
Part ini bisa dibaca secara gratis. Dukung dengan vote dan komen ya.
Part [7]
Aku membiarkan Kaezar mengantarku sampai ke depan pagar rumah, karena hari ini adalah hari kerja, yang artinya Papi tidak akan cepat-cepat pulang ke rumah dan sibuk di Blackbeans mendekati tengah malam. Beda halnya jika akhir pekan, aku pasti akan menyuruh Kaezar menurunkanku di gerbang komplek, seperti apa yang sering aku lakukan jika diantar pulang oleh Hakim atau Sungkara. Aku rela berjalan dari gerbang komplek ke rumah demi menyelamatkan teman laki-lakiku dari interogasi dadakan Papi.
Aku sangat bersyukur masih memiliki teman di antara dua orangtua yang ribetnya tidak tertolong itu.
"Okay, sip. Thanks, ya!" ujarku setelah turun dari boncengan motor dan menyerahkan helm, sedangkan Kaezar hanya mengangguk-angguk seraya menggantungkan helm di ruang depan motor. "Jangan lupa balikin motor Janari," ujarku.
"Besok aja di sekolah. Sekarang udah malam. Mau langsung balik gue."
"Oh." Aku mengangguk. "Ya udah."
"Gue balik ya."
Aku mengangguk lagi.
Kaezar yang sudah menyalakan mesin motor, tiba-tiba kembali memutar kuncinya, mesin motor kembali mati. "Oh iya, besok lo bisa bawa semua file yang dibutuhin—Eh?" Kaezar tiba-tiba mengangguk sopan. "Malam, Om," sapanya.
Tatapan Kaezar yang terarah ke belakang punggunggku, membuatku menoleh cepat. Lalu membelalak ketika melihat sosok yang tengah berdiri di balik pagar.
Ada Papi di sana, dengan sweter hitamnya, sarung kotak-kotak marun, dan sandal jepit, wajahnya melongok ke luar.
"P-pi? Kok, di rumah?" tanyaku menggeragap. Secepat mungkin aku mengalihkan tatapan pada Kaezar lagi, lalu melotot dan menggedikkan bahu ke arah jalan pulang. Maksudku, "Pergi, Kae! Pergi! Sebelum lo jadi salah satu teman cowok yang terjebak di ruangan interogasi bokap gue!"
Namun, Kaezar malah diam saja sembari senyum serta menatap takut-takut ke arah Papi yang kini membuka pintu pagar dan melangkah keluar.
"Dari mana?" tanya Papi ketika sudah berdiri di sampingku.
"Kok tumben Papi udah pulang?" tanyaku, mencoba mengalihkan perhatiannya. Saat meraih punggung tangannya, aku mencium aroma minyak angin. "Papi sakit?"
Papi mengangguk, berdiri di sampingku dengan tatapan yang masih mengarah pada Kaezar. "Nggak enak badan, makanya pulang cepat. Habis manggil tukang urut tadi," jawabnya. "Tadi dari mana?"
"Oh, habis rapat buat acara PENSI di—"
"Papi nggak nanya kamu." Tatapan Papi terarah pada Kaezar. "Habis bawa anak saya ke mana?" tanyanya.
Mulut Kaezar terbuka, menatapku beberapa saat sebelum menjawab dengan wajah agak panik. Aku sangat mengerti kebingungannya sekarang. "Tadi kami dari SMA Pengabdi, Om. Ada rapat dengan beberapa perwakilan anggota OSIS sekolah lain untuk membicarakan acara PENSI."
"SMA Pengabdi?" Papi mengernyit. "Di mana itu?"
"Tebet, Om." Raut wajah Kaezar sudah berubah normal.
Papi mengangguk-angguk. "Sekolah kalian di Kebayoran Baru, kan? Ke Tebet memangnya harus berjam-jam sampai pulang jam tujuh malam begini?" Papi menatap aku dan Kaezar bergantian.
"Nggak. Pi, tadi tuh—"
Papi tidak membiarkanku bicara. "Ke mana dulu?"
"Pillow talk," jawab Kaezar, membuat Papi melotot.
"Apa?"
"M-maksudnya, tadi kami ke kafe. Nama kafenya Pillow Talk."
"Oh." Papi masih terlihat syok, lalu menatapku penuh selidik, seperti belum puas dengan jawaban yang didengarnya.
"Eh, Papi lagi nggak enak badan, kan?" Aku menarik tangan Papi. "Papi masuk angin kali, nih! Ayo, masuk! Jangan lama-lama di luar." Aku menoleh pada Kaezar yang masih terdiam, kebingungan. "Dah, Kae!" ujarku salah tingkah. Kenapa juga pakai acara dadah-dadah segala? "Sampai ketemu besok di sekolah, ya! Udah sana balik, nanti kemaleman, nanti nyokap lo marah."
Kaezar mengangguk. "Iya. Saya pamit ya, Om. Udah—"
Papi mengernyit. "Habis pinjam anak gadis orang sampai larut malam begini, terus pulang? Nggak masuk dulu?" tanya Papi. "Bagus begitu?"
"Ya?" Wajah Kaezar terlihat semakin kebingungan, lalu menatapku seperti meminta pertolongan.
Namun, Kaezar maaf, aku juga selalu bingung dengan tingkah Papi yang selalu ajaib ini.
"Masuk dulu. Lagian anak cowok nggak masalah pulang kemaleman," ujar Papi seraya mengamit tanganku dan melangkah masuk.
***
Dan di sini lah Kaezar berakhir. Duduk di ruang tamu berhadapan dengan Papi yang berada di sampingku. Malang sekali nasibnya. Lain kali, aku akan meminta siapa pun teman cowok yang mengantarku pulang untuk menurunkanku di gerbang komplek. Jaga-jaga saja jika Papi ada di rumah, daripada berakhir seperti ini.
"Siapa nama kamu?" tanya Papi seraya menatap Kaezar lurus-lurus setelah memperhatikan penampilannya dari ujung rambut sampai Kaki.
Setiap kali ini terjadi, aku ingin sekali bilang pada Papi untuk berhenti memperlakukan semua teman-teman cowokku seakan-akan mereka itu musuh terbesarnya di dunia, mereka kan bukan monster yang akan menculik dan membawaku ke luar angkasa!
"Saya Kaezar, Om."
"Nama lengkap." Kepala Papi meneleng.
"Alkaezar Pilar."
Ini sebenarnya sedang apa sih mereka?
"Hm." Papi mengangguk-angguk. "Udah punya KTP?"
Awalnya Kaezar menatap Papi tidak percaya, tapi berakhir mengangguk seraya merogoh saku belakang celananya, mengeluarkan kartu identitas yang Papi minta dan menyerahkannya.
"Pi, kenapa, sih? Memangnya Kaezar habis ketahuan maling?" protesku.
Namun, Papi tidak menghiraukanku, meraih KTP milik Kaezar begitu saja, bolak-balik memperhatikan kartu itu dan wajah Kaezar. "Tinggal di Jagakarsa?" tanyanya, yang langsung Kaezar iyakan. "Siapa nama orangtua?"
"Pi?" Aku sudah memelas, karena merasa pertanyaan Papi keterlaluan. Kaezar hanya temanku, pertanyaan-pertanyaan Papi menjurus seolah-olah Kaezar datang untuk melamarku.
"Fush, nggak bikinin Kaezar minum?" tanya Papi seraya menatapku, sebuah usiran yang halus. "Kasihan Kaezar bonceng kamu dari sore sampai larut malam begini," ujarnya dengan suara lembut, tapi aku yakin itu adalah sebuah sindiran.
Aku bangkit dari sisi Papi. Sebelum meninggalkan ruang tamu, aku sempat menatap Kaezar yang balas menatapku. Dia tersenyum kecil, terlihat baik-baik saja. Malah aku yang panik. "Jangan diapa-apain Kaezar ya, Pi," pintaku sebelum meninggalkan keduanya.
Padahal lebih tepatnya, "Jangan bicara yang aneh-aneh tentang aku sama Kaezar!"
Aku melangkah ke arah pantri, tidak bisa lagi melihat keadaan di ruang tamu, tidak bisa lagi mendengar pertanyaan-pertanyaan konyol Papi pada Kaezar. Saat tengah menuangkan jus jeruk kemasan ke gelas, aku melihat Mami menuruni anak tangga.
"Lho? Udah pulang, Sayang?" tanyanya seraya menghampiriku.
"Udah," jawabku dengan wajah cemberut.
"Ada tamu?" tanya Mami saat aku sudah menaruh gelas ke atas nampan.
"Papi, tuh!" aduku. "Masa Kaezar ditahan, terus ditanya-tanya. Keterlaluan banget, deh! Kasihan anak orang."
Mami terkekeh pelan. "Cuma mau kenal kali Papi."
Aku mengangkat nampan seraya melewati Mami. "Mau kenal gimana, sih? Orang ditanya KTP sampai nama orangtua. Aneh banget."
Tanpa kusangka, Mami membuntutiku. Jadi, saat aku sudah sampai di ruang tamu dan menyimpan gelas untuk Kaezar, cowok itu tidak hanya berhadapan dengan Papi, ada Mami juga sekarang.
"Ini Kaezar ketua OSIS di sekolah Jena itu lho, Pi," ujar Mami memberi tahu. Tersenyum, lalu mengulurkan tangan pada Kaezar yang disambut dengan balasan cium tangan sopan di punggung tangan.
Karena Mami kini mengambil ruang untuk duduk di samping Papi, mau tidak mau, aku duduk di samping Kaezar.
"Yang juara umum terus di angkatan Jena," lanjut Mami.
"Oh, iya?" gumam Papi, membuat Kaezar tersenyum kikuk. "Pantas kayak nggak asing, mungkin Om pernah lihat kamu maju di panggung pembagian raport untuk terima piagam penghargaan, ya?"
"Eh, minuman bikinan Jena itu. Diminum, Kaezar," ujar Mami mempersilakan.
Kaezar mengangguk, lalu bergumam, "Makasih, Tante." Seraya mengambil gelas di meja.
"Kaezar?" tanya Papi sesaat setelah Kaezar menaruh kembali gelasnya ke meja. "Suka ya sama Jena?"
"PAPI APAAN, SIH?!" Kali ini aku tidak bisa lagi menahan suaraku.
Aku menatap Kaezar yang wajah serta telinganya sudah berubah menjadi kemerahan. Cowok itu seperti berupaya keras untuk mencari jawaban yang tepat, tapi lama tidak terdengar apa pun sampai akhirnya suara Papi terdengar lagi.
"Lho, kenapa? Papi cuma tanya," ujar Papi dengan wajah tidak berdosa. "Suka?" ulangnya seraya menatap Kaezar.
Kaezar menjawab tanpa menoleh padaku sama sekali. "Suka, Om."
Dan sekarang giliran wajahku yang terasa sangat panas, sampai aku mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah sambil mengembuskan napas ke atas, membuat poni panjangku berterbangan.
Papi mengangguk. "Oke. Boleh pulang, udah malam," ujarnya seraya tersenyum dan bersandar ke sofa.
Kaezar bangkit dan melangkah keluar setelah pamit pada kedua orangtuaku.
Aku tidak bisa membiarkan Kaezar pergi begitu saja, ada rasa bersalah yang teramat besar pada Kaezar, juga rasa penasaran terhadap apa yang Papi ucapkan padanya tentangku, membuatku mengikuti langkahnya dan mengantarnya sampai keluar pagar. "Kae?" gumamku ketika Kaezar sudah duduk di jok motor. "Maafin bokap gue, ya?"
Kaezar malah terkekeh. "Lah, minta maaf? Gue nggak diapa-apain."
Padahal aku tahu dia pasti tidak nyaman dengan sikap Papi. "Papi ngomong apa aja selagi gue bikinin lo minum?"
Kaezar menatapku dengan mata menyipit. "Kenapa sih lo suka pengin tahu apa yang orantua lo bilang ke gue?"
"Takut bilang aneh-aneh."
"Nggak. Udah tenang, Fush."
Aku menatapnya tajam. "Lo teman kesekian ya yang dengar Papi manggil gue dengan sebutan aneh itu."
"Oh, gue bukan yang pertama? Kecewa gue," candanya.
Aku mendorong lengannya, membuatnya tertawa. "Berisik lo! Awas ya—dan, oh yang pertanyaan tadi ...."
Kaezar mengernyit seraya mengenakan helm. "Pertanyaan apa?"
"Tentang lo suka sama gue. Gue tahu, lo pasti bingung banget tadi. Maafin ya, Kae?" Aku memang tidak suka Kaezar, aku sering membicarakan keburukannya dengan teman-temanku, dia musuh terbesarku di sekolah kalau sedang marah-marah gara-gara laporanku salah. Namun, kali ini rasa bersalahku mengalahkan segalanya sampai aku merasa harus meminta maaf untuk kedua kali. "Tenang aja, gue nggak akan anggap jawaban lo serius, kok."
Kaezar hanya tersenyum tipis sembari mengangguk.
"Tapi ... asal lho tahu, lo bukan korban pertama bokap gue," lanjutku.
"Oh, ya? Wah kecewa lagi gue. Padahal gue udah merasa istimewa banget tadi," gumamnya. "Jadi ternyata nggak cuma gue, ya?"
Aku tidak tahu itu adalah hal yang sebenarnya ingin ia ucapkan atau hanya berupa kalimat sarkas. "Hakim dan Sungkara juga pernah terjebak kayak lo gini. Kak Aru juga." Namun, pertanyaan, Suka ya sama Jena? Baru aku dengar pertama kali dari Papi pada Kaezar.
"Kak Aru?" Kaezar mengernyit.
"Kakak teman gue yang ... di PIM itu lho." Suaraku melemah di ujung kalimat. Entah kenapa, aku masih belum bisa menerima kejadian hari itu. Aku masih patah hati, aku masih penasaran terhadap cewek yang jalan bersama Kak Aru, tapi tidak punya hak juga untuk bertanya.
"Hm." Kaezar hanya bergumam, tapi tatapannya seperti tengah menyelidiki wajahku.
"Kenapa?" tanyaku.
Kaezar menggeleng.
"Ya udah lo pulang gih, udah malam," ujarku. Namun, "Eh, lo tadi nyuruh gue bawa file, kan?" Iya, aku mengingat Kaezar mengucapkannya sebelum kedatangan Papi mengalihkan seluruh perhatian kami. "File apa?"
"Semua file yang dibutuhin untuk persiapan PENSI."
"Lho, bukannya semua udah diurus Kalina?"
"Iya. Semua file-nya buat Kalina, kok," jawab Kaezar. "Dia minta semua file ke gue, sedangkan yang gue tahu, lo yang pegang semua, kan?"
"Hah?" Aku mendengkus, tidak percaya. "Gue udah kasih kok."
"Lo baru kasih contoh proposal untuk sekolah, kan?"
Aku melepaskan kekeh singkat tanpa sadar. "Gue udah kasih semua, tapi Kalina bilang dia kebingungan dan minta file mana yang harus dia kerjakan pertama. Jadi gue kasih menurut apa yang dia minta. Terus—"
Mobil hitam yang tiba-tiba berhenti di depan pagar rumahku membuat penjelasanku terhenti. Mobil yang amat kukenali itu membuatku menahan napas selama beberapa saat sebelum pemiliknya turun.
"Hai, Je." Kak Aru tersenyum dan memutari mobilnya. "Masih pakai seragam, malam-malam gini baru pulang?" tanyanya. Belum sempat menjawab, dia sudah menoleh pada Kaezar. "Eh, temannya Jena?" Lalu mengajaknya berjabat tangan dan berkenalan sebelum kembali mengalihkan perhatiannya padaku. "Kak Aru mau ke Bandung lagi," ujarnya.
Kak Aru sengaja datang untuk memberi tahu bahwa dia akan berangkat lagi? Aku tidak bisa menahan senyumku. Dan mungkin, jika aku bisa melihat wajahku dalam efek animasi, di pipiku pasti sudah ada dua rona merah. "Oh, iya. Hati-hati ya, Kak," ujarku.
Pasti Kaezar ngeri mendengar suaraku barusan yang entah mengapa selalu terdengar lembut saat bicara dengan Kak Aru. Karena biasanya yang dia lihat adalah vibes Jena yang suka teriak-teriak berdebat dengannya.
Kak Aru mengambil sesuatu dari mobilnya. "Tadi Kak Aru jalan sama teman, terus lihat ini." Dia mengulurkan gelang tali berwarna cokelat dengan pita bunga-bunga berwarna senada yang disambungkan oleh perak berbentuk infinity. "Terus kayak ... ini lucu aja gitu." Dia meraih tanganku.
Aku tertegun saat Kak Aru memakaikan gelang itu ke pergelangan tanganku.
"Suka nggak?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Suka."
"Kak Aru beliin ini buat Sheya dan Shena juga. Kak Aru pikir, bakal lucu aja gitu kalau adik-adik Kak Aru pakai ini."
Aku melongo. "Oh ...."
Dan, "Pfft." Aku melihat Kaezar membungkam mulutnya sendiri.
***
Part [8]
Aku sudah berada di ruang OSIS sejak pukul setengah tujuh pagi. Berkat ikut Papi yang pagi ini akan menemui rekan bisnisnya di Cakung, aku berangkat lebih pagi dari biasanya. "Harusnya gue pegang tongkat pel sama ember nih, biar lengkap udah."
Aku menatap seisi ruangan yang sepi, berada di sana sendirian tanpa melakukan apa-apa, padahal jelas-jelas semalam Kaezar sudah mengirimkan list dokumen yang harus kukerjakan untuk membantu Kalina.
Kalina merasa sanggup mengurus semua kebutuhan surat-menyurat sampai proposal yang sifatnya krusial. Sementara aku diberi tugas lain seperti: membuat daftar hadir, id-card, draft sertifikat panitia dan masih banyak lagi. Perlu Kalina dan Kaezar ketahui, bahwa sebenarnya perintilan kecil yang mereka anggap tidak terlalu penting dan dibebankan padaku ini adalah hal yang sebenarnya lebih merepotkan.
Aku mendengkus, melihat jam di pergelangan tanganku lagi, yang bersisian dengan gelang tali cokelat pemberian Kak Aru. Tadi pagi, Sheya dan Shena juga memamerkan gelang yang sama, tapi dengan warna berbeda. Sheya dengan gelang birunya dan Shena dengan gelang kuningnya. Sesuai dengan warna kesukaan mereka.
Lalu, kenapa aku diberi gelang warna cokelat padahal sama sekali bukan warna kesukaanku?
Aku suka warna hijau, tapi Kak Aru tidak tahu itu. Ya memang aku sekadar suka sih, tidak terlalu terobsesi sampai harus mengumpulkan segala macam pernak-pernik berwarna hijau seperti yang dilakukan Sheya dan Shena. Aku hanya suka warna daun, warna rimbunnya pohon dari kejauhan, karena warnanya terasa menenangkan.
Tapi, siapa peduli?
"Jena?" Suara Chiasa terdengar dari ambang pintu. Ruang OSIS sengaja kubuka memang, jadi Chiasa langsung bisa melihat keberadaanku di dalam. "Pagi amat lo? Pantas gue datang cuma ada tas lo di kelas. Gue tanya Davi, tapi dia jawab nggak tahu. Ternyata lo di sini?"
"Bareng bokap tadi. Lo nggak tahu aja, bokap gue kalau udah ngajak berangkat bareng kayak giman?" Kalau aku menolak dengan alasan kepagian, pasti menuduh yang tidak-tidak seperti, "Mau dijemput cowok ya kamu?"
Cowok terooos tuduhannya. Dan demi tidak mendengar tuduhan itu, aku buru-buru berangkat sampai tidak sempat sarapan.
Chiasa menghampiriku "Gue pikir sengaja banget datang pagi mau nunjukkin gelang pemberian Kak Aru."
Ah, iya. Aku menceritakannya pada Chiasa semalam, tentang Kak Aru yang pamit pulang, yang memberi gelang, yang memasangkannya di tanganku. Namun, aku tidak berkata tentang Kak Aru yang memanggilku adik di depan Kaezar.
"Ih, lucu bangettt!" Mata Chiasa berbinar saat meraih pergelangan tanganku. "Kak Aru ini kalau jadi pacar pasti sweet banget, ya," ujarnya. "Kalau lo suatu saat jadian, bisa kali gue interview buat dijadiin ide baru premis novel gue?"
"Halah, halah. Jauh amat mikirnya," gumamku seraya melangkah ke kursi dan duduk di belakang meja sekretaris.
Chiasa membungkuk di depanku, dua tangannya bertopang pada meja. "Eh, lucu tahu! My first kiss is my first love."
Aku terkekeh. Merasa terhibur dengan ucapannya barusan. "Berisik, Chia! Kalau ada yang dengar, pasti salah paham. First kiss, first kiss!"
Chiasa tergelak. "Tapi benar, kan? Bokap lo yang bilang, Kak Aru pernah nyium lo dulu sampai bikin bokap lo parno."
"Itu waktu gue masih bayiii! Elah!"
"Iya. Iya. Tetap masuk hitungan lah." Chiasa mulai melangkah ke arah papan tulis, menghapus tulisan yang tersisa di sana sampai bersih, lalu menulis titi mangsa di pojok kanan atas. "Piket nih gue hari ini," gumamnya.
Kayaknya, cuma di Adiwangsa deh yang pengurus OSIS-nya punya jadwal piket di luar jadwal piket kelas. Per dua sekbid bertugas dalam satu hari yang sama. Sementara pengurus inti disebar merata dari Senin sampai Jumat.
"Piket sama siapa?" tanyaku seraya menyalakan komputer.
"Rana, Hakim, dan Sungkara." Chiasa melirik ke luar pintu. "Pada ke mana sih, ini? Udah jam segini belum datang."
Tidak lama setelah Chiasa selesai dengan tugas menghapus papan tulis yang terlihat sengaja dilama-lamakan itu, Hakim berlari melewati pintu ruang OSIS, tangannya direntangkan seperti pesawat terbang. "Pagi, pagi! Chia—Eh, ada Jena juga! Rajin banget lo pagi-pagi udah di sini aja?"
"Rajin dong. Kalau nggak rajin nanti dimarahin Papa Kaezar."
"Uuu, takut." Hakim meniru suara anak kecil, lalu bergegas ke arah sound system yang berada di sudut bagian depan ruangan. "Ini pasti habis dipinjam anak dance nih, kabelnya berantakan gini," gerutunya. "Belum tahu kali dia kalau Kaezar lihat, siapa yang bakalan diomelin?"
"Siapa?" tanyaku dan Chiasa hampir bersamaan.
"Gue laaah!" Hakim berteriak. "Walaupun sebenarnya ini tugas Kalil, tapi mana berani Kae marahin Kalil?"
Kalil memang berada di sekbid teknologi dan informasi, tapi tugasnya juga menjaga semua alat elektronik, dibantu oleh Hakim dan Sungkara. Namun, kalau ada masalah, yang pertama kali disebut pasti Hakim. Kaezar tuh kayak trauma kalau nyalahin Kalil. Karena pernah suatu ketika Kalil tidak sengaja menjatuhkan laptop OSIS dari atas meja sampai layarnya pecah, tiba-tiba pada jam istirahat asisten di rumah Kalil mengantarkan Macbook Air terbaru dan diserahkan untuk menjadi milik OSIS.
Kaezar terlihat syok hari itu. Bukan main.
"Rana ke mana sih, Kim?" tanya Chiasa yang sejak tadi sudah memegang sapu, tapi tidak kunjung bergerak.
"Di TU, lagi ngisi tinta semua spidol OSIS," jawab Hakim, masih menggulung kabel. "Nanti kalau Tuan Muda Kae mau nulis terus tintanya habis, kan Rinnegan-nya pasti keluar tuh. Terancam banget jiwa kita nanti."
"Sungkara?" tanya Chiasa lagi.
"Minta Galon ke Pak Daryana." Hakim menyebut nama penjaga sekaligus petugas kebersihan di sekolah. "Tuh, mau habis." Dia menggedikkan bahu ke arah water dispenser yang berada di sisi kanan ruangan, dekat dengan cermin setinggi badan siswa kebanyakan, yang biasa kami gunakan untuk memeriksa penampilan. "Tapi ngomong-ngomong, ngisi tinta sama ambil galon kok lama bener Si Ngablu, pada muter ke mana dulu sih, nih dua orang?"
Chiasa tertawa. "Emang ya, pada sibuk banget jongosnya Kae pagi-pagi." Dia mulai menyodok-nyodok kolong meja dengan sapu.
"Repot banget emang punya KETOS berjiwa office boy kayak Kaezar, mah."
"Kim!" bentakku disertai tawa. "Parah lo!"
"Kebayang nggak sih, jadi bininya nanti kalau dia udah nikah? Hih! Nggak bisa bayangin gue!" Hakim bergidik.
"Ya, ngapain juga lo bayangin jadi bininya Kae, Hakim Hamami!" teriakku, hampir tersedak tawaku sendiri.
"Nggak gitu, Jena Bagong!" sahut Hakim seraya bangkit dari pojokan ketika beres menggulung kabel. "Bego juga nih kadang." Tangannya menunjuk ke arahku. "Misal gue bayangin lo jadi bininya Kaezar—"
Pelototanku membungkam suara Hakim.
"Kalina deh Kalina. Kalau Kalina jadi bininya, lagi di rumah gitu kan, mainin kuku sambil santai, terus tiba-tiba Kaezar teriak, 'Kalina, air galon habis?' Pakai muka julid kayak dia natap gue gitu."
Chiasa berhenti menyapu, tawanya terdengar renyah. "Ngapain masih bayangin Kaezar sama Kalina, sih? Hubungannya aja udah awur-awuran!"
Namun, tawa kami tidak berlangsung lama karena sosok yang tengah kami gunjingkan—juga tertawakan—tiba-tiba memasuki ruangan. Kaezar melangkah masuk dengan Kalina yang membuntutinya.
Kaezar menyapa kami dengan suara tidak jelas seperti, "Pegi, pegi." Yang mungkin sebenarnya, "Pagi, pagi." Lalu berjalan ke arah mejanya dan mempersilakan Kalina duduk di sana.
Kami kembali sibuk. Pura-pura sibuk.
"Lo kerjain aja di sini," ujar Kaezar seraya membuka ritsleting tas dan mengeluarkan laptop milik OSIS. "Jam pertama lo beneran kosong?"
Suasana menjadi hening. Tidak ada suara Hakim, sahutanku, dan tawa Chiasa di sana. Kami pura-pura tidak peduli, padahal telinga dipasang setajam mungkin untuk memperhatikan dua orang mantan pasangan yang masih bisa bersikap biasa saja setelah melewati enam bulan masa jadian itu.
Kalina menerima laptop pemberian Kaezar. "Iya. Pak Rozan udah ngasih tugas Geografi ke gue tadi pagi," jawabnya. "Jadi, boleh kan gue kerjain di sini?"
Kaezar mengangguk, kembali meraih tas punggungnya dan menyampirkan di satu bahu. "Gue punya contoh proposal dari KETOS SMA Pengabdi. Mereka baru aja ngadain PENSI di akhir semester kemarin, belum lama-lama banget. Jadi, boleh kalau misal lo mau lihat."
"Eh, boleh banget!" sahut Kalina antusias. "Kalau contoh yang dikasih Jena, kan itu yang tahun lalu. Siapa tahu ada hal baru gitu yang bisa kita lihat dari SMA Pengabdi."
Apaan nih namaku disebut-sebut?
Namun, aku berusaha untuk tidak tertarik dan tidak lagi memperhatikan dua orang itu. Aku sengaja menenggelamkan wajah di balik monitor.
"Oke, bentar gue lihat dulu, semalam—Eh, dikirim lewat e-mail deh kayaknya," ujar Kaezar. "Bentar, nanti gue periksa dulu, terus gue kirim ke lo."
Setelah itu, aku mendengar suara langkah yang mendekat ke arahku. Dan sesaat kemudian, bayangan sosok Kaezar hadir di samping mejaku.
"Lo lagi ngapain, Je?" tanyanya.
"Lagi pesugihan," jawabku yang menghasilkan tawa tertahan dari Hakim dan Chiasa. Aneh, kok dia bisa-bisanya bertanya setelah semalam memberikan tugas yang tidak manusiawi padaku?
Kaezar tidak membalas, malah melongok ke arah monitor. "Oh, bikin daftar hadir panitia?" gumamnya seraya menarik kursi lain dan menggesernya mendekat ke sisiku. "Masih lama kan itu, bisa dikerjain nanti?"
"Iya, bisa dikerjain nanti. Tapi kan lo suka nanya kerjaan gue, 'Beres, Je?'" Aku menirukan suara Kaezar. "Terus kalau belum, lo pasti bilang, 'Gini doang lo belum selesai?'" Aku mendelik. "Heran. Gue lelet, lo marah-marah. Gue rajin, lo ribet juga."
Aku melihat Chiasa dan Hakim berbalik, membelakangi kami. Aku tahu mereka sedang tertawa tertahan sampai hanya terdengar, 'Ngik, ngik'. Hakim bilang, menertawakan bantahanku pada Kaezar adalah bengek yang sesungguhnya.
Namun, Kaezar mana peduli dengan ucapan sinis dan sarkas yang sering aku lontarkan? Dengan santai dia duduk di sampingku, mengambil alih mouse, mengarahkan monitor padanya, dan menggeser keyboard. "Ikut buka e-mail, mau langsung gue kirim ke Kalina."
"Hm."
"Bentar doang."
"Lama juga nggak apa-apa," sahutku seraya memainkan gelang tali pemberian Kak Aru.
"Emang lo seneng gue lama-lama duduk di sini?"
Aku meringis malas tanpa menyahut ucapannya.
Kaezar menoleh singkat. "Canda, Adik."
Tanganku refleks melayang dan mendarat di lengannya. Aku masih ingat ekspresi puas Kaezar saat Kak Aru mengucapkan kata 'adik' padaku semalam. "Berisik, deh, ah. Males gue."
Ruang OSIS sudah berubah menjadi ruangan ramai yang biasanya. Sungkara sudah datang bersama Pak Daryana dengan dua galon baru, Rana baru saja menyimpan spidol di kotak yang menggantung di papan tulis. Disusul Kalil, Gista, Kaivan, Arjune, dan yang lainnya.
Di antara riuh suara para pengurus OSIS di ruangan, Kaezar bertanya. "Lo pagi udah di sini aja, Je?" Dia menoleh singkat sebelum kembali memeriksa dokumen di layar komputer.
"Pengin aja. Kenapa, sih?" Entah kenapa, aku sulit sekali untuk bisa bicara dengan nada baik-baik pada Kaezar. "Ribut banget lo lihat gue rajin."
"Gue sama sekali nggak nyuruh kerjaan harus beres hari ini, kan?" Dia kembali memastikan.
"Ya, memang nggak." Aku menatap layar komputer, melihat Kaezar kok ya lama banget memeriksa dokumennya! "Memangnya kalau gue rajin, harus selalu lo yang jadi alasannya?"
"Ya, nggak juga sih," gumamnya terdengar malas.
Aku melirik jam tanganku yang baru menunjukkan pukul tujuh, lima belas menit lagi bel masuk akan berbunyi. "Tapi ya emang sih, pagi banget gue datang, ya. Tahu gini tadi gue sarapan dulu ke kantin."
Ketika aku baru selesai bicara, Kaezar membuka ritsleting tasnya dan mengeluarkan satu bungkus roti sandwich coklat dan sebotol air mineral yang segelnya belum terbuka.
"Eh, serius?" Tanganku meraih roti dan air mineral itu. "Buat gue nih? Makasih, lho. Tumben banget lo—"
Kaezar menoleh cepat, tatapannya seolah-olah baru saja mendengar ucapan yang salah, sampai aku tidak menyelesaikan kalimatku. "Punya gue itu," ujarnya. "Jangan diambil. Gue belum sarapan."
Ada beberapa detik yang aku ambil untuk berpikir. Lalu kembali menyimpan dua benda itu ke meja. "YA, LO JANGAN TARUH DI DEPAN GUE GINI DONG. KAN, BIKIN GUE SALAH PAHAM!"
"Ya elah. Kan sempit ini ada tas gue sama keyboard." Dia menunjuk dengan dagu keadaan di depannya.
Kalian pasti mengira sekarang wajahku sudah memerah karena menahan malu, kan? Tidak. Tentu tidak. Kalian salah besar. Aku sudah kebas diperlakukan seenak jidat oleh Kaezar yang menyebalkan ini alias BISA MUSNAH AJA NGGAK LO KAEZAR?!
Sejahat-jahatnya cowok, yang selama ini aku pernah temui di dunia, sepertinya tidak akan ada yang melampaui jahatnya Kaezar terhadap cewek. Bisa kalian simak sendiri, ketika aku mengira sandwich coklat dan air mineral itu untukku, normalnya dia pura-pura memberikannya, merelekannya, karena kan dia bisa beli lagi di kantin!
Sepertinya benar kata Sungkara, bahwa Kaezar sudah tidak punya hati karena sudah melakukan transplantasi hati sejak lahir.
Kaezar baru saja selesai mengirim e-mail pada Kalina, lalu mengambil air mineral dan memutar tutupnya sampai terbuka. Kembali dia menaruhnya di hadapanku, lalu menutup semua tab yang terbuka di layar komputer. "Udah nih, lo mau lanjut ngerjain—"
"Nggak! Udah nggak mood gue!" sahutku sambil melotot lalu bangkit dari kursi untuk meraih kertas HVS berukuran A4 yang berada di depan ruangan.
Kaezar mengernyit. "Iya. Ya udah, santai dong."
SANTAI, PALA LO SINI GUE TARIK!
"Kae!" Suara Janari terdengar dari ambang pintu. "Pak Marwan manggil lo ke ruang guru."
Kaezar bangkit dari tempat duduknya. Setelah menggeser kursi ke tempat semula, dia meraih tasnya dan berlalu begitu saja menghampiri Janari.
Aku masih melipat lengan di dada saat Kaezar berlalu bersama Janari dari ambang pintu. Tidak sempat berteriak pada untuk mengingatkan Kaezar bahwa dia sudah meninggalkan roti dan air mineralnya di mejaku.
Aku meraih ponsel, lalu mengetikkan sesuatu di kolom pesan.
Shahiya Jenaya
Roti sama air mineral lo nih, ketinggalan. Mau gue simpenin di mana?
Kaezar Pilar
Belum sarapan, kan?
Buat lo.
***
Part [9]
AKHIR pekan ini tidak ada Kak Aru. Kak Aru tidak pulang, sedangkan Sheya dan Shena pergi ke Depok, ke rumah kakeknya dan akan menginap dua hari di sana. Jadi, hari ini aku benar-benar tidak ada kegiatan. Chiasa sempat mengajakku pergi sih tadi, dan aku sempat tertarik untuk ikut.
Namun, "HP Papi ketinggalan, Fush. Tolong antarkan ke Blackbeans, ya?" Telepon Papi siang ini membuatku tahu, aku akan menghabiskan waktu akhir pekanku ini di Blackbeans.
Aku berangkat ke Blackbeans menaiki taksi online yang sudah dipesan Mami. Sempat berdebat dengan Gio sebelum pergi, memintanya ikut, tapi jelas aku selalu kalah. Gio lebih memilih game di komputernya daripada ikut denganku.
Aku sampai di Blackbeans satu jam kemudian, langsung bergerak ke lantai dua, tempat di mana Papi dan Om Janu berada.
"Memang kalau usia nggak pernah bohong, ya?" ujar Om Janu ketika melihat aku memberikan ponsel pada Papi.
Papi terkekeh. "Jangan mentang-mentang anak gue udah SMA sementara lo belum menikah, lantas lo pikir usia kita beda ya, Nu."
Om Janu tertawa. "Lho, jodoh gue kan Jena." Lalu menatapku. "Ya, Sayang?" tanyanya sebelum Papi melemparnya dengan gulungan kertas dan menghasilkan tawa lebih keras dari Om Janu.
Aku keluar dari ruangan itu, meninggalkan dua orangtua yang masih berdebat alih-alih meeting, seperti alasan yang kudengar dari Papi pada Mami ketika harus berangkat lebih pagi. Aku menuruni anak tangga, berpapasan dengan Om Chandra yang baru saja datang.
"Siang, Jena. Udah di sini-Eh, lho? Jena kok di sini?" tanyanya seraya mengacungkan telunjuk ke arahku, kelihatan bingung.
"Aku ke sini nganterin HP Papi, ketinggalan di rumah." Aku menatap Om Chandra yang masih kebingungan. "Kenapa, Om?"
"Bukannya tadi jalan sama Chiasa?" tanyanya. "Kok, Chiasa bilang tadi pergi sama kamu?"
Hah? Aku pasti kelihatan gelagapan sekarang. Sumpah ya, Chiasa. Kalau bohong ya briefing dulu dong harusnya! "Oh, iya, tadi rencananya aku mau berangkat sama Chia. Cuma ... Ng ... Mami nyuruh ke sini. Jadi aku batalin."
"Oh, gitu," gumam Om Chandra, mengangguk-angguk seraya melanjutkan langkah menaiki anak tangga. Om Chandra tidak memperpanjang percakapan, padahal aku tahu kelihatannya beliau tidak percaya begitu saja.
Aku kembali menuruni anak tangga, lalu berjalan ke arah konter pemesanan sambil bertanya-tanya sebenarnya Chiasa berangkat dengan siapa. Sesampainya di balik konter, aku meraih apron yang menggantung di gantungan tiang bercabang yang sengaja disediakan untuk karyawan, lalu berjalan menghampiri Mas Dino yang tengah membuat latte art di cangkir cappuccino pemesen.
"Aku bantuin, ya!" seruku membuat Mas Dino menoleh dan terkekeh.
"Wah, balabantuan weekend, nih?" sambar Mbak Kesya yang berjalan mendekatiku seraya membawa paper bag berisi biji kopi. "Tugas pertama, silakan haluskan beans ini, ya."
"Dengan senang hati," ujarku seraya meraih paper bag dari Mbak Kesya.
Aku memang senang berada di Blackbeans. Dibandingkan dengan Gio yang lebih senang berada di balik meja komputernya, aku lebih sering mengunjungi Blackbeans.
Aku suka aroma kopi yang menenangkan, suara coffee grinder yang menyala, melihat tetes-tetes terakhir espresso yang jatuh ke sloki, dan melihat Mas Dino menyajikan latte art di setiap cangkir. Omong-omong, aku juga mulai menguasai latte art, walaupun baru bisa membentuk satu hati di cangkir cappuccino berkat belajar dari Papi Terhebatku.
Aku bangga pada Papi, selalu. Tapi aku sebal kalau beliau sudah mulai resek!
"Caffe Americano," ujar salah seorang pengunjung yang suaranya amat kukenali.
Aku menjauh dari coffee grinder, lalu menghampiri sumber suara. Dan, aku menemukan Favian berdiri di balik konter pemesanan, tatapannya terarah pada menu bar "Favian! Sama siapa ke sini?"
"Eh, Je? Sendiri gue," jawabnya yang juga sama-sama terkejut.
Aku tidak mungkin membiarkan Favian duduk sendirian. Jadi, dengan apron yang masih menempel di tubuhku, aku cowok itu menikmati pesanannya. Favian memilih duduk di kursi outdoor, meja kayu berbentuk persegi itu hanya diisi oleh sepasang kursi kayu yang saling berhadapan dan dinaungi oleh sebuah payung besar berwarna coklat.
Payung itu tampak biasa pada siang hari, namun jika waktu sudah beranjak gelap, di sisi-sisi payung diisi oleh lampu oranye yang menyala hangat.
"Gue sering lho ke sini padahal, tapi baru lihat lo di sini," ujarnya saat aku memberitahu bahwa aku adalah anak dari salah satu pemilik Blackbeans.
"Masa, sih? Gue juga sering ke sini, kok. Tapi ... dulu, sih. Sekarang udah jarang."
"Sekarang sibuk banget, ya?" tanya Favian seraya menikmati caffe americano pesanannya.
Aku mengaduk frappuccino yang tadi dibuatkan oleh Mas Dino. Dia tahu sekali minuman kegemaranku jika main ke Blackbeans memang. "Sibuk lah. Sibuk di sekolah, sibuk di absis, terus-"
"Sibuk dikerjain Kae?" lanjut Favian, lalu tertawa setelah melihat ekspresi sebalku.
Semua orang tahu bahwa selama ini aku dan anggota OSIS lain memang sedang 'dikerjai' oleh Kaezar dengan dalih tugas OSIS. Karena kadang Kaezar tuh kalau melimpahkan tugas, suka tidak manusiawi. Pakai bilang, "Gue bisa kok ngerjain ini dalam sehari."
Padahal, harusnya dia tidak membandingkan kami sebagai manusia dengan mesin seperti dirinya.
Eh, tapi Bisa tidak, jangan bahas Kaezar pada hari libur seperti ini? Hanya dengan mendengar namanya, aku bisa merasakan ketidaktenangan pada diriku, seberpengaruh itu memang Kaezar. "Eh, iya. Gue baru tahu lho, kalau lo masuk Absis juga."
Favian mengangguk. "Bokap yang nyuruh, setelah lihat nilai ulangan gue yang menurutnya berantakan banget dibandingkan nilai ulangan punya-Yah, gitu." Favian tersenyum. "Eh, gimana kelanjutan PENSI?"
Kenapa dia kembali membahas masalah PENSI yang hubungannya tipis banget dengan Kaezar, sih? "Ya gitu-gitu aja," jawabku sekenanya.
"MPK siap bantu, gue udah bilang Kalil."
"Kita ada rapat hari Senin ini, rapat mingguan yang ngundang perwakilan sekolah lain juga," jelasku. "Kaezar bilang-" duh menyebut namanya saja aku merasa terganggu, "-bakal ngundang MPK juga."
"Oh, keputusannya sekolah lain bakal ikut bantu juga, ya?" tanya Favian. "Kemarin lo sama Kaezar rapat di Pengabdi itu, jadinya banyak sekolah lain yang ikut?"
Aku tertegun sejenak, lalu mengangguk. Sedikit bingung, bagaimana bisa Favian tahu aku pergi dengan Kaezar? Padahal satu-satunya orang yang tahu masalah itu kan Janari. Malah, setiap anggota OSIS mengira hari itu Kaezar pergi bersama Janari-karena rencana awalnya memang begitu-bukan aku.
"Eh, lo tahu nggak sih kalau anak teater udah mulai latihan?" tanya Favian. "Keren banget mereka!"
"Oh, ya?" ujarku ikut antusias. "Belum lihat gue."
"Lain kali lo harus lihat, deh! Mereka sengaja nyewa pelatih dari salah satu sanggar terkenal gitu. Konsepnya keren banget." Favian selalu bicara dengan mata yang terbuka lebar, bersemangat, dan tangannya bergerak ke sana-kemari. Seperti kata anggota MPK, kalau kehadiran Favian itu ... mood booster banget untuk mereka.
Oke. Jangan bandingkan dengan ketua kami, Yang Terhormat Alkaezar Pilar, yang setiap kehadirannya membangkitkan kejulidan alih-alih mood.
Favian tertawa ketika menceritakan kejadian saat menonton teater, membuatku ikut tertawa. "Jemima kan berperan jadi penyihir, terus gaun hitamnya keinjak Farhan yang lagi benerin sound system." Dia tertawa lagi.
Hakim seharusnya melihat ini. Bengek yang sesungguhnya adalah Favian. Dia tuh gampang banget tertawa. Dan membuat aku ikut-ikutan tertawa.
Namun, "Permisi." Tiba-tiba Papi hadir dengan lap putih yang digosokkan ke meja. "Ini bekas pengunjung lain kayaknya. Masih kotor. Sebentar, ya?" ujarnya, yang membuatku mengernyit, karena ... SEJAK KAPAN PAPI SUKA LAPIN MEJA BLACKBEANS SIH HA?
***
KAEZAR
GUE menjadi siswa terakhir yang keluar dari kelas Platinum Absis. Dan seringnya memang begitu. Tertegun sesaat sebelum melangkah menuju lobi, gue melihat ke balik dinding kaca koridor, dan baru sadar bahwa hari sudah beranjak larut. Jam tangan di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul delapan malam.
"Harusnya sebentar lagi," gumam gue sembari melangkah menuju mesin absen untuk menempelkan kartu pelajar.
"Hati-hati, Kae," ujar Kak Almira yang berada di balik meja administrasi. Kak Almira sudah sangat mengenal gue karena sering menjadi siswa paling lama berada di Absis.
Sebenarnya, hari ini tidak ada apa-apanya, gue bahkan pernah pulang saat pintu lobi Absis sudah mau dikunci dan pulang bersama sekuriti yang akan berganti shift.
"Duluan ya, Kak?" ujar gue sembari keluar dari lobi. Sudah gue duga, satu-satunya motor yang berada di lahan parkir siswa adalah motor gue. Gue melangkah ke sana seraya mengeluarkan kunci motor dari tas, lalu bergerak meraih helm saat sudah sampai.
Namun, gue berdecak saat mesin motor tidak menyala. Penyakitnya kumat lagi. Karena gue biarkan kehujanan seharian, mesinnya mati.
Gue mundur dua langkah, menatap motor sambil mengingat-ingat bengkel terdekat. Jika gue langsung mendorong motor dalam keadaan menerka-nerka letak bengkel, sedangkan jarak bengkel lumayan jauh, bisa-bisa besok pinggang gue kaku.
Mendorong motor sport seberat ini untuk mencari bengkel sama saja dengan cari penyakit. Jadi, gue memutuskan untuk keluar dari gerbang Absis, mencari bengkel lebih dulu, setelah itu mencari akal bagaimana membawa motor ke sana.
Gue buru-buru berjalan, karena hanya punya waktu satu jam lagi sebelum gerbang absis ditutup pada pukul sembilan malam.
Gue melangkah di trotoar, sebelah kiri, sesekali menoleh ke kanan untuk memastikan ada bengkel atau tidak. Namun, sejauh ini gue tidak menemukannya, hanya ada ruko-ruko makanan. Langkah gue terhenti di dekat tukang minuman gerobak. "Aqua satu ya, Bang," ujar gue seraya mencabut botol air mineral dari susunan dagangannya.
Pedagang gerobak yang tadi tengah duduk di pinggiran trotoar itu bangkit, menerima uang lima ribuan yang gue berikan.
"Ada bengkel nggak, Bang, di sini?" tanya gue setelah menenggak air mineral sampai habis setengah.
"Ada, sih. Tapi jauh." Tangan pedagang itu menunjuk ke arah ujung jalan. "Di sono noh, yang ada pertigaan. Belok kiri, dah."
"Wah." Gue mengembuskan napas berat membayangkan untuk mendorong motor sejauh itu.
"Mogok motornya?" tanya Abang Pedagang seraya melihat tangan gue yang menjinjing helm.
"Iya, nih."
"Wah, repot mogok motor di sini. Bengkelnya jauh."
Gue mengangguk-angguk. "Gitu, ya." Setelah Si Abang Pedagang kembali duduk di pinggiran trotoar, gue merogoh saku celana untuk meraih ponsel. Awalnya gue ragu dengan apa yang akan gue lakukan, tapi gue benar-benar tidak punya ide untuk mencari alternatif lain.
Papa adalah pilihan terakhir yang ... mungkin bisa gue andalkan. Oke. Bukan 'mungkin', tapi 'pasti'. Hanya gue saja yang denial pada kenyataan bahwa Papa bisa membereskan segala sesuatu dalam hidup gue.
Saat jemari gue mencari nomor kontak 'Papa' di layar ponsel, sebuah pesan hadir. Dari Favian. Awalnya gue hendak menekan pilihan 'mark as read' tanpa membacanya, tapi nama yang tertulis di pesan membuat gue tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Favian Keano
Gue habis jalan sama Jena.
Nggak jalan sih, cuma ketemu. Terus ngobrol lama.
Gue mendecih setelah membaca pesan itu. "Terus lo pikir gue peduli?" Gue hanya bergumam, tapi pasti terdengar sangat kesal. Segala sesuatu yang Favian lakukan tidak pernah lolos untuk membuat gue tidak kesal. Bagi gue, segala sesuatu yang ada pada Favian adalah salah. Kehadirannya dalam hidup gue adalah salah satu kesalahan terbesarnya.
Gue mengurungkan niat untuk menghubungi Papa setelah membaca pesan singkat dari Favian. Namun sialnya, Si Dungu itu tidak berhenti sampai di sana.
Favian Keano
Jangan pulang ke Jagakarsa, kata Papa.
Pesan itu hanya muncul di pop up tanpa gue baca. Gue langsung memasukkan ponsel ke saku celana dan hendak melangkah lagi untuk mencari bengkel jika saja sebuah mobil Civic hitam tidak tiba-tiba berhenti di sisi gue dan menyalakan klakson.
Gue menoleh, menyaksikan kaca jendela mobil di bagian depan turun dan terbuka. Ada ... Jena yang kini duduk di samping jok pengemudi.
Sebentar.
Jena?
Gue mengernyit bingung.
"Kaezar? Ngapain di sini?" Om Argan yang berada di balik kemudi mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menatap gue, sementara Jena tetap menatap lurus ke depan dan duduk dengan posisi sangat dalam, cewek itu seakan ingin menanamkan punggungnya ke jok mobil demi tidak melihat gue dan enggan dilihat oleh gue.
"Oh, iya, Om?" Gue turun dari trotoar dan membungkuk, menyamakan dengan tinggi atap mobil.
"Lagi ngapain?" ulang Om Argan.
"Ini ...." Gue menoleh ke arah gerbang Absis. "Baru pulang bimbingan belajar, tapi motor saya mogok."
"Oh, gitu. Mau diantar?"
Jena menoleh pada Om Argan dengan cepat, seakan tidak terima dengan tawaran itu.
"Ayo, Kaezar. Masuk," ujar Om Argan.
Gue meringis, karena benar-benar tidak mau merepotkan selama gue bisa melakukan semuanya sendiri. "Nggak, Om. Makasih. Saya bisa-"
"Oh, kamu nolak?"
"Ya?" Gue mengerjap, bingung. "Nggak, Om. Saya cuma-"
Tiba-tiba Jena membuka pintu mobil dan turun. "Masuk, Kae. Mau sampai rumah jam berapa, jam segini masih di sini?" Sempat berhenti sesaat sebelum pindah ke jok belakang, Jena menggedikkan dagu ke arah depan.
Gue mengembuskan napas panjang. Selain benar-benar tidak mau merepotkan, rasanya gue juga ingin menghindar dari sesi interogasi sepanjang perjalanan menuju ke rumah. Namun, sepertinya tidak sopan jika gue harus menolak lagi. Gue bergerak masuk ke mobil dan duduk di samping jok pengemudi seraya memangku helm.
Agak aneh, kenapa juga Jena mesti pindah ke belakang?
"Nah, kalau gini kan enak ngobrolnya," ujar Om Argan ketika sudah melajukan mobil dan kembali berbaur di jalan raya.
Ngobrol? Maaf nih, Om. Rasanya gue ingin menyahut, "Bukan ngobrol, tapi lebih ke wawancara kayaknya ya, Om?"
"Jam segini baru pulang bimbingan belajar?" tanya Om Argan dan gue hanya mengangguk seraya mengiyakan. "Di Absis juga kan, sama kayak Jena?" Sesaat Om Argan menoleh ke belakang. "Fush, kamu kok nggak belajar malah ketemuan sama cowok?"
"Siapa yang ketemuan sama cowok, sih? Favian tuh tadi memang ke kedai tanpa tahu aku di sana, kita nggak sengaja ketemu," jelas Jena. "Lagian bunuh diri banget nggak sih aku ketemuan sama cowok di Blackbeans?" gerutunya kemudian.
Jadi ucapan Favian tentang pertemuannya dengan Jena bukan sekadar mengada-ada.
"Terus, masalah bimbel. Kae tuh kelas Platinum, kelas tertinggi, jadwalnya padat. Beda lah sama aku yang masih Silver."
"Oh, ya?" Om Argan menatap gue sekilas. "Kaezar nggak bisa bikin Jena masuk Platinum juga?"
Gue baru membuka mulut, hendak menyahut, tapi Jena lebih dulu bicara.
"Pi, ya nggak segampang itu Kaezar nyeret aku ke Platinum. Gimana, sih?" gerutunya. "Pembagian kelas kan disesuaikan sama kemampuan masing-masing dari kami."
"Lho, ya, iya, Papi ngerti. Maksudnya, bukan asal ngajak kamu ke kelas Platinum. Tapi Kaezar ajarin kamu sampai bisa masuk Platinum juga."
Hening. Rupanya Jena pun mengalami kebingungan yang sama.
"Maksudnya, Kaezar nggak bisa jadi tutornya Jena?" tanya Om Argan.
"NGGAK USAH NGADA-NGADA, DEH!"
Mendengar suara cempreng Jena, gur dan Om Argan sampai menoleh bersamaan ke jok belakang.
Harus Om Argan ketahui, jangankan untuk jadi tutor sebayanya, jika diberi kesempatan untuk pergi dari kehidupan ini untuk menghindari gue, kayaknydi bakal dia lakukan.
"Kaezar kenal Favian?" tanya Om Argan tiba-tiba.
Gue mengangguk. "Kenal, Om."
Om Argan bergumam. "Satu sekolah sih, ya." Lalu melirik gue sekilas. "Teman dekat?"
Bukan. Lebih ke ... musuh bebuyutan? Gue ingin menjawab demikian. "Nggak juga, tapi ... cukup dekat."
"Oh." Om Argan mengangguk. "Hati-hati ya, tikungan di mana-mana."
Gue nggak begitu mengerti tentang tikungan yang dimaksud, tapi untuk menghargai ucapannya, gue memutuskan untuk mengangguk. Getaran ponsel membuat gue merogoh saku celana, lalu melihat notifikasi adanya satu pesan masuk.
Shahiya Jenaya
Jangan terlalu dengerin bokap gue.
Gue melirik ke belakang, melihat Jena yang kini tengah menatap layar ponselnya.
Gue lalu membalas,
Alkaezar Pilar
?
Shahiya Jenaya
Bokap gue masih salah paham tentang lo yang bilang suka gue.
Sampai di kedai tadi, waktu gue ketemu Favian, bokap bilang, 'Kamu sebenarnya suka Kae atau siapa sih, Je?'
Apa tidak menggelikan mendengar itu?
Seandainya lo dengar sendiri, terus lo bayangin deh lo suka gue gitu.
Alkaezar Pilar
Seandainya gue suka beneran memangnya kenapa?
Lalu, terdengar suara ponsel yang jatuh dari arah belakang. Membuat Om Argan menoleh lagi. "Kenapa, Fush?"
"Nggak. Ini ... cuma ini... kaget aku."
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
