How to get a divorce? | [19, 20]

470
52
Deskripsi

Ini hanya tentang daftar keuntungan di atas selembar kertas bertandatangan. Akan ada akhir. Tidak akan menjadi apa-apa. Semua selesai setelahnya.

Yakin sekali.

Mereka pikir, takdir tidak akan ikut campur pada sebuah kesepakatan.

How to get a divorce? | [19]

Ini Grup Ya

Janari Bimantara
Ini grup ya.

Hakim Hamami
Iya, Sayang.

Janari Bimantara
Gue jujur nih. Gue seneng banget Chia hamil lagi. Gue akan punya anak lagi. Jujur gue seneng banget.

Favian Keano
Tapiii ....

Janari Bimantara
Tapi .... Gini, tiap hamil dia kan jadi manja ya. Dan gue beneran nggak apa-apa. Manja, clingy gitu nggak apa-apa. Tapi bisa nggak sih dia jangan jadi gampang ngambek gitu?

Gue nggak boleh masuk kamar.

Gue tuh ya kadang kalau dia udah ngambek kayak gini jadi ... pelukkk aja gitu yang kenceeeng.

Putus asa gue.

Hakim Hamami
Pintu teather satu telah dibuka. Bagi anda yang telah memiliki karcis dipersilakan untuk memasuki ruangan teather satu.

Arjune Advaya
Ngasih karcis.

Alkaezar Pilar
Ngantre.

Favian Keano
Ikutan antre.

Janitra Sungkara
Bentar beli popcorn dulu.

Kalil Sankara
Udah redup nih lampunya. Kapan mulai?

Janari Bimantara
Dia kan pengen bakso. Tapi baksonya bakso beranak.

Seumur-umur gue baru denger. Emang ada bakso beranak? Siapa yang menyetubuhi sih?

Hakim Hamami
Anjir. Nakal juga tuh bakso sampe beranak.

Janari Bimantara
Gue pesen yang paling mahal tuh di Go-Food. Gue ketik 'Bakso Beranak' gitu. Abis itu muncul semua pilihan. Gue order. Selesai.

Alkaezar Pilar
Oke. Lalu ....

Janari Bimantara
Nah, malem-malem tuh abang Go-Food nyampe dong? Gue ambil, gue pindahin ke mangkok. Lalu gue kasih ke Chia.

Terus, Chia potong tuh bakso beranak. Tapi ternyata isinya malah sambel, nggak ada anak-anaknya atau apalah gue nggak ngerti. Malah tuh sambel muncrat ke baju tidurnya saking dia udah semangat banget sesarnya membedah anak-anak bakso.

Favian Keano
Pantes harga baksonya mahal. Sesar soalnya. Nggak dicover BPJS.

Janari Bimantara
Habis itu udah. Dia marah.

Janitra Sungkara
Yaila, minta maaf lah. Bilang, akuin lo salah beli.

"Sayang, ini bakso beranak, tapi air ketubannya pecah duluan tadi tuh."

Arjune Advaya
Bakso pecah ketuban.

Alkaezar Pilar
Tapi urutannya udah bener. Emang pecah ketuban dulu, baru beranak.

Janari Bimantara
Tapi ini anaknya nggak ada ya.

Kalil Sankara
Mungkin udah titip di panti asuhan karena faktor ekonomi.

Hakim Hamami
Sedih banget kisahnya kaalu begitu.

Favian Keano
Gue baru pulang kerja. Capekkkkk bangettt. Masih aja disuruh ketawa. Bangsaaattt.

Janari Bimantara
😭😭😭

Alkaezar Pilar
Masih di luar, Ri?

Janari Bimantara
Masih.

Tolong kasih info lokasi bakso beranak sekarang juga biar gue bisa masuk kamar.

Weiii.

Weiiiii.

Pada ke mana si?

Hakim Hamami
Gue di depan gerbang rumah lo nih. Sekalian balik gue bawain. Gue pastiin ini bakso tidak childfree.

***

Rui duduk di balik meja kerjanya. Sesekali dia lihat layar ponselnya kembali menyala. Kembali muncul nama Kenan di sana. Entah untuk keberapa kali, Rui tidak menghitung banyaknya pria itu menghubunginya hari ini. Pria itu seperti menggila, tidak henti layar ponselnya menyala dan memunculkan nama itu.

Dalam getarnya yang masih bisa dia dengar, Rui membalik kursinya ke arah dinding kaca di belakang. Sore mulai turun, dia bisa melihat sisa cahaya matahari yang oranye menyentuh puncak-puncak gedung. Dia selami pemandangan itu, berusaha tidak menghiraukan bunyi getar ponselnya, tapi gagal, akhirnya dia menoleh. Dia lihat layar ponselnya masih menyala dan memunculkan nama yang sama.

Dia bangkit dari kursi. Panggilan Kenan baru saja dia tolak saat membereskan peralatannya di meja. Dia memutuskan untuk berjalan keluar dari ruangan yang menyembunyikan waktunya seharian tanpa ingin berpikir tentang apa pun. Dia masih bimbang, masih bingung, apa yang bisa dia lakukan jika berhadapan dengan Kenan nanti?

Dia marah, kecewa, tapi jelas belum membuat keputusan apa-apa. Dia masih mencintai pria itu. Tentu saja. Memangnya alasan apa yang membuatnya menjadi bodoh dan nyaris tolol dalam memutuskan segala hal belakangan ini? Termasuk menikahi Sungkara.

Rui tahu, Kenan bisa melumpuhkan semua kemampuan berpikirnya, Rui bisa membayar segala hal untuk bisa bersamanya.

Langkahnya terayun melalui koridor yang dibatasi oleh dinding-dinding yang sibuk dan bising. Berjalan. Dia temukan langkahnya terayun untuk menuju elevator. Turun. Melangkah di lobi. Lalu terhenti saat melihat Arjune tampak baru tiba di pintu masuk, di belakangnya Favita mengikuti dengan langkah tergesa.

Mereka beradu tatap selama beberapa saat. "Hai," sapa Arjune. Langkahnya terhenti. Begitu pun dengan Favita, dia tampak buru-buru menghela napas saat atasannya itu mengajak Rui bicara. "Aku pikir kamu nggak masuk hari ini, seharian aku nggak lihat kamu."

Rui menoleh ke belakang, tangannya terulur tanpa arah yang jelas. "Sibuk di ruangan." Sibuk mengunci diri dari dunia luar. Saat sadar Arjune kini tengah meneliti raut wajahnya, Rui segera memperbaiki ekspresinya. "Aku pulang lebih cepat, ada janji, dengan Sungkara." Dia tersenyum lebih lebar setelah mengatakan kebohongan itu, dia hanya harus tampak sangat bahagia ketika hendak bertemu suaminya.

"Oh ...." Arjune mengangguk. Kembali matanya bergerak memperhatikan, kali ini dimulai dari ujung rambut, berhenti di perut, sampai kaki. "Ya udah, aku ke atas dulu," putus Arjune.

Rui mengangguk, mempersilakan, lalu tersenyum pada Favita yang baru saja menyapanya dengan anggukkan sopan. Dia kembali berjalan. Kali ini langkahnya bergerak menuju basement. Dia hanya akan pulang, walaupun tidak punya rencana apa-apa saat tiba di rumah dalam waktu yang terlampau masih sore.

Langkahnya menjejak lantai basement yang sepi, pandangannya menunduk mencari kunci mobil di dalam tas. Setelah menemukannya,  dia mendongak. Langkahnya terhenti ketika tiba pada barisan mobil tempat dia memarkirkan kendaraannya tadi pagi. Namun, refleks satu kakinya menyeret langkah mundur.

Rui melihat Kenan ada di hadapannya.

Pria itu tampak memegang ponsel, menempelkan ke telinga, dan Rui masih merasakan getar ponselnya di dalam tas. Saat pria itu menurunkan ponselnya dan bergerak mematikan sambungan telepon, getar ponsel Rui juga mati. "Kamu nggak angkat telepon aku seharian ini ...." Dia melangkah mendekat, tangannya terulur. "Mana kunci mobil kamu? Kita harus bicara."

Rui masih bergeming. Dia tatap pria yang selama beberapa pekan ini menghilang. Meninggalkannya dalam fakta menyakitkan yang Rui dapatkan, meninggalkannya dalam pilihan paling bodoh dan menyerahkan diri pada seorang pria. Jemarinya memegang scarf toska yang dia kenakan. Dia tatap pria itu dalam kecewa.

"Rui ...?" gumam Kenan. Wajahnya melirik ke kanan dan kiri, tampak sedikit khawatir seseorang melihat keberadaan mereka berdua. "Kita harus cepat pergi dari sini. Aku nggak punya banyak waktu, aku harus kembali menemani Kiana dan kami harus—"

"Kenapa kamu nggak pernah mengatakan yang sebenarnya?" Saat bicara, seperti ada sesuatu yang meremas kencang pundaknya. Nyeri sekali, sakit, tapi dia harus tetap bicara.

"Rui, dengar. Itu nggak penting."

"Berapa banyak kebohongan 'nggak penting' yang kamu sembunyikan dari aku, Kenan?"

Kenan menghela napas berat, dia tampak putus asa. "Oke ...," gumamnya. "Apa yang ingin kamu tahu?"

"Kiana hamil?"

"Benar."

"Dan kamu nggak pernah mengatakan apa pun tentang ini."

Pria itu mendecih. "Rui .... You never would've slept with me. Hak apa yang kamu punya atas aku?"

Mata Rui membulat. Rasanya, baru kali ini dia ingin menampar wajah pria itu.

"Jangan salah paham dulu." Kenan mendekat. "Maksudnya, seandainya memang aku nggak butuh kamu, aku akan pergi. Aku nggak akan berusaha untuk tetap bersama kamu. Tapi nyatanya nggak, aku mencintai kamu, Rui. Aku butuh kamu. Sangat. Maka dari itu aku mencari cara agar kita bisa kembali bersama."

Bergeming. Rui kembali melihat sorot matanya yang putus asa.

"Aku memang ceroboh," aku Kenan. "Tapi biar ini jadi urusanku. Kamu nggak harus tahu tentang apa pun. Aku yang akan menyelesaikan semuanya." Dia bergerak lagi, mendekat, meraih tangan Rui. "Percaya sama aku. Aku akan menyelesaikan semuanya—Kiana dan ... bayi itu. Aku janji mereka nggak akan pernah menghalangi kita untuk bersama," ujarnya. Kali ini, Kenan mencium tangan Rui. "Tetap di tempat kamu sekarang, jangan membuat keputusan apa pun, jangan bergerak ke mana pun. Kamu hanya perlu menunggu."

Rui tatap dua mata itu bergantian. Meyakinkan dirinya sendiri, mencari alasan kenapa dia sakit hati dan patah sejak kemarin. Lalu, dia sadar, cintanya masih berlabuh di tatap itu. "Can I ask one thing?"

"Anything ...."

Dan setelah mendengarnya, Rui menampar kencang pipi pria itu dengan telapak kanannya.

***

Sungkara baru saja meninggalkan pelataran kantor. Setelah mengambil kendaraannya dari basement, dia menyerahkannya pada Hakim di teras lobi. Hakim sengaja datang hanya untuk mengumpat, mobilnya tiba-tiba mogok di tengah perjalanan, sementara dia harus bertemu seorang utusan kliennya dari luar Jakarta dan sempat menawarkan diri untuk mengantar langsung ke penginapan.

Sesaat sebelum pergi, Hakim sempat bicara. "Ini yang mau ketemu gue cewek nih, ya modus aja gue tawarin, mau gue sekalian anter ke hotel nggak habis meeting? Terus dia jawab mau. Eh .... Malah mobil gue mogok bahkan sebelum sempat ketemu."

Sungkara hanya tertawa. "Emang ada aja ujiannya."

"Gue nggak diridhoi banget kayaknya tiap deketin cewek," lanjutnya. Lalu berbalik. "Eh, gue balikin abis balik nganterin dia ya."

Sungkara menyahut, menyetujui.

Dan sesaat setelahnya, Hakim pergi. Sungkara melewati teras lobi tidak lama kemudian. Berpapasan dengan beberapa pegawai yang hendak pulang, sementara dia tahu bahwa tumpukkan pekerjaannya tidak mengizinkan itu. Masih banyak sekali yang harus dia selesaikan.

Melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, melihat bahwa sekarang sudah pukul lima sore, langkahnya bergegas terayun. Detik berikutnya, dia terhenti, karena melihat Ninky berada di barisan terakhir saat beberapa karyawan keluar dari elevator.

Tidak mungkin pura-pura tidak melihat, tapi menyapa duluan juga akan terkesan canggung. Jadi dia hanya berdiri, tersenyum, saat melihat Ninky melangkah mendekat. "Hai, udah masuk kerja?" tanya Ninky. "Aku pikir kamu masih cuti."

Sungkara hanya menggumam. Dia memutuskan untuk tidak membuang-buang waktu cutinya untuk rebahan seharian karena menikah dengan Rui tidak membuatnya sibuk.

Ninky sudah berdiri di hadapannya. "Kayaknya ini pertemuan pertama kita setelah ... kamu menikah." Kentara sekali dia berusaha untuk terlihat tidak canggung. "Maaf karena saat momen itu aku nggak bisa hadir, Daren nggak ada yang jaga. Lagi pula—" Ninky urung melanjutkan ucapannya. "Tapi aku ikut serta nyiapin kado pernikahan untuk kamu, kok."

"Oh, ya .... Wah, terima kasih." Sungkara menggumam. Situasi ini benar-benar tidak diharapkan. Dia ingin cepat mengakhiri, tapi tidak mungkin melakukannya saat Ninky tidak kunjung pergi. "Kamu ... udah sembuh?" tanya Sungkara. "Daren telepon semalam."

Ninky menggumam. "At least, it's better than yesterday lah." Ada senyum tipis di bibir Ninky, dia menunduk sesaat sebelum kembali mendongak dan menatap Sungkara. "Aku nggak tahu kalau semalam Daren telepon kamu. Mungkin ... dia pikir, orang yang akan menjadi paling peduli saat aku sakit adalah kamu. Karena kamu ingat, kan, waktu terakhir kali aku sakit ..., kamu datang? Antar aku ke dokter .... Nemenin aku semalan ...."

Ya. Tentu. Sungkara masih begitu ingat. Dan harus dia akui, itu menyenangkan. Bicara banyak hal semalaman sambil menemani Ninky adalah hal yang menyenangkan. Namun, karena dia ingin membuat Ninky berhenti berharap apa pun, jadi dia tidak mengatakan apa-apa.

"Terima kasih karena kamu masih mau mengangkat telepon dari Daren," lanjutnya. "Pagi tadi dia cerita, katanya dia seneng banget setelah telepon kamu semalam."

"Daren kenalan dengan Rui semalam," ujar Sungkara. Dia mendapatkan senyum di wajah Ninky luntur dalam sepersekian detik. "Mereka ngobrol tentang ... beberapa hal. Nggak lama, sih. Daren sempat tanya apa makanan kesukaan Rui, apa yang akhir-akhir ini senang Rui lakukan. Dan sebelum menutup sambungan telepon Daren sempat bertanya, 'Kenapa Tante Rui bisa cantik sekali?'"

"Oh ..., ya ...? Rui jawab apa?" tanya Ninky. Suaranya terlalu dingin untuk rasa ingin tahu.

Sungkara ingat bagaimana wajah Rui merona dan tergagap-gagap saat hendak menjawab pertanyaan itu. "Rui nggak jawab apa-apa. Dia malah kebingungan. Jadi aku yang jawab," ujar Sungkara. "Tante Rui akan menjadi sangat cantik kalau ada di samping Om."

Ninky terkekeh walau raut wajahnya terlihat kaku. Setelahnya dia mengembuskan napas berat. Dia lirik sesuatu dari balik punggung Sungkara, terpaku ke sana dan diam. Hal itu membuat Sungkara berbalik, dia lihat siapa yang berada di balik punggungnya, yang membuat raut wajah Ninky tiba-tiba berubah.

Langkahnya pelan, high heels-nya mengetuk-ngetuk lantai. Kaki jenjang itu terhenti beberapa langkah setelah melewati pintu lobi. Rui, wanita itu menatap Sungkara dan Ninky bergantian. Tidak ada isyarat apa-apa di sorot matanya, tidak ada petunjuk berarti dalam raut wajahnya. Wanita itu selalu sulit sekali ditebak. Dia tiba-tiba datang di antara perang dingin yang mereka lakukan sejak kemarin.

Entah Sungkara yang terlalu bodoh memilih momen, atau memang Rui memiliki kekuatan yang tidak dimiliki manusia kebanyakan. Seringnya, Sungkara selalu tertangkap basah ketika tengah berinteraksi dengan Ninky. Dia lihat dua wanita itu bertatapan selama beberapa saat.

Dan Ninky menjadi wanita pertama yang lebih dulu meninggalkan tempat itu. Karena, lihatlah sekarang bagaimana tatap Rui berusaha membuat Ninky kalah. "Aku pulang duluan, ya. Sampai ketemu besok." Ninky tersenyum pada Sungkara, dan senyum itu lenyap saat dia berjalan dengan tatap yang kembali beradu dengan Rui.

Tatap Rui tidak repot-repot mengikuti ke mana langkah Ninky menghilang, dia bicara setelah Ninky sudah benar-benar keluar dari lobi. "Kamu masih ada kerjaan?" tanyanya. Dia mengulurkan tangan, menyerahkan kunci mobilnya. "Bisa antar aku pulang?"

Sungkara berjalan mendekat. Pekerjaannya masih banyak. Dia tidak mungkin meninggalkannya begitu saja hanya untuk mengantar pulang seorang wanita yang titah dan tatapnya selalu menyurutkan keyakinan orang lain. Namun, seperti yang dia katakan, Rui seperti memiliki kekuatan yang tidak dimiliki manusia kebanyakan. Jadi, dia memutuskan cepat. "Tunggu sebentar di sini." Sungkara meraih kunci mobil itu. "Aku beresin barang-barang aku dulu di atas. Setelah ini kita pulang."

Sungkara tiba-tiba merasa bahwa, tidak masalah membawa sebagian pekerjaannya ke rumah dan mengerjakannya semalaman demi bisa mengantarkan wanita itu pulang sekarang. Mungkin yang menjadi pertimbangannya saat ini, karena Rui tampak tidak baik-baik saja?

Walau biasanya Rui akan diam dan selalu tidak berminat untuk banyak bicara, kali ini keadaannya terlihat lebih parah. Punggungnya terkulai saat dia duduk di jok mobil. Tatapnya terarah ke luar jendela, kosong, tampak tidak memikirkan apa-apa. Namun Sungkara tahu, bahwa diam dan kosongnya wanita tidak pernah sesederhana yang terlihat.

"Rui ...," gumam Sungkara tanpa mengalihkan tatap dari kemudinya. "Kamu nggak bosan setiap hari menciptakan suasana kayak gini sama aku?" tanyanya. "Dan kamu sadar nggak sih kita hanya akan berinteraksi kalau lsecara nggak sengaja harus satu mobil kayak gini? Di luar itu, kita akan berpisah, tanpa tahu urusan masing-masing."

Kali ini Sungkara menoleh, melihat Rui yang bergeming, seolah-olah wanita itu tidak mendengar apa-apa.

"Normalnya, ketika pria melihat wanitanya diam kayak gini, dia akan tanya kayak; Are you okay? Seharian ini kamu ngapain aja? Ada yang mau kamu ceritain? Lagi pengen makan apa? Atau ... yah ...." Sungkara menghela napas putus asa. "Walau aku nggak pernah menjalani satu hubungan yang serius—dan cenderung brengsek,  aku tetap tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita."

Diam lagi. Tidak ada suara lagi. Memang seharusnya Sungkara  memutuskan untuk menyerah dan tidak lagi mencoba berdiri di sisi kehidupan wanita itu. Seharusnya, dia perlakukan Rui sebagaimana wanita itu memperlakukannya. Namun, sungguh kenapa dia tidak bisa?

Setelah malam yang mereka lewati bersama, kenapa Sungkara tidak mampu membuat dirinya sedikit lebih brengsek dari biasanya?

Dia menepikan mobil ke sisi. Berhenti. Saat Rui menoleh, Sungkara keluar dari dalam mobil tanpa penjelasan apa-apa. Dia melihat keramaian di luar, anak-anak berseragam sekolah melintas beberapa kali, para orangtua yang membawa bocah-bocah kecil membuat tempat itu bising karena meneriaki anak mereka untuk tidak melakukan ini dan itu.

Sungkara berjalan, dia lihat bagaimana pintu mobil di sampingnya masih tertutup. Jadi, dia berjalan memutari mobil, membuka pintu dan melihat Rui yang kebingungan. "Turun," titah Sungkara.

Rui menggeleng.

"Kita bicara," ujar Sungkara.

Rui menggeleng lagi. "Di mobil kan bisa."

"Bukannya dari tadi di mobil kamu diam aja?" Sungkara membuka pintu mobil lebih lebar. "Ayo." Dia mulai membuka kancing-kancing kemeja di pergelangan tangan, menyingsingkannya sampai sikut.

Rui menyerah. Mungkin dia tidak ingin menarik perhatian orang-orang ketika keduanya harus berdebat sengit hanya karena keputusan turun atau tidak. Tatap Rui berpendar, terlihat aneh, heran, bingung, pada keramaian taman yang mereka hadapi.

Sungkara berjalan lebih dulu, meninggalkan Rui yang masih terlihat mengamati keadaan sekitar dengan ngeri. Sampai akhirnya, wanita itu berlari. Dia ikuti langkah Sungkara sebelum akhirnya menarik ujung pinggang kemeja pria itu, mengisyaratkan bahwa dia takut ditinggalkan.

"Sung." Jemarinya menggoyangkan ujung kemeja Sungkara yang dia cubit. "Ayo pulang."

"Kamu pernah nggak sengaja datang ke tempat kayak gini?" Sungkara menepi, dia ulurkan tangannya ke belakang untuk melindungi Rui yang bersembunyi di balik punggungnya saat ada para remaja yang berjalan dari arah berlawanan.

Rui menggeleng. "Nggak," jawabnya. Jemarinya masih mencubit kemeja Sungkara.

"Aku tebak, pasti kamu nggak pernah naik motor?" Sungkara menoleh, dia temukan Rui diam, tapi jelas wanita itu mengakuinya. "Pernah nonton konser?"

Rui menggeleng. "Jangan aneh-aneh."

"Pernah join party?"

Kali ini Rui tampak muak. "Nggak lah!"

"Rui, kamu nggak mau melakukan semua itu biar ... hidup kamu sedikit lebih bergairah?"

"Kamu nggak ingat terakhir kali aku masuk club malam?" Rui menarik kesal scarf yang melilit cantik di lehernya. "Dan benda sialan ini. Adalah usahaku untuk menutup semua jejak yang—" Ucapannya terhenti saat melihat Sungkara mengernyit. Rui mendengkus. "Scarf sialan ini untuk menutup semuanya."

"Berarti kamu masih ingat alasan kenapa scarf sialan itu melilit di sana, ya?" tanya Sungkara, mereka kembali berjalan. "Kamu teriak-teriak minta aku cium lagi padahal malam itu."

Rui menarik lengan Sungkara dengan gerakan kencang. "Sini kunci mobilnya, aku mau pulang sendiri."

Sungkara menghindar. "Kita akan pulang. Setelah kamu bicara." Lalu kembali berjalan. 

Rui mendengkus, padahal wanita itu memiliki pilihan untuk naik taksi, tapi ternyata dia memilih untuk menyerah juga. "I'm not well at all ...," akunya tiba-tiba.

Sungkara berbalik, langkahnya terhenti. Berhadapan dengan wanita itu.

"Padahal, aku pikir hari ini aku akan punya hari yang ... baik." Rui tersenyum tipis. "Nafa menelepon hari ini, lama. Dia bilang, dia lagi bosan, di rumah hanya berdua sama Mbak karena Papa dan mamanya kerja. Dia menanyakan banyak hal, dia tanya makanan apa yang paling sering Tante Yui masak di rumah untuk Om Sungkara?"

"Dia pikir kamu adalah ibu peri, sama seperti ibunya."

Rui mendelik. Dan Sungkara terkekeh. "Dia juga tanya, Tante Yui tahu Om lagi apa sekarang? Saat aku jawab nggak tahu, dia heran .... Katanya, kenapa Tante nggak minta Om Sungkara kirim foto sekarang agar Tante tahu Om lagi apa?" Rui mengernyit, tidak mengerti.

"Biasanya pasangan akan saling tukar foto, kayak post a photo untuk pasangannya masing-masing. Menjelaskan apa yang sedang mereka lakukan detik itu untuk kasih kabar."

Rui memutar bola matanya, tampak muak tentang hal itu.

"Kamu harus banyak belajar untuk jadi pasangan yang baik deh, Rui," ujar Sungkara, dan Rui mencubit lengannya.

"Setelah itu, aku kerja. Kayak ... biasa. Sesekali terpikir untuk menghubungi kamu dan minta maaf karena udah mengabaikan kamu sejak kemarin, tapi nggak jadi. Itu bukan sebuah kesalahan."

Sungkara hampir saja dia melepaskan satu tawa.

"Lalu ... Kenan datang, dia menemui aku di kantor."

Sungkara sadar dia sempat menahan napas mendengar kabar itu. Mungkin sekarang dia khawatir, tapi tidak ingin menyadarinya karena dia tidak tahu apa yang dia khawatirkan. Lampu-lampu di sepanjang jalan di belakang tubuh Rui menyala secara berurutan, sampai akhirnya cahaya itu melewati keduanya.

Karena alasan itu juga, matanya tampak berkaca-kaca.

"Dia bicara tentang Kiana, dia juga membenarkan hal itu. Dia mengakuinya .... Wanita itu hamil."

Sungkara lihat raut wajah Rui berubah redup, binar matanya hilang, bergerak ke arah yang tidak jelas, menghindari tatapannya. 

"Aku menamparnya. Lalu pergi." Rui menghela napas panjang, dia terlihat sesak. "Aku nggak tahu apa yang akan terjadi pada hubungan kami setelah ini." Alih-alih terlihat puas, dia malah terlihat patah hati. Dia tampak menyesal pada apa yang sudah dia lakukan. "Aku pikir hariku akan berjalan baik-baik aja, tapi ... nggak. Hariku buruk. Dan, nggak ada yang ingin aku makan, Sungkara .... Aku lagi nggak ingin makan apa-apa sekarang."

Sungkara memperhatikan bagaimana Rui menunduk.

"Kayaknya sampai sekarang aku masih gemetar," aku wanita itu seraya memperhatikan jemarinya. "Itu alasannya aku minta tolong kamu untuk antar aku pulang. Aku kalut, bingung, sampai lupa bawa dompet juga."

"Nggak apa-apa, malam ini aku yang traktir."

Dia baru saja melihat Rui melepaskan satu kekeh pelan. Tidak ada kesan sinis dan sarkas di sana, Rui tulus terkekeh. Dan ... Sungkara sempat tenggelam dalam beberapa detik yang manis itu.

"Kalau ditraktir, kamu mau makan nggak?"

Rui kembali berjalan. "Aku pikirin dulu."

Sungkara melihat Rui berjalan lebih dulu, melangkah di antara paving block yang menutupi jalan sisi taman. Suasana malam itu dikelilingi lampu, tapi Rui tampak lebih bersinar.

Sungkara sedang mengagumi wanita itu saat sebuah dering ponsel mengganggunya. Dia segera merogoh saku celananya. Dia raih ponselnya untuk melihat layarnya yang menyala. Ada nama Hakim di sana.

Masih sambil memperhatikan gerak langkah Rui, Sungkara mengangkat telepon itu.  "Kim, sori gue lupa. Gue udah balik sama Rui. Mobil gue lo bawa aja, besok tinggal lo—"

"Gue mau bikin peringatan." Dari seberang sana, Hakim terdengar marah. "Lo kasih tahu dong kalau di dalem mobil lo ada ginian—warna pink-pink gini. Lo nyimpen benda kayak gini di bawah dashboard mobil, terus keinjek sama klien gue dan dia ambil," jelasnya. "Bangsaaattt. Muka gua mau gua taro mana?"

***
How to get a divorce? | [20]

 

Tim Sukses Depan Pager

Hakim Hamami
Ada yang mau tebak-tebakan nggak?

Janari Bimantara
G.

Hakim Hamami
Ini adalah potongan gambar.

Coba tebak. Benda apakah ini?

Hakim Hamami sent a picture.

Hakim Hamami sent a picture

Kalil Sankara
🤦

Chiasa Kaliani
Microphone?

Alura Mia
Hah. Ini apaan?

Shahiya Jenaya
Parfum?

Alkaezar Pilar
Sayang, ayo pulang jangan di sini.

Davi Renjani
Tutup botol?

Favian Keano
Satu botol dua kotak.

Arjune Advaya
Hakim tolol nggak ada otak.

***









 

Rui tidak menyangka bahwa Sungkara akan membawanya menyasar ke tempat yang 'sejauh' ini. Maksudnya, sejak hidup menjadi Misharui Advaya, dia tidak pernah menyangka akan terjebak di antara ramai dan bising taman kota, tempat yang selama ini tidak pernah dia hiraukan sama sekali, apalagi menjadi tujuannya. Tidak pernah.

Saat ini, dia tengah duduk di sebuah bangku taman yang berada di samping sebuah tiang lampu. Di pucuk tiang itu, sebuah benda dari kaca berbentuk bulat yang berpendar, menyinari Rui yang baru saja memasukkan tusukan bekas corn dog ke dalam sebuah paper cup.

Akhirnya Sungkara berhasil memengaruhi Rui mengambil cheating day di antara aturan diet ketatnya. Hari ini, jelas saja segalanya berantakan. Rui lapar, tapi dia tidak bisa berharap banyak tentang jenis makanan yang tersedia di tempat itu. Rui baru saja menenggak sebotol air mineral dan menutupnya kembali seraya menatap ke arah pria berkemeja putih yang tengah menjejak paving block, melewati barisan tiang-tiang lampu yang berpendar di antara malam.

Pria itu menjinjing sebuah kantung plastik berlogo minimarket, berjalan mendekat pada bangku yang tengah Rui duduki. Ada senyum samar di bibirnya saat melihat rui menghabiskan isi paper cup yang diisi oleh beberapa jenis junk food yang dibelinya tadi. "Masih lapar?" tanyanya.

Rui menggeleng.

Senyum Sungkara melengkung lebih lebar. Saat Rui tengah memperhatikan orang-orang berlalu-lalang di sisi taman, Sungkara berjongkok di hadapannya. "Lain kali kamu harus bawa sandal deh di mobil. Jangan pakai high heels kayak gini kalau mau jalan jauh."

Rui menunduk, melihat Sungkara melepas kedua sepatu dari kakinya, menyingkirkannya ke sisi. "Aku nggak pernah kepikiran akan diajak jalan sejauh ini di taman kota sepulang kerja, sih." Dia masih sinis, tapi takjub pada Sungkara yang tidak memedulikan penilaian orang atas tindakan apa yang tengah dia lakukan sekarang.

Rui melihat Sungkara terkekeh, pria itu masih menunduk. Dua tangan Sungkara tengah membuka plester yang dibelinya. Lalu, satu telapak tangannya dia gunakan untuk menyangga kaki Rui saat ditarik ke arah depan, dia tempelkan plester di tumit Rui yang memerah. "Aku beliin sandal jepit," ujarnya seraya mengeluarkan sepasang sandal jepit berwarna merah muda dari dalam kantung plastik.

Rui sudah membuka mulut, hendak protes, tapi Sungkara lebih dulu bicara.

"Aku tahu kamu nggak suka warna pink," ujarnya.

Bukan itu. Maksudnya, Rui bisa melakukan segalanya sendiri.

"Tapi adanya ini. Nggak ada warna hitam." Sungkara memakaikan sandal itu di kaki Rui. "Mulai sekarang kamu harus belajar untuk terima deh. Akan ada warna baru kalau ada aku di samping kamu. Nggak cuma ada hitam dan putih. Ada pink juga, Rui." Dia menatap kaki Rui sambil tersenyum. Wajahnya sesaat menjauh sambil memicingkan mata, menatap segala sisi kaki Rui yang beralaskan sandal jepit berwarna pink itu. "Not bad kok." Sungkara mendongak, menyengir lebar.

Dalam beberapa saat Rui terdiam. Di antara lampu-lampu yang berpendar, senyum Sungkara terlihat cerah. Dan dia memgerjap, menatap kakinya yang kini bergerak-gerak. "Jadi, berapa semua biaya yang harus aku bayar malam ini?" tanyanya. Dia ingat pada dompetnya yang tertinggal, ponsel yang sengaja dia tanggalkan di mobil.

"Belum aku hitung." Sungkara mendorong tubuhnya berdiri, membungkuk sesaat untuk meraih botol berisi sisa air mineral milik Rui. Menenggak sisanya sampai habis, lalu bicara lagi. "Tapi jangan harap aku akan menggratiskan semua ini buat kamu."

Rui bersandar pada bangku, kedua lengannya terlipat di dada. Dia lihat Sungkara yang tengah berdiri di hadapannya dengan tatap berpendar ke segala arah. Pasti pria itu tengah mencari ide untuk melakukan hal konyol lain setelah mengajak Rui makan corn dog, berjongkok untuk mewarnai sebuah kertas gambar bersama bocah-bocah kecil, dan membelikan sandal berwarna pink.

"Jangan macam-macam, Sungkara," ujarnya penuh peringatan ketika melihat pria itu menyeringai.

"Kita main pasir mekanik itu, mau nggak?" Dia menunjuk pada sekumpulan anak kecil yang tengah duduk mengelilingi sebuah papan berisi pasir warna-warni.

Rui memejamkan mata. Demi Tuhan, mimpi apa dia semalam?

"Aku pernah nemenin Nafa main pasir kayak gitu di mal, seru kok." Sungkara tertawa sendiri. "Waktu itu Mbak Muti lagi diajak belanja sama Tante Pipi."

"Aku bukan Nafa yang suka diajak main pasir mekanik."

Sungkara hanya tertawa.

"Oh iya. Hari ini Tante Pipi ada ngehubungi aku." Setelah memberikan hadiah pernikahan berupa benda ajaib berwarna pink itu pada Rui, tadi siang dia sempat menelepon bahwa dia akan mengirimkan hadiah lagi. Mendengar kabar itu, Rui sulit sekali berprasangka baik.

"Oh, ya ...?" Sungkara duduk di sisi Rui sekarang. "Apa katanya?"

"Rahasia." Rui tidak akan membocorkan masalah hadiah pernikahan kedua. Karena jika isinya lebih ajaib, dia pasti akan kesulitan menjelaskannya pada Sungkara. "Aku sempat berpikir kalau kemarin sikapku ... mungkin akan membuat tante-tante kamu nggak suka. Tapi ternyata bagi mereka nggak masalah." Rui yang sepanjang acara lebih banyak diam karena syok tidak membuat wanita-wanita itu menjauhinya.

Rui suka bagaimana tante-tante Sungkara menghubunginya tanpa canggung dan mengajaknya bicara tentang banyak hal. Tante Pipi dengan hadiah baru yang dia punya, Tante Ara dengan rencana liburannya, Tante Deca dengan kiriman makanannya, dan ... banyak lagi.

Setelah mendapatkan sikap seperti itu, setidaknya Rui menjadi sedikit lebih tenang bahwa sikapnya selama di hadapan para wanita-wanita itu tidak meninggalkan kesan buruk.

"Mereka suka kamu," ujar Sungkara. "Jadi kamu harus siap-siap aja, karena kamu akan dihantui oleh mereka kapan pun," ujar Sungkara. Dia menoleh hanya untuk tersenyum sebelum menatap lurus pemandangan danau buatan kecil di tengah taman, beberapa orang duduk di sisinya, beberapa hanya berjalan melewatinya. Tidak ada yang mengganggu tenangnya air danau itu—satu-satunya pemandangan yang tampak paling tenang di sana.

"Benar," gumam Rui. Dia ikut menatap ke titik di mana Sungkara memakukan tatap.

"Hari ini siapa yang menghubungi kamu?" tanya Sungkara.

"Tante Pipi, Tante Deca, Tante Galuh, lalu ...." Rui mengernyit, mencoba mengingat-ingat. "Siapa tadi ....?"

Kali ini, Rui merasakan tatapan Sungkara terarah padanya. "Pasti kamu pusing banget harus mengingat semua nama-nama wanita ribet itu," ujarnya iba. Sungkara mengeluarkan ponselnya, menunjukkan sebuah foto berisi wajah-wajah dari semua tantenya. "Selain mirip, sikap mereka juga hampir sama, kan?" Sungkara menunjuk layar ponselnya. "Nggak apa-apa, pelan-pelan aja .... Kamu masih punya banyak waktu buat hafal nama-nama mereka."

Rui tertawa sambil meraih ponsel milik Sungkara. Dia lihat wajah-wajah itu.

"Kamu masih punya waktu satu tahun." Sungkara mengingatkan Rui pada batas waktu pernikahan mereka. "Kalau satu tahun masih kurang buat hafal nama semua tante-tanteku dan anak-anaknya, aku bisa kasih kamu perpanjangan waktu."

"Cuma untuk kenal nama-nama mereka?" tanya Rui, merasa diremehkan.

Sungkara mengangguk.

"Aku hafal semua kok." Rui menunjuk mulai dari kiri. "Yang di samping Bunda ini Tante Pipi, Tante Galuh, Tante Deca, Tante Tanti, Tante Fira, Tante Ara, Tante Risa." Rui menoleh pada Sungkara. Dua alisnya terangkat. "Benar, kan? Anak-anaknya juga aku hafal semua."

Sungkara tertawa. "Keren." Dia sampai bertepuk tangan. Setelah tawanya reda, dia kembali bicara. "Ngomong-ngomong, hari ini Tante Pipi juga nelepon aku kok ...."

"Oh, ya?"

Sungkara mengangguk. "Dia bilang, dia mau kasih hadiah pernikahan kedua," ujarnya. "Dan kamu tahu nggak, apa yang mau dia kasih?"

Rui segera menutup telinga dengan dua telapak tangan. Dia bangkit dari bangku taman itu. "Aku nggak mau denger."

Sungkara mencoba melepaskan tangan Rui dari telinga. "Sini aku bisikin."

"Nggak usah."

Sungkara tertawa dan menyerah. Suasana sudah semakin larut, mereka memutuskan untuk langsung pulang.  Sesaat sebelum berdiri, Sungkara menjinjing sepasang sepatu Rui. Dia menyusul kemudian, menyejajari langkah Rui. "Kamu serius nggak mau tahu apa hadiahnya?"

Rui menggeleng. "Nggak." Dia bisa menangkap ketidakberesan dari seringaian Sungkara.

Sungkara tertawa lagi. "Ya udah .... Memang seharusnya kamu nggak usah tahu sih." Malam ini pria itu terlihat bahagia sekali. Dari tadi dia banyak tersenyum, terkekeh, bahkan melepaskan tawa berkali-kali. Membuat Rui sedikit percaya diri bahwa di hadapan Sungkara dia tidak terlalu membosankan.

Dan sekarang, pria itu berjalan di sisinya.

Sudah pukul delapan malam, tapi suasana malah semakin ramai. Seingatnya, ini bukan akhir pekan, tapi orang-orang masih betah berlama-lama di sana.

"Boleh nggak sih kapan-kapan ke sini lagi?" tanya Sungkara. "Self reward setiap kali capek kerja gitu ...."

"Kamu udah hopeless banget karena nggak bisa main sama perempuan-perempuan itu di club malam sampai jadiin tempat ini buat self reward?" tanya Rui.

"Setelah apa yang terjadi?" Sungkara balik bertanya.

Langkah Rui terhenti, begitu pula dengan langkah Sungkara yang kini tertahan.

Setelah menemani Sungkara clubbing dan memesankan satu kamar hotel, salah-salah dia malah menggunakan semua fasilitasnya itu untuk dirinya sendiri dengan Sungkara. Namun, itu tidak akan erulang. "Iya. Kamu tinggal bilang. Nanti aku atur semua. Table sampai room-nya."

Sungkara mengalihkan tatap, hanya bergumam. "Oke .... Aku akan kasih tahu kamu tempat dan waktunya setelah aku dapet partner untuk pergi."

Rui hanya bergumam, mengiyakan. Namun, dia pikir awalnya Sungkara akan ... setidaknya ragu untuk kembali mencari partner untuk clubbing, tapi nyatanya pria itu sama sekali tidak menganggap segalanya masalah. Tentang kejadian malam itu, Rui menyuruhnya untuk melupakan, menganggapnya tidak terjadi apa-apa, dan tentu saja pria itu melakukannya.

Seharusnya Rui ingat bahwa Sungkara sudah begitu terlatih untuk melupakan nama dan wajah wanita setelah menghabiskan waktu semalaman bersama.

Mereka melewati gerbang keluar, Sungkara berjalan lebih dulu dengan satu tangan menjinjing sepatu Rui. Dia membuka pintu mobil, menaruh sepatu itu di bagasi dan menunggu Rui melangkah mendekat.

Tiba-tiba saja Sungkara bertanya. "How's it feel now?"

"Hm?"

"Kamu. Perasaan kamu." Tangannya mempersilakan Rui untuk masuk lebih dulu. "Tadi kamu bilang kalau hari ini kamu nggak baik-baik aja. Sekarang, gimana?"

Rui mengerjap sesaat. Tercenung selama beberapa detik. Perasaannya? Dia ... merasa baik-baik saja, merasa lebih baik .... Bahkan, dia lupa bahwa sebelum ini dia begitu patah hati, marah, dan ... menyesal.

***

Misharui Advaya

Sungkara.

Janitra Sungkara

Ya.

Misharui Advaya

Hari ini aku kayaknya bakal pulang cepet.

Janitra Sungkara.

Ok.

Misharui Advaya

Tapi aku lupa cuci piring tadi pagi.

Kalau kamu mau cuci. Aku titip satu.

Janitra Sungkara

Nggak bisa kalau itu.

Kita udah punya tugas masing-masing.

Misharui Advaya

Bisa.

Aku ganti pakai ini. Thank you.

Misharui Advaya sent a picture.

Sekarang sudah dua jam setelah Rui mengirimkan pesan, mengirimkan foto. Namun senyum Sungkara belum kunjung hilang. Dia bisa merasakan bibirnya masih tersenyum saat bicara dengan beberapa orang, bibirnya masih melengkung sepanjang meeting berlangsung. Bahkan saat duduk di balik meja kerjanya, beberapa kali dia membuka pesan dari Rui untuk melihat lagi foto wanita itu.

Sungkara tidak bisa memutuskan untuk pulang lebih cepat karena jadwal meeting dan sisa tumpukkan pekerjaannya harus dia selesaikan hari ini juga, tidak ada pekerjaan yang bisa dia bawa pulang.

Dia baru berhasil keluar dari kantor pada pukul delapan malam, sesaat setelah membaha sebuah e-mail dari salah satu restoran di kawasan Jakarta selatan, mendapatkan telepon yang mengkonfirmasi perihal reservasi yang dia lakukan hari ini.

Hakim sudah mengembalikan mobilnya tadi siang, sambil marah-marah tentu saja. Dan Sungkara masih melihat benda berwarna pink yang menjadi alasan Hakim marah itu berada di jok samping pengemudi. Dia hanya mampu tertawa sendiri. Setelah duduk di balik kemudi, mencoba menghubungi Rui satu kali, tapi panggilannya di abaikan.

Setelahnya, ada satu pesan masuk dari Bunda. Sungkara kembali tersenyum. Rasanya, tahun ini semua berbeda. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, seolah-olah tidak ingin mengganggu waktunya, Bunda hanya mengirimkan semua harapan dan doanya lewat pesan. Hari ini, Bunda membiarkan Sungkara memiliki waktunya sendiri.

Sungkara tiba di apartemen pada pukul sembilan malam lebih beberapa menit. Dia bergegas memasuki ruangan itu, yang dia tahu sudah dihuni oleh seorang wanita yang sejak sore memberitahunya bahwa hari ini dia akan pulang lebih cepat.

Sungkara baru saja menutup pintu saat melihat Rui muncul dari balik pintu kamar. Wanita itu tampak sudah rapi, mengenakan sweatshirt hitam dan celana berwarna sama. Dia menjinjing sepatu.

"Kamu ...." Sungkara memperhatikan penampilan wanita itu. Rui baru saja menyisir rambutnya dengan jemari, menunjukkan make-up di wajahnya yang tampak sempurna. "Kamu ... mau pergi?"

Selama beberapa saat, Sungkara ragu dengan pertanyaannya sendiri. Dia tidak harus tahu, karena setelahnya dia bahkan tidak ingin mendengar jawaban dari Rui yang berisiko membuatnya merasa konyol.

"Iya," jawab Rui. "Kan, aku udah bilang, hari ini aku pulang cepet. Aku mau pergi."

Dan benar. Sungkara sudah merasa sangat konyol setelah tersenyum seharian. "Oh ...." Sungkara mengangguk. "Oke ...."

Rui mulai mengenakan sepatu.

"Mau ke mana?" Pertanyaan Sungkars membuat Rui menoleh. "Aku tahu, ini seharusnya bukan  menjadi urusan aku, tapi ... jaga-jaga seandainya Arjune atau yang lain tanya. Supaya aku nggak kelihatan terlalu bodoh dan nggak tahu apa-apa." Sungkara yakin dia sudah menekan suaranya agar terdengar sangat tenang.

Rui menghela napas, segara gerak terburunya terhenti. Dia menatap Sungkara sekarang. "Aku harus ketemu Kenan."

Sungkara mengerjap. Dia kehilangan kata.

"Sungkara .... Mungkin kamu nggak akan pernah mengerti saat ... kamu begitu takut kehilangan seseorang," ujarnya. "Iya. Itu yang sedang aku alami sekarang. Dan aku nggak meminta kamu untuk mengerti."

Memang benar, Sungkara tidak pernah mengerti bagaimana rasanya takut kehilangan seseorang. Dia juga tidak pernah mencari tahu bagaimana rasanya. Hanya saja, jika saja ada yang tahu, saat ini dia sedang merasa kedua pundaknya seperti ditindih benda berat, membuatnya nyeri, juga sedikit sesak.

"Seharian ini aku punya banyak waktu untuk berpikir. Dan aku menggunakan banyak waktu itu ...." Rui mengalihkan tatap. "Aku menyesal, memperlakukan Kenan dengan kasar kemarin," akunya. "Aku harus minta maaf."

Minta maaf katanya? Setelah apa yang pria itu lakukan padanya? Sungkara mendecih pelan, kata-kata semakin lenyap dari dalam kepalanya. Dia tidak bisa bicara apa-apa untuk menanggapi keputusan Rui. Jadi, dia hanya menatap wanita itu, yang kini bersiap pergi.

"Aku melakukan kesalahan yang sama," ujar wanita itu. "Aku mengkhianati dia juga." Dia mulai meraih tasnya dari sofa. Berjalan, melewati Sungkara yang masih berdiri tidak jauh dari pintu keluar. "Kemarin aku baik-baik aja, tapi entah kenapa hari ini aku merasa bahwa ... saat aku kehilangan Kenan berarti aku kehilangan segalanya. Dan aku nggak mau."

Sesaat kemudian, Sungkara melihat Rui berjalan melewatinya. Berlalu begitu saja. Ada suara pintu yang terbuka, kembali tertutup setelahnya. Tubuhnya masih belum bergeming, mengulas balik hari ini. Sempat dia berpikir bahwa hubungannya dengan Rui akan membaik. Ternyata tidak, tidak ada yang berubah.

Lama dia terdiam. Hanya berdiri.

Kembali dia ulang-ulang kalimat itu. Benar. Tidak ada yang berubah dari sekadar kesepakatan.

Lalu kenapa dia sempat berharap hal yang berlebihan?

Tubuhnya berbalik saat mendengar suara bel. Ada tamu yang menunggunya di luar. Tidak mungkin Rui, karena jelas wanita itu tidak perlu melakukannya untuk bisa masuk ke apartemennya sendiri. Sungkara lihat dari layar CCTV di samping pintu, ada petugas dari jasa pengantar barang  berdiri di luar dan dia segera membukanya.

Dia menerima sebuah kotak berisi cake, ada tulisan Sweetness Slice di luar kemasannya. Setelah mengucapkan terima kasih, dia menutup pintu, lalu berjalan ke arah meja makan. Dia taruh kotak itu di sana.

Dia buka perlahan, tampak sebuah cake bertuliskan 'Happy Birthday Sungkara' di atasnya. Di sisinya, tersisip sebuah birthday card yang ditandatangani oleh empat wanita.

Bahagia Sungkara adalah bahagia kita semuaaa. Happy birthday, Bayik! May you receive all the wonderful gifts. Walaupun mendapatkan Rui lebih dari apa pun kayaknya ya. Hahaha. Wish you all the best!

Dia tersenyum. Mengambil ponsel untuk membidikkan kamera dan mengambil sebuah gambar. Dia kirimkan sebuah pesan berisi ucapan terima kasih dan bukti foto, memberi tahu bahwa dia sudah benar-benar menerima cake pemberian.

Layar ponsel yang masih menyala itu sempat dia tatap lama. Dia cari lagi nama 'Misharui Advaya', dia temukan lagi foto wajah cantik yang seharian ini membuat bingkai senyum di wajahnya tidak kunjung pudar. Dan kali ini, dia tersenyum lagi saat mendapati foto itu, walau dengan kesan yang berbeda.

Dia hubungi lagi sebuah nomor yang sempat menghubunginya sore ini berkali-kali. Lalu, "Saya ingin membatalkan reservasi atas nama Janitra Sungkara." Setelahnya, diam. Dia taruh ponselnya di meja. Bersama foto Rui yang masih nampak, dia tancapkan satu lilin di atas kue. Dia nyalakan apinya. Tidak ada doa. Tidak ada harapan. Semua terasa ... kosong. Dia hanya, harus beristirahat dan tidur.  Jadi, dia berjalan menjauh, seiring dengan  ponsel yang meredup, seiring dengan lilin yang terbakar oleh api dan mulai meleleh.

***
 

 

 

Sungkara boleh gasi bales dendam lewat additional part? WKWKWKWKWK WEIII AH.

TAPI MAU NGGAK NIH? BESOK MAU? MANA TUMPAHIN APINYA ❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya How to get a divorce? | [Additional Part 20]
2.0k
296
Haiii  Selamat hari Mingguan bersama Sungkara yawsss. Happy reading ❤️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan