
Janari adalah orang yang paling Chiasa jauhi selama ini. Namun, karena kebutuhan riset untuk menulis novel romance, Chiasa harus kembali mendekati laki-laki itu. Chiasa bergerak diam-diam, mendekat perlahan, sampai akhirnya bisa masuk ke dalam dunia Janari lagi dengan maksud yang tersembunyi.
Chiasa hanya ingin tahu bagaimana cara Janari menjebak semua perempuan dengan rayuannya, membuai perempuan dengan tingkahnya, dan menenggelamkan perempuan dalam pesonanya.
Lalu, saat rencana yang disusunnya...
Part [1]
***
CHIASA baru saja menutup notes ketika melihat layar ponselnya menyala. Kantuk menyerang di jam terakhir mata kuliah, tapi saat ini matanya terlihat berbinar karena membaca sederet pesan masuk.
Rayangga Hesa, mahasiswa jurusan Teknik Industri tingkat dua yang sudah menjadi kekasihnya satu tahun belakangan.
Rayangga Hesa
Satu jam lagi aku keluar kelas.
Jadi, kan? Nanti malam?
Aku tunggu, ya.
Jemarinya baru saja hendak bergerak membalas pesan Ray. Namun, sebuah pesan baru yang masuk mengalihkan perhatiannya.
Kak Prisa
Gimana, Chia? Udah ngambil keputusan? Please, Chia. Kamu udah nggak menjejak dunia literasi lagi lebih dari satu tahun, kali ini aku harap kamu mau balik nulis.
Seandainya sekarang kamu mau nolak tawaran ini, tolong pikir-pikir lagi.
I hope you'll come back.
Chiasa tidak jadi bangkit dari bangkunya. Sementara mahasiwa lain sudah bergerak mengosongkan kelas, menyisakannya sendirian.
Dia membaca bolak-balik pesan dari Kak Prisa, editor senior dari Penerbit Hashi Media yang selalu membantu menyunting naskah-naskah novel mentahnya sampai bisa terjual belasan ribu eksemplar di toko buku, dengan beberapa yang berakhir menjadi naskah best seller.
Benar, sudah lebih dari satu tahun, sejak Chiasa memasuki dunia kampus, kegiatan menulisnya terhenti. Kegiatan kampus tidak membuat tulisannya mati, ada waktu jika ia mau. Namun, ide menulis kisah tokoh-tokoh fiktifnya mati saat dia menemukan kisah cintanya sendiri.
Ray, Rayangga Hesa, laki-laki yang mengirimkan pesan berderet tadi, yang selalu mampu membuatnya tersenyum saat mengingat, yang ... mengisi hidupnya tepat satu tahun lalu lebih satu minggu, adalah laki-laki yang mampu menarik dirinya ke dalam kisah cinta yang tidak harus ditulis lebih dulu.
Dengan Ray, Chiasa hanya perlu menjalaninya. Dengan Ray, Chiasa tidak harus memikirkan plot dan karakter tokoh. Dengan Ray, Chiasa hanya perlu mencintai tanpa perlu repost menuliskan apa-apa.
Chiasa menyalakan layar ponselnya, menampakkan foto wajahnya dan Ray yang dijadikan foto layar kunci. Dia tersenyum lagi. Rasanya tidak akan ada penyesalan ketika dia harus meninggalkan segalanya demi laki-laki itu. Beberapa kali ia meyakinkan pikiran itu.
"CHIAAA," jeritan itu terdengar sampai suaranya menggema di ruangan.
Chiasa menoleh, tersenyum ketika melihat Jena menghampirinya dan bergegas duduk di kursi kosong yang berada di sisinya.
"Ikut kan nanti malam?" tanyanya.
Keduanya sama-sama berada di Jurusan Bisnis dan Manajemen tingkat dua. Walau berada di kelas berbeda, beberapa mata kuliah membuat keduanya sering berada di kelas yang sama.
"Ada acara apa memangnya?" Chiasa memasukkan notes ke tas, lalu kembali menatap Jena.
"Ihhh .... Bukannya udah dibahas di grup?" Jena tampak kesal. "Arjune ulang tahun, terus nanti rencananya kita mau kumpul di ...." Jena menarik bola matanya ke atas. "Tempatnya belum fix sih, tapi kayaknya ya antara apartemen Janari atau ... rumah Kae mungkin?"
Chiasa mengangguk-angguk. "Oh."
"Oh?" Jena tampak tidak puas dengan responsnya. "Semua bakal datang, Chia. Gue, Hakim, Kaezar, Janari, Favian. Kalau Arjune sih udah jelas, belum lagi Davi, Sungkara, Kalil sama Gista—mereka bela-belain datang lho. Kaivan sama Alura juga bilangnya mau datang walaupun belum fix, sih. "
Nama-nama Yang Jena sebutkan di awal tadi berada di kampus yang sama, Universitas Naratama yang berada di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sedangkan Davi, Sungkara, Kalil, Gista, Kaivan, dan Alura berada di universitas berbeda. Mereka mengosongkan waktu dan jauh-jauh datang demi acara itu.
Namun, "Gue udah ada janji duluan sama Ray." Chiasa menggigit bibir saat mendapat tatapan kecewa dari Jena untuk kesekian kalinya.
"Chia, acara apa lagi, sih?" Ucapan Jena hanya terdengar mengeluh, dia tidak membutuhkan jawaban. "Bukannya minggu kemarin lo berdua udah ngabisin weekend bareng buat first anniversary? Dan ini tuh gue nggak minta lo ngumpul tiap weekend, Cuma—"
"Jena ...." Chiasa manatapnya penuh permintaan maaf. Sebenarnya, malam ini dia tidak tahu apa rencana Ray ketika mengajaknya bertemu. Ray bilang, Chiasa hanya perlu datang.
"Lo udah nggak pernah datang kalau ada acara kumpul-kumpul gini. Iya, kan?" Jena menelengkan kepala. "Atau ... kalau lo mau ajak Ray aja, biar—"
"Je, lo tahu itu nggak mungkin." Mengingat apa yang terjadi beberapa waktu lalu. Ada hal yang membuat Ray bahkan bisa langsung mengubah ekspresi wajahnya hanya ketika Chiasa—tanpa sengaja—membicarakan teman-temannya.
Jena hanya mengangguk, terlihat mengalah. "Iya. Ya udah."
"Sampein salam gue ke anak-anak, ya?"
Jena mengembuskan napas berat. "Iya." Tangannya terulur mengusap kepala Chiasa. "Have fun, ya?" Lalu tersenyum. "Tapi ... kalau misalnya sempat, setelah jalan sama Ray, mau nyusul kita juga boleh kok. Nanti gue kabarin tempatnya di mana."
Akhir kalimat dari Jena yang selalu Chiasa dengar Nyusul ya kalau sempat! walaupun Jena tahu bahwa setelah bersama Ray, waktunya akan habis dan tidak pernah terbagi dengan apa pun. "Okay. Have fun juga, ya," balas Chiasa.
***
Tim Sukses Depan Pager
Hakim Hamami
Absen nanti malem yoook.
Shahiya Jenaya
Semua ikut kayaknya.
Davi Renjani
Wah, iya kah?
Kaivan Ravindra
🙌
Alura Mia
Count me in.
Janitra Sungkara
Wah, ramai.
Formasi lengkap nih?
Shahiya Jenaya
Eh, Chiasa nggak bisa ikut. Hehe.
Arjune Advaya
Wah, Chia. Serius?
Hakim Hamami
Arjune tampak kecewa, ya.
Janitra Sungkara
Napa dah, June?
Kaivan Ravindra
Chia, lo bakal nyesel seandainya tahun depan Arjune udah nggak ulang tahun lagi.
Arjune Advaya
Eee .... Babinyeeeee ....
Chiasa Kaliani
Juneee, sori yaaa.
Arjune Advaya
Iya, nggak apa-apa. Salam buat Ray, ya.
Hakim Hamami
Salamnya gimana, June?
Arjune Advaya
😊🖕
Canda, Chia. Hehe.
Janari Bimantara
Lho.
Chia, nggak jadi nih?
Chiasa Kaliani
Nggak jadi apaan?
Janari Bimantara
Putus sama Ray.
Hakim Hamami
Lha, emang???
Janari Bimantara
Jadian sama gue.
Part [2]
Chiasa sudah sampai di apartemen itu. Ini adalah perayaan first anniversary keduanya karena minggu lalu Ray telah memberikan kejutan manis, sebuah acara makan malam romantis di sebuah rooftop cafe kawasan Menteng. Ray mengajaknya menikmati senja ketika sore hari di sana, juga menikmati gemerlap city view saat makan malam.
Malam itu Ray membuatnya merasa istimewa, dan itu semua terasa cukup. Baginya, Ray saja sudah cukup. Ia tahu itu pikiran mainstream yang dimiliki setiap gadis saat sedang begitu mencintai seseorang.
Dan malam ini, Chiasa belum tahu apa yang akan mereka lakukan untuk merayakan kembali usia hubungan yang sudah terjalin selama satu tahun itu. Ray hanya menyuruhnya datang ke apartemen, tidak memberikan petunjuk tentang apa yang akan mereka lakukan dan pakaian apa yang harus ia kenakan seperti momen di malam minggu kemarin.
Jadi, untuk malam ini Chiasa memilih ruffle t-shirt berwarna hitam dengan midi skirt merah bermotif bunga gelap. Dia merasa tampilannya malam ini pas untuk diajak ke mana saja. Tangan kanannya memegang sling bag setelah menekan bel, ujung flat shoes-nya bergerak-gerak saat Ray belum kunjung membuka pintu.
Chiasa bisa saja membuka pintu sendiri, karena Ray memberi tahu digit-digit password pintu apartemennya, tapi dia masih menunggu. Dia akan membukanya jika saat bel ketiga Ray belum kunjung membuka pintu.
Namun, "Hai, maaf lama. Tadi aku lagi di kamar mandi."
Chiasa tersenyum. "Baru pulang? Bukannya hari ini cuma dua mata kuliah, ya?" Dia membungkuk sejenak untuk melepas flat shoes dan menggantinya dengan sandal rumah yang biasa dikenakan saat berada di apartemen kekasihnya itu.
Ray mengangguk, dengan segera mengamit tangan Chiasa. "Biasa, habis rapat HIMA."
Ray adalah salah satu ketua departemen di HIMA Fakultas Teknik, hal yang menyebabkan keduanya tidak terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Selain sibuk kuliah, dia menghabiskan separuh waktunya di organisasi kampus.
Dan Chiasa, adalah kebalikan. Tugas kuliah menyita waktunya, dan sisanya dia gunakan untuk menunggu Ray memiliki waktu luang. Seperti hari ini, Ray tidak pernah menerima penolakan saat mengajaknya bertemu.
Ray menutup pintu sebelum akhirnya mendorong pundak Chiasa untuk berjalan lebih dulu. Keduanya terhenti di samping sofa yang menghadap pada layar televisi yang menyala.
Chiasa berbalik, menatap Ray yang tampak santai dengan kaus hitam dan denim short yang dikenakannya. Bahkan, laki-laki itu merasa tidak harus repot-repot mengeringkan rambutnya yang basah sehabis mandi. "Kita ... nggak akan pergi?"
"Hm?" Ray yang sudah berjalan ke arah pantri segera berbalik, dia tersenyum sebelum menjawab. "Kamu mau kita pergi?"
"Oh. Nggak. Maksudnya, tadi aku pikir kamu bakal ngajak aku keluar. Bukan berarti kita harus keluar."
Senyum Ray masih tersisa. Dia meringis, mengelus perutnya sembari bicara. "Aku belum makan dari siang."
"Oh, ya?" Chiasa menghampiri pantri setelah menaruh sling bag-nya begitu saja di sofa. "Kok, nggak bilang? Mau pesan makanan?"
Ray menggeleng, dua tangannya merentang ketika menerima kehadiran Chiasa, tanpa ragu memeluknya erat. Wajahnya ditaruh di atas pundak Chiasa sambil bicara dengan suara tidak terlalu jelas. "Kalau aku minta kamu yang masakin, boleh?"
Chiasa tertawa. "Kamu serius?"
Ray kembali memegang pundak Chiasa dan mengarahkannya ke pantri. "Iya dong. Jarang-jarang kita ngabisin waktu berdua kayak gini, kan?"
"Kamu punya bahan makanan apa memangnya?" Chiasa membuka kabinet kecil yang menggantung di dinding, sedangkan dia membiarkan Ray tetap memeluknya dari belakang begitu saja. "Oke. Kamu hanya punya makanan instan," gumamnya.
"Aku memudahkan masalah kamu, kan?"
Chiasa memukul lengan Ray yang melingkar di pinggangnya. "Aku nggak sepayah itu, ya!"
"Oh tentu. Kamu nggak payah. Kamu istimewa dengan nasi goreng basah yang kamu masak tempo hari karena telurnya kamu masukin di akhir."
Ray mengungkit lagi masa-masa awal mereka dekat dan Chiasa dengan segala usahanya mencuri perhatian dengan membuatkan bekal. "Kamu dalam masalah kalau terus ungkit hal itu," ancam Chiasa saat Ray mencoba mengingat kenangan memalukan itu.
Ray tertawa, dekapannya merenggang sebelum kembali merapat ketika melihat Chiasa mengambil sebungkus pasta dari kabinet. "Pilihan yang tepat."
Chiasa melirik ke belakang sedikit sebelum akhirnya bergeming lagi. "Oh, ayo deh. Aku beneran harus masak banget buat kamu, nih?"
Ray meraih tangan kanannya, memainkan jemarinya. "Tentu nggak," gumamnya. Dia membawa tangan Chiasa mendekat ke wajahnya, lalu menciumnya. "Kita bisa melakukan hal yang ... lebih menarik seandainya kamu mau."
Chiasa menaruh kemasan pasta begitu saja, matanya melirik ke samping kanan, tapi tidak kuasa jika harus benar-benar menoleh. Wajahnya bergerak sedikit menjauh saat Ray tiba-tiba mencium ringan telinganya. Dua tangan bebasnya mencengkram pinggiran meja di depannya saat sesuatu yang asing merapat di bagian belakang tubuhnya.
"Satu tahun ... cukup membuat kamu percaya sama aku, kan?" tanya Ray. Suaranya lembut, nyaris berbisik. "Chiasa ...?"
Ada gugup yang menyergap, yang membuat tubuhnya kaku, yang juga membuat bibirnya kelu. Dia menghitung dalam hati, mungkin sudah tujuh detik, pertanyaan Ray berlalu dan dia tetap termangu.
"Chiasa, boleh kita melakukannya malam ini?" Kali ini, Ray sedikit menjauh, seolah memberi celah pada Chiasa untuk mengambil waktu berpikir dengan benar, tanpa 'desakan' lagi. "I just have one question for you with one word answer."
"Hm." Gumaman Chiasa memanggil tubuh Ray untuk kembali merapat.
"Lalu?"
Chiasa berbalik, mengahadap tubuh Ray sepenuhnya. Dia perlu sedikit menjauh agar bisa menatap langsung mata laki-laki itu dengan perbedaan tinggi tubuh yang dimiliki keduanya. Chiasa menggenggam dua tangan Ray, lalu setelah itu ... Ray bisa tahu jawabannya.
***
Chiasa berjalan sendiri di lobi apartemen. Masih menimbang-nimbang untuk tetap berjalan menjauh dari gedung itu atau berbalik saja dan meminta maaf pada Ray atas penolakan yang diucapkannya tadi. Namun, langkahnya sudah terayun keluar, angin malam membuatnya mengangkat wajah dan menatap lampu-lampu taman di antara pohon-pohon cemara berjarak konstan di pelataran apartemen.
Chiasa mengeratkan genggamannya pada sling bag, seolah meyakinkan diri sendiri bahwa pilihannya untuk menolak ajakan Ray adalah benar. Namun, saat laju langkahnya yang pelan menjauh lagi, sesuatu mengganggunya. Potongan-potongan bayangan perceraian orangtua menghentikan langkahnya, bayangan tangisnya yang sengaja ia bungkam sendiri dengan bantal saat malam hari membuatnya goyah lagi, bayangan sepi yang mengukungnya di rumah seharian membuatnya ragu untuk pergi.
Kesedihan itu, tangis itu, sepi itu, memenjaranya semenjak perceraian kedua orangtuanya. Dan Ray datang, lalu membebaskannya. Sedih itu pergi, tangis itu sirna, sepi itu terusir. Hidupnya penuh dengan segala hal tentang Ray sampai lupa bahwa banyak hal menyedihkan pernah hinggap dan menyerangnya.
Ray ... membuatnya tidak tampak menyedihkan lagi. Ray tidak boleh pergi. Atau lebih tepatnya, dia tidak boleh membuat Ray pergi.
Jadi, dengan satu tarikan napas yakin, Chiasa mengambil satu keputusan. Dia berjalan cepat menuju sebuah minimarket yang berada di samping lobi, langsung berdiri di meja kasir dan meraih alat kontrasepsi berupa karet latex itu dan membayarnya cepat.
Langkahnya terayun kembali menuju lantai enam, di mana laki-laki yang tadi ditolaknga tengah termangu dan membiarkannya pergi begitu saja. Chiasa tidak memperhatikan sekitar, tidak ingat ada berapa orang yang berdiri bersamanya di dalam elevator. Yang ia tahu, ada satu orang perempuan dan laki-laki yang keluar bersamaan dengannya di lantai yang sama.
Chiasa berjalan paling belakang, menyaksikan laki-laki itu berhenti di salah satu pintu dan masuk, menyisakan seorang perempuan yang berjalan di depannya. Chiasa ingat penampilan perempuan itu, rambut cokelat panjang yang dibiarkan terurai melewati bahu, midi dress merah dibalut outer yang sama panjang, lalu ... kaki jenjang yang mampu membuatnya iri setiap perempuan dalam seper sekian detik menatapnya.
Langkahnya akan terus terayun, melewati perempuan yang memiliki langkah tergesa itu, seandainya saja perempuan itu tidak berhenti di pintu nomor 057 dan mendapatkan sambutan lembut, "Hai, Sayang ...."
Chiasa terpaku. Jelas ia tidak akan salah ingat, pintu bernomor 057 adalah satu-satunya pintu yang dia kunjungi ketika menjejak gedung itu. Ray, pria itu seharusnya berada di balik pintu itu dengan kekecewaan mendalam karena Chiasa yang pergi begitu saja, bukan menyambut lembut perempuan lain yang mengunjungi kamarnya dengan sapaan 'Sayang'.
Alat kontrasepsi yang berada di dalam tasnya, yang ia ambil dengan yakin setelah menarik seluruh keyakinan yang tercecer, pasti tengah menertawakannya sekarang.
***
Part [3]
Chiasa menemukan sepasang bangku menghadap sebuah meja bundar di depan sebuah Indomaret Point. Ada beberapa kerumunan anak laki-laki berusia sekitar SMP atau SD, di beberapa meja lain, bising, penuh tawa dan obrolan tanpa henti bersama gadget yang tidak lepas dari genggaman.
Chiasa tidak bisa berjalan lebih jauh, tidak bisa menemukan tempat yang lebih baik lagi untuk beristirahat setelah berjalan kaki beberapa ratus meter tanpa henti. Isi kepalanya bahkan lebih buruk lagi dalam bekerja, karena bisa-bisanya sosok Hakim yang pertama terlintas dalam ingatan untuk diminga datang menemaninya saat ini.
"Jumpshot!" teriak salah seorang anak laki-laki sambil terus bergelut dengan gadget-nya.
Sejak tadi Chiasa mendengar kalimat. "Haha. Knock anjir!" Atau, "Anjir sandwich!" Dan istilah-istilah lain yang sama sekali tidak dia mengerti.
Mungkin berselang tiga detik setelah melirik kebisingan anak-anak itu, sosok Hakim muncul dari balik pintu kaca Indomaret sambil menenteng sekantung belanjaan. Laki-laki itu menaruh bawaannya beserta kunci motor di atas meja sebelum menarik kursi dan duduk di hadapan Chiasa.
Tangannya sesaat merogoh kantung plastik, mengambil minuman kalengan dan membukanya sampai menghasilkan suara buih yang terbebas. "Bisa buka segel minunan sendiri, kan?" tanyanya sembari menyerahkan botol air mineral pada Chiasa. "Gue bukan Kae yang selalu ada buat bukain segel botol minum Jena."
Chiasa meraih botol air itu, lalu melirik lagi pada sumber suara teriakan di samping kanannya. Bocah-bocah itu lagi.
"Indomaret Point banget, nih?" tanya Hakim seraya mengetuk-ngetuk meja, kembali menarik perhatian Chiasa padanya. "Jadi, gimana?" Bertolak belakang dengan ucapan sebelumnya, melihat Chiasa diam saja, Hakim membukakan segel botol dan menaruhnya kembali begitu saja. "Minum dulu nggak?"
Chiasa mengeluarkan sekotak alat kontrasepsi yang sempat dibelinya, menaruhnya di atas meja.
Dan hal itu berhasil membuat Hakim melongo. "Chia ...."
"Belum," ujar Chiasa. "Belum gue pakai, kok."
"Lo mergokin dia selingkuh sebelum pakai ini?" Hakim menunjuk benda sialan itu.
"Dia beneran selingkuh, ya?" Pertanyaan yang sebenarnya jatuh untuk dirinya sendiri.
"Apa?" Hakim sampai mencondongkan tubuhnya ke depan. "Cewek. Malam-malam datang ke apartemen cowok. Disambut dengan kata sayang—"
Chiasa menatap Hakim. Jika tidak langsung melihatnya dan mendengar dari orang lain seperti biasanya, Chiasa bisa berkata, mungkin saja salah dengar, atau salah orang. Namun, ia tahu betul tangan Ray yang terulur dari dalam pintu menyambut lengan perempuan tadi sebelum menariknya masuk.
"Chia, tolong kali ini .... Kalau lo nggak pinter, seenggaknya jangan goblok-goblok banget."
"Di kamar Ray ada foto kami berdua, dia pasang di dinding dekat tempat tidur."
"Ya terus?" Hakim masih terlihat kesal saat mendengar Chiasa masih terkesan denial. "Chia, kalau udah sang—e," Hakim berdeham, mengganti dengan kata yang menurutnya lebih sopan. "Kalau udah nafsu, mana ingat ada gambar muka lo di kamarnya? Segede pintu sekali pun Chia. Blur muka lo."
"Tapi—"
"Gue pergi ya kalau masih tapi-tapi." Hakim beranjak dari bangkunya sambil menunjuk wajah Chiasa, lalu dia mengernyit saat mendengar teriakan seorang bocah laki-laki di samping kanan yang disambut tawa temannya. "Ini kita nggak bisa pindah apa? Harus banget nongkrong bareng bocah-bocah FF di sini?"
Chiasa lega karena melihat Hakim kembali duduk.
"Chia, keputusan lo ada benarnya—Oh, nggak. Bukan maksud gue membenarkan sikap lo yang beli karet-karet sialan ini dan balik ke apartemen Ray. Maksudnya, setidaknya dengan begitu lo bisa tahu kelakuan Ray yang nggak lo tahu selama ini."
"Terus?" Isi kepala Chiasa hanya segumpal agar-agar tidak berguna sekarang.
"Lo masih tanya, apa yang harus lo lakuin?" Hakim menarik tisu kemasan dari kantung plastik belanjaannya, melemparnya ke meja. "Putus, Chia. Nggak apa-apa lo nangis. Ya memang normalnya lo nangis, lah! Mubazir ini udah gue beli!"
Chiasa pernah tidak sengaja menemukan pesan berisi kata 'Sayang' dari sebuah nomor tidak dikenal yang muncul di pop-up notification ponsel Ray. Pernah menemukan sebuah potongan direct message 'Iya, Sayang.' Saat Ray lupa meng-log out akun instagram di PC yang kebetulan dia pinjam. Lalu, ada beberapa orang mengatakan padanya Ray mengantar pulang seoang cewek A, atau B, atau ....
"Sekarang lo lihat pakai mata kepala lo sendiri. Bukan kata gue, bukan kata temen-temen lo yang lain," ujar Hakim. Tekanan suaranya dibuat rendah. "Nggak ada alasan untuk pura-pura nggak tahu, kayak yang biasanya lo lakuin."
Semua informasi itu, seperti kapur yang menggores papan, yang akan ia hapus sendiri detik itu. Lalu dia akan melupakannya. Karena .... "Gue nggak tahu gimana jadinya tanpa Ray."
"Lo akan baik-baik aja." Hakim mencoba meyakinkannya. "Chiasa yang gue kenal dulu, hidupnya baik-baik aja tanpa manusia bernama Ray," gumamnya kemudian.
Sayangnya, Chiasa yang dulu sudah berubah saat bertemu dengan Ray. Ray membuat Chiasa hanya hidup dalam dunianya. Ray menarik Chiasa ke dalam sebuah ruang yang seolah aman untuk menyaksikan teman-temannya bergerak di luar sana.
"Chia, ada gue, ada Jena, ada ... yang lain. Sedih lo akan kami dengar, sulit lo akan kami bantu, lo nggak pernah sendirian. Selama ini lo nggak hanya punya Ray."
Chiasa masih menatap Hakim.
"Kami nggak pernah pergi, Chia."
Iya, mereka tidak pernah pergi, Chiasa yang selama ini menjauh.
"Chia ...."
Chiasa meraih ponselnya yang sejak tadi tergeletak di atas meja. Ponselnya menyala, jemarinya menuju kontak Ray dan menekan ikon panggil. Muncul wajah laki-laki itu memenuhi layar ponselnya.
Lama. Beberapa saat berlalu tanpa tanggapan, sampai akhirnya. "Hai, Sayang."
Kali ini Chiasa benci sapaan itu, ray menggunakannya bukan hanya untuk dirinya. "Halo?"
Ray terdengar mengembuskan napas berat. "Sori, Sayang. Aku lagi capek banget. Ada apa?"
"Capek?" gumam Chiasa.
"Iya." Suara Ray memang terdengar putus-putus berganti tarikan napas pendek. "Waktu kamu pulang, aku langsung nge-gym."
Apakah selama ini dia selalu dibodohi seperti itu? Terdengar menyenangkan pasti untuknya ketika Chiasa mempercayai apa yang dikatakan. "Ray ...."
"Ya? Kenapa? Kamu udah sampai rumah?" tanyanya. "Udah, nggak usah dipikirin. Aku nggak apa-apa, kok. Kita bisa coba lain waktu. Okay? Sampai kamu—"
"Kita putus, ya." Ucapan pertama, dia masih terdengar biasa.
"Kenapa?"
"Kita putus." Dan kini getar lemah suaranya mengiringi bola mata yang berair. Chiasa mematikan sambungan telepon. Menaruh ponselnya dengan sembarang. Sakit menyerangnya kemudian, saat wajahnya menunduk, air matanya jatuh perlahan, deras kemudian.
"It's okay, Chia. Nggak apa-apa ngerasain putus yang sampai sakit banget kayak gini satu kali seumur hidup lo, daripada lo bertahan dengan orang yang salah selamanya." Hakim membuka kemasan tisu. "Tisu yang gue beliin akhirnya kepake juga, kan."
***
Tim Sukses Depan Pager
Davi Renjani
Gue udah pesen jagung buat minggu depan ya.
Awas aja kalau nggak jadi.
Janitra Sungkara
Hahaha.
Davi Renjani
Jangan ketawa.
Hakim Hamami
Lagian ini bau hari Minggu. Bisa-bisanya pesen jagung buat hari Sabtu dari sekarang.
Davi Renjani
Takut kehabisan.
Janari Bimantara
Kramatjati bangkrut sampe takut kehabisan?
Davi Renjani
Bodo ah. Bukannya pada bilang makasih.
Alkaezar Pilar
Makasih, Vi.
Janitra Sungkara
Thank you.
Hakim Hamami
Gomawo
Saranghaeyo.
Sarang burung.
Burung siapa.
Favian Keano
Emang mau ngapain hari Sabtu?
Shahiya Jenaya
Barbeque-an, Fav.
Kaivan Ravindra
Lah, di maneee?
Shahiya Jenaya
Di rumah pacar aku.
Arjune Advaya
Haleuh.
Alura Mia
Yahhh. Gue udah berangkat lagiii. Nggak bisa ikut.
Kaivan Ravindra
Gue mau anter Alura.
Shahiya Jenaya
Hati-hati, Raaa. Liburan pulang ya.
Alura Mia
Okay!
Gista Syaril
Ikuttt.
Kalil Sankara
2.
Favian Keano
3.
Janari Bimantara
4.
Chiasa Kaliani
5.
Janitra Sungkara
WOHOOO.
Shahiya Jenaya
YEAAA FINALLY. CHIAAA.
Davi Renjani
JANGAN BOONG LO YA, CHIA.
Kaivan Ravindra
WAH. WAH. WAH.
Hakim Hamami
HA ADA APA NIC.
Arjune Advaya
Nggak usah izin dulu nih, Chia?
Chiasa Kaliani
Nggak usah, kok.
Favian Keano
Lho. Lho.
Arjune Advaya
Ri. Monitor.
Janitra Sungkara
'Nggak usah, kok.'
Hakim Hamami
Chiasa nggak usah izin lagi.
Yang artinya ....
Davi Renjani
Janari. Chia udah putus tuh.
Mau ngajak jadian beneran nggak?
Janari Bimantara
Hahaha.
***
Part [4]
Chiasa masih duduk di meja makan sambil memandang layar ponselnya yang terus menyala. Mungkin ini telepon ke ... dua puluh kali, atau lebih. Ray terus menghubunginya sejak semalam, tapi Chiasa mengabaikannya.
Layar ponsel kembali meredup. Namun, belum sempat benar-benar gelap, layar itu kembali menyala. Nama Ray muncul lagi, gigih sekali laki-laki itu menghancurkan nafsu sarapan paginya.
Chiasa menyerah, meraih ponsel, tapi hanya untuk mengubah posisinya menjadi telungkup. Dia tidak bisa mematikan ponselnya karena hari ini berencana bertemu denga Prisa, seorang editor yang dikenalnya dulu.
Chiasa perlu banyak rencana untuk mengalihkan ingatannya dari Ray. Chiasa butuh banyak kegiatan untuk membuang jauh-jauh hal yang mengganggu isi kepalanya pasca putus. Chiasa ... harus mulai membiasakan diri dengan segala hal tanpa Ray lagi di dalam hidupnya. Dan tadi malam, dia memilih untuk kembali pada kegiatan yang dulu pernah ditekuninya. Menulis.
Namun ironinya, kali ini menulis bukan lagi untuk bersenang-senang seperti dulu, melainkan untuk mengenyahkan nyeri.
"Chia?" Suara Papa terdengar. Chiasa tidak melihat kapan Papa menuruni anak tangga, tiba-tiba saja beliau sudah berada di pantri seraya membawa dua mug mendekat ke arahnya. Padahal, seharusnya pagi ini Chiasa menghindari Papa, karena matanya pasti terlihat sembab setelah menangis agak lama semalam.
"Mau berangkat sekarang?" tanya Chiasa.
"Iya. Kenapa? Mau Papa bikinkan sarapan?" tanyanya saat sudah duduk di depan Chiasa.
Chiasa menatap sarapan roti gandum tanpa selai di tangannya. "Nggak usah." Dia tidak berusaha menutupi apa pun yang terlihat tidak biasa di wajahnya. Satu-satunya orang yang hidup di dunia untuknya adalah Papa. Jadi, bukankah seharusnya beliau tahu apa pun tentangnya?
"Okay. Papa mau sarapan di Blackbeans aja kalau gitu," ujarnya dengan tatapan yang masih menatap layar ponsel. Setelah meneguk habis air putih di mugnya, beliau mengangkat wajah, seolah-olah sadar sedang diperhatikan. "Kenapa?" Papa meraba wajahnya. "Ada yang salah?"
Chiasa menggelen. Padahal jawabannya ... banyak. Banyak sekali. Wajah yang semakin hari tampak semakin lelah dengan kantung mata yang berat itu, garis kerutan yang semakin banyak di sudut matanya saat tersenyum, juga rambut-rambut putih yang mulai terlihat menyelip di dagu. Tidakkah seharusnya beliau memikirkan bagaimana akan menghabiskan masa tuanya nanti?
Kenapa di usia delapan tahun perceraiannya dengan Mama, beliau masih memilih hidup sendiri?
"Chia? Kamu baik-baik aja?" Papa mulai meneliti wajah Chiasa, dan tidak perlu waktu lama, pasti beliau menyadari mata sembabnya.
Chiasa mengangguk cepat. "Aku baik-baik aja."
Papa mengambil ponsel dan kunci mobil, tapi matanya belum lepas menatap Chiasa. "Hari ini ke kampus?"
Chiasa menggeleng. "Nggak. Nggak ada kelas hari ini."
"Oh. Terus ...?" Papa menilik penampilan rapi Chiasa.
"Aku mau ketemu Kak Prisa."
Papa mengernyit saat mendengar nama itu.
"Editorku dulu," jelas Chiasa. "Aku mau mulai menulis lagi."
Senyum Papa mengembang. "Oh, ya?" ujarnya terlihat takjub. Walau terlihat penasaran dengan keadaan Chiasa, beliau tidak bertanya. "Wah .... Senang sekali Papa dengarnya. Pokoknya Papa harus jadi orang pertama yang dengar premis cerita kamu nanti."
Chiasa tersenyum. "Okay."
Tangan Papa mengusap puncak kepala Chiasa sebelum pergi. "Mau berangkat bareng Papa?"
"Nggak usah. Ini masih terlalu pagi." Karena jam masih menunjukkan pukul delapan pagi.
"Oh. Dijemput Ray?"
Roti gandum di tangan Chiasa yang siap digigit kini tertahan di depan bibir. Perlahan tangannya turun, menaruh sisa roti ke piring. "Nggak." Hanya gumaman.
"Oh. Dia ada kelas pagi?" Papa menatap Chiasa sebelum benar-benar pergi. "Tumben nggak antar kamu?"
Chiasa mengalihkan tatapannya ke sembarang arah. Lalu memutuskan untuk menunduk saat berkata. "Aku nggak tahu," ujarnya. "Kami udah putus."
***
Chiasa sudah duduk di sebuah ruangan dengan meja berbentuk elips yang lebar. Dia ingat terakhir kali duduk di ruangan itu, menghadap sekitar empat ribu eksemplar novel untuk ditandatangani dan dikirim ke pembaca yang sudah mengikuti pre order, yaitu sebelum novelnya resmi launching di beberapa toko buku offline.
Saat itu, rasanya dia melakukan semuanya dengan bahagia, tanpa ekspektasi apa-apa. Namun, setelah semua ketercapaian itu, menulis menjadi sangat berat. Seperti ada garis target untuk dilampaui, tekanan untuk lebih baik, desakan untuk terus menjadi apa yang diinginkannya saat itu.
Chiasa nyaris menyerah, dan bertemu dengan Ray membuatnya benar-benar menyerah, keluar dari dunianya yang menghimpit untuk hidup di dunia baru yang diciptakan laki-laki itu.
"Chiasa?"
Chiasa terkesiap saat mendengar suara Prisa memanggilnya. "Ya?"
Di hadapannya kini tidak hanya ada Prisa, tapi juga ada Lexi. Sebelum masuk ke ruangan, wanita berkacamata itu sempat memperkenalkan dirinya.
"Seperti yang aku bilang sebelumnya, bahwa aku sudah pindah menjadi editor non-fiksi, dan sekarang posisiku digantikan oleh Lexi," jelas Prisa.
"Oke." Chiasa menyambutnya dengan senyum. Tidak masalah, di perkenalan pertama kami, Lexi tampak memiliki gaya yang santai seperti Prisa, bahkan lebih santai dari itu.
Lexi tersenyum, mendorong pelan kacamata di tulang hidungnya yang tinggi. "Kita pasti bisa bekerjasama ke depannya dengan baik."
"Tentu," sahut Chiasa.
"Walaupun terbilang baru, Lexi ini sudah dipercaya untuk menangani banyak naskah. Selain sudah dipercaya menangani naskah-naskah dari penulis senior, Lexi juga ikut menangani naskah-naskah penulis baru karena punya ketajaman naluri yang keren untuk mem-filter naskah mana yang potensial," jelas Prisa lagi. "Dan saat menunjukan profil serta karya kamu sebelumnya, dia langsung bilang 'ya'."
Suatu kehormatan untuk Chiasa.
"Dan semalam, aku sudah forward draft naskah yang kamu kirim. Lexi sudah baca," lanjut Prisa.
Lexi mengangguk. "Benar." Dia menatap sesaat layar laptopnya yang sejak tadi terbuka di depannya. "Aku sudah baca karya-karya kamu."
Chiasa merespons tanggapan Lexi dengan senyum.
"Dan ...." Lexi berdeham, lalu menggeser laptop ke sisi kanannya, dua tangannya ditaruh di meja sampai tubuhnya sedikit condong ke depan. "Begini, Chiasa ...." Dia menatap Chiasa dengan serius. "Kamu punya followers sebanyak tiga ratus ribu lebih di platform kepenulisan dan puluhan ribu mengikuti di instagram. Mereka nge-hype kamu dulu, saat usia kalian sama-sama masih remaja—oke, kebanyakan di antara mereka anak SMP atau SMA mungkin?"
Chiasa mengangguk. "Iya, sekitaran itu."
"Dan sekarang, seiring dengan kamu yang tumbuh menjadi lebih dewasa, mereka juga mengikuti," ujar Lexi, Chiasa belum mengerti arah pembicaraan ini. "Bacaan mereka pasti berubah, dan itu berpengaruh pada pasar kamu nanti. Pasar kamu juga ikut berubah."
"Jadi ...?"
"Kamu bisa—dan kayaknya harus—beranjak dari teenfiction dengan romansa ringan, ke cerita yang romance-nya lebih kuat, lebih dalam."
"Aku belum punya pengalaman menulis novel romance yang ...." Kuat dan dalam seperti apa yang disebutkannya. Keempat karyanya sebelumnya adalah novel teenfiction yang memang diperuntukan untuk remaja.
"Justru itu, ini akan jadi pengalaman pertama kamu." Lexi tersenyum penuh Arti. "Aku sudah baca karya-karya kamu sebelumnya, dan menurutku, kamu nggak akan kesulitan kok."
Chiasa dan Prisa saling tatap sebelum akhirnya sama-sama mengalihkan perhatian pada Lexi.
"Oke. Aku sudah siapkan beberapa novel yang mesti kamu baca, sebagai ... apa ya, gambaran untuk kamu?" Lexi mendorong empat buat novel yang bertumpuk rapi di sisinya. "Dibaca, ya."
Chiasa menariknya lebih dekat, lalu melongo saat melihat cover novel pertama. Di cover itu, ada sepasang manusia berlawanan jenis tanpa pakaian dengan pose yang .... Begini, Si Laki-laki mencium leher si Perempuan—yang memasang wajah penuh gairah.
"Lex, lo serius ...?" Protes Prisa.
Lexi mengangguk, lalu menatapku. "Kamu udah sembilan belas tahun kan, Chiasa?"
Chiasa mendongak, menghentikan rasa terkejutnya dari cover novel-novel itu untuk mengangguk.
Lexi mengangkat dua bahu, seolah-olah idenya barusan adalah hal yang sangat wajar.
"Tapi ...." Prisa menatap Chiasa khawatir. "Chiasa ini, gue kenal dia sejak dia masih SMA—"
"Dan sekarang lo harus terima bahwa penulis kesayangan lo ini sudah beranjak dewasa, Mbak." Lexi tersenyum meyakinkan. "Mbak, come on, lo ngelihat guenya kayak gitu banget. Seolah-olah gue ini berbahaya banget dan mau merusak Chiasa."
Chiasa masih menyaksikan perdebatan kecil di depannya sebelum akhirnya kembali terkejut dengan pertanyaan Lexi.
"Kamu pernah pacaran, kan?" Lexi kembali menatap Chiasa.
Chiasa mengangguk, walau ragu. Dia pernah pacaran, tapi baru putus dan lagi galau-galaunya. Tentu dia tidak menjelaskan hal itu.
"Nah, lebih mudah lagi kalau gitu. Percaya sama aku Chiasa, aku punya feeling yang bagus banget ke kamu."
"Kamu berhak menolak kok Chia, kalau nggak mau." Ucapan Prisa mendapatkan lirikan gerah dari Lexi.
"Aku mau kok," jawab Chiasa.
"Serius?" Prisa memastikan.
Chiasa mengangguk dengan yakin.
"Terima kasih," puji Lexi. "Segera umumkan ke pembaca kamu di semua sosial media kalau sebentar lagi kamu akan kembali. Dan untuk waktu kosong kemarin, kamu bisa beralasan bahwa kamu sedang berada di masa transisi di mana ... tulisan kamu nanti akan berubah menjadi lebih dewasa." Lexi membentuk tanda kutip di kata 'dewasa' dengan dua tangannya.
"Dewasa ...." Chiasa menggumam.
"Ya, dewasa." Lexi kembali menjelaskan. "Begini, kalau dulu kamu menulis kisah remaja dengan hubungan romansa ringan, sekarang kamu ditantang untuk menuliskan kisah cinta manusia dewasa dengan lebih intim."
Chiasa sedikit membelalak.
"Nggak sulit kok. Ingat-ingat saja saat kamu lagi berdua dengan pacar kamu." Lexi mengedipkan mata. "Seintim itu, dan jelaskan dengan lebih detail. Mungkin hanya itu tantangannya."
Mungkin hanya itu tantangannya. Tentu saja itu bukan sekadar 'hanya', tapi benar-benar tantangan. Karena, Chiasa tidak mungkin membayangkan Ray lagi saat menulis adegan romance yang diinginkan Lexi. Tidak boleh.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
