
Ini hanya tentang daftar keuntungan di atas selembar kertas bertandatangan. Akan ada akhir. Tidak akan menjadi apa-apa. Semua selesai setelahnya.
Yakin sekali.
Mereka pikir, takdir tidak akan ikut campur pada sebuah kesepakatan.
How to get a divorce? | [17]
***
Ini Grup Ya
Janitra Sungkara
Tes.
Janari Bimantara
Dih, jam dua pagi banget?
Favian Keano
Lah, lo juga nyahut-nyahut aja?
Janari Bimantara
Sedang dinodai Chiasa. :(
Favian Keano
Wkwkwkwk.
Lo bilang nggak besok pagi-pagi banget ada meeting?
Janari Bimantara
Dia bilang subuh-subuh bakal diapus.
Tapi bulu mata gue malah dijepit terus alis gue malah disisirin.
Favian Keano
Mengingatkan pada seseorang.
Hakim Hamami
Tuhan menciptakan kebahagiaan tapi kenapa aku ada di dalam grup ini.
Favita Mahira
Kok, pada nurut-nurut aja sih? Lucu banget. 😂
Hakim Hamami
Aku penurut nih. Senggol dong.
Arjune Advaya
Kalau ditabrak boleh gasi? Tanggung disenggol doang.
Favita Mahira
Hahaha.
Kalil Sankara
Mengaburkan penolakan dengan ‘Hahaha’.
Alkaezar Pilar
Perasaan yang chat ke grup duluan Sungkara. Orangnya ke mana?
Hakin Hamami
Emang nih suka nggak pada fokus.
Siapa tau dia lagi butuh bantuan.
Janari Bimantara
Anak Bunda .... Aman?
Arjune Advaya deleted Favita Mahira.
Arjune Advaya
Kalau hasil sunatnya presisi mestinya aman-aman aja.
Arjune Advaya added Favita Mahira.
Janari Bimantara
Gue ketawa geter-geter. Dimarahin Chia soalnya lagi dipakein eyeliner.
Favian Keano
Chiasa ngidam, kah?
Inget dulu, Alura dandanin gue pakai eyeliner waktu hamil Gege.
Janari Bimantara
Doain. 🙏
Hakim Hamami
Gebetan aja gue belum ada lo udah mau nambah anak lagi? Dikata gue kerja cuma buat ngasih hadiah-hadiah buat anak lo doang kah?
Alkaezar Pilar
Tapi ini serius, Ri? Nambah?
Janari Bimantara
😀👍
Kalil Sankara
Wkwkwk. Selamat, Ri.
Arjune Advaya
Wei! Selamat nih.
Favian Keano
Selamat, selamat.
Alkaezar Pilar
Waduh. Selamat.
Favita Mahira
Selamat, Pak. Ikut seneng. 🙏
Janitra Sungkara
Selamat atas kehamilan anak ketiganya Chiasa.
Favian Keano
WKWKWK, SUNG? TADI ADA APAAN?
Janitra Sungkara
Nggak jadi.
Hasil sunat gue presisi. 🙏
***
Sungkara terbangun di antara selimut yang menggulung tubuhnya dan sebagian terjulur ke lantai. Hal pertama yang dia lakukan adalah berbalik ke sisi di mana seorang wanita yang dia ingat menemaninya tidur semalaman—dia peluk dalam lelap. Dia mengerjap, memastikan, sosok wanita itu, pagi ini telah hilang. Tidak ada lagi di sisinya.
Sungkara mencoba kembali mengingat apa yang terakhir kali dia lakukan. Beberapa detik, dia berpikir di antara isi kepalanya yang penuh dan terasa berat, dia ingat; dia sempat menurunkan suhu ruangan sebelum benar-benar tertidur di samping wanita itu. Lalu, tenggelam dalam lelap.
Hanya ada desing suara air conditioner yang terdengar sebelum dia mendorong tubuhnya untuk terbangun, dia tatap seisi ruangan. Sisa-sisa kekacauan semalam masih ada. Dia melihat bagaimana kacamatanya tergeletak di lantai begitu saja, kemejanya yang tertumpuk jauh di sudut ruangan. Dia tatap tubuhnya di cermin, lalu mengernyit dan meraba pundaknya yang terasa perih. Ada beberapa luka yang bisa dia raba. Rui mencakarnya? Atau menggigitnya?
Sungkara bergerak berjalan di ruangan itu, mencoba mencari-cari petunjuk seperti ... mungkin Rui meninggalkan sebuah pesan untuknya sebelum pergi atau apa pun? Namun, tidak ada, dia tidak menemukannya. Wanita itu meninggalkannya begitu saja, tanpa meninggallan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan setelah ini.
Mereka harus membicarakan perihal yang terjadi semalam atau ... melupakannya saja—seperti yang sering Sungkara lakukan pada wanita-wanita lain yang dia tiduri?
Namun, Rui bukan bagian dari mereka. Rui adalah istrinya.
Sungkara mendesah berat. Mengingat kembali. Dia menggeram penuh sesal. Tubuhnya berbalik, merangkak di atas tempat tidur untuk meraih ponselnya cepat-cepat. Dia pilih satu kontak, nama wanita itu. Jemarinya menggantung di udara, mungkin sekitar tujuh detik akhirnya dia putuskan untuk mengurungkan niat semula dan cepat-cepat menggulirkan jemari ke kontak lain.
Ada banyak pilihan untuk mengeluarkan keluh kesah yang tertahan di dalam isi kepalanya. Ada Hakim, Favian, Arjune, Kaezar, Janari, hingga Kalil. Namun, dia mengakhiri kegelisahannya dan memilih kembali melempar ponselnya. Dia peluk tubuhnya setelah kembali menggeram frustrasi, kembali tertidur dengan posisi tubuh meringkuk.
Berpikir. Apa yang akan dia lakukan ketika pertama kali bertemu Rui nanti? Apa yang akan dia katakan atau jelaskan tentang malam yang mereka lalui berdua sebelumnya? Kalimat seperti, “Rui, you lost your virginity.” Lalu, meminta maaf? Atau ... bagaimana?
Demi Tuhan. Kenapa Sungkara harus melalui fase seperti ini?
Bergulir ke sisi lain. Dia lihat lagi sisi kosong yang semalam diisi oleh wanita ... yang dia rengkuh tubuhnya dalam dekap. Sungkara ingat bagaimana tubuh itu begitu pas saat dia raih, masuk dalam peluknya dan ... keduanya sama-sama tertidur.
Bukankah ini tidak adil? Bagaimana bisa seseorang yang jelas-jelas tidak akan menjadi miliknya, memiliki tubuh yang begitu pas dipeluk saat tertidur?
Sungkara melengkungkan tubuhnya, posisi tubuhnya semakin meringkuk seperti trenggiling. Lama dia berpikir sebelum akhirnya memutuskan untuk membersihkan diri dan beranjak dari tempat itu, keluar ... tanpa arah yang jelas. Namun, dia tahu bahwa hari ini dia harus memberi waktu pada dirinya sendiri untuk tidak bertemu dengan Rui. Dia beri waktu pada dirinya untuk berpikir.
Dia putari Jakarta. Beranjak dari satu pub ke pub lain. Menemukan banyak kebisingan, tapi tidak lagi menemukan kelegaan seperti yang pernah dia rasakan sebelumnya. Beberapa wanita sempat duduk bersamanya di meja yang sama, bertanya, mengajaknya bicara, lalu ... dia tinggalkan tanpa merespons apa-apa.
Dia lanjutkan lagi perjalanannya. Dua kali mengisi bahan bakar mobil sebelum akhirnya melaju lagi dan melihat langit berubah menjadi gelap. Mobilnya menepi. Dia lihat kembali layar ponselnya yang masih menyisakan notifikasi tentang ucapan selamat dan semacamnya atas pernikahannya, tapi tentu saja masih dia abaikan.
Dia hubungi salah seorang paling waras yang dia kenali, Kaezar. Salah seorang yang menikah dengan cara paling normal di antara manusia-manusia lain. Sungkara mengajaknya bertemu di satu titik yang tidak terlalu jauh dari kantornya. Awalnya, Kaezar memilih Blackbeans menjadi titik temu, tapi Sungkara menolak karena dia merasa, dia harus memilih satu tempat yang bersih dari intervensi Jena.
Jadi, sebuah coffee shop yang terlihat tidak begitu ramai akhirnya dia pilih. Menjadi orang pertama yang tiba dan menunggu Kaezar datang sepulang kerja. Dia lihat pria itu berjalan dari kejauhan, mencari-cari, lalu berjalan ke arahnya.
“Weh .... Pengantin baru. Masih cuti?” Kaezar duduk di hadapannya setelah mendapatkan menu pesanannya. “Nggak liburan?” tanya Kaezar. “Rui sibuk banget kayaknya sampai belum ngerencanain liburan berdua?”
Kaezar mulai menyesap kopinya, dia terus bicara, bertanya ini dan itu. Namun saat sadar Sungkara hanya menyambut pertanyaan itu dengan jawaban-jawaban singkat atau bahkan sekadar gumaman, dia akhirnya tertegun, ada yang tidak beres. “Kenapa ..., nih?”
Sungkara mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas kasar. “Kae .... Sumpah gua ....” Sungkara urung bicara. Dia kembali melepaskan napas yang berat.
Sementara Kaezar kini sudah bersidekap dengan kening yang mengernyit. “Gue pikir, penampilan kusut lo ini karena ... selama dua malam ini lo kecapean.” Kaezar tertawa, menertawakan dugaannya sendiri. “Soalnya, gue juga dulu gitu sih .... Atau ya lebih tepatnya, semua cowok yang baru nikah kayaknya begitu? Pasangan baru emang biasanya kurang tidur nggak, sih?” Dia tertawa lagi, tapi Sungkara diam saja. “Oke .... Jadi gimana? Ada masalah apa?”
Sungkara tidak tahu bagaimana penampilannya saat ini. Mungkin dia terlihat lelah, mengantuk, dan berwajah pucat dalam satu waktu karena seharian ini dia tidak makan, tidak juga istirahat dan memutuskan untuk mengendara ke sana-kemari. “She lost her virginity ....” Sungkara bahkan menahan napas setelah mengatakannya.
Kaezar terlihat bingung.
“I did it.” Sungkara meluruskan kebingungan atau dugaan buruk Kaezar. “Gue pelakunya.”
“Oke ....” Kaezar masih tampak clueless. “Jangan-jangan ini yang mau lo ceritain pagi-pagi buta tadi di grup?”
Sungkara mengangguk. “Gue lupa kalau di sana ada Arjune.” Lalu berdecak. “Lagian kebiasaan banget kalau ada apa-apa gue refleks nge-notice itu grup. Heran.”
Kaezar terkekeh. “Padahal lo tahu lo nggak akan pernah nemu solusi di sana.”
Sungkara sesaat menengadahkan wajahnya, dia frustasi dengan pertanyaannya sendiri. Namun, dia benar-benar butuh jawaban. “Apa yang akan lo katakan—lakukan—setelah melakukan hal itu?” Akhirnya dia mengungkapkannya. “Kayak .... Oke, lo ambil sesuatu yang selama ini dia jaga. Dan—“
“Tunggu.” Kaezar mencondongkan tubuhnya. “Lo tahu nggak apa yang pernah gue dan yang lain bahas di belakang lo?” tanyanya. “Tentang pernikahan lo dan Rui?”
Sungkara menggeleng.
“Arjune bahkan sampai nyangka kalau Rui hamil duluan. Karena Sung, dia pikir nggak akan ada alasan lain untuk lo menikahi wanita, selain ‘kecelakaan’ yang mengharuskan lo tanggung jawab.”
Sungkara bersandar ke kursi.
Kaezar tertawa. “Arjune bilang, dia tahu banget tipe cewek yang lo suka. Secara fisik, Rui bukan tipe lo.”
Siapa bilang? Tidak ada yang tahu bahwa ... Rui ‘menakjubkan’ di balik semua pakaian serba hitamnya.
“Dan alasan lo nikahin Rui karena dia udah hamil duluan, itu masuk akal banget,” lanjut Kaezar. “Terus sekarang gue nemuin fakta bahwa .... Lo serius sebelumnya belum pernah ...?”
Sungkara menggeleng.
“And it was her first time?” tanya Kaezar. Setelah mendapatkan anggukan, Kaezar menggumam takjub. “Waw ....”
Dan itu membuat Sungkara mengernyit. “Kenapa kesannya pengakuan ini janggal banget buat lo semua?” Dia menatap Kaezar curiga. Selama ini, apakah dia salah bahwa mengira Kaezar lurus-lurus saja dan ‘mendapatkan’ Jena setelah menikah? Dia menatap Kaezar penuh selidik.
Dan Kaezar mengibaskan tangan, sesaat dia gelagapan. “Nggak maksudnya .... Kok, bisa lo mendapatkan hal kayak setelah kebrengsekan lo selama ini?”
“Gue yakin ini karma sih. Dari kelakuan gue dulu,” ujar Sungkara. “Gue rasa begitu ....”
“Karma?”
“Kae, gue udah ngambil apa yang selama ini dia jaga banget. Dan ... kata brengsek itu terlalu halus buat gue kayaknya. Bajingan? Jahanam? Atau ....” Sungkara menggeram frustrasi. “Kae, demi Tuhan gue nggak bisa mikir apa-apa seharian ini selain ... ngerasa bersalah?”
Kaezar mengernyit. “Wait?”
“Apa yang harus gue lakuin setelah ketemu dia nanti? Gue nggak ngerti. Gue harus minta maaf atau ... gimana?” tanyanya, dia pasti sudah sangat terlihat putus asa. Sungkara menenggak air mineral yang sengaja dia beli sebelum duduk di meja itu.
“Itu bukan sebuah kesalahan,” ujar Kaezar. “Lo nggak mencuri, lo suaminya, lo hanya ngambil ... apa yang udah menjadi hak lo, kan?”
“Tapi, Kae. Gue rasa—“
“Bilang terima kasih kayaknya lebih masuk akal,” ujar Kaezar lagi. “Karena seperti yang lo bilang tadi, dia udah menyerahkan apa yang selama ini dia jaga ... buat lo?”
***
Rui masih duduk di balik meja kerjanya. Monitor di depannya baru saja meredup karena terlalu lama dia abaikan. Hari ini dia sudah menolak beberapa ajakan makan siang dan sebuah janji makan malam.
Dia sedang menghargai apa yang baru saja terjadi—pada tubuhnya, dia merasa harus membatasi gerak hari ini.
Dia rasa, dia masih bisa berjalan dengan benar walau merasakan sesuatu yang ngilu dan tidak nyaman di antara kedua pahanya. Dia juga masih bisa bergerak seperti biasa walau terkadang langkahnya membuatnya agak nyeri. Namun, kendalanya hari ini, dia hanya harus mengenakan scarf yang dililitkan di lehernya. Dia harus merelakan ada warna lain yang tersemat di antara outfit-nya yang serba hitam.
Dia harus menutupi jejak-jejak pria itu di bagian tubuhnya yang terbuka.
Rui kembali termenung. Lama. Dia lakukan kegiatan itu berkali-kali hari ini. Bertanya lagi, kenapa patah dan sakit hati bisa membuatnya seceroboh itu? Dia menyerahkan diri pada Sungkara tadi malam, tanpa berpikir apa yang akan dia dapatkan selanjutnya. Dia baru saja menyerahkan diri pada seseorang yang jelas-jelas tidak ingin memilikinya.
Dia mendesah berat. Lalu terperanjat karena suara dering telepon di meja. Dia angkat gagang telepon itu, mendengar suara Melda dari seberang sana. “Selamat sore Bu, Pak Gandhi ingin bertemu Ibu. Sekarang beliau sudah berada di luar ruangan.”
“Persilakan dia masuk.”
“Baik, Bu.”
Rui menyimpan kembali gagang telepon pada posisi semula. Dan setelahnya, dia dengar suara derit pintu yang terbuka. Dia melihat Gandhi bergerak masuk dengan raut wajah seriusnya seperti biasa. Saat Rui baru saja beranjak dari kursi, pria itu langsung bertanya. “How was your day?”
Entah bagaimana penampilan Rui terlihat saat ini.
Karena saat pertama kali masuk ke kantor tadi pagi, Melda juga sempat bertanya tentang apakah Rui baik-baik saja. Dan kali ini, Gandhi menatapnya dengan wajah sedikit khawatir. Apakah hari ini penampilan Rui seburuk itu?
Setelah dia mencakari punggung seorang pria dengan kuku-kukunya yang panjang dan menggigit pundaknya kuat-kuat, apakah seseorang tidak bisa tampak baik-baik saja?
Oh, memang. Kejadian semalam membuatnya tidak baik-baik saja. Semalam kakinya gemetar pasca pria itu melepaskan diri. Dan okay, Rui .... Berhenti mengingatnya lagi.
“Nothing much,” jawab Rui. Dia duduk di sofa, berhadapan dengan pria itu.
“Aku membawa berkas yang kamu butuhkan, untuk jaga-jaga kalau kamu tetap pada pendirian kamu tentang pilihan kamu kemarin. Tapi, oke aku berharap kamu sedikit berpikir lebih jauh tentang hidup kamu sendiri.” Gandi kembali menatap Rui. “Sudah membuat keputusan?”
Tujuan Rui menikah dengan Sungkara saat ini sudah menjadi sangat samar. Jika dia melanjutkan pernikahannya dengan pria itu, dia tidak tahu lagi motif dan tujuannya apa. Namun, jika memutuskan untuk bercerai .... Bukankah dia setidaknya harus menghargai apa yang sudah dia relakan semalam?
“Aku akan tunda keputusan ini sampai ... aku benar-benar yakin,” putus Rui. Tentu, dia harus berpikir. Tidak akan ceroboh lagi.
Gandhi tertegun selama beberapa saat. Lalu dia tersenyum setelahnya, tampak lega dengan keputusan itu. “Oke ....”
“Jujur, sampai saat ini aku belum berpikir tentang apa pun ....” Rui mengalihkan tatap pada dinding kaca yang kini menampakkan pucuk-pucuk gedung dan langit yang berubah agak redup. “Aku nggak punya rencana apa-apa.”
Gandhi mengangguk-angguk. “Take your time. Kamu punya banyak waktu untuk berpikir,” ujar pria itu. Dia kini bergegas meraih ponsel dan kunci mobil yang tadi ditaruhnya di meja. “Tapi ....” Dia menatap Rui, agak ragu, tapi akhirnya dia bertanya. “How about Sungkara?”
Rui mengernyit. “Maksudnya?”
“Dia nggak membuat kamu tertarik untuk diajak bersenang-senang?” tanya Gandhi. “Aku lihat foto-foto unggahan fotografer pernikahan kamu kemarin, kalian tampak cocok kok. Mama juga bilang begitu.” Gandhi adalah salah satu sepupu Rui, jadi dia bebas mengutarakan pendapatnya walau Rui ingin sekali menyuruhnya berhenti bicara sekarang. “He’s nice, Rui. Dan kayaknya, dia juga nggak keberatan kalau kamu ajak untuk bersenang-senang.”
Gandhi meninggalkan ruangan itu saat Rui masih termenung. Untuk saat ini, pria itu sama sekali tidak membantu. Dia tidak tahu apa yang sudah Rui lakukan. Jauh dari kata ‘bersenang-senang’ tentu saja. Langkah Rui terayun ketika dia kembali mendengar getar ponselnya di meja kerja.
Dia hampiri benda itu. Layarnya menyala, ada caller-id ‘Bunda’ di sana. Nama itu berganti setelah dia menyandang status sebagai istri dari Sungkara. Wanita paruh baya dengan raut wajah lembut dan senyum hangat itu sulit Rui tolak apa pun keinginannya.
Jadi, segera Rui angkat teleponnya.
Dan, dia dengar suara Bunda dari seberang sana. “Rui hari ini masih banyak kerjaan?” tanyanya setelah menyapa dengan suaranya yang selalu terdengar bersemangat.
“Ng .... Nggak, Bun. Kenapa?”
“Bisa ke rumah Bunda malam ini?” tanyanya. “Ada tante-tantenya Abang yang kemarin nggak sempat datang ke acara pernikahan kalian. Mereka datang ke sini ingin ketemu Rui.”
Seperti yang Rui katakan tadi, bahwa—entah kenapa—Rui selalu sulit menolak permintaan wanita itu. Jadi, dia sanggupi undangannya. Dan dia hanya harus membereskan segala sisa pekerjaannya cepat-cepat sebelum pergi ke rumah mertuanya itu.
Rui tiba pada pukul delapan malam. Menatap bingung beberapa mobil yang terparkir memenuhi halaman rumah. Saat mendengar Bunda mengatakan ‘Tante-tantenya Abang yang ingin bertemu dengannya’, dia pikir ... hanya beberapa orang. Bukan rombongan semacam ini.
Langkahnya malah terayun semakin pelan di ambang pintu yang setengah terbuka. Ragu. Nyaris berbalik saat mendengar suara bising obrolan-obrolan orang di dalam rumah. Namun, seseorang menyadari kehadirannya. Nafa, bocah kecil itu berteriak. “Neneee! Ada Tante Yui!”
Dan suara riuh dari arah dalam rumah terdengar semakin hebat. Beberapa orang melongokkan wajah ketika Bunda keluar dan menghampiri Rui. Beberapa lagi mengikuti gerak Bunda dan menyambut kedatangan Rui. “Hai, Sayang!” Bunda meraih tangannya, memeluknya. “Sini, sini.” Rui diseret masuk saat langkahnya masih bergerak ragu.
“Wah, ini Rui?” Beberapa wanita menyambutnya. “Cantik sekali.” Entah, mungkin ada enam atau tujuh wanita di sana, Rui tidak sempat menghitung. Wanita-wanita itu baru saja bergerak memeluknya.
“Abang ke mana?” tanya salah satu di antaranya.
Rui membeku. Bingung. Dia menyesal mengambil keputusan cepat tanpa menghubungi Sungkara lebih dulu.
“Nggak bareng Abang?” tanya yang lain.
“Ih, gimana sih Abang, istrinya dibiarin sendirian.”
“Abang masih di kantor ya, Rui?”
Rui masih belum menjawab.
“Lho, memangnya kalian nggak cuti?”
“Kalian nggak liburan pasca menikah?”
Rui mulai gugup.
“Rui sibuk. Abang juga pasti masih sibuk.”
“Tapi pasangan baru tuh harusnya punya waktu berdua.”
“Atau kalian punya rencana liburan setelah ini?”
“Liburan ke mana?”
Rui semakin panik. Dia ingin sekali melangkah mundur dan kembali ke pintu keluar.
Atau dia pura-pura pingsan saja sekarang?
“Abang masih—“
“Wah, udah pada ngumpul aja?” Suara berat itu membuat Rui menoleh. Dia lihat pria dengan polo shirt hitam itu melangkah mendekat. Kehadirannya tidak membantu, justru malah membuat gugupnya memburuk dan—Pria itu kini merangkul pinggangnya, mengusapkan tangannya di sana. Wajahnya bergerak mendekat, mencium singkat pelipisnya sebelum membisikkan sesuatu di samping telinganya. “Lain kali kalau mau ngapa-ngapain tuh, kompromi dulu bisa, ya?”
***
How to get a divorce? | [18]
***
Kehebohan di dalam rumah itu belum surut. Apalagi saat ketujuh wanita—alias tante-tantenya—itu sadar ketika Sungkara lupa mengenakan cincin pernikahannya yang seharusnya tersemat di jari manis. Dia lupa meletakkannya di mana. Dia mendengar serangan membabi buta seperti, “Kok, bisa lupa naruh?”
“Pamali lho. Apa nggak sayang sama Rui?”
“Jangan-jangan sengaja, ya?”
Lalu dia juga mendengar pertanyaan-pertanyaan repetitif seperti.
“Habis ini rencananya mau liburan ke mana?”
“Kapan mau main ke rumah Eyang Uti?”
“Rencananya mau punya anak berapa?”
“Udah program belum?”
“Nggak nunda-nunda, kan? Udah pas lho usianya.”
Dan masih banyak lagi. Yang akan Sungkara dan Rui sahuti dengan jawaban samar seperti senyum, sebuah anggukan, atau kalimat seperti “Doain aja.” Agar mereka tidak bisa mendeteksi tentang ketidakkompakkan Sungkara dan Rui malam ini dari serangan dadakan itu. Dan saat ini, sesi interogasi itu sudah selesai. Rui sudah diculik oleh segerombolan wanita itu untuk bergerak menjauh.
Sungkara menatap dari kejauhan, dari stool yang berada di antara halaman belakang yang menyatu dengan dapur. Dia melihat Rui bergerak tidak nyaman di sofa, menatap orang-orang dengan canggung. Wanita itu duduk, dikelilingi oleh delapan wanita paruh baya yang salah satu di antaranya adalah Bunda. Bunda memiliki sepupu yang jarak usia-usianya hampir sebaya, ya ketujuh tante-tantenya itu, yang kini tengah mengelilingi Rui. Karena momen pernikahan kemarin cenderung mendadak, sebagian dari wanita itu tidak bisa hadir dan baru bisa memberikan hadiah pernikahan hari ini. Langsung kepada Rui.
Sungkara meminum air putih di gelasnya, masih menatap ke arah sofa itu. Memperhatikan bagaimana Rui menerima beberapa paper bag yang diberikan oleh tante-tantenya. Lalu, “Buka dong, Rui!” ujar Tante Ara.
Ini kali pertama Sungkara mengenalkan seorang wanita pada wanita-wanita berisik itu, pasti sulit sekali mengenal nama-namanya. Wanita yang paling berisik di sana adalah Tante Ara, duduk melingkar disusul oleh Tante Risa, Tante Deca, Tante Tanti, Tante Pipi, Tante Fira, dan Tante Galuh. Menyedihkan sekali, pasti Rui kebingungan mengingat nama-nama itu.
Ada hadiah-hadiah semacam voucher hotel, voucher makan malam romantis dan lain sebagainya yang terlihat normal dan biasa saja. Namun, selanjutnya saat tangan Rui mengeluarkan sebuah kotak dari dalam paper bag, lalu membuka isinya dan menarik simpul merah yang mengikat kotak, wajahnya berubah merah di antara seruan gemas yang menyerbunya.
“Rui pasti cantik pakai ini!” Tante Risa meraih benda di dalam kotak, lalu menjembrengnya agar semua melihat. “Ini pilihan Tante Risa. Rui harus pakai, ya?”
Sungkara pernah beberapa kali melihat pakaian semacam itu dikenakan oleh seorang wanita, tapi dia tidak pernah membayangkan bagaimana jika Rui mengenakannya. Katakan saja itu gaun tidur—walaupun tidak layak disebut gaun karena kain licin berwarna hitam itu transparan sekalu dan hanya disangga oleh dua tali kecil di bagian pundak.
Sungkara menoleh, melihat Dimas yang duduk di sisinya tengah sibuk mengotak-atik ponsel sambil sesekali memakan camilan dari dalam stoples. “Mas—“
“Udah jadi tradisi, Muti juga dulu digituin,” sahut Dimas santai. Kakak laki-lakinya itu kelelahan setelah meladeni Nafa bermain tadi, sekarang anak kecil itu sedang ditidurkan oleh Muti di kamar yang dulu dipakai oleh Dimas saat belum menikah. “Santai aja.”
Tatap Sungkara kembali teralih ke arah sofa saat mendengar suasana di sana kembali riuh.
“Tante nggak tahu ukuran yang dipakai Rui, hanya mengira-ngira, tapi kayaknya ini pas.” Lalu Tante Risa meraih celana dalam warna senada dan bra dengan bentuk setengah cup yang kini dipaskan di depan dada Rui.
Sungkara mengernyit, dia rasa itu akan kekecilan untuk ukuran Rui.
Rui tersenyum, tapi wajahnya berubah jauh lebih merah dari sebelumnya. Dia masih mencoba terlihat tenang di antara tawa-tawa bahagia di sekelilingnya.
“Hadiah dari Tante Pipi buka dong.” Tante Pipi menyerahkan paper bag dengan ukuran paling kecil di antara yang lainnya. “Tante Pipi juga kasih ini ke Muti waktu nikah sama Dimas dulu.”
Lalu, Sungkara merasa dia tidak bisa untuk diam saja saat melihat Rui mengeluarkan sebuah benda berwarna pink yang bentuknya menyerupai microphone, ujungnya yang terbuat dari gel lembut tengah Rui raba. Benda itu tersambung pada kabel yang kini membuat wanita itu kebingungan. Benda itu terlihat tabu baginya.
“Tante Pipi dapetin ini waktu kemarin liburan ke luar negeri. Bingung banget mau cari hadiah apa, ya udah pilih ini aja,” ujar wanita yang kini terlihat paling bersemangat itu. “Rui tahu kan cara pakai vibrator kayak gini?”
Bunda tertawa, mencoba menyelamatkan suasana yang membuat wajah merah Rui kini berubah menjadi pucat pasi. “Ya ampun, Pi. Rui pasti tahu. Udah simpen ya.”
Sungkara bangkit dari sisi Dimas, membuat kakak laki-lakinya itu mendongak dan melihat Sungkara kini melangkah menjauh. “Permisi-permisi.” Sungkara menginterupsi kehebohan di ruang tengah saat Rui masih memegang vibrator di tangannya dengan bingung. “Nggak keberatan kan kalau aku culik istriku sebentar?”
Tawa wanita-wanita di sana terdengar lagi, lalu menyerahkan Rui begitu saja dan mempersilakan. Jadi, setelah mendapatkan kesempatan itu, Sungkara segera menarik lengan Rui dan memintanya bangkit, mereka melangkah menjauh untuk keluar dari ruang tengah, melewati ruang tamu, tiba di teras. Dan Sungkara merasa tidak menemukan tempat yang nyaman untuk bicara sehingga dia membawa wanita itu masuk ke mobilnya.
Ada desah berat yang Sungkara dengar ketika wanita itu duduk di sisinya. Kedua tangan Rui menaruh benda pink berbentuk microphone itu di atas dashboard. “Kamu punya air minum?” tanyanya. Rui masih tampak syok setelah melewati momen tadi.
Dan Sungkara tertawa, tangannya terulur untuk meraih botol air mineral, membuka tutupnya yang masih tersegel dan menyerahkannya pada Rui. Wanita itu merebutnya cepat, meminum isi botol hampir setengahnya. Kembali dia mengembuskan napas berat.
Tangan Sungkara bergerak, hendak menyingkirkan rambut Rui dari wajahnya karena wanita itu baru saja menjedukkan bagian belakang kepalanya ke jok, membuat sebagian helai rambut berantakan. Namun, urung. Sungkara menarik gerak tangannya dan ikut melepaskan napas kasar.
Hening. Tidak ada suara selain air conditioner yang menyala. Sungkara hanya bermaksud menyelamatkan Rui di tengah penderitaannya di ruang tengah tadi, tapi dia tidak punya rencana tentang apa yang akan dia bicarakan setelah keduanya sudah duduk berdua seperti sekarang ini. Ini adalah kali pertama mereka bertemu lagi setelah semalam melewati waktu berdua, bertingkah seolah-olah keduanya adalah pasangan.
Dan sekarang Sungkara agak gugup. Jujur saja. Sebelumnya, dia hanya akan melupakan malam-malam yang dia lewati bersama beberapa wanita. Namun kali ini .... Bagaimana, ya? Saat pertama kali melihat wanita itu lagi setelah apa yang terjadi, dia tidak bisa memandang sama. Dia ingat bagaimana semalam membuat wanita itu berantakan, kesakitan, sampai akhirnya ....
Sungkara berdeham pelan, dia lirik wanita di sampingnya. “Kamu tahu kan sekarang risikonya ketika kamu memutuskan untuk pergi ke rumah Bunda atau ... yah ada acada mendadak kayak gini tanpa konfirmasi ke aku dulu?”
Rui menoleh sekilas, hanya menggumam.
Hening. Lama. Mereka diam lagi. Sungkara kembali meliriknya. “Scarf kamu bagus ....”
Rui memegang kain itu. “Mm.”
Sungkara menoleh ke luar jendela. Mencari inspirasi sebuah topik pembicaraan. Lalu, “Kamu ... ke mana seharian ini?”
“Di kantor.”
“Ngapain?”
“Kerja.”
“Mm ....” Iya juga. Ngapain di kantor kalau bukan kerja? Diam lagi. “Udah makan?”
“Belum.”
“Kita nggak harus ikut makan malam di sini seandainya kamu nggak nyaman,” ujar Sungkara. “Mau cari makan di luar? Ada yang ... lagi kamu pengenin gitu?”
“Nggak.”
Diam lagi. Lama. Sungkara mencoba mencari pertanyaan atau topik pembicaraan lain untuk mengisi keheningan serupa. “Ke rumah Eyang, kita nggak harus ke sana kalau kamu nggak mau.”
“Mm.”
Lalu, “Kamu ada pertanyaan nggak? Kalau nggak ada kita lempar ke hadirin yang ada di sini.” Dia sudah kehabisan ide.
Dan setelahnya, Rui mendorong lengan Sungkara dengan kepalan tangan sembari berdecak. Lalu, wanita itu menunduk mengeluarkan sebuah cincin dari dalam dompetnya. “Kamu jatuhin ini di lantai semalam.” Dia menyerahkannya pada Sungkara. “Aku nemuin itu saat kamu belum bangun, dan aku yakin kamu nggak bakal sadar kalau cincin ini jatuh dan hilang. Jadi aku bawa.”
Sungkara menggumam. “Makasih.” Dia mengenakan kembali cincin itu di jarinya.
“Walaupun pernikahan kita sekadar pernikahan di atas perjanjian, kamu nggak harus melupakan cincin itu,” lanjut Rui. “Lain kali jangan ceroboh.”
Gerak tangan Sungkara terhenti, dia menoleh. Ingin tahu bagaimana ekspresi wajah wanita itu saat mengatakannya. Karena dia dengar, wanita itu baru saja mengingatkan batas di antara keduanya. Hanya ada sekadar kesepakatan, perjanjian di atas pernikahan, tidak lebih.
“Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan setelah ... apa yang terjadi semalam,” ujar Sungkara. “Agar aku bisa menentukan sikap sesuai dengan apa yang kamu inginkan.”
Rui menoleh. Menatapnya sesaat sebelum dia mengalihkan tatap ke arah luar. “Lupain apa yang terjadi semalam. Anggap nggak pernah terjadi apa-apa.”
Sungkara menelan ludah. Lalu mengakui. “Tapi—“
“Aku mabuk.”
“Tapi bukan berarti—“
“Aku bahkan nggak ingat apa-apa.”
“Nggak ingat? Termasuk kehilangan ....” Sungkara menghela napas. Dia tidak percaya harus menjelaskannya. “You lost your virginity.” Dia berbisik. “Kamu nggak mungkin lupa, dan kamu nggak mungkin nggak tahu.”
“Kalau aku ingat, kalau aku tahu, lalu kenapa?” tanya Rui. Suaranya berubah tegas. “Lalu apa yang kamu harapkan setelahnya?”
Sungkara baru saja ditikam.
“Kamu berharap aku akan ... mencoba jatuh cinta sama kamu? Lalu kita hidup sebagai pasangan sungguhan? Gitu ...?” tanya Rui. “Sungkara ..., kamu tahu, tujuan aku bukan kamu.”
Sungkara masih menatap wanita itu. Setelah beberapa saat tertegun karena tidak pernah menduga akan mendengar kalimat semacam itu, dia mencoba kembali bicara, “Aku minta maaf kalau begitu .... Aku mengambil sesuatu yang jelas-jelas bukan kamu peruntukkan untuk aku. Aku benar-benar minta maaf. Aku menyesal.”
“Nggak ada yang perlu disesalkan,” ujar Rui. Kali ini tidak ada tekanan dalam suaranya. “Semalam seharusnya kamu menghabiskan waktu bersama seorang wanita, kan? Tapi aku malah mengacaukan semuanya. Jadi anggap aja ... Semalam aku hanya membayar kekacauan yang aku lakukan.”
Sungkara terkekeh, seiring itu dia lepaskan sesuatu yang sesak yang membuatnya tidak nyaman bernapas. Kali ini dia alihkan tatapnya ke arah luar. Dia melemparkan sebuah kalimat agar semuanya menjadi lebih jelas. “Lalu gimana dengan perjanjian kita di pasal dan ayat berapa itu, yang menyatakan kalau kamu nggak menerima adanya kontak fisik yang artinya—“
“Kita berdua sama-sama melanggar itu. Jadi anggap impas, nggak ada hukuman atau denda apa pun.”
Keduanya kembali bertatapan. Dan Sungkara yakin sekarang bahwa ... Rui hanya memandang hubungan di antara keduanya sekadar kesepakatan. Semalam adalah sebuah kesalahan. Bahkan Sungkara bisa merasakan penyesalan dari sorot mata itu.
Entah kenapa, Sungkara sedikit kecewa. Padahal tidak seharusnya. Atau ... bagaimana ya dia harus menjelaskan perasaannya saat ini? Aneh sekali. Tidak nyaman. Dan dia tidak suka.
Di antara sorot mata Rui yang nyalang, Sungkara seperti mencoba menemukan ada secercah belas kasihan untuk dia yang sedikit berharap bahwa Rui mengerti tentang rasa bersalah dan tujuan permintaan maafnya. Namun, tidak ada. Rui tidak memberinya celah sedikit pun.
Lupakan? Tidak seharusnya Sungkara menyesal dan berpikir berlebihan lagi. Benar, menurut Rui, dia harus melupakan. Dan sekarang, dia lepaskan satu napasnya yang sesak.
Suasana kembali hening. Sama seperti pertama kali keduanya masuk ke mobil. Saat ini Sungkara sedang tidak ingin mencari topik pembicaraan, dia juga tidak peduli apa yang tengah Rui pikirkan.
Di tengah keheningan itu, Sungkara melihat sosok Tante Pipi bergerak keluar rumah. Wanita itu tampak memanggil-manhgil, tatapnya mencari. Mungkin wanita itu mencari Rui dan Sungkara yang menghilang di tengah-tengah acara?
Rui juga menyadari itu, karena Tante Pipi kini berjalan ke arah mobilnya. Tangan kanan Rui bergerak membuka jendela. Namun tanpa sengaja menyenggol kabel vibrator yang berada di atas dashboard.
“Kalian ngapain, sih? Ayo, makan malam dulu.” Tante Pipi sudah berada di sisi mobil, tepat di samping Rui saat kaca jendela sudah terbuka. Dan tepat di detik itu, Sungkara tengah membungkuk untuk meraih vibrator yang terjatuh di antara kaki Rui. “Yang lain udah pada ....” Tante Rui berhenti bicara dan mulutnya menganga saat melihat Sungkara mendongak dan bangkit dari posisinya. Dia tatap vibrator di tangan Sungkara. “T-tapi kalau ... kalian masih sibuk .... Ng-nggak apa-apa.”
***
Selama makan malam berlangsung, Sungkara memang melakukan hal-hal yang biasa dia lakukan. Seperti membantu Rui mengambilkan sendok, mengambilkan tisu, dan lain-lain. Namun, itu semua tampak dia lakukan atas dasar formalitas. Rui bisa merasakan pria itu menghindari tatapnya berkali-kali. Atau, menatapnya dingin saat tidak sengaja mata keduanya bertemu.
Apakah Rui melakukan kesalahan atau ... menyakiti Sungkara dengan kata-katanya saat mereka bicara berdua tadi? Atau, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari sikapnya ini karena seharusnya Rui memang tidak usah peduli?
Seperti saat ini. Saat bunda dan tiga Tante menahannya di teras, Sungkara berlalu begitu saja ke mobil untuk mengangkut beberapa paper bag yang Rui dapatkan dari tante-tantenya. Jadi, Rui harus menghadapi sendiri wajah kecewa Bunda.
“Beneran Rui nggak tidur di sini aja malam ini?” Bunda masih berharap tawarannya diterima.
“Rui harus kerja pagi-pagi besok, Bun,” ujar Sungkara. Pria itu kembali ternyata, berdiri di sisi Rui. “Aku juga kerja.”
Rui menoleh pada pria itu, padahal seharusnya besok Sungkara masih cuti. Namun, dia memutuskan untuk bekerja lebih cepat?
“Ya udah deh ....” Bunda berhenti merayu.
“Lain kali ya, Bun. Aku janji.” Rui tersenyum. Iya, dia berjanji akan menginap asal semua tante-tante itu sudah kembali ke rumah masing-masing dan tidak berada di sana. Bukan karena Rui tidak suka, tapi Rui masih bingung bagaimana menanggapi keramaian dan berada di tengah-tengahnya. Dia tidak ingin terlihat angkuh dengan diam saja, tapi juga tidak mengerti bagaimana cara menanggapinya.
“Ya udah nggak apa-apa,” seloroh Tante Pipi. “Mau cobain hadiah dari Tante Pipi, kan?” Dia mengerling. “Jangan di mobil tapi, sempit,” bisiknya.
Sungkara dan Rui menanggapinya dengan tawa cemas. Melihat Bunda kebingungan, mereka merasa harus buru-buru pamit. Setelah mendapatkan pelukan dan mencium pipi kanan dan kiri semua wanita di teras itu, Rui melangkah menjauh. Tangannya melambai, membalas lambaian-lambaian tangan penuh semangat para wanita itu.
Rui berjalan, sementara Sungkara berjalan mendahuluinya, melewatinya begitu saja. Pria itu tetap membukakan pintu, menunggunya masuk, menutup kembali pintu, lalu menyusul masuk ke mobil dan ikut melambaikan tangan pada kaca jendela yang masih terbuka.
Pria itu juga berseru, “Aku sama Rui pulang dulu, ya.” Sebelum kacanya tertutup dan mobil bergerak keluar dari halaman rumah.
Hening. Sungkara bahkan sengaja mematikan radio dengan gerakan malas. Seolah-olah dia tidak ingin mendengar suara apa pun. Jadi, Rui tidak akan berusaha memunculkan percakapan. Dia hanya diam. Tanpa memedulikan wajah pria yang kini tampangnya terlihat kesal, entah karena alasan apa.
Di dalam keheningan itu. Terdengar suara getar ponsel milik Sungkara, benda itu ditaruh di kantung penyimpanan yang berada di panel pintu. Dalam hening yang ada, getar itu terdengar jelas. Sungkara biarkan benda itu terus bergetar, mati, lalu bergetar lagi.
Sungkara mengambil ponselnya, dia lihat layarnya yang menyala. Lalu dia taruh kembali ke tempat semula sambil membiarkan getarnya begitu saja.
“Aku harus turun dulu dan naik taksi supaya kamu bebas angkat telepon?” tanya Rui.
Sungkara menoleh, menatapnya selama beberapa saat. Tidak mengatakan apa-apa, saat menemukan lampu lalu lintas berubah merah, pria itu menghentikan laju mobil dan menaruh ponselnya pada phone holder.
Rui melirik ke arah pria itu, melihat bagaimana sambungan telepon terbuka dan pria itu tersenyum. Lalu menyapa Si Penelepon dengan sapaan yang lembut, “Hai ....” Wajahnya berubah cerah. Entah kenapa Rui merasa sikapnya sangat tidak adil.
Rui tidak ingin ikut campur, tapi dia bisa mendengar percakapan Sungkara dan Si Penelepon. Yang ternyata bukan hanya sekadar telepon, itu adalah video call, karena Rui bisa mendengar suara Si Penelepon dan juga melihat Sungkara berkali-kali melirik layar ponselnya yang menyala.
“Om lagi di mana?” Itu suara anak kecil. Bukan Nafa. Rui tahu persis.
“Om lagi di jalan, nih. Daren belum tidur?” tanya Sungkara.
Daren, Rui ingat namanya. Dia adalah anak laki-laki Ninky.
“Belum. Aku lagi jagain Mama,” jawab Daren.
Sungkara berdeham. “Memangnya Mama kenapa?” Dia terkesan penasaran, tapi canggung juga. Sesaat dia melirik ke arah Rui, sementara Rui lebih dulu memalingkan wajahnya ke arah luar jendela. Dia tidak ingin keberadaannya mengganggu komunikasi manis antara Sungkara dan bocah kecil itu.
“Mama sakit, Om. Ini lagi tidur.” Daren menjawab dengan suara yang agak kurang jelas. Seperti sedang bergerak-gerak. “Memangnya Om nggak tahu? Mama nggak kerja hari ini.”
“Oh, ya? Iya, Om nggak tahu.” Sungkara bergumam, terlihat bersalah. “Hari ini Om nggak masuk kerja juga soalnya.”
“Om ke mana? Kok, nggak masuk kerja?”
“Ng .... Ada urusan. Om harus pergi.”
“Pergi sama siapa?”
“Teman.”
Jawaban itu membuat wajah Rui otomatis menoleh. Tatapnya beradu dengan Sungkara selama beberapa saat sebelum pria itu memutus kontak lebih dulu untuk kembali menatap kemudi dan sesekali menatap ponselnya.
“Oh .... Aku pikir malam ini Om mau jenguk Mama ke sini.” Daren terdengar kecewa.
“Iya. Om nggak bisa ke sana, udah malam,” jawab Sungkara. “Bilang Mama, cepat sembuh, ya.”
“Iya. Nanti aku bilangin. Om hati-hati di jalan ....” Suara Daren yang antusias berubah sendu.
“Siap, Bos!” Sungkara terkekeh. Seperti berusaha memulihkan perasaan Daren.
“Kapan-kapan ... Om bisa nggak main ke sini?”
Sungkara bergumam, agak lama. “Bisa.” Dia menjawab, terdengar agak ragu. “Om bisa main ke sana kapan-kapan.”
Oh, wah .... Rui menggumam dalam hati.
“Kenapa Om nggak jadi papaku biar bisa di sini terus?” tanya Daren. “Om nggak bisa menikah dengan Mama?”
Ada selang waktu yang diisi dengan hening. Mungkin Sungkara tengah mencari jawaban yang pas dan kebingungan? Namun entah kenapa, Rui akui dia juga ikut penasaran bagaimana pria itu akan menjawab, seperti Daren, Rui menunggu jawaban Sungkara.
Lalu, terdengar Sungkara kembali bersuara, “Om sudah menikah.”
Jawaban itu membuat Rui menoleh. Keduanya bertukar tatap.
“Oh, ya?” Kali ini, suara antusias Daren kembali. “Dengan perempuan?”
Sungkara alihakan lagi tatapnya pada layar ponsel, dia tertawa. “Iya. Dengan perempuan.”
“Wah .... Aku senang banget.” Dan Daren sama-sama menyambutnya dengan tawa. Lalu, “Apa orangnya cantik?” Suara Daren terdengar tulus, ikut bahagia.
Sungkara tidak menjawab. Dia hanya mengarahkan holder-nya agak miring agar layar ponselnya menangkap wajah Rui. “Ini orangnya. Cantik nggak?”
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
