Ketos Galak | [19, 20, 21]

122
1
Deskripsi

Part ini bisa dibaca secara gratis. Dukung dengan vote dan komen ya.

Part [19]

 

JENA

Minggu-minggu ini aku banyak menghabiskan waktu mengurus segala hal tentang PENSI, mendampingi Kalina mengerjakan ini dan itu, membantunya membereskan pekerjaan yang tidak tertangani, menyelesaikan apa yang tidak sempat dikerjakan olehnya, dan ... jujur, ini lebih melelahkan daripada aku sendiri yang mengemban tugas itu sendirian.

Aku seolah-olah harus siap ketika Kalina tiba-tiba menghubungiku untuk minta bantuan, kapan pun itu.

Lebih parahnya, saat waktu menuju PENSI ini tinggal satu minggu lagi, dia bilang desain id-card panitia hilang. Dan hal itu membuat Kaezar memintaku untuk mendesain ulang sekaligus mengurusnya langsung ke percetakan.

Aku berjalan lunglai, keluar dari rumah setelah pamit pada Mami untuk berangkat sekolah. Hari ini Papi berangkat lebih pagi dan aku menolak ikut, aku tidak ingin terdampar di sekolah bersamaan dengan Pak Jafar yang baru membuka gerbang.

Saat baru saja membuka pintu pagar, aku menemukan mobil Kak Aru melaju dari arah rumahnya. Aku masih berdiri di depan pagar saat mobil itu berhenti tepat di depanku.

"Hei, belum berangkat?" tanya Kak Aru setelah membuka kaca jendela mobilnya.

Aku tersenyum. "Iya, nih." Sengaja sih, jika perlu aku akan datang lebih siang agar dihadang oleh Pak Jafar di depan gerbang sekolah dan tidak diperbolehkan masuk dulu sebelum kena hukuman. Itu lebih baik daripada tiba di sekolah lebih pagi dan bertemu Kalina.

Benar-benar ya, aku ingin sekali menghindari Kalina akhir-akhir ini, walaupun percuma karena kalaupun tidak bertemu, dia bisa langsung menghubungiku.

"Bareng Kak Aru, yuk?" ajaknya.

"Memangnya Kak Aru mau ke mana?"

"Pancoran."

"Beda arah dong itu. Bukan bareng namanya, tapi jatuhnya Kak Aru nganterin aku."

"Ya, nggak apa-apa. Kak Aru antar, yuk!"

Aku menyetujuinya. Bergegas masuk ke mobil dan duduk di sampingnya. Akhir-akhir ini Kak Aru memang banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Katanya sedang penelitian untuk tugas kuliah, untuk lebih jelas penelitian di mana dan tentang apa, aku tidak tahu. Sheya hanya memberi tahuku sebatas itu. "Oh, iya. Sheya sama Shena nggak bareng?"

"Katanya sih pengin ke sekolah lebih pagi, kayaknya bareng Papa deh tadi."

"Oh."

Kak Aru menatapku sekilas. "Kok, sekarang-sekarang nggak pernah kelihatan main ke rumah, sih?" tanyanya. "Padahal Kak Aru sering ada di rumah, tapi nggak pernah lihat kamu sama Sheya atau Shena."

"Iya. Aku ... apa ya, di sekolah kan lagi mau ada acara gitu, jadi ya ... sibuk—eh, dibilang sibuk juga nggak, sih. Ya, gitu lah."

Aku ini bukan panitia inti, tapi selalu pulang larut malam ke rumah, kalau tidak ada jadwal bimbingan belajar, ya itu tadi, Kalina pasti merecoki waktuku. Atau, Kaezar juga seringnya begitu, menahanku di ruang OSIS sampai sore dengan berbagai alasan. Ada mendingnya kalau Kaezar nih sikapnya ramah-tamah. Lah, ini kalau minta tolong malah kayak ngajak berantem. Jangan-jangan sikap baik Kaezar padaku kemarin-kemarin itu sekadar halusinasi, ya?

Namun, seperti ada yang salah ya memang. Kenapa aku tidak se-excited dulu saat tahu Kak Aru ada di rumahnya? Saat Sheya beberapa kali memberi tahu bahwa kakaknya itu akan lama berada di rumah. Atau mungkin ... aku tahu bahwa Kak Aru juga sama sibuknya, sehingga tidak punya harapan pada waktu yang akan mempertemukan kami?

Tapi kan, hei! Sekarang Kak Aru ada di sampingku! Kenapa jantungku tidak melonjak-lonjak seperti biasanya?

"Kak Aru kayaknya belum sempat bilang makasih sama kamu ya, setelah diantar ke klinik waktu itu?" tanyanya.

Ah, iya. Jadi, hari di mana GERD Kak Aru kambuh, aku tidak hanya menemaninya di rumah. Karena Tante Sashi dan Om Ayas terjebak macet, mereka datang sangat terlambat sementara obat yang Kak Aru minum sudah tidak ada pengaruhnya. Jadi, saat itu aku meminta Mami untuk mengantar Kak Aru ke klinik. Di sana, aku menemaninya juga.

"Udah, kok. Kak Aru udah bilang makasih berkali-kali waktu itu. Nggak sadar, ya?" Jujur ya, waktu itu aku panik sekali.

"Iya, ya?" gumamnya. "Tapi kalau bilang makasihnya sambil traktir boleh, kan?"

Aku memperingatkan diriku sendiri untuk tidak menatap Kak Aru lagi. Aku harus yakin bahwa aku bisa menyukai Kak Aru hanya sebatas kakak. Harus. Jadi, tolong Jena jangan terbang dulu.

"Kita jalan bareng lagi."

Tahan, Jena.

"Sama Sheya, sama Shena juga."

Tuh, kan? Apa kubilang? Untung aku masih duduk di jok, belum melepaskan grafitasi tubuhku untuk terbang sampai menabrak atap mobil. "Boleh. Udah lama juga ya kita nggak jalan bareng?" sambutku.

"Oke. Kasih tahu Kak Aru kalau sibuknya udah reda, ya?" ujarnya.

Dan aku hanya tertawa, tapi mengangguk untuk menyetujuinya.

"Gelang dari Kak Aru kekecilan, ya?" tanyanya seraya melirik pergelangan tanganku.

"Hah?" Aku ikut mengarahkan pandanganku ke arah yang sama. "Oh, nggak. Ini. Aku copot tadi habis mandi." Ini lupa aku pakai atau bagaimana, ya? Aku juga lupa menaruhnya di mana.

"Oh." Kak Aru menghentikan laju mobil saat lampu lalu lintas berganti. Merah menghadang kami. "Kak Aru baru tahu kalau kamu suka warna hijau."

Aku menoleh, dan Kak Aru melakukan hal yang sama.

"Sheya yang bilang." Entah kenapa, di raut wajahnya seperti ada perasaan bersalah.

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, kok. Aku juga suka warna coklat." Aku tersenyum.

"Sebenarnya, warna coklat warna kesukaan Kak Aru, sih." Kak Aru terkekeh pelan. "Jadi, dulu waktu masih kecil Kak Aru tuh punya sugar bugs gitu, tapi suka banget makan coklat diam-diam, soalnya kalau ketahuan pasti dimarahin." Dia melirikku sekilas sebelum kembali melajukan mobilnya. "Terus waktu beli gelang itu kayak ... warna coklat tuh ngingetin Kak Aru sama kamu. Manis aja."

Aku tersenyum. Sampai di titik ini, aku menimbang-nimbang untuk ... terbang, jangan, terbang, jangan?

***

Mobil Kak Aru terhenti sebelum sampai di gerbang sekolah. Sengaja, aku yang minta. Aku tidak mau semua orang menatapku dengan rasa ingin tahu ketika Kak Aru membuka kaca jendela mobil dan melambaikan tangan padaku, seperti yang dilakukannya sekarang. "Jangan nakal-nakal ya, yang pinter sekolahnya," pesannya. Terdengar seperti dia benar-benar adalah kakak laki-lakiku.

"Siap!" Aku balas melambaikan tangan sebelum melangkah menjauh darinya, melewati gerbang sekolah yang tengah dijaga Pak Jafar. Lalu bergerak dengan terburu mengikuti langkah-langkah kaki siswa lain.

Aku langsung berbelok ke arah ruang OSIS seperti pagi biasanya. Karena, selain menjadi bawahan Kaezar, selama beberapa pekan ini aku juga sudah merangkap menjadi bawahan Kalina yang mesti melaporkan ini dan itu, tentang segala macam pekerjaan yang dibebankannya padaku di hari kemarin.

Namun, di ruang OSIS hanya ada Kaezar yang tengah duduk di kursinya bersama Janari dan Arjune. Mereka duduk di meja yang sama, tapi menarik kursi dari meja lain.

"Pagi," sapaku.

Tidak ada jawaban yang langsung terdengar, ketiganya malah saling tatap terlebih dahulu sebelum ada sahutan, "Pagi, pagi."

Karena tidak menemukan Kalina di sana, aku tidak terlalu banyak bicara dan memutuskan duduk di kursiku. Setelah itu, aku membuka ponsel dan mem-forward e-mail yang kuterima dari pihak percetakan tentang id-card yang berhasil kupesan semalam.

"Kalina nggak ada, ya?" tanyaku yang ... tidak jelas tertuju pada siapa. Aku berharap salah satu dari ketiga cowok itu menjawab, tapi tidak ada suara yang terdengar. Aku mendongak, dan hanya menemukan Kaezar yang duduk di kursinya, sudah tidak ada lagi Arjune dan Janari di sana, entah kapan perginya.

"Kenapa? Id-card, ya?" tanya Kaezar. Dia terlihat menutup layar laptopnya sebelum berjalan ke arahku.

Ini nih, orang yang sejak beberapa pekan lalu terasa ... menjauh. Atau entah hanya aku yang kegeeran karena sebelumnya merasa dekat? Yang jelas terasa demikian. Dia memang sibuk, aku tahu, sibuknya melebihi Kalil yang selain harus membantu acara di PENSI, juga harus berurusan dengan guru-guru dan mitra-mitra di luar sekolah dari tiap sekbid.

"Mm." Aku hanya menggumam. Malas kembali berurusan dengan orang yang pernah membuatku begitu khawatir. Jujur ya, sejak percakapanku dengan Chiasa tempo hari dan mendapati dia ada di ruangan yang sama denganku, aku tidak berhenti terus memikirkan dan bertanya-tanya. Dia dengar atau tidak? Apakah aku perlu menjelaskan padanya? Dan kekhawatiran lain yang mungkin berpengaruh terhadap penilaiannya padaku.

Namun, kali ini rasanya aku tidak peduli lagi tentang penilaian yang dia punya. Masa bodoh. Aku kesal. Aku marah.

"Gimana jadinya?" tanyanya. Cowok itu sudah hadir di depan mejaku.

"Beres, kok. Untungnya percetakan yang biasa gue pakai bisa menyanggupi cepat. Tiga hari, katanya." Aku berdecak. "Lagian bisa begitu ... calon sekretaris lo itu," sindirku.

"Kalau keteteran, bilang sama—"

"Janari?" potongku. Senang banget dia melelang nama Janari padaku.

"Bilang gue juga boleh."

Apa katanya? Aku mendongak, karena sekarang Kaezar sudah berdiri di depan mejaku. "Nggak salah?"

Percakapan kami terhenti karena tiba-tiba seseorang hadir. Kalina, cewek itu berhenti di ambang pintu, menatap ke arah kami sesaat sebelum memasuki ruangan. "Gue udah baca e-mail-nya, Je. Thanks, ya."

"Iya. Sama-sama."

Kalina terus berjalan ke arah mejanya, tapi sambil bicara, seolah-olah dia sibuk sekali sampai tidak sempat berhenti untuk bicara di hadapanku secara langsung. "Nanti siang lo bisa temuin anak-anak teater, nggak? Mereka mau koordinasi masalah apa gitu, gue lupa," ujarnya. "Nanti siang gue harus keluar sama Gista, ada janji sama pengisi acara."

Kalina ini kalau masalah nyuruh-nyuruh orang lain kayaknya enteng banget, ya? "Kenapa gue?" tanyaku. Hari ini aku ada jadwal bimbingan belajar. Aku memutar posisi tubuhku sampai menghadap ke belakang, ke arahnya.

"Terus, gue harus minta tolong siapa?" Dia bicara di balik mejanya, menatap Kaezar dan aku bergantian.

Aku berdecak sambil kembali ke posisi semula. Saat itu, aku melihat Kaezar malah tersenyum, yang entah apa artinya. Kayaknya, duo tukang suruh-suruh ini memang senang sekali melihat aku menderita. "Ya udah, nanti gue temuin. Tapi nggak bisa lama-lama," putusku.

Aku mendadak kegerahan, poniku yang sudah menjuntai melebihi mata kusingkap sampai keningku kelihatan sepenuhnya. Sementara sebelah tanganku membuka laci meja dan meraih dua jepit rambut di sana.

Ada jepit warna hijau dan biru. Aku mau mengambil jepit warna hijau awalnya, tapi tidak jadi karena Kaezar berkomentar, "Yang hijau bagus."

Tanganku membantah pendapatnya, mengambil jepit warna biru tanpa berpikir lagi.

Kaezar malah tertawa kecil. "Ya udah, yang mana aja sama aja kok."

Maksudnya, mau pakai warna apa saja sama sekali nggak ada pengaruhnya untuk penampilanku begitu, ya? Menyebalkan sekali kan dia?

***

Seperti permintaan—atau perintah—Kalina, setelah bel berbunyi, aku tidak langsung pulang karena mesti menemui anak-anak teater yang kebetulan memiliki jadwal latihan hari ini. Aku duduk di kantin bersama Chiasa dan Davi. Hakim dan Sungkara sudah sibuk menebar brosur, pamflet, dan segala macam bentuk publikasi PENSI setiap harinya, jadi dua cowok itu tidak ada kesempatan untuk mencampuri obrolan kami.

"Gue kalau jadi Janari, udah pergi dari tadi, deh," komentar Davi, membuat aku dan Chiasa mengikuti arah pandangnya ke meja di sebelah kanan.

Aku duduk menghadap Chiasa dan Davi. Sementara di sebelah kanan, terhalang oleh dua meja dari meja kami, ada Kaezar, Janari, dan Kalil yang tengah duduk berjejer. Di sana, Kaezar dan Kalil tengah mendiskusikan sesuatu—atau lebih tepatnya memperdebatkan sesuatu, sedangkan di antara mereka ada Janari.

"Panjang banget sabarnya Janari," tambah Chiasa ketika melihat Janari tetap bisa makan dan minum di antara perdebatan dua orang di sisi kanan dan kirinya. Bahkan, Janari masih bisa tersenyum ketika seorang adik kelas menaruh sesuatu seperti bingkisan kecil—yang mungkin saja itu hadiah untuknya—lalu mengucapkan terima kasih saat Kaezar dan Kalil sudah masuk ke tahap bersitegang.

"Janari tuh kalau nggak punya pabrik sabar, nggak akan jadi temannya Kaezar sampai sekarang," ujarku. Mau dijadikan kambing hitam berkali-kali oleh Kaezar, dia cuma memasang emoticon seperti ini di wajahnya (◜◡◝).

"Ya nggak semua harus lo yang tanggung, Kal. Apa gunanya anggaran dana?" Suara Kaezar sampai terdengar ke meja kami.

"Santai, Kae. Gue ngerti," sahut Kalil.

Sepertinya perdebatan itu masih sangat panjang, dan aku tidak bisa menyaksikannya sampai akhir karena harus segera menemui perwakilan dari anak teater. "Gue ke lapangan basket dulu, ya?" ujarku seraya bangkit dari tempat duduk, menghabiskan batang pocky terakhir dan melempar bungkusnya ke dalam tempat sampah terdekat.

Kepergianku tidak begitu ditanggapi karena Chiasa dan Davi lebih tertarik menyaksikan Kaezar dan Kalil yang posisinya sudah berdiri, terhalang oleh Janari yang masih duduk di antara keduanya.

Aku menuju lapangan basket yang sudah terdengar ramai dari kejauhan, lalu melongok ke arah dalam dan mendapati kesibukan anak-anak teater. Mereka sudah mulai latihan, beberapa ada yang masih berdiri di sisi lapangan untuk menunggu giliran.

Ketika aku masuk, Farhan menyambutku, cowok itu seperti sudah tahu maksud kedatanganku.

"Kata Kalina, ada yang pengin didiskusiin?" tanyaku langsung.

"Iya, nih." Farhan menoleh ke arah lapangan sesaat. "Kayaknya kita kekurangan beberapa properti deh. Gimana, ya? Enaknya bilang ke siapa?"

"Anggaran yang dikasih, nggak cukup?" tanyaku.

"Iya. Sebenarnya kita udah nambah sendiri dari uang kas yang kita punya, tapi masih kurang. Sedikit, sih."

"Oh." Aku mengangguk. "Boleh minta list-nya, nggak? Kalau ada sekalian sama biaya kekurangannya, biar nanti gue langsung bilang ke Gista sama Kalina."

"Boleh." Farhan mengeluarkan ponselnya. "Udah kami buat rinciannya, kok. Gue e-mail aja nanti, ya?"

"Harus fix rinciannya, jangan sampai nanti kita bongkar-bongkar anggaran lagi, Han." Suara itu terdengar dari arah belakang, membuatku menoleh. Kaezar datang dengan sebotol air mineral di tangannya yang kemudian terulur padaku. "Minum, nih."

"Apaan, nih? Pegangin?" tanyaku waspada. Kali ini aku tidak akan tertipu lagi.

"Tadi di kantin belum minum, kan?" Dia membuka segel botol sesaat sebelum kembali mengangsurkannya padaku.

Sementara Farhan yang masih berdiri di situ hanya menatap kami bolak-balik. "Udah fix kok." Akhirnya dia bersuara setelah melihatku selesai menenggak botol air mineral itu. "Makanya, gue minta tolong ya, Je?"

Aku mengangguk. Sebelum menutup kembali botol itu, Kaezar lebih dulu mengambilnya, lalu menenggak sisanya sampai tandas. Dia ... kenapa, sih?

Setelah Farhan izin pergi untuk bergabung dengan teman-teman teaternya di tengah lapangan, Janari dan Arjune datang, melintas di hadapan kami sembari mendorong speaker box. "Yah, segitu doang istirahatnya, June."

"Ya, memang mesti disulut pakai orang ketiga dulu, lihat ada yang nganterin ke sekolah, baru maju lagi," sahut Arjune. "Misi, ya," ujarnya seraya melewati aku dan Kaezar.

Aku tidak mengerti percakapan kedua cowok itu. Bukan urusanku juga, sih. Aku menoleh pada Kaezar yang masih berdiri di sampingku. "Lo ngapain masih di sini?"

"Lo sendiri ngapain?" Kebiasaan, malah balik bertanya.

"Nggak ngapa-ngapain, ini mau pergi." Aku baru saja akan melangkah pergi, tapi suara Pak Hatmoko, guru Seni Budaya yang merangkap sebagai Pembina Teater, yang berteriak dari tengah lapangan, membuatku menoleh.

"Saya, Pak?" tanya Kaezar seraya menunjuk dadanya.

"Iya. Kamu, Kaezar. Sini sebentar," teriak Pak Hatmoko lagi dari tengah lapangan.

Aku melangkah lagi sementara Kaezar berlari ke tengah lapangan. Namun, tidak lama suara Pak Hatmoko terdengar lagi.

"Jena! Mau ke mana? Sini! Sini!"

Aku ikut-ikutan menunjuk dada seperti yang Kaezar lakukan tadi.

"Iya, kamu. Sini!" Pak Hatmoko melambai-lambaikan tangan padaku.

Aku menyusul langkah Kaezar yang sudah berjalan sekitar sepuluh langkah di depanku, ikut berdiri di sampingnya untuk menghadap Pak Hatmoko.

"Bantu sebentar, ya?" Pak Hatmoko tiba-tiba memberikan masing-masing selembar kertas untukku dan Kaezar. "Ini dialognya cuma sedikit kok, cuma mau ngepasin sama aransemen musik yang sudah kami buat."

Aku menunduk sejenak, membaca tulisan di kertas yang kupegang. Ada beberapa dialog antara Roro Jongrang dan Bandung Bondowoso. Iya, aku tahu mereka mengangkat cerita rakyat ini untuk dilakoni menjadi sebuah drama teater. Namun ..., "Kenapa harus saya, Pak?" tanyaku. "Nia sama Adit ke mana?" Aku menyapukan pandangan ke seluruh sudut, mencari sepasang pemeran utama yang melakoni drama ini.

"Nia dan Adit baru mengabari kalau mereka jatuh dari motor tadi, di perjalanan menuju ke sini. Nggak ada luka serius sih, cuma lecet doang, katanya. Tapi pasti lama, sedangkan pelatih gamelannya sudah menunggu." Pak Hatmoko melepas kacamatanya, memijat batang hidung dengan raut lelah. "Lagipula, kenapa harus pulang dulu sih mereka?" tanyanya pada jejeran anak teater yang sudah berbaris di tempat masing-masing.

"Ini salah satu alasan kenapa dalam suatu organisasi sebaiknya nggak ada yang pacaran." Aku mengatakan hal itu pada Kaezar.

Kaezar mengerutkan kening. "Gitu?"

Setelah itu, aku baru sadar ekspresi Kaezar sekarang berubah menjadi tidak enak dilihat. "Gue ... nggak nyindir lo sama Kalina, ya. Cuma ... ya gitu."

"Kalina lagi." Kaezar terdengar menggerutu.

"Pak, bisa dimulai?" tanya salah satu pelatih gamelan yang berada di sisi panggung.

"Bisa, bisa." Pak Hatmoko menarik aku dan Kaezar ke tengah lapangan. "Berdiri di sini, kalian hanya baca beberapa dialog, kok."

Setelah Pak Hatmoko pergi ke sisi lapangan, para penari dengan selendang warna-warni yang diikat di pinggang berjejer mengelilingi kami, hal itu membuat aku dan Kaezar kebingungan. "Ini pemaksaan ya, Kae. Nyesel banget gue ngikutin permintaan Kalina buat datang ke sini. Tahu gitu—" Aku terperanjat saat suara gong terdengar nyaring. Tanpa sadar, aku melangkah maju, sedangkan tanganku lebih dulu menangkap lengan Kaezar.

Kaezar tertawa, tapi suaranya tenggelam oleh bunyi alat-alat musik yang sudah mulai dipukul, para penari bergerak di sekeliling kami. Aku makin kebingungan, tapi Kaezar terlihat tenang-tenang saja. Cowok itu membiarkan aku yang ling-lung ini tetap memegang lengannya, malah kini tangannya balas menyangga bagian sikutku.

Saat musik terdengar memelan, para penari yang sejak tadi menari mengelilingi kami berangsur menjauh, mereka menaburkan kertas warna-warni ke udara sebelum pergi, membuatnya terbang dan berjatuhan di sekelilingku. Saat itu, aku melihat tangan Kaezar terangkat, meraih satu potong kecil kertas merah muda yang tersisip di rambutku.

Suara narator terdengar. "Ternyata Kerajaan Prambanan memiliki seorang putri yang cantik jelita bernama Roro Jonggrang. Hal itu membuat Bandung Bondowoso tidak bisa mengalihkan tatapannya pada apa pun. Dia bahkan tidak peduli pada warna langit hari itu, wajah Roro Jongrang memenuhi indera penglihatannya."

Suara itu membuat aku dan Kaezar saling tatap. "Kae, bisa nggak lo natap guenya biasa aja?" Aku melotot, berusaha mengancamnya. Dia berkeinginan menjadi aktor sungguhan, ya?

"Bisa nggak lo nggak usah ngelucu dulu?" Kaezar mengatakan kalimat itu sambil menahan tawa.

"Tolong baca dialognya, Jena," pinta Pak Hatmoko dari sisi lapangan.

Aku menunduk, mencari-cari dialog teratas. "Puas dengan semua yang terjadi? Kenapa kau belum pergi?"

Kaezar mendapat kode yang sama dari Pak Hatmoko. Lalu dia ikut membaca dialognya, hanya sesaat sebelum kembali menatapku. "Aku telah jatuh cinta."

Kata-kata itu membuatku berjengit, bodoh sekali, padahal Kaezar hanya membacakan dialog dalam drama. Kenapa aku harus terkejut?

"Sepertinya aku telah jatuh cinta padamu." Kaezar menatapku, membuatku sesaat menelan ludah dengan susah payah.

Jena bodoh, hentikan. Kenapa lo baper beneran?

"Hiduplah bersamaku ...."

Mendengar itu, aku tiba-tiba merinding. Dan tanpa sadar aku memukul wajah Kaezar dengan kertas di tanganku.

"Apa yang kau inginkan akan kupenuhi." Kaezar masih melanjutkan dialognya. "Apa pun."

"Apa, pun?" balasku dengan suara lemah yang bergetar.

"Ya, apa pun."

"Oke. Sip!" Suara Pak Hatmoko terdengar.

Aku segera memalingkan wajah ke sembarang arah. "Udah selesai, kan?" gumamku tidak jelas.

"Satu kali lagi, ya?" pinta Pak Hatmoko.

Aku melotot, lalu menatap Pak Hatmoko dan menggeleng kencang. "Pak, udah, Pak," tolakku seraya menyilangkan tangan di depan dada.

"Satu kali lagi, oke?"

"Nggak, Pak. Nyerah saya." Aku berbalik, berjalan menghampiri Pak Hatmoko. "Saya baper beneran."

***
 

 

Part [20]

JENA
Aku pikir, semakin dekat dengan hari H, tugasku akan semakin ringan, tapi nyatanya, aku tetap menjadi partner—alias pesuruh—Kalina yang mesti bersedia setiap saat. Selama satu minggu ini, aku melakukan hal yang sama setiap harinya, dan berulang. Itu menjenuhkan sekali.

Belajar di sekolah, melakukan apa pun di ruang OSIS, membantu menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan oleh hampir setiap sekbid, sampai tiba-tiba sudah sore dan pulang ke rumah selalu tidak kurang dari pukul tujuh malam.

Besok adalah hari H, perayaan pentas seni yang digadang-gadang akan menyedot banyak tamu ke sekolah itu akan dilaksanakan. Bahkan menurut Hakim dan Sungkara, tiket masuk yang kami jual sudah habis sejak kemarin, dan beberapa sekolah masih ada yang tidak kebagian.

"Terus gimana?" tanyaku. Aku baru saja meraih kursi dan duduk di samping Chiasa, memperhatikan duo Hakim-Sungkara yang tengah sibuk membereskan dokumen-dokumen publikasi yang tersisa setelah menyebarkannya beberapa pekan kemarin.

"Ya, nggak bisa nambah tiket, kuota udah penuh," jawab Sungkara.

Hakim menyetujui. "Bakal overload tuh tribun lapangan basket kalau kita terus nambah tiket, bisa-bisa gue kena gampar Kae."

"Kaezar lagi," gumamku sambil tertawa. "Padahal majikan lo sekarang Kalil, ya!"

"Majikan gue memang Kalil, tapi majikan dari segala majikan tetap Kaezar." Hakim mengembuskan napas kencang setelah selesai membereskan dokumen-dokumennya di meja. "Ini kita masih di sini aja, kayaknga nginap deh," ujarnya seraya duduk di kursi dengan mata terpejam, kentara sekali kelelahan di wajahnya.

"Lo berdua belum balik?" tanya Sungkara pada aku dan Chiasa.

Sekarang sudah pukul delapan malam, tapi kegiatan di sekolah masih sibuk dengan puluhan orang panitia, ditambah lagi panitia yang membantu dari sekolah lain yang juga sudah datang sejak siang. Kesibukan di ruang OSIS kini berpindah ke tribun lapangan basket, seksi dekorasi yang dibantu oleh hampir semua panitia pensi sudah menyulap tempat itu menjadi panggung PENSI.

"Gue udah pengin balik." Chiasa menoleh padaku. "Izin sama Kaezar sana, Je."

Aku mengernyit, tidak terima. "Kenapa kalau urusan sama Kaezar harus selalu gue?" protesku, tapi aku tetap bangkit dari kursi dan melangkah ke luar ruangan.

Aku membelah koridor yang mungkin ketika malam biasanya gelap dan sepi. Namun, malam ini, semua lampu di sepanjang koridor menyala, terlihat beberapa panitia berlalu lalang untuk mengangkut ini dan itu.

Sesampainya di lapangan basket, aku bisa melihat Kaezar tengah berdiri di tengah lapangan di antara puluhan panitia lain. Dia menyampirkan kemeja putih di pundak dan hanya mengenakan selembar kaus putih di tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, rambutnya yang berkeringat disugarnya sebelum kembali berbicara pada Kalil, Arjune, dan Janari. Tangannya menunjuk ke arah ring basket, sesekali menatap ketiga temannya yang disambut dengan anggukkan.

Ada layar proyektor besar dengan cahaya samar yang menyorot ke sana

Ada layar proyektor besar dengan cahaya samar yang menyorot ke sana. Tulisan 'Corak Bhineka dalam Adiwangsa' terpampang di sana, tema acara untuk PENSI yang kami adakan.

Sebenarnya, aku bisa saja pulang tanpa perlu memberi tahu Kaezar, toh dia tidak akan menyadarinya. Namun, aku tidak ingin ketar-ketir ketika sampai di rumah dan mendapatkan pesan semacam, Lo udah balik, Je? Kok, nggak bilang gue dulu?

Dia sering melakukan hal itu beberapa hari terakhir ini ketika aku pulang malam. Rugi sekali sepertinya kalau aku pulang tanpa sepengetahuannya, dia jadi nggak bisa menyuruhku ini dan itu dulu.

Langkahku terayun menuruni tangga tribun. Saat berpapasan dengan beberapa siswa cowok dengan seragam berbeda, aku tersenyum. Mereka pasti panitia yang membantu kami dari sekolah lain.

Dan, "Jena?"

Suara itu membuatku menoleh, menatap cowok berseragam putih polet hijau di ujung lengannya, seragam yang kukenali adalah seragam SMA Adiyaksa. "Eh? Ezra, ya?" tanyaku. Lalu, setelah itu aku melihat Adam—Ketua OSIS SMA Adiyaksa—berjalan melewatiku. "Bantuin juga?" tanyaku.

Ezra mengangguk. "Iya."

"Kok, kemarin-kemarin gue nggak lihat lo?" Maksudnya, setiap minggu kami ada rapat seluruh panitia, termasuk panitia dari sekolah lain, dan aku tidak pernah melihat Ezra.

"Baru hari ini sih, ke sini," jawabnya. "Salah satu panitia dari sekolah ada yang sakit, terus gue gantiin."

"Oh, gitu." Aku mengangguk-angguk. "Terus sekarang, mau balik?"

"Nggak. Mau istirahat dulu di ruang OSIS."

"Oh. Oke."

"Lo sekolah di sini ternyata?" tanyanya. "Baru ketemu lagi ya, kita?" Ezra adalah teman SMP-ku, kami memang tidak pernah berada di kelas yang sama saat itu, tapi kenal dekat saat berada di kepengurusan OSIS.

"Iya. Nggak pernah ketemu lagi setelah lulus SMP, deh."

"Lo masih suka ketemu sama anak-anak lain?"

Aku menggeleng. "Nggak, sih. Cuma kalau Chiasa, gue ketemu tiap hari!"

Ezra tertawa. "Lho, sekolah di sini juga Chia?"

"Iya. Satu kelas pula, eneg banget nggak tuh?" Ucapanku disambut oleh tawanya.

"Nggak terpisahkan banget, ya?" Ezra mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Bagi nomor lo boleh nggak? Siapa tahu nanti bisa kumpul lagi sama yang lain."

Aku baru saja mau menyetujui. Namun, tatapanku tiba-tiba menangkap sosok Kaezar yang tengah berdiri di ujung tangga paling bawah, dengan kemeja yang masih tersampir di pundak, menatap horor ke arahku seraya melipat lengan di dada. "Zra?"

"Ya?"

"Lo mau ke ruang OSIS, kan?"

"Iya."

"Di ruang OSIS ada Chiasa, lo minta aja ke Chiasa, ya? Biar sekalian minta nomor dia juga."

Ezra mengangguk-angguk. "Oh, oke. Gue ke ruang OSIS aja kalau gitu. Sampai ketemu ya, Je!" Dia tersenyum sebelum melangkah naik, meninggalkanku.

Kaezar masih berdiri di ujung tangga itu, dengan tatapan seperti anak panah yang siap menyasar kepalaku.

Aku berjalan pelan, menuruni anak tangga satu per satu, menghampirinya. Kini, aku berhenti di dua tangga yang lebih tinggi dari tempat Kaezar berdiri, membuat tinggi tubuh tubuhku sejajar dengannya. "Kae ...."

"Tadi siapa?" Tatapan Kaezar terarah ke gerbang keluar, membuatku ikut-ikutan menoleh ke arah sana.

"Hah?" Aku menatapnya lagi.

Dagu Kaezar menggedik ke arah gerbang. "Itu, yang dari SMA Adiyaksa."

"Oh, Ezra?"

"Lo kenal?" tanyanya. Kini tatapannya sepenuhnya terarah padaku.

"Teman SMP, dulu. Baru ketemu lagi di sini."

"Oh." Sekarang wajahnya terlihat tidak peduli, tapi dia lanjut bertanya. "Kayak akrab banget?"

"Biasa ... aja, deh." Aku mengernyit. Akrab gimana, sih? Cuma ngobrol doang, nggak sampai ketawa-ketawa sampai tepuk-tepukkan yang heboh gitu.

"Kae, nih." Mugni, yang dalam acara ini mengemban tugas sebagai seksi acara, datang membawa selembar kertas. "Alternatif solusinya kayak gini. Coba lo periksa, nanti kasih tahu gue, ya?"

"Oke." Kaezar menarik kemeja dari pundaknya, mengulurkannya padaku, yang membuatku ototmatis menerima kemeja itu dan memegangnya.

Aku ini asistennya banget, ya?

Cowok itu duduk di kursi kedua tribun, menyisakan satu kursi di paling sisi, seolah-olah menyisakannya untukku.

Aku duduk di sisinya, menaruh kemejanya di pangkuan, sedangkan Mugni sudah kembali ke tengah lapangan. Saat Kaezar tengah menunduk, membaca kertas di tangannya, aku kembali mengingat tujuanku datang ke sini. Untuk minta izin pulang. Bukan untuk membahas Ezra, ya!

"Kae ...."

"Biasanya tuh, kebanyakan cowok kalau ketemu teman lamanya suka minta nomor HP, atau kontak gitu," ujar Kaezar. Dia senang sekali memperpanjang masalah kalau melihatku didekati cowok dari sekolah lain, ya? "Terus ujung-ujungnya dia bakal nanya, 'Lo udah punya cowok belum?'"

Aku memutar bola mata, kesal. Baiklah, mari kita ladeni omong kosong Kaezar ini! "Kok, lo bisa tahu, sih?" ujarku antusias. Padahal ya, Ezra sama sekali tidak melakukan hal itu. Aku hanya senang saja membuat Kaezar sewot. "Jangan-jangan lo juga gitu ya, kalau ketemu teman lama cewek?"

Namun, Kaezar tidak membalas ucapanku. "Terus? Lo kasih?"

"Apanya?" Aku benar-benar tidak mengerti kenapa percakapan ini penting sekali untuknya.

"Nomor lo."

"Memang kenapa kalau gue kasih? Bagus, kan?" tanyaku seraya menepukkan tangan, sementara Kaezar hanya mendecih seraya tetap memperhatikan kertas di tangannnya. "Ezra kan, tahu kalau gue belum punya cowok. Ya, siapa tahu dia bisa kenalin gue ke salah satu teman di sekolahnya. Bener, nggak?"

Kaezar menatapku dengan kernyitan sinis. "Centil," gumamnya.

"Kok, centil? Usaha itu namanya."

"Usaha? Ternyata lo ngerti yang namanya usaha?" Kaezar hanya bergumam, tapi bisa kudengar. "Usaha gue nggak pernah lo lihat."

"Usaha apaan?" tanyaku.

Kaezar menatapku dengan tatapan tidak percaya, dan aku membalasnya dengan kernyitan di kening.

"Apa, sih?" gumamku, tidak mengerti. Karena Kaezar hanya berdecak dan tidak berkata apa-apa lagi, aku langsung bicara lagi, "Gue izin balik ya, Kae? Udah malam."

"Sama siapa?"

"Apa?"

"Baliknya. Sama siapa?" ulang Kaezar.

"Oh, paling—"

"Ezra?" sela Kaezar. Wajahnya minta banget aku celupin ke ember cat kayu yang ada di tengah lapangan basket, yang kini tengah dipakai oleh anak teater untuk mengecat properti.

"Lo tuh, kenapa sih senang banget berantem sama gue?"

"Tunggu sepuluh menit." Kaezar tidak menanggapi ucapanku. "Gue antar."

"Lo kan, sibuk. Terus, pasti banyak yang nyariin lo nanti kalau lo nggak ada."

"Nganterin lo doang. Nanti gue balik lagi ke sini."

Aku ingin membantah, tapi percakapan kami lagi-lagi terhenti karena Kalina tiba-tiba hadir di hadapan kami. Cewek itu berdiri di depan Kaezar seraya menyerahkan selembar kertas juga. "Ini fix-nya, Kae. Udah gue diskusiin sama Mugni juga."

Ucapan Kalina membuat Kaezar mendongak. Seraya meraih kertas dari tangan Kalina, Kaezar bergumam. "Kalau sakit nggak usah maksain, Na. Lo bisa balik."

HAH? GUE MAU BALIK LO TAHAN-TAHAN. KALINA AJA LO SURUH BALIKKK!

Rasanya aku ingin sekali mengguncang leher Kaezar sekarang, deh! Namun, ucapan Kaezar tanpa sadar membuatku mendongak, ikut melihat wajah Kalina. Dan benar, wajahnya terlihat pucat sekali, ada titik-titik keringat di sekitar keningnya yang ... membuatnya terlihat tidak baik-baik saja.

"Acara membatik bersama bakal tetap kita adain, tapi kayaknya bakal diundur, mungkin setelah jam makan siang." Kalina mengabaikan kekhawatiran Kaezar dan terus bicara. "Anak Seni Tari bakal nambahin penampilan Tari Saman. Terus ... Feast juga udah gue konfirmasi bakal aransemen lagu pakai tambahan angklung. Dan Parade kostum daerah bakal diiringi sama musik perkusi alat musik tradisional," jelasnya.

Kaezar mengangguk-angguk, terlihat takjub. Aku juga, sih. Aku kalau jadi Kaezar juga bakal setuju seandainya Kalina menggantikan posisiku setelah selesai PENSI nanti.

Namun, kok aku mendadak sedih ya, kalau ingat kesepakatan itu?

"Semuanya udah sesuai sama tema acaranya, kan? Sesuai dengan apa yang lo saranin." Kalina menunduk. Lalu tangannya memegang kening.

Aku khawatir melihat keadaannya, dan tampakmya Kaezar juga begitu.

"Na?" Kaezar menaruh kertas-kertas di tangannya ke kursi.

"Duh, bentar. Gue pusing," keluh Kalina dengan tubuh yang semakin membungkuk. Dan tidak lama setelah itu, tubuh Kalina ambruk di sisi lapangan basket.

Kaezar yang melihat itu langsung berjongkok. Satu tangannya meraih bagian belakang kepala Kalina, melindunginya dari dinginnya lantai lapangan. Wajah cowok itu terlihat panik saat tepukkan-tepukkan pelan tangannya di pipi Kalina tidak menghasilkan respons apa-apa.

Sampai akhirnya, lama-lama terjadi kerumunan di sana. "Bawa ke UKS aja," ujar Janari sembari ikut mengangkat tubuh Kalina.

"Je, ambil kertasnya, ya? Tolong simpan," ujar Kaezar.

Aku mengangguk, lupa pada kemeja Kaezar yang masih kupegang. Lalu, setelah itu aku menyaksikan Kaezar dan Janari membawa tubuh Kalina menaiki anak tangga tribun, keluar dari pintu gerbang lapangan basket. Orang-orang dengan wajah panik yang tadi berada di sekelilingku perlahan terurai, menyisakan aku yang masih berdiri di sana.

Sebelum pergi, aku meraih selembar kertas milik Kaezar yang tersimpan di kursi, sedangkan kertas satunya sudah jatuh ke lantai. Aku berjongkok, mengambil kertas itu, kertas yang tadi Kalina berikan pada Kaezar. Aku membacanya sekilas, daftar tulisan kalina yang diberi nomor dengan tinta hitam, lalu ada beberapa coretan tinta biru—yang seolah bertugas untuk merevisinya—yang langsung bisa kutebak adalah tulisan tangan Kaezar.

Tidak ada yang menarik dari catatan itu, sampai akhirnya aku membalik bagian belakang dan tampak percapakan singkat yang ... kupikir di luar dari pembahasan tentang PENSI.

Tinta Hitam : Ada roti sama Aqua di tas lo.

Tinta Biru : Oke. Thx.

***

Chiasa meminta Om Chandra menjemputnya ke sekolah, jadi aku bisa ikut pulang bersamanya. Aku diantarkan sampai rumah dengan aman walau sampai dua jam kemudian karena macet. Beberapa kali Papi menelepon, memastikan aku baik-baik saja dan pulang dengan selamat.

Aku selamat kok, hanya saja perasaanku yang tidak selamat dan berantakan.

Aku melewati ruang tengah, melewati Mami dan Gio yang tengah berdebat, entah tentang apa.

"Kak, masa Mami nggak percaya kalau aku—" Suara Gio terhenti karena aku segera menghadapkan telapak tangan padanya.

"Aku lagi kesal, nggak mau ngomong," ujarku. Aku meraih tangan Mami, menyalaminya sebelum melangkah menaiki anak tangga menuju kamarku.

"Papi bilang, kamu pulang sama Chiasa?" tanya Mami.

"Iya," jawabku sembari terus bergerak naik. Beruntung Papi belum pulang, masih sibuk di Blackbeans sehingga aku tidak perlu mendengar ceramah panjang yang akan diucapkannya berkali-kali di telepon tadi karena pulang terlalu larut. Jelas-jelas aku pulang bersama Chiasa, tapi itu masih belum cukup membuktikan bahwa aku ini nggak melakukan hal yang aneh-aneh.

Aku sampai di kamar, menutup pintu di belakangku dan melemparkan tas ke tempat tidur. Aku berdecak, kesal sekali mengingat bahwa kemeja Kaezar masih ada di dalam tasku. Belum lagi, kertas milik Kaezar yang dititipkannya padaku masih kubawa-bawa. Iya, aku membawa kertas berisi percakapan singkat yang manisnya bikin gula darahku mendadak naik itu.

Besok, dua benda itu harus kukembalikan. Padahal ya, aku memutuskan untuk tidak ingin lagi memiliki urusan dengannya. Aku marah. Nggak tahu kenapa pokoknya aku ingin marah.

Aku baru saja duduk di tepi tempat tidur, tengah membuka kaus kaki saat ponselku berdenting singkat, menampilkan satu notifikasi pesan masuk di Grup 'Empat Sehat Lima Ghibahin Kae'.

Tuh kan, tiba-tiba aku kesal kalau diingatkan tentang Kaezar. hal yang menyangkut Kaezar mendadak membawa pengaruh buruk untukku.

Empat Sehat Lima Ghibahin Kae

Hakim Hamami
Ada info penting banget, nih.

Asal kalian tahu, Kae masih di UKS. Nungguin Kalina dijemput bokapnya.

Chiasa Kaliana
Wah, penting sekali informasinya. Membuat gue ingin keliling kelurahan untuk memberi tahu semua orang tentang berita ini.

Janitra Sungkara
Nggak usah berlebihan. Di dalem UKS nggak cuma ada Kae yang nungguin, ada Janari juga.

Hakim Hamami
Janari nggak dihitung manusia.

Dia mah cuma patung McD.

Janitra Sungkara
Terus Arjune yang nungguin di luar apaan?

Eceng sawah?

Davi Renjani
Gue ngakak banget. Gue lupa apa makan itu apa kenapa sih soalnya begitu apa-apan gitu, ya? Kenapa nggak apa kayak gitu?

Janitra Sungkara
Vi ..., sawan lo, ya?

Hakim Hamami
Serius, serius.

Ini grup bisa nggak dibikin berfaedah.

Chiasa Kaliani
Faedah dari ghibahin orang memangnya apaan selain menumpuk dosaku yang sudah sebesar Gunung Krakatau ini?

Hakim Hamami
Ya ..., bikin taruhan. Kalina balikan nggak sama Kae?

Kan, berfaedah, tuh. Yang kalah traktir.

Davi Renjani
Itu mah, dosa yang segede Gunung Krakataunya jadi dipangkat tujuh.

Faedah dari mana?

Makin dosa iya.

Hakim Hamami
Ya udah, ganti aja jangan taruhan. Arisan.

Chiasa Kaliani
Menurut gue sih bakal balik lagi.

Kalina kayak masih ada usaha gitu nggak, sih?

Davi Renjani
Iya, sih. Kalau gue lihat-lihat, Kalina masih pen balik.

Padahal dia yang mutusin, ya. Labil bat Kalina.

Janitra Sungkara
Mungkin Kalina nyesel kali.

Hakim Hamami
Jadi menurut kalian, mereka bakal balik?

Lah, ini yang taruhan nggak balik siapa dong?

Shahiya hiya hiya Jenaya? Menurut lo balik nggak?

Shahiya Jenaya
BISA NGGAK, NGGAK USAH BAHAS-BAHAS SI ALKAEZAR CROCODILE PILAR ITU LAGI?

***


















 

Pengaruh Burukku
Je, udah balik?
Balik sama siapa?
Kok, nggak ngasih tahu gue?

***








Part [21]

JENA
Panitia memiliki seragam resmi berupa kain batik yang bebas untuk dikreasikan sedemikian rupa. Kain batik cokelat itu kini kubentuk menjadi outer panjang yang melapisi kaus putihku di sambung celana dengan kain senada dan sneaker.

Aku berjalan melewati gerbang sekolah setelah buru-buru turun dari mobil Papi. Seharusnya aku datang lima belas menit lebih awal, tapi karena kelamaan menata rambut sampai benar-benar rapi, aku terlambat.

Pukul tujuh pagi seluruh panitia seharusnya sudah berkumpul di ruang OSIS untuk mengadakan briefing sebelum acara dimulai, sebelum seluruh tamu undangan dan guru-guru hadir, tapi aku tidak bisa menepatinya karena kelamaan berdandan.

"Pagi, pagi." Aku memasuki ruang OSIS yang sudah diisi oleh--sepertinya--seluruh panitia. Oke, hanya aku yang terlambat sehingga kehadiranku ini menarik semua pasang mata di sana.

Kalil yang tengah berdiri di antara semua panitia berhenti bicara ketika melihat kehadiranku.

Aku berjalan melewati beberapa kursi dan ... oke, memang hanya ada satu kursi yang tersisa, kursi sekretaris OSIS--sialan--itu berada di sisi Kaezar. Aku dan Kaezar sempat saling tatap sebelum kuputuskan kontak mata itu lebih dulu dan duduk di sisinya.

"Kalina nggak bisa hadir hari ini, jadi seluruh tugas Kalina, lo yang gantiin ya, Je?" ujar Kalil.

Aku agak terkejut. Baru saja sampai sudah ditembak oleh pernyataan semacam itu. Namun, mau tidak mau aku mengangguk. "Oke," sahutku pelan. Pasalnya, aku perlu melihat catatan atau daftar apa pun itu yang mesti dikerjakan oleh Kalina hari ini.

"Lampu, sound, setting panggung, semua properti, gue harap udah oke, ya? Dan untuk run down acara, Mugni udah kasih kemarin, kan?" lanjut Kalil. Menurut info, seluruh panitia cowok menyiapkan semuanya semalaman. "Oke. Terus ... Kae? Ada tambahan?"

Semua kepala bergerak ke arah Kaezar, memakukan pandang ke arah cowok berkemeja seragam batik cokelat itu. "Cukup, sih. Cuma sekarang kita juga harus lebih fokus di keamanan. Kayak ..., oke semua sekbid punya tugas masing-masing, tapi keamanan jadi semua perhatian panitia--terutama panitia cowok, ya."

Semua kepala mengangguk-angguk.

"Segala sesuatu yang terjadi harus dikoordinaskan dengan Pak Jafar, apa pun," lanjut Kaezar. "Seksi keamanan ditambah panitia yang tugasnya udah nggak lagi fokus di jalannya acara, fokus di keamanan."

"Untuk penyebarannya gimana?" tanya Janari.

"Belum dibahas ya kemarin?" Kaezar menatap Patra, ketua dari seksi keamanan.

"Belum. Tapi udah gue buat daftarnya, kok." Patra membuka catatannya. "Udah gue bagi menjadi beberapa tim, tapi kami punya koordinator untuk pegang masing-masing wilayah. Kayak koordinator penonton, koordinator di tiket masuk, terus koordinator untuk di bagian pengisi acara, sama koordinator panggung juga, dan satu lagi, nanti bakal ada yang jaga di backstage." Patra menatap Kaezar. "Seksi keamanan bakal dibantu panitia lain, kan?"

Kaezar mengangguk. "Kita bantu, kok. Dan oh iya, udah bikin jalur evakuasi? Takutnya ada apa-apa, tapi ya semoga nggak ada."

"Udah, kami udah siapkan jalur evakuasi kalau ada apa-apa," tanggap Patra cepat. Dia dan timnya mulai membagikan HT[1] beserta handsfree ke semua panitia. "Setiap panitia pegang satu ya, jumlahnya ada empat puluh. Jangkauannya sampai lima kilometer, jadi aman. Dan channel-nya ada dua, satu untuk semua panitia, satu khusus untuk seksi keamanan."

[1] Singkatan dari Handy Talky.

Lalu, seiring dengan HT yang mulai dibagikan, semua panitia mulai saling bicara dengan koordinator masing-masing.

"Je?" Kalil datang menghampiriku bersama Gista. Dia menyodorkan kertas yang berisi list tugas, membuatku mengernyit. "Kalina nggak bisa hadir, masuk RS. Jadi ..., sori, kayaknya lo dan Kaivan harus handle ini."

Aku menerima kertas itu, lalu mengangguk-angguk, tapi ... ini tugasnya banyak banget dan sebagian point ada yang membuatku sangsi.

Tidak lama, Kaivan datang. "Koordinasi sama gue ya Je, kalau ada apa-apa?"

"Oke," sahutku.

"Gue udah bagi tugasnya, nih. Dan, ini sih yang penting, untuk pengisi acara. Band Feast kan Kalina yang urus segalanya, jadi segala sesuatunya yang tahu Kalina, lo bisa bantu mereka kan nanti di ruangannya atau backstage?" tanya Kaivan.

Aku mengangguk ragu. "Oke," gumamku lagi. "Yakin, nih percaya sama gue?" tanyaku, kali ini aku menatap Kalil.

"Percaya. Pasti bisa," jawab Kalil sebelum pergi, karena beberapa panitia memanggilnya.

"Oke, Je. Kalau udah dapat HT, hubungi gue," ujar Kaivan sebelum pergi menghampiri seksi acara.

Saat aku masih berdiri sembari membaca list di kertas yang kubawa, Kaezar menghampiriku.

Aku pura-pura tidak menyadari kedatangannya. Aku tunggu selama beberapa saat, ingin melihat perubahan sikapnya atau apa pun itu yang disebabkan karena kejadian kemarin. Tolong ya, entah kenapa aku masih jengkel mengingat hal itu, padahal dalam situasi seperti ini, aku seharusnya tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Profesional dong, Jena.

"Je?" panggil Kaezar seraya menunjukkan dua HT yang dibawanya.

Saat aku mau meraih salah satunya, dia kembali menarik tangannya.

"Bentar, gue setting TDR-nya dulu," ujar Kaezar. Dia berdiri di hadapanku, menunduk, menekan-nekan tombol HT selama beberapa saat. Setelah selesai, dia mendongak. "Udah nih, jadi lo nggak usah switch secara manual. Semua channel-nya aktif." Kaezar menyerahkan satu HT padaku.

Dia benar-benar tidak mau membahas masalah kemarin, ya? Atau menurutnya, kemarin itu bukan masalah?

"Ngerti nggak cara pakainya?" tanya Kaezar lagi.

"Ngerti. Tekan tombol PTT-nya selama dua detik, baru bicara, kan? Setelah itu, lepas." Aku berbicara tanpa menatap Kaezar, meraih id-card panitia dari meja dan mengalungkannya. Lagipula, dia lupa ya bahwa kami dulu pernah menjadi panitia PENSI juga?

"Jangan jauh-jauh, ya?" Kepala Kaezar meneleng, satu tangannya menyematkan handsfree di telinga kananku. "Gue ada di tribun belakang yang menghadap backstage. Atau ..., kalau ada apa-apa, kontak gue langsung."

***

KAEZAR
Gue berjalan keluar dari ruang OSIS untuk menuju ke arah lapangan basket yang kini sudah berubah menjadi venue digelarnya acara PENSI. Satu tangan gue terangkat untuk menyematkan handsfree di telinga kanan sedangkan tangan yang lain memegang HT.

Para pengunjung dari sekolah lain yang sudah memiliki tiket mulai mengular dari pintu masuk yang diarahkan di samping kanan bangunan sekolah. Pintu masuk sengaja kami buat dekat dengan area parkir agar pengunjung yang baru datang dan menaruh kendaraan bisa langsung masuk. Sebagian lagi, terjadi antrean di gerbang masuk menuju venue yang kini tengah dikondisikan oleh Janari.

Sesuai dengan tema yang kami usung, mereka datang dengan dresscode yang ditentukan; segala bentuk pakaian daerah yang dibuat sekreatif mungkin menjadi terlihat modern.

Gue melihat seorang cewek mengenakan blazer yang terbuat dari kain ulos. Ada juga kain batik yang dibuat outer--dan mengingatkan gue pada Jena. Lalu, gue mendengkus pelan. Untuk kejadian kemarin, di mana gue tiba-tiba meninggalkannya, gue belum ada waktu menjelaskan. Gue butuh waktu berdua, dan keadaan sekarang tidak memungkinkan.

Gue berjalan ke backstage, melihat keadaan yang lebih hectic dari beberapa pengisi acara dan panitia yang memandu di sana.

"Pengisi acara satu siap, pengisi acara satu!" teriak Mugni pada seorang panitia yang berdiri di depan ruangan salah satu pengisi acara.

"Arjune di sini, Yardan masuk." Suara Arjune terdengar dari balik handsfree.

"Yardan di sini. Ada yang bisa dibantu, June? Ganti," sahut suara lain.

"Colokan listrik satu nggak bisa dipakai, ada ganti nggak? Langsung antar ke ruang pengisi acara dua. Ganti," lanjut Arjune.

Lalu, percakapan-percakapan itu terdengar saling bersahutan, dari satu sekbid ke sekbid lain. Selain fokus pada jalannya acara, gue juga harus tetap fokus pada suara-suara di balik handsfree.

Dari tempat gue sekarang, yang tinggi dan gelap ini, gue bisa memonitor seluruh kegiatan di venue, tidak hanya di depan panggung, tapi juga yang terjadi di baliknya. "Kaezar di sini, Janari masuk," ujar gue seraya mendekatkan HT.

"Janari di sini. Kenapa, Kae? Ganti," sahut Janari beberapa saat kemudian.

"Di depan gerbang masuk ada penumpukkan pengunjung, lo bisa kondisikan dari arah dalam nggak? Kayaknya seksi acara kewalahan. Ganti."

"Siap, siap, gue ke sana."

Setelah itu gue melihat Janari bergerak ke dekat pintu masuk dan merapikan barisan pengunjung dengan memberi jarak pengunjung satu dan yang lain. Antrean itu mengular lebih rapi, semakin lama semakin memenuhi tribun. Kursi-kursi kosong di depan panggung terisi, masih menyisakan beberapa, tapi kemudian terisi oleh penonton yang datang setelahnya.

Acara pertama dimulai, dibuka oleh penampilan anak-anak seni tari yang menampilkan tarian dari berbagai daerah, situasi terlihat kondusif, sehingga gue memutuskan untuk tetap berdiri di tempat yang jauh dari keramaian dan tersembunyi ini. Tetap memantau, tetap mendengarkan suara-suara dari balik handsfree.

Sampai suatu detik tatapan gue menemukan seseorang yang sejak tadi gue cari keberadaannya. Jena berjalan di backstage bersama Ezra, membawa beberapa botol air mineral, sedangkan di sampingnya Ezra membawa satu dus penuh botol-botol air itu. Keduanya berjalan beriringan, memasuki sebuah ruangan, ruangan yang disediakan untuk Feast, salah satu band indie yang merupakan pengisi acara.

Gue melipat lengan di dada, menanti Jena yang .... Kok, ya lama amat ada di dalam ruangan Feast itu sama Ezra?

Nah, dia muncul lagi, masih bersama Ezra. Ezra seperti mengatakan sesuatu, tapi entah apa, yang disambut anggukan dan senyuman Jena. Setelah itu, mereka berpisah. Ezra meninggalkan Jena sendirian. Namun, saat Jena berbalik, dia bertemu dengan Faldy yang kini mengajaknya high five.

Gue tanpa sadar menggeleng seraya melipat lengan di dada, masih menatap ke arah bawah. Rasanya ingin sekali melompati kursi-kursi tribun dan menghalau tangan Faldy yang masih menggenggam tangan Jena saat bicara kini.

"Kaezar di sini, Jena masuk," ujar gue seraya mendekatkan HT. Beberapa saat gue tunggu. Namun, karena tidak ada sahutan, gue mengulanginya. "Kaezar di sini, Jena masuk."

Suara gue mampu membuat Jena bergerak menjauh dari Faldy, gue berhasil. "Jena di sini. Kenapa? Kenapa?" tanyanya.

"Ngetes doang," sahut gue.

Dari tempat gue sekarang, gue bisa melihat Jena menjauhkan HT dan mengernyit, terlihat bingung sekaligus kesal. Cewek itu kembali berjalan, terlihat sibuk sekali seolah-olah waktu tengah mengejarnya di belakang punggung.

Sorak-sorai penonton menggema setelah menyambut beberapa pertunjukkan. Mereka terlihat antusias ketika MC memberi tahu bahwa sebentar lagi penampilan ekskul seni teater akan dimulai. Karena tiba-tiba merasakan kehadiran seseorang, gue menoleh ke samping kiri, terlihat Janari di sana, di posisi yang sama, tapi masih agak jauh dari tempat gue berdiri sekarang. Dia tengah fokus memperhatikan keadaan penonton dari tempatnya sekarang.

Gue mengurut kening sesaat, memejamkan mata yang mulai terasa berat. Di balik acara PENSI yang meriah terdapat panitia yang bekerja keras sampai tidak ada waktu untuk tidur, itu benar adanya. Gue kembali membuka mata ketika mendengar suara tepuk tangan pentonton yang riuh.

Feast akan segera tampil.

Dari backstage, Jena terlihat berjalan mengiringi anggota band itu-menggantikan Kalina. Namun, sesaat sebelum menaiki panggung, salah satu anggota band itu berbalik dan menghampiri Jena. Dia berkata sesuatu yang kemudian diberi anggukan oleh Jena. Sesaat kemudian, salah satu anggota band Feast itu menyerahkan kain batiknya pada Jena dan menunduk, sedangkan Jena dengan cekatan menerimanya dan mengikatkan kain itu di kepala cowok tinggi di depannya.

Seratus persen kantuk gue hilang. Gue meregangkan jemari-jemari tangan kiri dan membentuk kepalan yang kini di simpan di depan bibir. Sementara, tatapan gue masih tertuju pada cowok di depan Jena yang kini tertawa seraya membenarkan ikat kepalanya, dengan bantuan Jena juga.

"Janari di sini, Arjune masuk." Suara itu terdengar dari balik handsfree.

"Arjune masuk. Ade ape? Ganti."

"Ada asap di tribun backstage nih, June. Ganti." Tawa Janari terdengar di ujung kalimatnya.

Namun suara Patra menyambar kencang. "ADA KORSLETING LISTRIK MAKSUDNYA ATAU APAAN, RI? GANTI."

"Nggak. Nggak. Tenang masih bisa dikondisikan. Perlu disiram doang dikit," sahut Janari.

"Siraman rohani ye, Ri. Biar adem. Ganti," balas Arjune.

Gue menoleh ke arah kiri, melihat Janari yang mengangkat tangan, menatap gue sambil terbahak-bahak.

"Ada yang pingsan di tribun tiga, sebelah kiri. Siapa pun tolong turun dan bantu evakuasi." Suara Patra terdengar tergesa-gesa.

Gue yang mendengar itu langsung menyapukan pandangan ke tribun sebelah kiri. Setelah menemukan kerumunan penonton yang terlihat panik, gue segera melirik Janari. Kami mengangguk bersama dan melompat melewati kursi-kursi tribun untuk menuju ke sana. "Nggak bisa masuk tandu, ya?" tanya gue, berbicara pada HT, bertanya padabsiapa pun yang mendengar.

"Anak PMR lagi on the way, tunggu di tangga tribun tiga. Ganti," sahut sebuah suara, yang entah siapa.

Janari memutar bola mata, mau tidak mau kami berdua mesti mengangkat siswi perempuan yang pingsan itu keluar dari deretan kursi tribun menuju ke arah tangga. "Oke, kita keluarkan tenaga terakhir kita, Kae," ujar Janari seraya terkekeh.

Kami berdua berhasil mengangkat tubuh siswi itu sampai ke tangga, sesuai instruksi dari salah satu suara tadi. Dan benar, anak PMR sudah menunggu di sana bersama tandunya, sedangkan Patra siap mengantar ke klinik menuju jalur evakuasi.

"Mugni di sini, Kae masuk." Suara itu terdengar, membuat gue merapatkan handsfree ke telinga karena berjalan di antara padatnya penonton yang berisik.

"Kae di sini. Ganti," sahut gue.

"Alternatif terakhir yang kemarin gue tulis sama Kalina, udah lo ACC kan? Kayaknya kita pakai itu aja, biar lebih efisien waktunya. Ganti."

Mendengar hal itu, gue baru ingat bahwa kertas yang kemarin Mugni dan Kalina kasih ada pada Jena--maksudnya, gue serahkan pada Jena sebelum meninggalkannya begitu saja. "Kaezar di sini, Jena masuk."

"Jena di sini. Kenapa? Ngetes doang?" sahutnya, terdengar tidak santai.

Gue kembali menaiki anak tangga yang berada di belakang panggung. "Ke backstage, Je. Temuin gue. Kertas yang kemarin di lo, kan? Ganti."

"Ngerjain gueee aja lo. Kertasnya di RO. Gue bawa dulu. Ganti," sahut Jena dengan suara nyolot.

"Gue tunggu ya, Kae. Ganti," sela Mugni di antara percakapan gue dan Jena.

"Oke. Oke." Sahut gue seraya terus berjalan.

Gue baru saja sampai di dekat tangga tertinggi tribun, tapi beberapa cowok yang bergerombol di sana membuat gue menghentikan langkah. Ada sekitar lima--oh, ada enam cowok yang menempati tempat gue tadi, duduk di balik kursi tribun yang sengaja dibuat gelap itu seraya membawa botol-botol minuman dalam sebuah kantung plastik.

"Kaezar di sini, perlu bantuan di tribun atas backstage." Gue berusaha bicara sepelan mungkin seraya mendekatkan HT ke bibir. Namun, keenam cowok itu menoleh bersamaan ke arah gue.

"Join, Bro?" ujar salah satunya seraya berdiri. "Gue Arman," ujarnya memperkenalkan diri.

Gue tidak mengenal mereka. Bisa gue pastikan mereka adalah siswa dari sekolah lain. Dan tentu saja, gue tidak terima kalau mereka datang ke sini hanya untuk mengotori Adiwangsa dengan botol-botol minuman yang sangat bisa gue pastikan apa isinya. "Lo semua bisa keluar sekarang?" tanya gue.

Suara gue membuat kelima cowok lainnya berdiri, seolah-olah mereka adalah prajurit dari cowok yang berada di paling depan, yang menyebut dirinya Arman itu.

"Apa hak lo?" tanya Arman.

"Gue ketua OSIS di sini, yang nggak mau sekolahnya kedatangan sampah kayak lo-lo semua--"

Suara gue terhenti karena Arman maju dengan cepat dan menarik kerah kemeja gue sampai satu kancingnya terlepas. "Yang kayak gini udah biasa kali, jangan norak lo jadi tuan rumah," ujarnya penuh amarah.

"Bagi gue ini nggak biasa." Gue menepis kencang tangannya sampai terlepas dari kerah kemeja. "Lo semua bisa pergi setelah gue antar sampai gerbang keluar. Silakan lo lakukan di mana pun, tapi nggak di sini."

"Yah, si Banci. Berisik banget, nih," umpat Arman sebelum melayangkan satu pukulan ke wajah gue.

Gue memang lelah, memang mengantuk, tapi tidak bisa diam saja saat kelima cowok lain datang mengerubungi gue dan hendak mengeroyok. Gue mendorong perut Arman dan membanting tubuhnya, sedangkan gue tahu di belakang masih ada musuh lain. Punggung gue terpukul, dan gue membungkuk kesakitan. Gue tahu gue akan kalah, mustahil gue bisa mengalahkan keenam orang yang sekarang tengah memukuli gue itu, tapi setidaknya gue sempat bangkit dan menendang salah satu di antara mereka dan membuatnya terjatuh. Walaupun setelah itu, gue jatuh lagi.

Sampai akhirnya, sebuah suara terdengar. "KAE!"

***

JENA
Tanpa sadar aku teriak melihat Kaezar dipukuli oleh beberapa siswa yang kini sudah diamankan oleh Pak Jafar dan anggota keamanan lain. Aku masih berdiri di tangga tribun saat Janari menepuk-nepuk pundak Kaezar, mengatakan sesuatu, dan pergi mengikuti langkah Pak Jafar. Sementara Kaezar, kini duduk sendirian di salah satu kursi tribun gelap itu seraya memegang botol air mineral dingin pemberian Janari.

Di bawah sana, suasana masih meriah. Keseruan pengisi acara dan penonton masih terlihat, mereka tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di balik itu. Seluruh pengisi acara yang kami undang dari luar sudah tampil, hanya tersisa pengisi acara dari Adiwangsa selaku tuan rumah, itu yang membuatku tetap bertahan di sini tanpa tergesa-gesa turun. Suasana di backstage sudah tidak se-hectic tadi siang.

"Kae?" gumamku, membuatnya menoleh. Aku menghampirinya dengan langkah pelan, melewati kursi-kursi kosong, lalu duduk di sisinya. Aku menggigit bibir saat melihat luka lebam di tulang pipi kirinya, juga sobekan kecil di pelipisnya.

Kaezar hanya menatapku, lalu tersenyum. Dia masih bisa tersenyum dalam keadaan seperti ini, ya? Aku tahu dari beberapa panitia bahwa dia tidak tidur sampai adzan subuh, istirahat sebentar di masjid sekolah dan pulang ke rumah hanya untuk berganti pakaian, lalu kembali ke sekolah. Pasti melelahkan sekali menjadi seorang Kaezar hari ini.

Setengah dalam diriku jatuh iba, tapi setengahnya lagi masih kesal karena kejadian kemarin. Namun, sejak melihat keadaannya tadi, aku tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirku. "Lukanya harus dibersihin dulu, deh," ujarku seraya meraih selembar tisu dari saku kain yang kukenakan.

Kaezar pasrah saja saat botol air mineral di tangannya kuraih untuk ditumpahkan ke tisu. Dia hanya menatapku.

"Lo selalu bilang, 'Kalau keteteran, bilang, Je. Kalau butuh bantuan, bilang'. Tapi lo sendiri kayak gini, semua lo kerjain sendirian," ujarku. Aku fokus menatap pelipisnya saat mengusapnya dengan tisu yang sudah kubasahi, tapi dari ekor mataku aku bisa tahu Kaezar tengah menatapku. "Lo nggak percaya sama orang lain, maksain diri, ngejar waktu. Lo tuh ...." Aku menghela napas, mendengkus pelan. "Apa sih yang lo kejar? Sesekali nggak tepat waktu nggak apa-apa, sesekali bilang kalau lo nggak sanggup dan keteteran juga nggak apa-apa."

"Jena?"

Tanganku berhenti bergerak, lalu menatapnya.

"Gue minta maaf ya kemarin ninggalin lo gitu aja," ujarnya. Dia menurunkan tanganku dari pelipisnya, masih memegang tanganku saat bicara. "Gue tuh ... kemarin habis dari UKS langsung balik lagi, nyari lo. Tapi lo udah nggak ada."

Kemarin aku memang langsung pulang.

"Gue teleponin, lo nggak angkat. Gue chat juga nggak lo balas, sampai sekarang." Kaezar mengambil jeda, menghela napas. "Padahal gue serius mau nganterin lo pulang."

Awalnya yang kupermasalahkan bukan tentang itu, tapi tentang tinta hitam dan biru yang kutemukan di belakang kertas, lalu termakan provokasi Hakim juga tentang Kaezar yang menjaga Kalina. Walau sebenarnya, aku juga bertanya-tanya, apa hakku untuk kesal?
Aku ingin bicara. Namun, saat dia bicara, aku menemukan gurat lelah yang pekat di sana dalam jarak sedekat ini. “Kae ....”

"Ya?"

"Jangan berantem lagi, ya--atau ... jangan terlibat dalam perkelahian apa pun." Aku khawatir.

Jujur saja, aku belum bisa menghilangkan rasa khawatirku sampai sekarang, bahkan rasa khawatirku ini perlahan menghilangkan kekesalanku pada Kaezar yang kemarin sempat membuat perasaanku begitu buruk. Atau, mungkin saja ... aku juga akan merasakan hal yang sama jika yang terlibat dalam perkelahian tadi adalah Hakim atau Sungkara, atau juga Janari?

"Kenapa?"

Aku menggeleng pelan. "Gue cuma ... takut." Suaraku tiba-tiba bergetar. "Nggak tahu kenapa gue takut aja." Gue takut lo kenapa-kenapa. Mungkin kalimat itu yang sebenarnya ingin aku ucapkan, tapi kutahan.

Kaezar mengangkat tangan, menyimpannya di samping wajahku dan mengusapkan ibu jarinya. "Iya. Nggak akan."

Kaezar sudah menurunkan tangannya, tapi tubuhku masih kaku. Aku merasa ... suasana di antara kami mendadak canggung. Apalagi seisi ruangan kini mendengungkan lagu yang dinyanyikan oleh salah satu band Adiwangsa, lagu yang akhir-akhir ini sering diputar di radio sekolah, yang menjadi lagu wajib saat jam istirahat dan pulang sekolah.

Suara penonton menggema, bernyanyi bersama.

"Miliki aku semampumu. Sebanyak waktu yang kau punya. Aku kan biarkan diri jatuh dipelukmu ...."

"Mau minum nggak, Kae?" tanyaku tiba-tiba. Karena sumpah, aku merasa suasana di antara kami mendadak aneh.

"Hm?"

"Minum," ulangku.

Kaezar meraih botol air mineral dari tanganku. "Ada ini."

"Jangan. Ini kotor." Aku bangkit dari kursi, berjalan menjauh dengan tergesa.

"Je?" Suara Kaezar bisa kudengar, tapi aku terus berjalan. "Jena?" ulang Kaezar dengan suara lebih lantang.

Mau tidak mau, aku berbalik. "Ya?"

"Mau ke mana?" tanyanya dengan wajah malas. Dia bangkit, berjalan mendekat seraya melepaskan handsfree dari telinga dan membuka kancing-kancing kemejanya. "Lo ... bisa nggak, nggak usah ke mana-mana dulu?" tanyanya lagi. "Gue tuh dari tadi bisa lihat lo keliaran di bawah sana. Lo bikin gue tambah capek tahu nggak? Tambah gerah."

"Hah?" Aku masih melongo saat Kaezar sudah berada di hadapanku. "Gue kan--"

Kaezar menarik tanganku, membuatku sedikit terhuyung sampai menabrak tubuhnya. Aku baru saja menarik napas saat wajah Kaezar tiba-tiba mendekat, semakin dekat, melewati samping wajahku begitu saja. "Gue beneran capek." Dia terdengar mengeluh. "Sebentar ... aja, Je. Jangan ke mana-mana," gumamnya sebelum menunduk lebih dalam dan menyimpan keningnya di pundakku.

***
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Ketos Galak
Selanjutnya Ketos Galak | [22, 23, 24]
108
2
Part ini bisa dibaca secara gratis. Dukung dengan vote dan komen ya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan