Hello, KKN! | [9. Om Kayiii]

464
106
Deskripsi

“Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!”

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [9. Om Kayiii]

post-image-6762d7d479964.png

 

Haiii🌸

 

 

Ditungguin banget nih kayaknyaaa. 😋 Mana angkat tangan yang nungguin KAMA manaaaa WKWKWK. 

 

Eh iya. Banyak yang nanyain visual Gege. Nanti aku kasih tahu visual Gege yang ada di bayanganku yaaa, gemessss banget, cantik jugaaa, nggak ngebosenin. Pokoknya yang tidak bisa melihat keistimewaan Gege hanya Kama. HAHAHAHAHA. 😍

 

Selamat membaca. Semoga Hari Rabunya terhibur. Bahagia terus yaaa 🌸

 

***

 

“Ya ampun gue pengen ngopiii!” Teriakan frustrasi Javindra terdengar di antara kebisingan pagi itu di Posko KKN 111. “Paling deket adanya kopi Point, itu pun mesti ke gerbang Tol Soreang. Anjeeeng itu jauh bangettt.” 

Pagi-pagi sekali, para anggota KKN 111 itu sudah bersiap dengan jaket marun mereka masing-masing. Beberapa sudah siap dengan program kerja yang harus dilaksanakan pada pagi hari sesuai janji dengan perangkat desa dan warga setempat. Ada Yash dan Kama yang masih santai mencuci motor. Zale dan Jenggala yang sedang mengotak-atik laptop meng-edit konten untuk bukti program kerja. Ada yang tengah sibuk dengan tugas piket di posko. Lainnya lagi tengah mengantre untuk mandi. 

Sementara Gege kini tengah bergabung dengan Juana dan Samira, duduk di beranda depan untuk menunggu tukang sayur yang lewat pada pukul enam pagi. Ketiganya duduk bersisian, sesekali mendesis kedinginan, udara pagi Welasasih memang tidak pernah gagal untuk membuat mereka mengeratkan jaket. 

“Makasih, Ibu.” Cleona yang tengah menyapu di halaman rumah, seperti biasa, baru saja menerima sewadah besar makanan pemberian warga. Hal itu, membuat ucapan terima kasih saling bersahutan terdengar dari Gege dan teman-temannya yang duduk di posko. Sementara Si Ibu pemberi makanan hanya mengangguk, memberikan senyum sambil berlalu. 

“Katanya setengah enam?” Juana menguap sambil menatap ke arah jalan di seberang sungai. “Ini udah jam enam belum lewat juga.”

“Diberhentiin ibu-ibu dulu kali di tempat lain,” ujar Samira. “Makanya telat datang ke sini.”

Cleona berjalan mendekat, mengantarkan wadah pemberian tadi ke beranda. Menaruhnya di atas teras kayu. “Nih, masih anget, kayaknya kolak deh.” Lalu, “Sabiiine, ambil mangkuk, Biiine.” 

Tiba-tiba suara pecahan gelas terdengar. Membuat Gege dan yang lainnya menoleh ke arah dalam rumah.

“Keiii, lo tuh kebiasaan.” Javindra mengomel. “Gue bilang pake kacamata lo deh, gelas segede bagong gini nggak kelihatan, main tendang aja. Heran.” 

“Nggak sengaja,” ujar Keiya.

“Kei?” Suara Gege dari beranda membuat wajah Keiya yang berada di ruang dapur melongok. “Lo nggak apa-apa?”

“Aman, Ge. Ada Javin yang beresin. Hehe.”

“Muatamu!” Javin memang tidak terlihat, tapi omelannya selalu nyaring. “Awas-awas, nanti lo luka, biar gue aja yang beresin.” 

Suara nyanyian Gesang yang baru keluar dari kamar mandi terdengar. “Ku tak pandai berdusta jujur saja kau bowti jugaaa ....”

“Bangsattt, kenapa lo nunjuk gue?” Umpatan Rajata terdengar tidak terima. 

Sakala dan Yesa keluar dari posko, handuk masih menggantung di pundak keduanya, yang artinya belum tiba giliran untuk mandi, atau mungkin kena serobot Rajata. Dua laki-laki itu duduk di beranda untuk bergabung dengan Jenggala dan Zale.

 “Gue kayaknya mandi siang aja deh,” ujar Yesa. “Bisa beku gue megang air di sini pagi-pagi, udah kayak baru dikeluarin dari kulkas airnya.”

“Gue keluar kamar mandi tadi langsung kaku, saking dinginnya,” ujar Jenggala. “Apa  nyokap gue diem-diem di Jakarta ngutuk gue jadi es batu kali?”

Yesa menunjuk Yash dan Kama. Dua orang dengan kaus oblong dan celana pendek selutut yang dari tadi saling bergantian memegang selang air. “Tuh orang dua lama-lama bisa-bisanya main air mulu, nggak dingin apa?” ujarnya keheranan.

Sakala menoleh. “Apa gue beli water heater aja? Too much nggak menurut lo?” 

Zale mendelik. “Too lol, Sak, itu mah. Bukan too much.” 

“Yuuurrr ....” Suara dari pengeras suara yang berada di atas sebuah mobil pick-up tukang sayur terdengar. “Sayur, sayuuur. Barade moaaal? Mun moal, Amang rek uih deuiiii.”

[Sayur, sayuuur. Pada mau nggak? Kalau nggak, Abangnya mau pulang lagi.]

Panggilan itu, membuat banyak ibu-ibu segera keluar dari rumah-rumah, buru-buru mengenakan sandal, memakai kerudung sambil berjalan padahal masih mengenakan daster. Dan, percaya atau tidak, Juana dan Samira menjadi bagian dari ibu-ibu yang kini berlarian memburu tukang sayur itu. 

Gege yang ditinggal sendirian di tangga beranda hanya melongo, sedangkan Zale kini berdecak sambil geleng-geleng. “Astaga .... Nggak nyangka cewek gua akan bertarung dengan emak-emak dalam waktu sepagi ini.”

“Bagus lah ...,” balas Jenggala.

Zale masih menatap Juana takjub. “Biasanya masih molor dia, Ngga ....” 

Sabine prengat-prengut sambil keluar dari posko. “Onaaa ....” Dia membawa manguk di atas nampan yang diminta Cleona. “Lo jadi gantiin gue hari ini buat keliling sama Gesang, kan?” tanyanya.

Cleona mengangguk. “Iya, boleh. Tapi lo gantiin kerjaan gue, ya? Ikut Sakala ke desa, buat ketemu Ibu-ibu PKK.”

Sabine mengernyit. “Ketemu Ibu-ibu PKK?” tanyanya. “Ngapain? Mau bikin konten MasyaAllah Tabarakallah, Moms?” 

“Ya kali ah ....” Yesa mendelik sinis. “Lo mah ....”

“Buat sosialisasi digitalisasi UMKM, Bine.” Cleona meringis kecil. “Mau nggak?” 

Sabine mengerucutkan bibir. Berpikir sesaat. “Lo mau ke mana hari ini, Ge?” tanya Sabine pada Gege.

“Ke jembatan Cimacan paling, dokumentasiin pembangunan gapura desa. Katanya hari ini dimulai,” jawab Gege.

Sabine berdecak. “Ya udah, gue ikut Sakala aja deh. Di jembatan panas pasti.” Masih dengan prengat-prengut-nya yang khas.

“Atau mau ikut gue ke Masjid Ar Rahman?” tanya Yash. Laki-laki itu menghampiri beranda rumah setelah selesai mengeringkan body motor, jadi hanya Kama yang masih mencuci motornya sendirian. “Rencananya mau bikin rancangan rak Al-Quran yang rusak.”

“MasyaAllah, Akhi.” Sabine memegangi dadanya, menatap . “Nggak dulu, deh. Gimana kalau gue disuruh ngajar ngaji? Lo aja. Gue belum siap.” 

Orang-orang di sana tampak ingin sekali me-rauk wajah Sabine. Namun teriakan Juana dari kejauhan membuat perhatian mereka kembali teralihkan. “Zaleee!”

Yang dipanggil namanya langsung sigap berdiri. Dia memindahkan laptopnya ke pangkuan Jenggala. “Ya!” 

“Zaaaleee.” Teriakan Juana terdengar lagi. 

“Ada apasih, Jua? Sayangku, Cintaku, Mataharikuuu.” Zale langsung berdiri dan menghampiri Juana yang kini tampak keberatan dengan beberapa kantung belanjaan di jinjingannya. “Taruh di situ—Aduh, keberatan ya, Sayang?” 

Halah .... Semua orang di beranda memutar bola mata melihat tingkah Zale yang kini berkata, “Utututu ....” sambil menghampiri Juana. 

Gege harus meninggalkan keramaian di beranda rumah itu, karena kini ponselnya yang berada dalam genggaman tangan bergetar. Dia melihat nomor ‘Om Kayi’ muncul di layar ponselnya.  Senyumnya mengembang karena tahu akan mendapatkan kabar baik. Lalu, Gege melangkah ke sisi rumah untuk menghindari kebisingan. “Om Kayiii.” Dia menahan teriakannya dan mendengar suara berat di seberang sana tertawa.

Seneng banget Om Kayi bisa denger suara mahasiswi yang akhir-akhir ini sibuk banget nih!” ujar pria itu. “Om jadi ya datang, nanti siang kayaknya baru sampai. Ini baru berangkat dari Jakarta soalnya.”

“Oke! Aku tunggu ya! Bawa pesananku, kan?” tanya Gege.

“Bawa dong. Titipan dari Bubu sama Yaya juga Om Kayi bawa semua.”

Gege tertawa saking senangnya. “Hati-hati di jalan ya, Kesayangan Akuuu.”

“Oke, Sayangnya Aku. Terima kasih ya.”

Saat sambungan telepon terputus, Gege berbalik. Dia hampir saja mengumpat saking terkejutnya. Di hadapannya kini, berdiri Kama dengan kaus dan celananya yang setengah basah berkat mencuci motor tadi. “Telepon dari siapa?” tanyanya. 

***

“Om Kayiii!” Gege segera berlari setelah berhasil turun dari boncengan Yesa. Dia menghampiri seorang pria berkemeja biru langit dan kacamata hitam yang bertengger di tulang hidungnya. 

Pria itu, berbalik, tersenyum—selalu tampak keren, dan merentangkan tangannya. Saat Gege sudah berada dalam jangkauannya, pria itu menangkap tubuh Gege dan membuatnya melayang di udara sambil berputar.

Tingkah keduanya sempat menjadi perhatian beberapa warga yang tengah bekerja. Juga Kama dan Yesa yang kini menghampiri keduanya setelah berhasil memarkirkan motornya di tempat yang aman. 

Om Kaivan membawa Gege menepi, ke tempat yang teduh dan jauh dari debu gapura lama yang tengah dihancurkan warga. 

“Kangen banget akuuu!” ujar Gege setelah kakinya berhasil menjejak tanah. Sudah lama dia tidak melihat Om kesayangannya itu, sahabat dari orangtuanya yang dulu dia anggap sebagai pria paling keren setelah Yaya. 

Mimpi masa kecilnya dulu jika tidak berhasil menjadikan Kama suami adalah mengajak Om Kaivan menikah. 

Namun tentu saja itu tidak terjadi. Seorang wanita cantik dan hebat berhasil memiliki hati Om Kaivan. Om Kaivan menikah dengan seorang wanita bernama Kanina dan sekarang mereka memiliki seorang putri yang cantik. 

“Om juga kangen banget sama kamu.” Om Kaivan merengkuh kedua sisi wajah Gege. Keningnya mengernyit. “Kamu kurusan nggak sih, Sayang?” 

“Masa, sih?” Gege ikut meraba pipinya.

“Kamu jarang makan kali selama KKN di sini?” 

“Lebayyy. Aku baru dua hari ya KKN di sini!” Gege mendelik. “Jangan bilang aneh-aneh deh, nanti kedengeran Yaya. Kalau tahu aku kurusan, Yaya pasti jemput aku buat pulang dan nggak boleh KKN lagi!” 

Om Kaivan tertawa seraya mengusap puncak kepala Gege. Menciumnya sebelum Kama dan Yesa tiba di hadapannya. 

Om Kaivan datang ke Welasasih setelah Kama menghubunginya dan meminta Advaya Group untuk menjadi donatur pembangunan gapura Desa Welasasih. Dan ya, siapa yang akan menolak permintaan keponakan kesayangannya itu? Kama adalah anak laki-laki pertama yang lahir di antara pertemanan para orangtuanya, keinginannya selalu didengar. 

“Om sudah siapkan semua hal untuk pembuatan gapura, hari ini survei karena memang Om lagi free dari proyek di Jakarta.” Selama bicara, Kaivan merangkul Gege. “Sambil nengok kesayangan Om ini nih.” Lalu tatapannya terarah pada Yesa dan Kama. “Kalian jagain, kan?” 

Yesa mengangguk cepat. “Jagain dong.” Alisnya terangkat. “Cuma kadang kecolongan aja, kayak kemarin. Waktu aku sibuk di balai desa ngerjain proker, mereka malah pergi berdua.”

Om Kaivan menoleh pada Gege. “Ke mana kamu sama Kama kemarin?” 

“Ke sini.” Gege menunjuk ke arah gapura. “Dipanggil Pak Kades.” Berdecak, lalu menatap ke arah Yesa. “Lagian kemarin ke sini sama Rajata juga tahu! Nggak berdua Kama doang!”

Yesa dengan tampangnya yang menyebalkan itu menggerak-gerakkan bibirnya. “Nyenyenye.” Tanpa suara. 

Pengen nampol aja. 

“Pengerjaannya, beneran mau mengandalkan warga semua, Ka?” tanya Om Kaivan. “Om Arjune juga bersedia kok menyediakan tenaga bantuan kalau diperlukan.” Dia menyebutkan nama pemilik Advaya Group. 

Kama menggeleng. “Nggak usah Om, ini udah lebih dari cukup kok. Biar kami yang bantu bereskan sisanya.”

Om Kaivan mengangguk. “Oke kalau begitu.” Setelahnya, Om Kaivan menunjuk ke arah mobil SUV yang terparkir agak jauh dari tempat mereka berdiri. “Pesanan kalian udah Om bawa tuh.” Tangannya menarik Gege untuk ikut berjalan, diikuti oleh Kama dan Yesa. “Ada semua pokoknya.” Setelahnya, Om Kaivan membuka bagasi mobil. “Makanan dari Yaya dan Bubu, ini yang di kantung kresek besar pesanan khusus Gege. Ini, alat-alat yang Kama minta. Yesa Om beliin banyak makanan buat di posko tadi dan ada titipan kopi dari Mbun juga.”

“Wiii, makasih.” Gege bertepuk tangan kecil.

“Nanti Om antarkan ke tempat kalian, sekalian Om ingin lihat keadaan poskonya.” Om Kaivan mengangkat kantung kresek putih pesanan Gege. “Ini buat siapa, sih, Ge?”

“Buat seseorang.” Gege tersenyum. 

“Dan ini, alat-alat listrik ini, buat bantu warga ya, Ka?” tanya Kaivan pada Kama. 

Kama mengangguk. “Alat-alat yang aku bawa nggak lengkap soalnya. Makasih ya, Om.” Dia memeriksa kotak merah berisi seluruh peralatan yang dia butuhkan.

“Kereeen,” puji Om Kaivan. “Om nih takjub banget sama kalian berdua. Pasangan yang setara.” Om Kaivan membuat bentuk persegi dengan jarinya, seolah-olah tengah membidik Gege dan Kama yang berdiri bersisian. 

“Bener. Setara,” ujar Yesa. Dia tidak serius memuji sih, pasti hanya sedang mencibir. “Dua-duanya keren banget kalau masalah mengabdi ke masyarakat.”

“Pasti dong! Yaya kamu tuh dulu, Om tahu banget nilai PKn-nya tinggi,” ujar Om Kaivan memberi tahu. “Dan Om Janari jiwa sosialnya udah tinggi banget karen suka berbagi kon—” Tiba-tiba saja Om Kaivan tergelak sambil mengusap keningnya. “Berbagi saat kon—kondisi teman-temannya sedang kesulitan.”

Lalu tangan Kaivan menepuk-nepuk pundak Kama. “Jagain Gege, Ka.” 

Kama meraih tangan Gege. “Aku jagain kok.”

Lalu, tangan Gege berusaha menepis, diam-diam dia melotot pada Kama dan bicara dengan suara berbisik. “Lepas nggak? Gue udah mandi!” 

***

Ada satu karung beras, makanan frozen buatan Bubu, dan beberapa stok makanan yang dititipkan oleh ibunya itu. Lalu, ada puluhan cup kopi dari Tante Jena—Ibunya Yesa. Ada juga  dua kotak pizza berukuran besar yang sengaja Om Kaivan beli saat di perjalanan. Sekotak alat pertukangan yang Kama butuhkan, juga satu kantung kresek putih pesanan Gege. 

Tante Chiasa mengirimkan beberapa buku bacaan anak donasi dan, Oh, iya, satu lagi, wanita itu juga menitipkan beberapa sweter rajut yang baru dibelinya, khusus untuk Gege. “Biar Gege hangat di sana, dipakai ya. Jangan dengerin Kama kalau dia modus-modus buat meluk kamu biar kamu nggak kedinginan!” Pesannya di telepon.

Semua barang itu, sudah tiba di posko. 

Om Kaivan kembali ke Jakarta ketika sudah selesai memastikan seluruh alat dan bahan untuk membangun gapura tiba di Welasasih dan diterima oleh kepala desa. Pria itu mengatakan banyak hal pada Gege, “Jaga diri baik-baik. Jangan berdua doang sama Kama. Kamu kalau ke mana-mana, ajak Yesa juga.” Seolah-olah, Kama itu adalah makhluk yang begitu berbahaya. “Om pulang dulu. Nanti Om tengok lagi kalau ada waktu.” Setelah memeluknya lama, Om Kayi benar-benar pergi meninggalkan Welasasih.

Waktu sudsh beranjak sore. Semua anggota KKN sudah tiba di posko saat Gege mengantarkan Om Kaivan hingga ke jalan utama. Berjalan, mendekat ke arah posko yang bising. Pizza sedang mereka habiskan, Javindra tampak bahagia sekali karena akhirnya dia menemukan kopi hari ini.

Gege melangkah menuju beranda, membawa dua baskom milik Mak Wasih dan satu serbet kotak-kotaknya, sengaja duduk di sana sambil memeluk kantung kresek putih yang sejak tadi dibawanya. Kakinya menjulur ke bawah, hampir menyentuh rumput di halaman, dia goyang-goyangkan bergantian. Wajahnya sesekali melongok ke rumah kayu yang berada di samping posko, rumah Mak Wasih. Memeriksa, apakah pemiliknya sudah ada di rumah atau belum.

Terdengar percakapan dari arah dalam posko. “Di sini nggak ada dokter, Bray. Beneran nggak ada klinik. Di Puskesmas pun belum disediakan dokter jaga, adanya Mantri. Dan satu bidan, yang jarang ada di Welasasih,” ujar Gesang. 

“Kenapa jarang ada di Welasasih bidan-nya?” tanya yang lain.

“Katanya, Bu Bidan tuh LDR sama suaminya. Suaminya kerja di Bekasi kan, jadi Bu Bidannya bolak-balik mulu ke Bekasi dan jarang ada di sini,” jelas Cleona. “Itu informasi yang gue dapatkan dari Ibu-ibu PKK.”

“Ghibah lo mah, Na.” 

“Eh, tadi ada Mak Wasih ke sini,” ujar Keiya. Kebetulan, Keiya hari ini mendapatkan jadwal piket, jadi dia menjaga posko dengan Javindra. “Gue nggak ngerti Mak Wasih bicara apa, soalnya nggak ada Gege.”

Mendengar hal itu, Gege menoleh ke belakang, pada keramaian di dalam posko, karena dia masih satu-satunya yang duduk sendirian di beranda. “Terus? Gimana, Kei?” 

“Terus tadi gue diajak ke rumahnya,” lanjut Keiya. “Dia nunjukkin lampu dapurnya yang mati. Jadi Javin berinisiatif gantiin lampunya,” jelasnya. “Tapi itu bukan perkara lampu yang mati deh, tapi mungkin ada arus listrik yang korslet.”

“Tadi gue nunggu lo, Ka. Peralatan di posko nggak lengkap soalnya,” ujar Javin.

“Sekarang lengkap nih,” ujar Kama. “Gue sengaja bawa ....” 

Entah apa lagi yang dibicarakan oleh orang-orang di posko. Karena Gege kini melompat dari beranda saat melihat Mak Wasih memasuki rumahnya dengan satu mangkuk pakan ternak di tangannya yang baru saja dia taruh di teras. Gege menghampiri wanita bertubuh ringkih yang berjalan membungkuk itu.

Masih sama seperti biasa. Kebaya kutubaru, kali ini berwarna hitam yang satu kancingnya terlepas dan digantikan oleh peniti, dengan bawahan berupa kain batik hijau tua yang warnanya sudah pudar, mungkin karena keseringan dicuci. Dia masih mengenakan sandal yang sama dengan rafia merah pengganti tali sandalnya. 

Gege mengusap lengan Mak Wasih dari belakang, agar wanita itu tidak terkejut. Dan dia berhasil membuat Mak Wasih berbalik. Tersenyum saat wanita itu menatapnya. Gege mencium tangannya, lalu menghadapkan telapak tangannya pada Mak wasih. Dua tangannya bergerak memutar ke belakang. “Mak, sudah pulang?” 

Mak Wasih mengangguk. Tangannya menunjuk ke pintu rumah. Ayo masuk, ajaknya.

Gege mengangguk. Suara engsel tua dari pintu yang terbuka itu, terdengar. Gege melihat ke dalam ruangan.  Di ruangan itu, ada empat kursi kayu beralaskan kain merah mengelilingi satu meja berbentuk persegi, lemari tua berkaca berisi piring dan gelas, lampu bulat menggantung rendah—pasti warnanya oranye hangat. 

Di sebelah kanan, ada dua kamar yang ditutup oleh tirai kain berbahan tipis sehingga melambai-lambai saat tertiup angin dari pintu depan yang terbuka. 

Rumah itu sudah tua, tapi pemiliknya tampak telaten membersihkan. Gege tidak merasakan sedikit pun debu di lantainya, tidak juga dia temukan kotor serupa sarang laba-laba di sudut rumah layaknya rumah tua. Kini, Gege duduk di lantai kayu, merasakan sulur-sulur seratnya yang terasa licin karena Mak Wasih yang pasti rajin membersihkan. “Duduk di sini saja,” ujar Gege saat Mak Wasih mengajaknya duduk di atas kursi. 

Mak Wasih mengangguk. Wanita itu, matanya selalu berbinar dan berair saat menatap lawan bicara, wajahnya tidak berhenti tersenyum dengan pipinya yang mengerut karena seluruh giginya hampir tanggal. 

Gege menyerahkan wadah milik Mak Wasih. “Aku mau mengembalikan ini,” ujarnya. Lalu membuka kantung kresek putih yang dibawanya. “Aku punya sesuatu,” ujarnya walau tahu Mak Wasih tidak mendengar ucapannya. “Ini ... sandal.” Gege mengeluarkan sebuah sandal baru jepit berwarna biru, permukaan injakannya empuk, alas sandalnya tidak licin, sesuai dengan pesanannya. “Ini buat Mak Wasih.” Gege memberikan sandal itu.

Dan Mak Wasih menerimanya. Senyumnya tampak semakin lebar, matanya tampak berkaca-kaca sambil menunduk menatap sandal yang kini didekapnya. 

“Ini jam dinding.” Gege membuka kotak kedua. “Jam dinding Mak rusak, kan?” tanyanya sambil menunjuk jam dinding yang sudah tidak berdetak jarum detiknya, yang masih menggantung di dinding kayu rumahnya. 

Mak Wasih menyengir, gusi-gusinya terlihat, dia tampak lucu.

“Dan ini, ada ... kue cokelat!” Gege mengacungkannya. “Mak Wasih mau coba?” tanya Gege.

Dan Mak Wasih mengangguk, dia baru saja mengusap sudut-sudut matanya. Tangannya yang gemetar, menerima potongan kue cokelat gluten free pemberian Gege. Lalu, menyuapkan ke mulutnya yang kecil. Kembali menatap Gege, tangan lainnya mengusap lagi sudut mata, lalu mengacungkan ibu jari. Enak, katanya. 

Tangan Gege bergerak mencubit kaus di bagian dadanya ke depan. “Mak, suka?” 

Mak wasih mengangguk. Tangannya bergerak ke dada, Terima kasih. 

“Sama-sama,” balas Gege. “Terima kasih juga, ubi rebusnya .... Enak.” 

Mak Wasih bertanya dengan gerak tangannya. Suka?

Tangan Gege bergerak lagi. “Suka sekali. Langsung habis. Dimakan ubinya.”

Mak Wasih mengangguk. Masih sambil mengunyah kue cokelat pemberian Gege.

Setelah satu potong kue cokelat habis, Gege bertanya. “Mau lagi?” 

Mak Wasih menggeleng. Tangannya menepuk perut, masih sambil tersenyum. Kenyang

Gege mengangguk, menutup kotak kue itu. “Buat besok, disimpan saja.” 

Mak Wasih meraih kotak itu. Lalu bangkit dan menuruti ucapan Gege untuk menyimpan kotak itu di atas meja, wanita tua itu tampak bahagia sekali dengan sandal barunya, sehingga dia masih mengenakan sandal itu saat berjalan di rumah, tidak melepasnya sama sekali. Saat berbalik pada Gege, Mak Wasih bertanya dengan satu tangannya digerakkan ke mulut. Mau makan? 

Gege menggeleng. “Sudah kenyang.” Lalu, tangannya menunjuk jam. “Nanti, jamnya dipasangkan oleh—“

“Permisi.” Sebuah suara terdengar, membuat Gege menoleh. Sedangkan Mak Wasih menoleh karena mengikuti gerak Gege. 

Di ambang pintu sekarang, ada Kama. Dia tersenyum sambil menjinjing satu kotak berisi peralatan miliknya. “Ada listrik yang rusak katanya di dapur Mak Wasih. Gue mau benerin,” ujarnya pada Gege, lalu mengangguk pada Mak Wasih.

Gege menyampaikan pesan Kama pada Mak Wasih. 

Mak Wasih mengangguk. Dia menyetujui Kama untuk membenarkan lampunya, lalu, dia mengajak Kama menuju ke dapurnya yang gelap. Lihat, wanita itu masih mengenakan sandal pemberian Gege, sama sekali tampak enggan melepasnya. 

Di dapur, Gege duduk di sebuah bangku kayu, melihat Kama yang kini bersiap naik ke atap melwati lubang langit-langit dapur Mak Wasih yang tidak terlalu tinggi, sementara Mak Wasih berdiri dan menatap Kama dengan raut sedikit khawatir. Dia bicara pada Gege bahwa kayunya rapuh dan Kama harus berhati-hati.

Saat Mak Wasih bicara, Kama otomatis memandangi Gege, memintanya untuk menerjemahkan. “Hati-hati,” ujar Gege.

“Oke. Aman.” 

Tubuh Kama menghilang setelah masuk ke lubang langit-langit, menanggalkan satu kotak peralatan yang dibawanya tadi, menitipkannya pada Gege. Lama dia berada di atas setelah meminta Gege mematikan saklar. Hanya terdengar suaranya tengah mengerjakan sesuatu, lalu sesekali dia melongok dari lubang untuk meminta alat pada Gege. “Ada kabel yang kekelupas, minta kabel baru Ge. Ada di kotak.”

Dan Gege menyerahkannya. 

Kama naik lagi, menghilang lagi dan terdengar suara gerak tangannya yang tengah bekerja. 

“Hati-hati, Ka,” ujar Gege. Lalu, dia mengerjap-ngerjap, menggigit bibirnya. “Kata Mak Wasih, ya. Bukan kata gue.” Padahal Mak Wasih tidak memberikan isyarat apa pun.

“Iya,” sahut Kama. Tidak lama, wajahnya melongok lagi dari lubang. “Tespen, Ge.”

“Hah?” 

“Tespen.”

Gege menunduk. Tangannya sudah meraba-raba peralatan. “Yang mana?” 

“Itu yang itu, yang kecil.” Tangan Kama menunjuk dengan arah yang tidak jelas. “Lihat arah telunjuk gue, Ge.”

“Ini?” Gege mengacungkan satu alat. 

“Bukan. Sebelahnya. Nah—eh, bukan, bukan itu, Ge.” Kama tertawa kecil. “Itu yang gagangnya transparan. Nah itu. Pinter. Oke. Siniin.” 

Setelahnya, Gege kembali mengangsurkan lagi alat yang Kama butuhkan. Dan Kama kembali bekerja. Lalu, beberapa saat kemudian, Kama meminta Gege menyalakan lampu. Dan, voila. Lampu menyala. Mak Wasih bertepuk tangan kecil. 

Kama menuruni tangga, melompat. Laki-laki itu, memiliki debu hitam di beberapa bagian wajahnya, rambutnya penuh dengan sarang laba-laba. “Udah selesai,” ujarnya. Tangannya menepuk-nepuk debu. 

Saat Kama menghampirinya, Gege berdiri. Tangan Gege otomatis terulur untuk mengusap sarang laba-laba di rambut Kama, sehingga laki-kaki di depannya menunduk. Tanpa sadar, Gege melepaskan satu tawa, “Muka lo cemong banget sumpah, Ka.” Dan setelahnya, wajah Kama mendongak, tatap mereka bertemu, senyum Gege lenyap dalam sekejap. 

 

***

 

 

Mak Wasih : Cing atuh euy ...........

 

 

Kama Kama ini sedang merayu haters-nya W liat-liat. WKWKWKWKWK.

 

 

MARI BERI SATU PESAN UNTUK KAMA DI SINI

 

Pokoknya. Update sesuai vote dan komen. Kalau vote-nya gacor, komennya dibakar mah ayokkk lah kita gas lagi part selanjutnya yang cepet 😋 🔥🔥🔥🔥🔥

post-image-6762d7e193c11.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [Snack Time : Kang Faldi]
453
126
“Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!”Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak terima saat banyak laki-laki yang mendekat pada Gege dan menyatakan suka. Ternyata, usaha Gege sia-sia saat diingatkan bahwa cinta pertamanya adalah Kama.Ketegangan terus berkembang, hingga semua masalah bermunculan dengan sembarangan. Jadi, bagaimana Kama? Kamu tetap pada Laika atau memutuskan kembali pada Gege dan menyatakan suka?24/11/24
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan