan melepas dasinya. Kali ini dia sedang menunduk untuk membuka kancing-kancing kemeja di pergelangan tangannya.

Sementara Davi yang baru saja hendak membuka triple drop earing dari telinga kirinya, kini berbalik, menatap Arjune. "Apanya?"

"Hubungan baru kita," jawab Arjune. "Gue baru aja bikin lo jadi pacar gue dan berhasil lamar lo dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam." Arjune melempar keycard kamar miliknya. "Kita bisa rayain dengan ... tidur di sini? Berdua?"

Dan Tiffany & Co yang baru saja terlepas dari telinga, terjatuh di lantai. Davi tidak gugup, dia hanya sedikit panik. Tiba-tiba saja ingat saat Arjune melancarkan serangan balik saat Davi memancingnya dengan satu ciuman singkat.

Pria itu ... tidak pernah main-main dengan niatnya.

Arjune terkekeh. Dia bangkit dari sofa setelah menyingsingkan dua lengan kemejanya sampai sebatas sikut. Setelah berdiri di depan Davi, dia membungkuk untuk meraih anting yang terjatuh tadi, memperhatikannya sesaat. "Kenapa, sih? Bukannya lo nggak usah kaget-kaget gini ya setelah memutuskan untuk nerima gue?"

Davi meraih anting yang Arjune angsurkan padanya. Dia sudah mengenal pria itu bertahun-tahun, tapi tentu saja tidak pernah ingin tahu bagaimana cara pria itu menjalin hubungan dengan wanita. Namun, semakin lama mengenalnya, Davi tahu bahwa pria di hadapannya ini berbahaya sekali.

Arjune menunduk, mengeluarkan dompet dari saku celananya. Dia mengangsurkan sebuah kartu. "Nih."

Davi pernah melihat dan tahu tentang kartu yang kini diangsurkan padanya. Kartu kredit berwarna hitam dengan sedikit gradasi silver di bagian tengahnya itu memiliki bagian chip berwarna emas yang elegan di satu bagian sisinya.

Davi pernah melihat Chiasa memegangnya, kartu itu memiliki biaya pengajuan di atas satu miliar, bisa digunakan di berbagai negara dengan jumlah tarik tunai di atas seratus juta. Sehingga Chiasa kerap membawanya ke mana-mana saat pergi berlibur.

Namun, Davi tidak pernah membayangkan apalagi sampai memimpikan kartu itu bisa berada dalam dompetnya.

"Bisa nggak sih kita bikin kesepakatan dulu?" tanya Davi. Sebelumnya, dia menjanjikan tubuhnya, tapi tentu saja dia tidak berniat memberikan seluruhnya.

Namun, Arjune menciutkan nyalinya. Seolah-olah bayaran yang akan Davi dapatkan sekarang bisa membayar seluruh tubuhnya tanpa sedikit pun ada titik yang terlewat.

Dan hanya dengan membayangkannya, kewarasan Davi terganggu.

Tangan Arjune masih menggantung di udara dengan kartu yang terselip di antara jemarinya. "Kesepakatan apa?"

"Sejauh apa lo akan menyentuh gue?" Setelah gue terima kartu itu.

Arjune melepaskan kekeh singkat. "Gimana?" Baginya mungkin itu terdengar seperti lelucon. "Kenapa sih lo lucu banget?" tanyanya. "Tadi lo sendiri yang bilang kalau gue bisa menikmati lo dalam satu hubungan yang jelas, sekarang lo malah kelihatan nggak yakin kayak gini."

"Karena lo aneh." Davi menatap Arjune lekat-lekat. "Lo mabuk, ya?" tanyanya. "Sampai bisa tiba-tiba ngelamar gue kayak tadi?"

Tiba-tiba saja Arjune mendekat, wajahnya merapat, nyaris berhasil mencium bibir Davi jika saja Davi tidak menyingkir. Akhirnya, pria itu hanya berhasil mencium pelipisnya. "Gue cuma mau buktiin kalau gue nggak minum alkohol, lo bisa cium sendiri."

Davi menepuk dada Arjune agar pria itu menjauh, dan yang dia dapati, pria itu terkekeh lagi. "Kasih tahu gue kenapa lo kayak gini?" Pasti terdengar seperti sebuah permohonan, karena jujur saja, sekarang dia bingung sekali. "Lo memanfaatkan gue? Supaya nyokap lo nggak berusaha menjauhkan lo dari Yuana, lo bikin seolah-olah lo udah jatuh cinta sama gue?"

Arjune menghela napas panjang, tatapannya memicing. "Kenapa lo mendadak sewot sama alasan yang gue punya di balik tingkah gue sekarang?" tanyanya. "Lo nggak terima gue manfaatin? Bukannya sejak awal lo tahu kalau hubungan kita ini sebatas saling menguntungkan aja?" Dia kembali mengacungkan kartu di tangannya. "Lo memanfaatkan gue untuk ini—dan gue nggak peduli mau lo pakai untuk apa. Jadi gue, bebas memanfaatkan lo untuk alasan apa aja. Iya, kan?"

Davi berjengit mundur ketika tubuh Arjune kembali merapat. Dia ingin berkata bahwa dia tidak membutuhkan apa-apa. Tentu saja, dia tidak membutuhkan apa-apa. Apalagi dari lelaki keparat sepertinya.

"Dan tentang Yuana. Gue. Udah. Pernah. Bilang." Arjune memberikan tekanan pada setiap kata yang diucapkan. "Dia nggak usah diajak. Di sini, cuma boleh kita berdua aja yang main. Jadi jangan bawa-bawa Yuana." Pria itu terlihat marah, tapi tetap tersenyum, dan segalanya malah tampak mengerikan.

Davi harus sadar bahwa dia sudah membangun image murahan dia sejak pertama kali mengejar Arjune, jadi seharusnya tidak masalah ketika Arjune benar-benar menganggapnya rendah. Namun, sebagian dari dirinya yang egois, merasa tidak terima.

"Tapi tenang aja, gue ini partner yang kooperatif kok," ujar Arjune. Dia mengambil satu langkah mundur. "Jadi, di mana aja gue boleh nyentuh lo?"

Davi tidak percaya bahwa dia akan mengatakan hal ini. Namun, dia tentu saja harus mempertegas batas. "Lo nggak boleh sentuh melebihi pinggang gue."

Dan Arjune tergelak. "Gue ngeluarin ini cuma buat main-main sama dada lo doang gitu?" Dia tampak brengsek dengan mengacungkan kartu di tangannya dengan angkuh.

"Gue nggak akan pakai kartu kredit lo sampai keterlaluan kok. Gue tahu batas harga tubuh gue sendiri."

Dan Arjune mengangguk-angguk. Menyerah dengan cepat. "Oke ..." Walau terlihat tidak meyakinkan, dia menyetujuinya. "Mari kita tandai di mana daerah jajahan yang gue punya."

Arjune kembali bergerak maju, sementara Davi sudah tidak bisa bergerak mundur karena dinding dingin di belakang menahan punggungnya. Arjune menepukkan kartu itu ke pipi Davi, dan dia memberikan kecupan di sana setelahnya. Tangannya bergerak lagi menepukkan kartu ke pundak Davi, dia juga memberikan kecupan di sana. Terakhir, tangannya dengan kurang ajar menepukkan kartu itu ke dada Davi, dan Davi segera merampas kartu itu sebelum Arjune melakukan hal yang lebih kurang ajar.

Arjune terkekeh pelan. Dia bergerak mundur. Tubuhnya berbalik saat sebuah getar ponsel muncul di saku celananya. "Malam ini lo nggak minta gue temenin, kan?" Gue juga kebetulan lagi nggak 'pengen'." Dia mengotak-atik layar ponselnya, berjalan ke arah jasnya tersampir dan meraihnya. "Gue pergi ya, ada urusan." Kembali, dia bergerak hanya untuk mencium singkat bibir Davi. Lalu tangannya menempelkan ponsel ke telinga, dia berjalan menjauh sambil berbicara pada seseorang di telepon. "Satu jam aku sampai. Kenapa? Oke aku ingat kok. Mau aku bawain apa lagi?"

***
 

 

Part [22]

Hujan belum kunjung surut jatuhnya sejak siang hari. Tidak ada yang memperhatikan rintik-rintik yang membuat buram dinding kaca walau tempat duduknya berada di samping fasad, karena seluruh perhatian sedang tertuju pada diamond ring yang tersemat di jari manis Davi.

Alura berdecak kagum, sementara Chiasa tidak henti memegangi jari manisnya. "Lo pasti males tidur ya Vi, karena kenyataan buat lo indah banget," gumam Chiasa. Matanya berbinar, menghela napas berkali-kali sambil menatap Davi.

"Dilamar di depan banyak orang gitu ... gimana perasaan lo?" tanya Alura.

Sementara Jena, hanya menatap pemandangan di depannya sambil meringis-ringis.

Seperti biasa, ketiga teman wanitanya itu datang untuk merecoki waktu kerjanya setelah mendapat kabar bahwa Davi dilamar oleh Arjune. Pria yang selama tiga hari ini bahkan tidak memberinya kabar dan menghilang. Dan Davi kembali melirik ponselnya. Tidak ada notifikasi apa-apa.

"Gue nggak nyangka kalau jodoh lo Arjune—maksudnya, kayaknya dia bukan tipe lo banget," ujar Chiasa. "Tapi ya ... namanya juga jodoh, ya. Jarang-jarang sesuai pesanan."

"Memangnya tipe lo yang kayak gimana?" tanya Alura.

Davi mengangkat bahu. "Dulu gue pikir, gue bakal dapet anak sulung, yang bisa mengayomi gue, kayak—"

"Hakim?" tebak Alura.

Chiasa tergelak. "Davi memang sempet suka sama Hakim tahu, galau banget dia waktu itu."

"Udah deeeh." Davi mulai jengah.

"Kapan?" Alura kelihatan bingung, tapi juga tertawa.

"Waktu masa-masa Hakim masih jadian sama Hanan, Davi neleponin gue mulu karena waktu itu gue masih di Bali," jawab Chiasa.

Alura tertawa. "Iya?" Dia kelihatan masih tidak percaya. "Emang ya, katanya kalau pertemanan antara cewek sama cowok tuh nggak ada yang pure temen."

Chiasa mengangguk-angguk. "Di saat-saat itu, Davi juga pernah nyoba jalan sama Favian."

Dan sekarang Alura menganga. Sehingga Davi merasa harus segera meluruskannya. "Saat itu Favian yang manfaatin gue. Dan gue sadar lagi dimanfaatin."

"Manfaatin gimana?" tanya Alura. Dia menatap semua pasang mata, meminta jawaban.

"Favian kayak lagi berusaha buat punya cewek, padahal sebenarnya dia lagi suka sama cewek yang salah. Gue pikir waktu itu dia suka Jena atau Chia, tahunya ... lo."

Chiasa mengembuskan napas berat. "Kenapa sih hidup kita ini ribet banget? Kalau dipikir-pikir, kalau semua cowok kayak Arjune, yang langsung tembak aja gitu, nggak akan banyak drama."

"Jodoh Davi enteng banget ya," ujar Alura.

"Belum jodoh dong, Ra," tukas Jena. "Arjune baru ngelamar, belum nikahin Davi."

"Tapi kan langkah Arjune udah menuju ke sana, Je. Apa tujuannya ngelamar kalau bukan buat nikahin?" balas Alura.

"Harusnya kita sadar dari dulu nggak sih, kalau Arjune tuh memang ngincer Davi? Cuma ya ... dia masih nggak yakin kali, ya?" tambah Chiasa. "Mulai dari kejadian di hari pertunangannya, yang dia ninggalin Yuana untuk nemuin Davi."

"Saat itu dia bilang, dia cuma pengen ngehargain Davi sebagai teman aja kok. Arjune nggak enak aja kalau sampai nggak bisa datang ke hari duka Davi—orang yang selalu ada buat hari besar teman-temannya, itu yang dia bilang ke gue." Lagi-lagi Jena memberi bantahan.

"Tapi Davi bilang, Arjune meluk Davi malam itu." Chiasa masih tetap pada pendiriannya.

"Hakim juga meluk Davi, kok. Tapi bukan berarti dia suka, kan?" Jena kembali dengan logikanya.

"Terus gimana yang masalah Davi tenggelam dan Arjune panik banget?" tanya Chiasa.

Jena menunjuk Alura. "Lo tanya deh, sama Alura. Gue yang nahan orang-orang buat nggak nolongin Davi dan ngasih satu-satunya jalan buat Arjune supaya bisa nolongin Davi."

"Nah, yang gue heran sekarang. Dari mulai hari itu lo ngebet banget nyomblangin Davi sama Arjune, tapi kenapa sekarang tiba-tiba kayak yang kontra gitu?" Chiasa masih mendebat.

"Siapa yang kontra?" Jena tidak terima.

"Lo?" tuduh Chiasa.

"Gue tuh cuma ...." Jena menatap tiga pasang mata di depannya, mencari alasan, tapi tidak berhasil.

"Lo harusnya seneng dong, Je. Mereka nggak harus pakai drama dulu lho." Alura menatap Chiasa dan segala dramanya.

"Nggak drama sih, tapi mudah-mudahan aja ini nggak jadi sinteron stripping," ujar Jena seraya bangkit dari kursinya untuk beranjak menuju konter pemesanan.

Jena tengah memilih pesanan baru, meninggalkan Alura dan Chiasa yang keheranan di kursinya. "Jena lagi PMS, ya?" tanya Alura.

"Maklumin ya, Vi. Bukan berarti dia nggak ikut seneng sama kebahagiaan lo, kok." Chiasa meraih tangan Davi, menepuk-nepuk punggung tangannya mencoba menenangkan.

Padahal, yang sebenarnya terjadi, Jena hanya sudah tahu segalanya. Sehingga dia terlihat gusar sejak tadi.

Davi perlahan menghampiri Jena yang berdiri di depan meja bar. "Croissant sama teh aja deh." Dia menunjuk menu bar. "Tiga ya, Ta." Dia mengucapkannya pada Renata.

"Gue bakal jaga diri kok," ujar Davi seraya memasuki meja bar, dia berdiri di hadapan Jena sekarang untuk kembali mengenakan apron hitam dan kembali bekerja. "Pesen apa tadi? Biar gue yang ambilin."

Jena mendengkus, dua lengannya bersidekap di atas meja bar. Terlihat kekhawatirannya sejak tadi, yang tidak bisa dia ungkapkan karena keberadaan Chiasa dan Alura yang tidak tahu apa-apa.

"Je ...."

"Main lo kejauhan tahu nggak?" ujarnya. "Gue bakal seneng banget seandainya lo beneran suka Arjune, dan sebaliknya. Tapi untuk hubungan yang didasari atas saling memanfaatkan, ini tuh berlebihan."

Davi membalas tatap Jena, berpikir bagaimana membalas atau memberi alasan, dan dia tidak berhasil. Berakhir diam.

"Vi .... Gue tuh ... pengen marah waktu denger kabar ini." Jena mengucapkan dengan suaranya yang tertahan. "Lo tahu Arjune nggak suka sama lo. Tiba-tiba dia ngelamar lo, harusnya lo curiga dong."

"Gue tahu kok. Gue sadar, dia juga lagi manfaatin gue balik."

"Terus?"

"Nggak ada jalan lain."

"Selalu, kalimat itu yang jadi senjata lo." Tatapan Jena terlihat melunak. Dia terlihat lelah dengan sikap bebal Davi. "Dengerin gue," pintanya. "Anggap aja sekarang lo lagi dalam perjalanan, naik kereta. Seandainya lo tahu kalau perjalanan lo udah kejauhan, bukannya sebaiknya lo berhenti?" tanyanya. "Semakin jauh, semakin mahal uang yang harus lo keluarin buat pulang."

***

"Bagaimana kabar kamu?" tanya Rui. Malam ini, wanita itu kembali menjemputnya dari Blackbeans. Kembali menjadwalkan kelas-kelas yang dia lewatkan selama tiga hari ke belakang.

"Gini-gini aja, Mbak," jawab Davi tidak antusias.

Rui terkekeh, dia masih mengotak-atik layar iPad. Keduanya terkurung di Blackbeans karena hujan mengguyur sampai malam hari. "Selama tiga hari ini saya harus mengantar Bu Ardani melakukan perjalanan bisnis ke luar kota, jadi saya baru bisa menemui kamu hari ini. Pasti kamu bingung banget selama beberapa hari ke belakang," ujarnya. Dia sudah selesai dengan pekerjaannya dan menaruh iPad ke dalam tas. Ada helaan napas panjang sebelum dia kembali bicara. "Jadi?"

"Makin rumit," jawab Davi.

"Arjune bergerak sejauh apa?"

Davi mengeluarkan sebuah black card yang didapatkannya dari Arjune. "Aku terpaksa harus bilang kalau aku butuh uangnya, dan dia kasih aku ini."

Rui meraihnya. "Ide bagus." Dia mengangguk. "Masuk akal. Lebih masuk akal lagi kalau kamu pakai ini habis-habisan," ujarnya seraya mengacungkan kartu itu.

Dan Davi hanya terkekeh.

"Arjune ikut pergi bersama kami ke luar kota kemarin, tapi karena ada beberapa pekerjaan yang belum selesai dia kerjakan, dia terpaksa harus pulang terlambat saat kami sudah kembali ke Jakarta," jelas Rui.

Pantas selama tiga hari ini Arjune seperti menghilang dari hidupnya. Dan itu membuat Davi kembali mengecek notifikasi di ponselnya.

"Dan kamu tahu apa yang dia lakukan di sana?" tanya Rui. "Dia ketemu Yuana."

Davi menyimpan ponselnya ke meja dengan posisi menelungkup.

"Beruntung Bu Ardani nggak tahu.hal itu. Dan saya juga akan menyembunyikan masalah ini. Jangan sampai Bu Ardani tahu. Saya nggak mau kamu tambah susah," lanjutnya. "Bu Ardani sedang menikmati euforia keberhasilannya, dia pikir Arjune sudah putus asa, dan ... memilih kamu. Padahal yang terjadi, mungkin Arjune sebenarnya sedang memuaskan egonya, melakukan pemberontakan diam-diam pada maminya."

"Mbak, kamu sadar nggak sih kalau aku ini cuma ... sekadar boneka buat mereka?" tanya Davi. "Aku dimainin sama dua orang sekaligus."

Rui menepuk-nepuk pundak Davi. "Saya ngerti perasaan kamu."

"Nggak ada jalan keluar untuk aku ...." Davi menggumam untuk dirinya sendiri.

"Mm ...." Dan Rui mengiyakan. "Bu Ardani nggak butuh uang kamu seandainya kamu punya uang untuk menebus rumah dan Sweetness Slice. Beliau juga nggak butuh Sweetness Slice, dia hanya mau kamu."

"Aku dijebak." Davi kembali menggumam. Dan seperti yang pernah dia katakan, pada Jena, atau pada Hakim, bahwa dia tidak punya jalan lain selain tetap melanjutkan apa yang sudah dia lakukan.

"Kamu nggak punya pilihan lain, Davi. Cara satu-satunya, kamu kembali bersikap seperti kamu yang dulu, tunjukan kalau kamu suka Arjune dan uangnya. Jangan mundur. Tunjukkan kalau kamu juga berani," ujar Rui. "Itu lebih masuk akal."

Jam kerjanya sudah habis, dan Rui sudah pergi sejak satu jam yang lalu. Davi sudah melepas apron dan berganti pakaian. Hari ini, hujan tidak berhenti sejak siang. Sampai pukul sembilan malam, baris-barisnya masih turun dan langkah Davi terhenti di teras Blackbeans.

Malam ini tidak memungkinkan pulang berjalan kaki walau dia membawa payung lipat di dalam tasnya. Hujan terlalu deras, dan dia tidak ingin melakukan hal yang berisiko akan merugikan dirinya sendiri. Masih banyak hal yang harus dia kerjakan esok hari, tentang Blackbeans, tentang ... Arjune.

Davi menghela napas panjang, melihat layar ponsel, memastikan sekali lagi bahwa Arjune tidak ada menghubunginya. Pria brengsek mana yang akan mengabaikan wanita selama tiga hari setelah dilamar?

Tentu saja hanya Arjune orangnya.

Davi sudah mengambil voucher taksi yang disediakan untuk karyawan. Dia masih berdiri di teras Blackbeans setelah menghubungi salah satu jasa taksi dan menunggu. Dia tidak berharap bertemu dengan siapa-siapa hari ini, tapi seperti biasa, harapannya tidak pernah menjadi nyata.

Langkahnya terseret mundur saat melihat sosok pria dengan jaket bertudung hitam yang kini mulai dia kenali. Terakhir kali, dia berhasil membawa seluruh uang di dalam tas Davi. Kali ini, tidak akan lagi.

Davi bergerak defensif, mencengkram sling bag-nya kuat-kuat, menatap pria itu dengan was-was. "Aku benar-benar akan lapor polisi kalau kamu terus-terusan ganggu aku kayak gini," ancamnya.

"Niana sudah mengajukan gugatan cerai, tadi aku sempat ketemu dia," keluhnya. Matanya terlihat sayu, ada senyum dan kekehan yang terlepas saat dia terus melangkah maju. Dia terlihat frustrasi. Dan bau alkohol menguar dari tubuhnya. "Kenapa semua pergi saat aku sedang jatuh?"

"Apa kamu bilang?" tanya Davi, miris. "Kamu nggak malu dengan pertanyaan kamu sendiri?"

Rayan menengadahkan tangan, langkahnya yang terhuyung-huyung membuat Davi semakin yakin bahwa pria itu sedang mabuk. "Aku butuh uang."

Davi menggeleng.

"Kenapa?" tanya Rayan. "Kamu bisa jual diri kamu lagi untuk menghasilkan lebih banyak uang, kan?"

"Brengsek!" umpatnya. Napasnya terengah, dia terlalu marah untuk bicara terlalu banyak. "Aku nggak akan pernah merelakan sedikit pun—" ucapan Davi terhenti karena Rayan menarik kencang tali tasnya sampai Davi terhuyung ke depan. "Lepas!" Davi mencoba melepaskan cengkraman tangan Rayan dari tasnya, tapi sulit sekali.

Sempat ada kejadian tarik menarik sebelum akhirnya Rayan mengerahkan seluruh kekuatannya dan menariknya lebih kencang, sampai tubuh Davi kembali terhuyung. Masih belum menyerah, dia menarik sling bag yang Davi pertahankan sampai talinya putus, tidak peduli pada tubuh Davi yang kini terguling di tangga teras Blackbeans sampai tubuhnya membentur paving block dengan satu sikut yang menahan.

Tatapnya masih kabur oleh air hujan, menyaksikan Rayan memporakporandakan isi tasnya. Davi baru saja bergerak untuk bangun, hendak merebut kembali tasnya dan menyelamatkan isinya, tapi tiba-tiba saja sosok pria bertubuh jangkung menghalangi pandangannya.

Davi memejamkan mata saat mendengar sebuah pukulan kencang, menyaksikan tubuh Rayan yang kini ambruk. Sekali lagi, Davi menatap ngeri bagaimana pria berkemeja putih itu memukuli wajah Rayan bertubi-tubi.

Sadar bahwa Rayan sudah bukan lagi lawan yang layak, dia menyeret tubuh Rayan ke arah taksi yang kini berhenti di pelataran Blackbeans, pria itu mendorong tubuh Rayan masuk ke jok penumpang. Sebelum menutup pintu taksi, dia sempat mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan melemparnya ke dalam.

Taksi melaju. Dan pria itu berbalik, dengan air yang menetes-netes di ujung rambutnya, kemeja putihnya sudah basah kuyup oleh air hujan. Dia berjalan ke arah Davi, menghampiri Davi yang kini berdiri dengan tubuh gemetar. "Nggak apa-apa." Tangannya terulur, merengkuh tubuh Davi, meraih dalam dekap. Mengingatkan Davi, pada dekap yang sama, yang datang saat dia sedang gemetar sendirian malam itu. "Ada gue ...," ujarnya, yang membuat Davi percaya bahwa untuk saat ini balas memeluknya ... tidak apa-apa, bahwa untuk saat ini berlindung di balik dadanya ... tidak apa-apa.

***
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Simplify Our Heartbreak | [23, 24]
95
1
[Part ini bisa dibaca gratis]Davi pikir, segalanya sudah menjadi buntu. Sampai akhirnya, suatu kondisi memberikan sebuah celah untuk jalan keluar. Walau benci, dia akan kejar pria itu untuk menjadi pembuka jalannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan