
[Part ini bisa dibaca gratis]
Davi pikir, segalanya sudah menjadi buntu. Sampai akhirnya, suatu kondisi memberikan sebuah celah untuk jalan keluar.
Walau benci, dia akan kejar pria itu untuk menjadi pembuka jalannya.
Part [25]
Arjune menjadi satu-satunya yang terjaga. Dia lelah, tapi setelah melewati malam bersama Davi—wanita yang kini berbaring di sisinya, dia tidak bisa untuk berhenti berpikir. Gusar. Bertanya lagi. Kenapa Davi menyetujui segalanya dengan mudah?
Ingat ketika Arjune mulai membuka satu per satu helai pakaian di tubuhnya, wanita itu diam saja. Ingat saat Arjune mulai menciuminya dan menikmati setiap lekuk tubuhnya, dia menyerah saja. Ingat saat Arjune mulai merenggut semuanya, dia menyetujuinya begitu saja.
Malam tadi, Arjune tidak berbohong saat dia mengatakan bahwa dia membutuhkannya. Dia terlalu lelah, terlalu marah, terlalu tidak terima bahwa dia ... sudah kalah? Yuana meninggalkannya.
Arjune tidak menampik bahwa dia menikmatinya. Arjune tidak akan menyangkal bahwa ... dia menyukainya. Terlebih saat dia tahu, bahwa dia adalah pria pertama bagi Davi. Ada perasaan yang tidak bisa dia mengerti. Gejolak yang aneh, asing sekali, tapi membuatnya begitu bersemangat selama menghabiskan malam dengan wanita itu.
Hal yang baru pertama lagi dia rasakan setelah lama, ketika sekadar mencium seorang wanita mampu membuat jantungnya nyeri, meraba tubuhnya bisa membuat dia terasa akan mati. Dan orang itu adalah Davi.
Namun setelah itu, Arjune bertanya-tanya. Apakah hanya dirinya yang merasakan demikian? Bagaimana dengan Davi? Apakah lagi-lagi keputusan wanita itu merupakan pengaturan dari Mami?
Mami menyuruhnya menjadi boneka sampai sejauh ini? Mami menyuruhnya melangkah ... sampai titik ini? Apakah segala yang dia berikan akan dibayar oleh aset yang dijanjikan sebelumnya?
Mungkin saja jawabannya memang 'Ya'. Karena sejak awal Arjune tahu, dia hanya alat.
Arjune terkesiap saat wanita yang membaringkan kepala di lengannya itu bergerak, lamunnya menguap ketika melihat wanita itu menyuruk lebih dalam. Kepalanya kini menempel di lekuk lehernya sehingga Arjune bisa menghirup lagi helai-helai rambutnya yang wangi buah.
Arjune suka aromanya, lalu dia kecup puncak kepalanya, menghirup aromanya yang tidak lagi kuat, tapi masih menghasilkan wangi yang lembut. Kembali diam. Ruang kosong dia nikmati sendirian karena dia pikir, Davi masih tertidur.
Namun, ada suara parau yang dia dengar samar. "Jam berapa?" Ada hangat dari napas wanita itu yang menerpa sisi lehernya.
Arjune melingkarkan lengan di tubuh wanita itu untuk melihat jam tangan yang masih bertengger rapi di sana. Dia melucuti semua pakaiannya semalam, tapi jam tangan itu sama sekali tidak berubah dan masih melingkar di pergelangan tangan. "Masih jam dua pagi."
Tangan Davi terulur, memegang lekuk leher Arjune. "Sembuh?" tanyanya. Di saat seperti ini, dia masih menanyakan hal itu. "Semalam lo keujanan lagi." Dan mengingat hal yang sama sekali tidak penting itu.
Bagaimana dengan apa yang sudah Arjune renggut darinya?
Davi bergerak lagi, menghasilkan efek yang buruk karena tubuh keduanya masih polos, tidak terhalang apa pun selain selimut yang sama-sama membungkus keduanya. "Nggak pindah?" tanyanya. Davi bertanya demikian, tapi lengannya masih melingkari dan memeluk tubuh Arjune.
"Lo mau gue pindah?"
Tidak ada suara. Davi juga tidak bergerak lagi. Entah apa jawaban yang dia ingin tunjukkan dalam diamnya. Arjune juga bergeming, lama. Ini kali pertama keduanya kembali bicara setelah bercinta dan menyerahkan segalanya.
Apakah Arjune harus meminta maaf? Sebagai bentuk belasungkawa atas kehilangan yang Davi terima?
Kedua lengan Arjune kembali melingkari tubuh wanita itu. Memeluknya erat, dia hanya menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Melepaskan gusar yang terus mengukung tubuhnya sejak tadi.
Davi mendongak, mungkin merasakan gusar itu, matanya menangkap tatap Arjune. "Kenapa?" tanyanya.
Arjune menggeleng. Dia masih gamang, kalut, bingung. Namun, dia bergerak, menutupi semuanya dengan mencium bibir wanita itu. Arjune pikir, segalanya akan terjadi secara singkat. Namun ketika Davi membuka bibirnya, Arjune tertarik untuk menciumnya lebih dalam lagi. Lalu, saat engah napas wanita itu terdengar, Arjune tertarik untuk kembali meraba tubuhnya.
Seperti yang dia pikirkan sebelumnya. Seharusnya hari ini menjadi hari belasungkawa, tapi menyentuh wanita itu membuatnya tidak bisa berhenti. Bagaimana bisa segalanya terasa begitu adiktif? Bagaimana bisa Arjune begitu menyukainya?
Wajah Arjune menjauh, pandangannya kabur dan hampir gelap, tapi dia menemukan tatap sayu yang indah itu, yang semalam menenggelamkannya dalam pusaran air yang kuat. Dia tahu ini brengsek, tapi dia tidak bisa mengendalikan diri lagi. Dia berbisik. "Gue ... mau lagi ...." Dan, dia bergerak saat wanita itu memberi satu anggukkan singkat.
***
Davi baru saja menyimpan side towel yang sejak tadi dia gunakan untuk mengangkat loyang panas dari dalam oven. Dua tangannya bertopang ke sisi meja sambil menunduk. Diam, lama. Dia memejamkan mata. Hebat sekali, dia memuji dirinya sendiri saat masih bisa bekerja setelah apa yang telah dia lalui semalam.
Seolah itu bukan masalah besar, kehilangan segalanya bukan apa-apa. Dia berangkat kerja seperti biasa setelah kebingungan mencari turtleneck shirt yang bisa menutup tinggi-tinggi lehernya untuk menyembunyikan beberapa tanda merah di baliknya.
Ingat lagi. Tanpa dia inginkan, bayangan itu berputar di kepalanya terus-menerus. Seperti ada mesin waktu, mengajaknya berteleportasi pada kejadian semalam, di mana dia ada di sana dan menyaksikannya sendiri. Saat ... dia diam saja ketika pria itu menyentuhnya.
Arjune meninggalkannya tadi pagi tanpa dia ketahui. Tidak ada percakapan apa-apa, tidak bertemu lagi sampai Davi memutuskan pergi untuk kembali melakukan rutinitas hariannya seperti biasa. Seolah-olah, pria itu sengaja memberinya waktu. Mungkin untuk berpikir. Atau untuk menyesali apa yang sudah terjadi?
Namun buruk, sejak tadi dia terlalu banyak termenung sampai Renata mengingatkannya berkali-kali pada bunyi oven yang bising, seolah tidak terdengar karena isi kepalanya terlalu riuh.
Tadi malam, Davi menyerahkan diri, seolah-olah dia adalah pihak yang paling tersakiti. Namun, dia juga mengakui dia juga menikmati segala situasinya. Ingin sekali menampar dirinya sendiri, tapi dia tidak akan memungkirinya. Malam tadi, dia menginginkan pria itu, mendamba ciumannya dengan penuh hasrat, memuja sentuhannya dengan penuh ketololan.
Dia senang saat Arjune menatapnya dengan pandangan memuja. Puas saat Arjune merengkuh tubuhnya dengan penuh damba. Dia lupa, pada apa-apa yang selalu dia lakukan setelah mengizinkan pria itu menyentuhnya. Dia ... tidak lagi menatap dirinya dengan jijik di depan cermin, tidak lagi mencuci segala bagian tubuhnya yang Arjune sentuh.
Dan dia harus akui, bahwa ternyata dia lebih menjijikan dari apa-apa yang dia pikirkan selama ini.
"Mbak Daviii ...." Suara Renata terdengar dari balik pintu kitchen. Seperti biasa, hanya kepalanya yang melongok ke dalam. "Ada yang mau ketemu."
Davi berjalan seraya membuka apronnya. "Siapa?"
"Seperti biasa, calon Mami Mertua."
Dan Davi mendengkus setelah apronnya digantung. Dia tidak tahu nasibnya akan berakhir seperti apa. Dia hanya akan mendengar bagaimana tanggapan Tante Ardani yang tahu bahwa semalam Arjune kembali menemui Yuana, dan mungkin saja semua usaha yang Davi lakukan selama ini hanya akan berakhir sia-sia.
Saat Davi keluar dan bergerak ke arah deretan meja pengunjung, orang pertama yang datang menghampirinya adalah Rui. Sementara Tante Ardani sedang berada di luar, di sisi dekat balkon Blackbeans yang dibuat lebih tinggi dari lahan parkir. "Are you okay?" tanya Rui saat menghampiri Davi.
Mungkin keadaannya terlihat sangat tidak baik-baik saja sehingga Rui ikut memasang tampang khawatir di antara ekspresi datar yang lebih sering dia tunjukkan. "Could be better." Davi mencoba tersenyum walau dia agak gemetar ketika Rui memegang tangannya.
Dia tahu, cepat atau lambat Tante Ardani akan menghakiminya, tapi dia tidak tahu bahwa responsnya akan secepat ini. Kacau sekali, semalam dia terlalu egois pada logikanya sehingga memenangkan kecewanya.
Rui mengambil tempat duduk di sampingnya, lalu bicara setelah meraih satu cup minuman dingin yang dipesannya. "Semalam Bu Ardani meminta semua orang suruhannya untuk ... berhenti. Dia menyuruh mereka berhenti memata-matai Arjune."
Davi tertegun sebelum akhirnya menggumam. "Oh, ya ...?" Menoleh pada Tante Ardani yang masih sibuk berbicara di telepon, dia bicara lagi. "Apa Tante Ardani sudah benar-benar kecewa dan ... akan menyuruh aku berhenti juga?" Mungkin Tante Ardani sudah sangat putus asa? Isi kepalanya penuh, sesak, merayap ke dalam dadanya yang kini bergemuruh riuh.
Rui menggeleng, terlihat tidak memiliki petunjuk apa-apa. Keduanya berhenti bicara saat Tante Ardani memasuki Blackbeans dan tersenyum saat menarik keluar satu kursi, duduk tepat di hadapan Davi. "Setelah cheesecake, apa lagi dessert yang recommended buat dicoba?"
Davi dan Rui bertukar tatap selama beberapa saat. "Kami punya chocolate tiramisu ...." Davi berucap bingung. Wanita di hadapannya, adalah orang paling sulit ditebak yang pernah dia temui di muka bumi. "Mau aku ambilkan?"
Tante Ardani menggeleng. "Rui, tolong pesankan, bisa?" Yang artinya, di meja itu hanya boleh ada Davi dan dirinya.
Rui mengangguk sebelum menarik mundur kursinya dan keluar, melangkah menjauh menuju konter pemesanan.
Tiba waktunya. Tante Ardani mulai bicara. "Saya sudah makan siang tadi. Jadi ... hanya ingin mencicipi makanan manis. Walau saya tahu itu kalorinya besar dan seharusnya saya hindari, tapi ... kayaknya aneh aja kalau sehari nggak mengganggu waktu kerja kamu." Dia terkekeh. "Kamu nggak keberatan, kan?"
Davi menggeleng pelan. "Tentu aja ... nggak, Tante." Dia belum bisa menangkap arah percakapan dan tujuan kedatangan Tante Ardani.
Rui baru saja tiba dan menyerahkan pesanannya. Selain untuk Tante Ardani, dia memesan untuk dirinya sendiri. Rui baru saja akan beranjak dari meja dan menuju meja lain untuk menikmati hidangannya, tapi Tante Ardani mencegahnya.
"Duduk di sini saja, Rui," ujarnya, membuat Rui kembali menatap Davi, terlihat bingung, tapi akhirnya dia menuruti perintah itu tanpa berkata apa-apa. "Davi, kamu makan apa? Mau saya pesankan dari luar?"
Davi menggeleng. "Nggak, Tante. Makasih."
"Saya sudah bicara pada Rui .... Saya rasa, saya harus berhenti untuk terlalu ikut campur, Arjune butuh privasi. Jadi, saya menyuruh beberapa orang berhenti untuk mengikuti Arjune." Tante Ardani menyesap green tea-nya, minuman yang pesanannya tidak pernah berubah saat dia berulang kali datang ke Blackbeans. "Kamu benar ... Arjune butuh ruang untuk dirinya sendiri. Jadi tadi pagi, saya menyuruh mereka berhenti."
Tadi pagi? Davi sedikit terkejut dengan pikirannya sendiri. "Berarti ... tadi malam, mereka masih ... membuntuti Arjune?"
"Ng .... Rui, saya perlu air mineral," ujar Tante Ardani. Setelah Rui pergi, matanya menuju ke segala arah, seolah-olah tengah sengaja menghindari tatap Davi.
Tante Ardani tahu .... mengenai kejadian semalam?
Percakapan terhenti lama karena Tante Ardani mulai menikmati potongan tiramisunya. Dia membulatkan bola mata ketika potongan cake itu masuk ke mulutnya. "Enak ...," pujinya. "Ini kamu yang bikin?"
Davi menganggauk. "Mm ...."
Ada suara 'Wah' yang digumamkan pelan sebelum Tante Ardani kembali memotong cake-nya. Dia memilih untuk menghindari pertanyaan Davi sebelumnya dan mengalihkan topik pembicaraan. "Saya kadang bosan saat makan siang sendiri," ujarnya. "Kalau kebetulan sedang sangat sibuk dan nggak ada waktu keluar, biasanya makan di sekitar kantor." Dia kembali menyesap green tea-nya. "Kamu ... keberatan nggak kalau sekali-sekali main ke kantor saya?"
"Ya?" Davi melongo. Kenapa suasananya tidak berubah tegang atau mencekam seperti yang ada dalam bayangannya?
"Arjune juga kadang susah sekali kalau diajak makan siang. Seringnya dia nggak pernah makan siang tepat waktu karena terlalu sibuk kerja."
Ucapan itu membuat Davi dan Rui kembali saling tatap. Ada kesan ngeri, karena bisa saja tiba-tiba Tante Ardani meluncurkan sebuah bom di saat Davi sudah merasa tenang, lalu dunianya meledak dan kacau balau.
Namun, "Kamu juga boleh kalau mau anterin makan siang buat Arjune, nanti saya bilang Favita untuk langsung mengizinkan kamu masuk ke ruangannya," lanjut Tante Ardani.
Tidak ada tanda-tanda kemarahan apalagi menghentikan kesepakatan. Tidak juga ada desakan kekecewaan pada apa yang sudah Davi lakukan ketika tahu Arjune masih menemui Yuana. Untuk memastikan itu, Davi mencoba untuk bertanya. "Tante ..., tentang semalam ...."
Tante Ardani mengangguk menatap Davi sembari tetap menyisir sisi cake dengan sendok kecilnya.
"Tante ... tahu Arjune masih menemui Yuana, kan?" Davi berbicara di antara raut wajahnya yang gugup, juga mata Rui yang bolak-balik memandang dirinya dan Tante Ardani. "Maaf karena selama ini aku menyembunyikan semuanya." Davi kebingungan mencari kata, bimbang akan menjelaskan tentang kejadian semalam atau tidak. Dia tidak tahu nasibnya hari ini akan berakhir seperti apa.
"Davi ...." Tante Ardani menyesap tehnya sesaat. Lalu menaruh sendok di atas piring kecil. Dia bersidekap dan menatap Davi lamat-lamat. "Kamu menyukai Arjune?"
***
Part [26]
Mbak Rui
Memangnya Arjune nggak bilang sama kamu?
Tiga hari yang lalu dia ke Makassar. Urusan kerjaan kemarin belum selesai.
Davi tidak bisa menjawab pertanyaan Tante Ardani malam itu. "Kamu menyukai Arjune?" Yang kemudian membuat Davi memilih diam karena tidak menemukan jawaban yang ingin dia kemukakan.
Namun sekarang, setelah membaca pesan dari Rui, ada reaksi di dalam dirinya yang tidak dia mengerti. Marah? Kesal? Merasa diabaikan?
Seharusnya Davi sadar sejak awal bahwa dia memang tengah berurusan dengan pria paling brengsek. Arjune pernah menghilang dan tidak mengabarinya selama tiga hari setelah melamarnya dengan begitu tiba-tiba. Dan kali ini, terjadi lagi, setelah keduanya menghabiskan malam bersama, pagi-pagi pria itu pergi dan menghilang—seperti benar-benar ditelan bumi.
Tiga hari. Sama sekali tanpa kabar.
Davi melepaskan napas berat, kembali menaruh ponselnya ke dalam sling bag putih—yang sialnya mengingatkannya pada pria itu. Untuk semua yang sudah dia serahkan, mungkin Arjune sama sekali tidak menganggapnya berharga. Dan pria itu merasa berhak memperlakukan Davi sesukanya, setelah membayarnya dia meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan apa-apa.
Tiga ratus juta yang dia keluarkan. Apakah tidak sebanding dengan tubuhnya?
Davi terkesiap saat seseorang tiba-tiba menempelkan kaleng soft drink dingin ke pangkal lengannya. Menoleh, dia menemukan Chiasa yang tengah menyengir. "Gue panggil-panggil dari tadi juga," ujarnya seraya duduk di samping Davi, membuka kaleng soft drink-nya dengan telunjuk.
Keduanya tengah duduk di salah satu sofa yang berada di ruang tunggu XXI, bagian gedung Kota Kasablanka yang letaknya berada di lantai dua. Baru saja selesai menonton sebuah film di salah satu studio, menunggu Jena dan Alura yang sudah tiga kali bolak-balik ke toilet jika dihitung dari awal mereka masuk ke studio.
Malam ini, untuk menghargai hari liburnya sendiri, Davi meminta pada Rui agar meliburkan beberapa kelas, menjadwalkan kelas di lain hari. "Habis ini mau ke mana?" Dia melihat beberapa orang mengantre untuk mendapatkan tiket. Beberapa lainnya sibuk di depan konter pemesanan popcorn dan soft drink.
Ramai, riuh, orang terlihat bersenang-senang, tapi Davi nyaris lupa bagaimana cara menikmatinya. Harinya terlalu penuh dengan segala masalah.
"Makan dulu, kali?" balas Chiasa, sesaat dia mengotak-atik layar ponselnya. Setelah menyimpannya ke dalam tas, dia kembali menyesap kaleng minumannya. "Dari tadi Jena ngerengek laper."
Davi melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, yang sudah pukul delapan malam. "Laki lo semua nggak akan ribet nyariin, kan? Gue nggak mau ya, mereka nyerang gue. Dengan alasan gue satu-satunya yang single di sini, terus nanti mereka mikir ... gue yang jadi pengaruh buruk buat lo semua."
Chiasa tertawa. "Ya nggak lah. Mereka tuh lagi ada proyek bareng gitu di Makassar. Hakim juga pergi kok. Jadi aman, tenang aja." Chiasa kembali merogoh tasnya, mengotak-atik ponselnya. "Ini orang, katanya lagi meeting tapi ribet banget. Kangen, kangen mulu," gerutunya sambil menatap layar ponsel.
Davi terkekeh, membuka kaleng soft drink miliknya. Menatap dan mendengar desis soda, dia tidak mengatakan apa-apa, tidak juga bertanya, hanya menyimpulkan sendiri. Para pria itu pergi mungkin saja untuk alasan kerja yang sama. Bedanya, Janari sejak tadi mengirim pesan untuk Chiasa, Favian menelepon Alura berkali-kali bahkan saat wanita itu sudah berkata bahwa dia sedang menonton dan berada di studio, sementara Kaezar menitipkan Jena di chat grup—pada siapa pun—untuk menghubunginya jika ada suatu hal buruk terjadi pada Jena.
Sementara Arjune ... menghilang. Mungkin karena dia menganggap Davi bukan siapa-siapa?
"Lo sibuk banget ya akhir-akhir ini?" tanya Chiasa. "Susah banget diajak jalan."
Davi menyuarakan gumaman yang panjang, berpikir, bertanya-tanya, apa yang dia lakukan akhir-akhir ini? Banyak sekali, sampai bingung menyebutkan. Berusaha mencari satu jawaban, tapi tidak berhasil. Benar-benar, isi kepalanya tidak bisa diajak berpikir bahkan untuk hal sepele.
"Gue pikir, setelah Arjune—katanya—ngelamar lo, Arjune bakal confess kayak yang dilakuin Favian-Alura dulu," lanjut Chiasa. "Tahunya ... nggak ada."
"Emangnya lo semua pada nungguin?"
Chiasa tertawa. "Kita cuma nunggu ditraktir makan."
Davi ikut tertawa.
"Semuanya baik-baik aja, kan?" tanya Chiasa tiba-tiba. Matanya menatap Davi lekat, seperti mampu menangkap sesuatu yang janggal. "Semua okay?" ulangnya, dengan suara lebih lembut.
Davi menggeleng dua kali, pelan, ragu. Dia belum sempat menjelaskan karena tiba-tiba saja Jena dan Alura datang. Dua wanita hamil itu bergandengan tangan saat melangkah mendekat. "Makan, yuk!" ajak Jena. "Udah laper. Gue ada lho tempat baru yang recommended sekitaran sini, tapi harus keluar Kokas dulu."
Alura mendengkus, tautan tangan keduanya terlepas. "Lo bilang udah laper banget, tapi niat nyari makan di luar?" protesnya. "Di sini aja nggak bisa? Males tau, macet-macetan lagi."
"Lulaaa .... Mumpung bapak-bapak ribet itu lagi pada nggak ada." Jena melotot. "Ayo kita kenyangin hang out. Lagian lo nggak seneng apa lihat Davi yang kemarin-kemarin 'sibuk banget' ini bisa ikut?" Jena mulai menarik dan mendorong-dorong teman-temannya untuk segera keluar dari ruang tunggu.
Mereka baru saja melangkah keluar dari XXI, dan sama-sama terkejut saat melihat Sungkara tengah berdiri di sisi luar pintu kaca sambil menyapukan tatap dan kebingungan. Saat menemukan Davi dan yang lainnya, pria itu bergegas menghampiri, setengah berlari. "Halo, Mbak, saya dari Gocar. Suami Mbak tadi pesan jasa antar, jadi sekarang mau diantar ke mana?"
Tidak ada yang bisa menahan tawa, sementara Sungkara hanya tersenyum sarkastik menanggapi respons semua teman-temannya.
"Kenapa, sih? Kok, mau ajaaa looo?" tanya Jena. Ketika semua sudah berada di dalam mobil Sungkara.
Memang sengaja tidak ada yang membawa kendaraan hari ini, mereka benar-benar ingin pergi tanpa perlu memikirkan tempat parkir ketika ingin berhenti.
Sungkara sudah duduk di balik kemudi, di sampingnya ada Jena yang tidak berhenti tertawa. Pria itu masih dengan tampilan kerja, kemeja dan celana kain hitam lengkap dengan pantofel. Wajah lelah selepas kerja masih belum luruh di wajahnya. "Gimana bisa gue nolak, sih? Janari nelepon gue berkali-kali, belum lagi Favian sama Kae. Udah gitu Arjune ikut-ikutan. Pusing pala gua, mana baru kelar meeting." Dia menggerutu. "Sumpah ini—mau di antar ke mana ini Bu-ibu rempong dah?"
Jena mulai membuka aplikasi maps di ponselnya, suara wanita penunjuk jalan otomatis terdengar. Dia menjelaskan tentang restoran baru milik kenalan orangtuanya. "Lo tahu nggak tempatnya?" tanya Jena.
"Tau, tau. Udah close aja maps-nya, berisik." Sungkara mengecilkan volume radio saat dia kembali bicara. "Lo pada kayak sengaja banget pergi sampai malem gini mentang-mentang bapak-bapak ribetnya pada nggak ada."
"Harus dimanfaatkan sebaik mungkin waktunya. Apalagi Davi, kalau Arjune ada beuh ... sibuknya udah ngalahin pejabat," ujar Jena. "Lo harus belajar dari Chia deh kayaknya Vi, yang udah ahli banget ngurus dua bayi sekaligus."
"Jangan salah, ya. Ketika lo ngurus Arjune, itu tuh kayak lo punya sepuluh bayi tau nggak?" balas Davi.
Dan tawa Sungkara meledak. "Bener banget lagi," gumamnya.
"Ya manja, ya ambekan, ya ...." ilang ke mana lagi nih orang?! Davi kembali mengecek ponselnya, melihat percakapan terakhirnya dengan Arjune, tapi tidak berniat menghubunginya lebih dulu.
Jena kembali menggumam. "Gue masih belum percaya, kalau Arjune serius sama Davi tau nggak?"
"Nggak usah sok-sokan galau gitu, Je. Memangnya lo pikir asal-usul kutukan ini tuh dari mana?" tanya Sungkara. "Dari lo Je, bukan dari ToD-nya Hakim."
"Hah? Gimana?" tanya Alura.
"Kan, yang duluan pacaran diem-diem tuh Jena sama Kae. Nyembunyiin dari semua orang, ngagetin semua orang." Sungkara mulai melimpahkan kesalahan.
"Gue masih inget aja tuh, waktu Kae ngejar Jena ke ruang OSIS, berapa orang di ruang OSIS yang dibikin syok waktu itu?" tambah Chiasa.
Sungkara tertawa sambil memukul sisi kemudi. "Anjir, nggak pernah lupa gue kejadian itu."
"Kena deh tuh karmanya," tambah Davi.
Jena malah ikut tertawa. "Ya ampun, iya apa?" tanyanya. "Panjang banget dibayarnya karma gue. Maafin ya kalau selama ini gue ada salah-salah. Udahan deh, nggak usah lagi, Davi-Arjune terakhir yang bikin kita syok begini."
Sungkara berhasil membawa Jena dan yang lainnya pada sebuah restoran baru di daerah Tebet, dekat dengan bangunan yang tengah direnovasi untuk outlet Blackbeans yang baru. Di sana, ada sebuah restoran Indonesia yang menyajikan menu khas masing-masing daerah, dikemas dengan lebih modern dengan beberapa ruang makan yang terasa sangat homey, sekat-sekat yang memisahkan membuat ruang makannya terasa lebih privasi.
Sesaat setelah mereka sampai, Jena menyapa pemilik restoran ditemani oleh Sungkara, Alura sudah lebih dulu duduk dan memilih salah satu sofa karena kelelahan. Davi baru saja akan bergabung dengan Alura, tapi Chiasa dengan cepat menarik tangannya.
"Gue salah lihat nggak, sih?" gumam Chiasa. Tatapnya terpaku ke arah pintu masuk.
Davi mengikuti arah pandang temannya itu, dan dia hanya bisa mendengkus saat melihat beberapa pria dewasa dengan usia sebaya itu melewati pintu masuk. Kemeja-kemeja yang lusuh, wajah-wajah lelah, beberapa dari mereka terlihat menyisir rambutnya dan tidak peduli bahwa setelahnya jadi berantakan. Si Kemeja Biru Kaezar, Si Kemeja Abu-abu Janari, Si Kemeja putih Hakim, dan yang terakhir Si Kemeja Hitam Arjune ... yang tatapnya terpaku pada Davi seiring langkahnya yang mendekat.
***
Belum ada kata di antara Davi dan Arjune. Melihat bagaimana Jena mulai ceramah, Arjune hanya ikut tertawa bersama yang lainnya. Pria itu mengambil tempat duduk di samping Davi dengan jarak seolah-olah ada satu orang tak kasat mata duduk di antara keduanya.
Semoga tidak ada yang menyadari itu, walaupun mustahil. Karena jika mereka adalah pasangan sesungguhnya, mereka akan bersikap setidaknya saling memeluk setelah tiga hari ditinggalkan. Seperti halnya yang dilakukan Chiasa pada Janari, atau Alura pads Favian. Sementara sejak tadi Jena masih marah-marah.
"Kenapa kalian nggak pernah ngebiarin kita bebas dulu sebentaran aja?" tanya Jena sambil menatap Kaezar. "Kita kan cuma pengen punya waktu buat hang-out berempat tanpa digangguin. Nggak boleh banget, ya?" tanyanya lagi. "Lagian weekend ini kita ada acara kumpul di rumah Hakim buat ketemu Ibu sama Bapak, kan?"
Kebetulan kedua orangtua Hakim ada rencana menghadiri satu undangan pernikahan di Jakarta, jadi minggu ini rencananya mereka akan berangkat dari Yogya untuk mengunjungi Hakim.
"Sayang, aku tuh kangen banget lho sama kamu. Kamu nggak merasa dikasih kejutan?" tanya Kaezar, dia benar-benar terlihat heran dengan respons istrinya.
"Nggak," jawab Jena, lantang.
Sisa tawa Arjune masih terdengar, tapi pria itu beranjak dari sofa dan meninggalkan meja untuk mengangkat sebuah telepon. Davi sempat meliriknya sekilas, sebelum kembali mengabaikannya.
Davi baru saja hendak menyaksikan drama tepat di depan matanya, saat Jena kembali marah-marah karena Janari mulai membela diri. Namun, getar ponsel mengganggunya, ponselnya yang berada di atas meja menyala, memunculkan sebuah nomor '911'.
Davi membuka sambungan telepon tanpa menyapa terlebih dahulu. Dia mendengar pria di seberang sana langsung bicara. "Bisa ke outdoor, nggak? Tinggal jalan ke arah belakang, belok kanan. Gue tunggu."
Davi beranjak dari sofa tanpa pamit, karena suasana di meja masih riuh oleh perdebatan, jadi mungkin saja tidak ada yang menyadari kepergiannya selain Chiasa yang sempat menatapnya. Davi bergerak menjauh, ke arah yang Arjune tunjukkan.
Dari kejauhan, Davi melihat Arjune tengah berdiri dengan dua tangan yang bertopang ke pagar balkon. Mereka berada di lantai dua, balkon itu menghadap ke arah jalan raya, mereka bisa melihat bagaimana lampu-lampu kendaraan bergerak saling sorot bersama aktivitas jalanan ramai yang tidak pernah mati.
Davi berdiri di samping Arjune, dengan tatap lurus tertuju pada satu kendaraan umum yang parkir sembarangan sehingga menghasilkan serangan klakson dari beberapa kendaraan di belakangnya. Dia tidak menatap pria itu, sampai mendengarnya bicara lebih dulu.
"Udah gue benerin." Tangan Arjune terulur ke hadapan Davi, telapak tangannya yang kini terbuka menunjukkan sebuah crystal pearl necklace pemberiannya empat hari lalu, saat Davi resmi dikenalkan sebagai calon istri Arjune Advaya di depan keluarga besarnya .... Yang kemudian dirusak oleh salah satu pria kekar penagih utang.
"Favita yang benerin?" tanya Davi, bertujuan sarkasme. Karena biasanya begitu, kan?
Arjune memilih untuk tidak menjawab. Dia diam lagi. Lama. Beberapa kali terlihat menunduk sebelum akhirnya menoleh. Dari sudut matanya, Davi bisa melihat pria itu kini tengah menatapnya. "Gimana?" tanya Arjune. "Udah lo pikirin baik-baik?"
Dengan terpaksa Davi ikut menoleh. "Apanya?"
"Misal ... setelah lo pikir-pikir, gue ini brengsek karena udah lancang nidurin lo. Harusnya lo tampar gue atau maki-maki gue ... mungkin?"
"Setelah kedua kalinya gue menyerahkan diri? Terus gue baru berpikir buat nampar lo?" tanya Davi tidak percaya. "Apa nggak ada hal yang kedengaran lebih tolol dari itu?"
"Siapa tahu lo berubah pikiran." Arjune berbalik, kini tubuh bagian belakangnya bersandar ke balkon, dia menatap Davi yang sejak tadi menghindari terlalu banyak kontak mata dengannya.
Davi tidak ingin menatap pria itu terlalu lama. Karena ... dia tidak ingin tiba-tiba mengakui bahwa selama tiga hari ini dia menunggu pria itu menghubunginya. Ada desakkan dari dalam perut yang hebat, melilit-lilit tidak keruan saat melihat kehadiran pria itu.
Davi tidak ingin mengakui, bahwa dia ... mungkin saja rindu?
"Gue nggak pernah berubah pikiran. Hanya ...." Kali ini Davi menoleh. "Kepergian lo selama tiga hari ini cukup bikin gue mengerti bahwa ... gue bener-bener nggak ada harganya."
"Gue nggak pernah bermaksud supaya lo berpikir kayak itu."
"Dengan lo nggak ngomong apa-apa, dan pergi gitu aja, artinya lo membiarkan gue untuk bebas berspekulasi mengenai hal ini."
"Gue merasa harus kasih lo waktu." Arjune mengambil nada yang tegas dalam suaranya. "Buat sendiri. Buat berpikir," ujarnya. "Gue juga merasa harus menghindari lo. Gue nggak mau mendapati keadaan saat gue tiba-tiba 'pengen'—intinya gue belum mau nidurin lo lagi. Gue nggak mau ada di dekat lo dulu agar lo bisa berpikir jernih."
Davi mengalihkan wajah sambil mendecih. "Lo pikir lo akan terdengar seperti malaikat setelah bicara kayak gitu?" Kali ini dia menoleh, menemukan mata itu lagi. "Membiarkan gue sendiri, karena ... belum mau nidurin gue lagi?"
"Lo seneng banget ngambil sepenggal kalimat yang bikin diri lo merasa direndahkan kayak gitu, ya?" Arjune bergerak, tangannya hendak memegang Davi, tapi Davi menepisnya.
"Lo harus tegas ngambil satu sikap deh kayaknya." Davi menatap mata itu tajam. "Mau tetap jadi iblis, atau niat berubah jadi malaikat?" Sepasang mata itu dia tatap bergantian. "Pilih satu, jangan bikin gue bingung harus benci lo banget atau gimana?"
"Gue bahkan nggak pernah sadar pernah berubah jadi malaikat." Arjune kembali ke posisi awal, dua tangannya bertopang ke balkon. Ada embusan napas berat sebelum dia kembali bicara. "Kita sederhanakan segalanya, biar lo nggak berpikir aneh-aneh—"
"Gue akan kasih tahu lo." Davi mengatakannya bersamaan dengan sesak. Perutnya bahkan terasa melilit sampai nyeri. "Lo tenang aja. Gue akan cek sendiri. Mungkin satu atau dua minggu lagi, dan lo ... bisa ngilang lagi kayak kemarin-kemarin sambil nunggu ... untuk tahu ada yang hidup di perut gue atau nggak." Matanya sudah terasa perih, pandangannya mulai kabur. Dia sudah ingin pergi, tapi semua kesalnya masih tertahan. "Dan lo bisa nggak sih lain kali kalau lagi 'mau' ... tuh pakai pengaman—" di antara jeda waktu singkat itu Davi melihat Arjune menegakkan punggungnya cepat, "—maksud gue sama siapa pun itu. Biar nggak ngerepotin kayak gini."
***
Davi tuh padahal pengennya cuma dipeluk terus nangis gasi? :"
Eh bentar. Ada bonus scene. Wkwk.
***
Davi meninggalkan Arjune begitu saja. Dia sudah tidak punya tenaga untuk bicara lebih banyak dengan pria itu. Langkahnya dengan terburu bergerak ke arah toilet. Tidak bisa kembali ke meja cepat-cepat dengan raut wajahnya yang kalut, dia tidak ingin menghancurkan suasana.
Sesaat dia mengumpat. Brengsek.
Harusnya dia tahu bahwa pria itu bahkan kadang berubah menjadi lebih brengsek dari apa yang dia tahu.
Davi masih memegang sisi wastafel di depan cermin yang menempel di dinding. Tidak ada siapa pun di area itu sampai akhirnya sebuah suara pintu yang terbuka dari arah belakang terdengar.
Dari pantulan cermin, Davi bisa melihat Chiasa muncul dari balik pintu. Wanita itu membawakan sling bag miliknya. Dengan cepat Davi mengubah ekspresi wajahnya, berharap Chiasa tidak menyadari jejak marahnya.
"Arjune nyuruh gue bawa ini buat lo," ujarnya seraya menyimpan tas putih itu di sisi tangan Davi. "Kebetulan gue juga mau ke toilet."
"Makasih ...." Davi menunduk, pikirannya kalut sekali. Kacau. Dia bahkan tidak mengerti bagaimana menjelaskan keadaannya saat ini.
"Lo bawa tisu nggak? Kayaknya tisu di dalam habis." Suara Chiasa terdengar lagi. Batal masuk ke salah satu toilet, dia kembali menghampiri Davi.
"Kayaknya ada." Davi merogoh isi tasnya. Namun, ada sebuah benda yang ikut keluar berbarengan dengan kemasan tisu yang kini ditariknya, benda itu mencuat ke luar, jatuh, membuat tatap keduanya tertuju ke sana ..., pada sebuah test pack yang kini tergeletak di lantai.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
