Hello, KKN! | [61. Memberi Jeda]

542
116
Deskripsi

"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"

Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.

Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.

Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...

Hello, KKN! | [61. Memberi Jeda]

post-image-68285d25c77b2.png

 

 

 

Haiii 🌼

Cepet kan updatenyaaaa? 😋

 

 

Gacor sekali vote dan komennya weeehhhh. Kereeennnn. 😭🏻

 

Habis ini bakal ada part yang dipublish di Karyakarsaaa yaaa. Mungkin agak malemannn. Tungguin aja pokoknya! Seneng nggak dapet double update? Xixi. 

 

 

Selamat malam mingguan bersama Kama dan Gege yaws. 🌼 4500 kata nih. Galau banget kalau nggak rame 🥲

 

 

Semangat vote sama komennya ya. Biar  part selanjutnya cepet updateeee 🏻🔥🔥🔥🔥🔥

 

***

 

 

 

 

Ada dua luka di pangkal lengan kanannya, di balik kemejanya yang robek dan dikotori oleh bercak darah. Lalu luka di bagian pundak yang mulai terasa perih. Ada yang mengalir di wajahnya sesaat setelah meninggalkan Om Favian tadi, hanya dia tepis sembarang karena dia pikir hanya peluh yang bercucuran. Ternyata itu darah, luka di keningnya baru dia sadari saat para perawat memeriksa keadaannya dan mengobati luka-lukanya.

Luka yang dia dapatkan memang tidak separah luka-luka yang Om Favian miliki. Namun tetap saja, dia harus mendapatkan perawatan intensif setidaknya untuk malam ini, menginap di salah satu ruang rawat di rumah sakit yang sama. Sendirian. Karena Pia dan rekannya yang lain sibuk mengurus laporan tentang kecelakaan tadi karena rupanya tidak hanya mobil Kama yang menjadi korban dari reruntuhan. Ada dua mobil lain di belakangnya terjebak oleh bencana tersebut yang merupakan bagian dari perusahaannya. 

Ayahnya pasti sibuk sekali saat ini. Sementara itu, Mia yang baru saja meneleponnya dan memberi kabar bahwa Kakek Chandra masuk rumah sakit karena konsumsi gula hariannya berlebih hari ini, berkata dia tidak bisa langsung pergi ke menemui Kama. 

Di ruangan yang hanya terdengar gemuruh air conditioner itu, Kama baru saja membilas rambutnya yang kotor akibat kejadian tadi. Dia keluar dari kamar mandi setelah tubuhnya dia bersihkan sebisanya, karena lengan kanannya masih sulit bergerak. Lalu, dia duduk, menyalakan televisi yang menyiarkan berita politik. 

Kama merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Baru saja dia temukan hening,  yang tenang, sepakat pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan mencemaskan apa-apa yang membuat bising kepalanya hari ini. Tentang Gege, yang dia temui sekilas saja beberapa saat yang lalu. 

Wanita yang akhir-akhir ini membuat Kama bimbang terhadap usahanya sendiri. 

Walaupun sebelumnya, dengan percaya diri dia telah berkata pada Mia dan Tante Alura tentang keinginannya mengembalikan Gege ke sisinya, dengan keadaan saat ini sepertinya tidak apa-apa jika dia memutuskan untuk mengambil jeda waktu agar mereka bisa sama-sama damai dengan keadaan yang tengah mereka hadapi sekarang.

Terutama Gege, dia kelihatan bingung sekali, dia kelihatan gamang pada keputusan yang hendak diambilnya. 

Kama baru saja menghela napas panjang, memejamkan mata dengan tenang. 

Namun, “ABANGKUUU! ASTAGFIRULLAH!” Suara Kale terdengar, tidak bisa diprediksi sekali kebisingan hidupnya akan hadir secepat ini. “Gimana keadaan kamu sekarang, Mas?” Nada suaranya itu, walaupun dibuat peduli, tetap saja terkesan mengejek. 

Sehingga, alih-alih menyambut kedatangannya dengan baik, tubuh Kama perlahan berbalik untuk memunggunginya.

“Heiii, Monyiadddhhh? Bagus begitu sikap lo?” teriak Kale.

Tuh, kan? 

Kale menghampiri Kama dan menarik pundaknya agar Kama kembali menghadap ke arah kedatangannya. Namun, gerakan memaksanya itu menghasilkan erangan kesakitan dari Kama. “Aduh, sori, sori, ada luka di sini?” 

“Sakit!” Kama menepis kencang tangan anak setan itu. “Minggir lo.” Kama tidak lagi berbaring, dia bangkit dari posisinya dan bergerak duduk. 

Makhluk biadab yang suka tiba-tiba muncul itu kini mengeleng-geleng, tampak iba dengan keadaan Kama. Setidaknya, raut wajahnya berkata demikian. Namun entah bagaimana kata hatinya berucap kini. “Anjir, anjir .... Ini sih udah bukan jatuh tertimpa tangga lagi ya nasib lo, Ka. Sudah jatuh tertimpa reruntuhan batu! Naas!” Kale menggeleng-geleng. “Habis kena pukul pacarnya mantan, lo tebolak-balik bareng mertua gagal.” Kale berdecak lagi untuk menunjukkan rasa iba. 

“Lo pasti seneng deh lihat gue kayak gini, apa jangan-jangan lo berharap gue nggak selamat?”  Kama menatap Kale sinis. “Biar lo bisa ngejar Gege tanpa perlu lawan gue lagi.” 

Kale menepuk lengan Kama yang bebas dari luka. “Ah, suka gitu .... Jadi malu.”

Lihat kan, anak sialan itu? 

Kale tertawa. Dia baru sadar belum menaruh tas ranselnya, bergerak menuju sofa di ruangan itu dan menaruhnya di sana beserta jaket yang sejak tadi dia jinjing. “Ka, lo nggak anggap keinginan gue menikahi Kak Gege ini serius, kan?” tanyanya. “Ayo lah, becanda dikit jangan kaku melulu Lo mah .... Gue tuh seneng sama Kak Gege karena ya ... dia sosok kakak perempuan idaman gue.” 

Kama masih menatapnya skeptis. 

Kale memang berencana mengunjunginya ke Pekanbaru sejak jauh-jauh hari. Kebetulan saja kedatangannya bertepatan dengan kejadian buruk yang menimpa Kama. “Mia nggak bisa ke sini, tadi ngabarin saat gue baru sampai bandara. Kakek Chandra masuk rumah sakit.”

“Tahu gue.”

“Lo nggak usah sedih gitu dong, kan saudara tercinta lo ini udah datang untuk merawat keadaan lo sampai pulih.” 

Kama berdecak. “Nggak usah.” Tambah parah yang ada. 

“Nggak usah sungkan, Ka.” 

Buka  sungkan. Cuma nggak sudi aja. 

Kale menarik kursi di samping ranjang, saat Kama hendak berbaring, dia membantu Kama mengatur ketinggian kepala ranjang agar Kama bisa berbaring dengan nyaman. “Dramatis banget hidup lo, Ka ..., Ka ....” Kale bergerak duduk, di kursi yang berada di sisi ranjang. “Lo belum sempat caper buat baca Pancasila atau Pembukaan Udndang-undang dong, Ka, di depan Om Favian?” Wajahnya tampak menyayangkan. “Harusnya sih Sumpah Pemuda aja Ka, biar pendek.” 

“Dikira mau daftar CPNS kali gua?”

Kale melepaskan tawa. “Tapi, Ka .... Harusnya ya, setelah kejadian ini, Om Favian lebih berbesar hati,” ucapnya. Kama pikir Kale akan serius kali ini. “Soalnya, setelah lo gendong dia, dia pasti sadar nilai PKn lo lebih besar dari dirinya sendiri—pakar dan ahli di bidangnya.” 

Kama menatap Kale serius lalu, dia bicara, “Lo bisa nggak ... nggak usah ngomong kalau nggak penting-penting banget?” 

Kale menggerakkan telunjuknya di hadapan wajah Kama, sampai Kama menepisnya kesal. “Nggak bisa. Segala yang ada di pikiran gue ini berharga, dan gue nggak mau menyimpannya sendirian,” ujarnya. “Lagian gue nggak lagi bercanda, Ka. Gue serius. Tentang Om Favian .... Ini kalau kata dia nyalain lampu buat lo, bukan lampu ijo lagi, Ka. Udah kelap-kelip.”

Kama berdecak.

“Lo udah ketemu Kak Gege?” tanya Kale. “Kan Kak Gege ada di sini, Ka.”

Kama mengangguk. “Tadi pas baru nyampe.” 

“Terus? Sempet ngobrol?” 

Kama menggeleng. “Nggak. Gue langsung pergi.”

“Jiakh .... Sok-sokan,” cibirnya. “Padahal, aslinya pengen banget dipeluk kan lo?”

Kama mendecih kecil. “Nggak lah .... Gue nggak lagi pengen ngapa-ngapain sekarang, lagi capek dulu.”

Kale bertepuk tangan. “Kereeen, Abangkuuu! Jadi motif lo nolongin Om Favian ini beneran tulus, ya? Bukan karena ngejar anak gadisnya?” tanyanya. Lalu tangan Kale mengusap-usap kepala Kama. “Anak baik.”

Setelahnya, Kama mencoba terpejam. 

Namun Kale tidak membiarkan hal itu. Dia kembali bicara. “Tapi Ka, kalau lo memutuskan untuk nggak berusaha, lo beneran nggak akan dapat apa-apa,” ujarnya. “Gue dapat mobil sama motor lo, Yesa dapet Land Cruiser, lo cuma dapet traumanya doang Ka ... mana empat tahun. Ini sayang banget.”  

“Gue udah bisa terima .... Nggak apa-apa.” 

“Yah ....” Kale menghela napas. “Oke lah, sampai di sini gue lihat, seandainya lo nggak bisa balik sama Gege ..., seenggaknya lo berhasil bikin  hubungan lo dan orangtua Kak Gege membaik, Ka .... Lo keren lah ....” 

Tidak disangka-sangka, Kama membutuhkan kata-kata itu untuk mengobati sedikit kelelahannya. Lagi, Kama hendak memejamkan mata, namun seseorang menelepon dan ponselnya berdering. 

Kama meraih benda itu dari kabinet di samping ranjang. Melihat namanya, Gege. Dia menimbang-nimbang selama beberapa saat. Untuk mengangkatnya atau tidak. Namun, Kale, dengan kurang ajar, kini menggeser tombol hijau di layar  ponselnya tanpa izin..

Kama hendak memukul Kale yang kini bergerak menjauh, menuju sofa di sisi ruangan. Sambil cekikikan, dia hanya melihat Kama yang kini memutuskan untuk bicara pada Gege.

“Halo, Ka ...?” Suaranya, entah mengapa kini mampu membuat dunia Kama tiba-tiba mengecil—segala keramaian mendadak menghilang, dan hanya ada satu frekuensi yang terasa penting: suaranya. Wah, perasaan bahaya apa itu? “Ka, aku .... Aku pengen ketemu.

“Kalau kamu mau nemuin aku Cuma untuk berdebat, yang ujung-ujungnya kita akan bertengkar lagi ..., jangan sekarang.” 

Kita nggak bisa bicara sebentar?

“Saat ini aku masih pengen egois dan ... lagi nggak bisa bicara santai. Daripada kamu nggak sengaja aku bentak, gimana kalau kita bicaranya lain waktu aja?” tanya Kama. “Aku yang akan kabari kamu nanti. Kalau semuanya sudah membaik .... Ya?” 

***

Ini malam kedua Gege menginap di Pekanbaru. Aktivitasnya hanya bolak-balik antara rumah sakit dan wisma—yang merupakan tempat tinggal Yaya selama bekerja di kota itu. Dia akan menjaga Yaya di rumah sakit, dan kembali ke wisma untuk beristirahat karena hotel yang telah dia pesan jauh berada di pusat kota. Memang awal tujuan Gege ikut pergi  ke Pekanbaru hanya demi mengantar Bubu untuk menemui Yaya, memberi suntikan semangat di tengah padat jadwal kerjanya. Namun siapa sangka malah Gege dan Bubu yang menerima kejutan kecelakaan itu?

Tadi malam, Gege menerima penolakan saat hendak menemui Kama. Dia hanya melihat pria itu dari kejauhan dengan luka-luka di lengan dan keningnya yang mengalirkan darah ke wajah. Dia temukan cerita dari Yaya bahwa Kama membantunya naik dari bagian curam di bawah jalan untuk bisa naik ke permukaan yang datar dengan selamat hingga mendapatkan bantuan. 

Yaya tidak terang-terangan menangis saat menceritakan kejadian itu, tapi matanya berkaca-kaca, suaranya terdengar serak. Yaya adalah salah satu orang yang begitu kecewa di waktu empat tahun lalu. Bukan hanya karena hubungan Kama dan Gege yang harus berakhir, tapi juga karena Yaya harus kehilangan anak laki-laki yang selama ini menjadi kebanggaannya. 

Gege menghela napas panjang. Kini dia baru saja turun dari mobil kantor yang mengantarnya tiba di gedung wisma. Malam ini, Bubu akan menjaga Yaya sendirian sementara Gege disuruh beristirahat di wisma, lagipula Yaya sudah bisa keluar dari rumah sakit besok pagi. Melirik arloji di pergelangan tangan, sekarang sudah pukul sebelas malam. 

Gege berjalan, menjejak pavingan menuju gedung wisma, lunglai. Isi kepalanya dia kosongkan untuk menghargai kelelahannya hari ini. Namun, langkahnya terayun semakin pelan saat dari kejauhan dia melihat tiga orang laki-laki tampak berbincang menghalangi jalannya, dua berdiri, satu jongkok. 

Saat menyadari kehadiran Gege, percakapan mereka terhenti dan ketiganya menoleh. Mereka tidak berada dekat dengan jangkauan lampu penerang di jalan itu sehingga Gege memutuskan untuk diam dan hanya berdiri. Di sisinya, ada sebuah bangunan bertuliskan ‘gudang perkakas’. Ada beberapa alat kerja proyek di depan bangunan itu jika ketiga pria itu macam-macam. 

Dan benar. Mereka mendekat. 

 Gege hampir saja mengambil satu alat berupa singkup dari depan bangunan untuk memukul salah satu pria yang kini berlari cepat ke arahnya lalu berteriak, “BAAA!” 

Gege menjerit sambil menutup wajahnya. 

Namun, pria di hadapannya malah tertawa-tawa. Membuat Gege perlahan memperhatikan pria itu—dan sialan. Kale? Disusul Yesa. 

Sementara seorang pria berkaus hitam yang kini berjalan tertinggal di belakang hanya berdecak dan merenggut kaus di bagian pundak Kale. Dia Kama, pria yang semalam menolak untuk Gege ajak bicara.

Gege memperhatikan ketiga pria di depannya, dua masih tertawa-tawa, satu hanya menatap heran. 

Lalu, tiba-tiba saja, “Aku udah mau kamu ajak bicara sekarang,” ujar Kama. “Kamu ada waktu?” tanyanya. 

Jujur saja, hari ini Gege lelah sekali. Namun, sebelum pria itu kembali menghindar, Gege menyetujui hal itu. Mengangguk. Dia belum membuat rencana tentang di mana tempat yang akan dia gunakan untuk bicara, sebelum akhirnya, tiba-tiba Kale dan Yesa mendorong Gege dan Kama untuk masuk ke dalam bangunan bertuliskan ‘Gudang Perkakas’ itu hingga keduanya hampir terjerembab. 

Lalu, sesaat sebelum Gege berlari ke arah pintu, Kale dan Yesa berhasil menguncinya dari luar. 

Gege melepaskan napas kasar, muak. Dia berbalik, menatap Kama yang hanya mematung di ruangan yang terasa pengap. Hendak bicara, menuntut penjelasan dari apa yang dia alami saat ini. 

Namun, Kama bicara lebih dulu. “Kamu nggak berpikir aku yang bikin rencana tolol ini, kan?” tanyanya. Dia sendiri tampak terkejut dengan tingkah dua laki-laki di luar ruangan itu. 

Gege melipat lengan di dada. Untuk saat ini, dia percaya bahwa Kama tidak ada di dalam rencana konyol itu. Jarak mereka berdiri kini ... mungkin sekitar lima meter? Jadi sangat aman, Gege tidak perlu berpegangan pada benda apa pun saat melihat Kama yang kini berpenampilan kasual dengan kaus hitam dan celana khaki dengan sandalnya itu hanya menatap Gege dari kejauhan. Rambut yang biasa tampak rapi, kini dia biarkan agak berantakan. 

Kama tampak menggunakan waktu istirahatnya dari pekerjaan karena luka yang dia dapatkan. Yang kini Gege perhatikan. Dua luka yang tampak ke pangkal lengan dan dekat dengan sikut, ujung kain kasa yang tampak keluar di bagian pundak kausnya yang menandakan ada luka di sana, juga satu luka di kening yang hari ini sudah ditutup oleh plester. 

Berapa banyak luka yang dia dapatkan di usianya saat ini, ya? Setelah luka-luka yang dia dapatkan saat penyekapan di Welasasih beberapa tahun yang lalu.

“Kita jadi bicara nggak?” tanya Kama sambil mendorong dua ujung kacamata dengan ibu jari dan jari tengah secara bersamaan. 

Pertanyaan itu membuat Gege sadar bahwa sejak tadi dia belum melakukan hal lain selain memperhatikan pria di hadapannya. Tatap Gege berpendar, memperhatikan ruangan yang berisi banyak lemari perkakas tinggi yang berbaris rapi. Tempatnya tidak semengerikan yang terlihat dari luar karena pencahayaan di ruangan itu bisa dikatakan cukup terang dengan lampunya berwarna kekuningan.

Hanya saja, ruangan itu memiliki beberapa plafon yang rusak. Gege mendongak. Semuanya aman, tapi tidak akan ada hewan liar yang tiba-tiba muncul dari atap itu, kan? Karena terdengar suara-suara berisik dari atap sana sesaat telah pintu tertutup. 

Oke, tatap Gege kembali pada Kama. “Pertama kali bertemu kamu, aku udah janji ... aku akan mengucapkan terima kasih atas pertolongan kamu untuk Yaya,” ujarnya mulai bicara. “Waktu melihat keadaan kamu kemarin.” Dengan darahnya yang mengalir dari kening. “Jujur ... aku khawatir.” 

“Semuanya oke, kok. Aku nggak apa-apa.” Selalu begitu. 

Gege mengangguk. Masih menatap pria yang hilang dari hidupnya selama satu pekan lebih setelah beberapa waktu lalu selalu memberinya kabar tanpa diminta tentang keberadaannya dan apa yang tengah dia lakukan itu. Oke, jangan lagi buang waktu terlalu lama, Gege langsung bicara. “Aku minta maaf,” ujarnya. 

“Untuk?”

Suara di plafon terdengar, mungkin tikus—atau hewan lain—yang kini berjalan di sana? Gege mendongak sesaat, lalu kembali menatap Kama. 

“Untuk kejadian sore itu, atas respons dan sikapku ketika melihat penyerangan Axel terhadap kamu,” lanjut Gege. “Aku minta maaf karena—sore itu, aku panik karena keadaan tiba-tiba nggak terkendali. Axel dengan emosinya yang meledak dan kamu yang pasti clueless banget waktu Axel tiba-tiba menyerang.” Gege menunduk, menatap ujung sepatunya untuk menghindari tatap Kama. “Seharusnya aku nggak tiba-tiba menyudutkan kamu, menekan kamu untuk nggak melawan. Aku kalut banget saat itu sampai memaksa kamu untuk ikut merasa bersalah. Tapi setelahnya aku sadar kok, presentase kesalahan kamu nggak sebesar itu untuk aku bisa bilang kalau kamu nggak berhak melawan.” 

Kama masih menatap Gege sambil melipat lengan di dada, bagian belakang tubuhnya kini dia sandarkan pada salah satu sisi lemari perkakas. “Penjelasannya bisa aku terima,” ujarnya. “Ada lagi?” 

“Jujur .... Saat itu, aku juga panik.” Gege mengangkat wajahnya, dia tatap sepasang mata pria itu. “Aku panik kamu akan balas menghabisi Axel dan masalahnya akan semakin rumit lagi.” Ini bukanpertama kalinya Kama dan Axel berseteru, bahkan dari sejak mereka duduk di bangku SD, Gege sudah menyaksikan bagaimana dia berani memukul wajah Axel.

Kama diam, beruntungnya dia tidak meremehkan penjelasan Gege. 

“Tapi kamu mengerti kemarahan Axel sore itu kan, Ka?” tanya Gege. “Aku yang salah, sikapku kemarin adalah luapan dari semua kebingungan dan rasa bersalahku atas kejadian ... malam itu—malam di mana ... kita menghabiskan waktu bersama di Candani.” 

“Tapi kamu ngerti kan kenapa aku balas pukulan dia kemarin?” Kama balas bertanya. 

“Aku ngerti ....” Gege mengangguk. “Sebagai laki-laki, kamu hanya refleks membela diri saat ada ada seseorang yang menyerang kamu di depan umum,” ujarnya. “Tapi aku mengerti keadaan itu setelah kejadian itu jauh berlalu .... Aku terlambat mengerti ... dan terlambat minta maaf.”

Gege menghela napas panjang. Berbicara dengan Kama, di antara ruangan yang pengap itu, cukup melelahkan ternyata. Dia menoleh ke belakang, dia temukan semacam tenda yang dilipat, ditumpuk dan dirapatkan ke dinding, lalu memutuskan untuk duduk di atasnya.

“Aku sadar kalau aku salah,” ujar Kama. Dia berjalan mendekat. Lalu, seolah-olah mengerti bahwa saat ini mereka memang harus tetap menjaga jarak, dia berhenti di jarak sekitar dua meter, duduk di lantai dengan posis bersila. “Seandainya sore itu Axel datang—tanpa tiba-tiba mukul—lalu menyalahkan aku yang sudah berani-beraninya meniduri pacarnya, aku bisa terima. Aku nggak sesempit itu untuk terus membela diri—ini kita masih membicarakan masalah ‘aku yang balas pukul Axel’ kemarin ya. Belum ke mana-mana,” ujarnya tegas. “Jadi jelas. Pembahasan tentang ini clear, kan?” tanya Kama. 

Gege hanya menatapnya. Lalu terkejut karena suara berisik di atas plafon terdengar lagi. 

“Lalu kita mundur pada kejadian di Candani malam itu.” Dia menarik napas sesaat, lalu, “Aku nggak mungkin bersama kamu malam itu kalau nggak mendapatkan consent dari kamu—ini bukan pembelaan, ini penjelasan. Malam itu, yang aku tahu, kamu menginginkan aku juga,” jelas Kama. “Sekali lagi, aku sadar bahwa aku salah—aku juga akan mengakui kesalahan ini di depan Axel jika dia mau .... Tapi kamu ingat, kan? Setelah kejadian itu, aku berusaha mengejar kamu lagi di saat tahu bahwa kamu dan Axel lagi break. Kamu yang memberitahu aku tentang ini.” 

“Berusaha mengeejar aku?” tanya Gege. “Jadi itu dikatakan usaha, ya? Memanipulasi keadaan, gaslighting, dan—“

“Kalau aku terang-terangan berusaha untuk mendapatkan kamu, kamu nggak mungkin juga langsung menyambut baik, kan?”

Gege mengalihkan tatap ke sisi lain. “Kita ini ngapain, sih, selama ini...?” gumamnya. Mengeluhkan hubungan mereka yang tidak kunjung berakhir itu. 

“Kamu yang ngapain?” tanya Kama. “Kamu bawa Axel ke kehidupan kamu di saat kamu belum selesai dengan segala hal yang kamu tinggalkan di masa lalu.” 

Lama Gege terdiam. Hanya memandangi Kama yang sebenarnya tengah menimbang-nimbang, apakah dia harus menceritakan alasan yang terjadi empat tahun lalu atau .... Dan ya, Gege mengatakannya. “Dia setuju aku jadikan alat untuk melindungi kamu.” Gege kembali mengalihkan tatapnya saat Kama gegas menatapnya lurus-lurus. “Empat tahun lalu, aku tahu semua akan kacau dan aku mengacaukanny lebih dulu sebelum Laika melakukannya. Aku tahu lambat laun Laika akan mengungkapkan semuanya, membeberkan hubungan kalian yang berjalan di saat hubungan pertunangan kita masih berlangsung. Dan aku tahu kesalahan kamu itu akan menjadi kesalahan yang nggak bisa dimaafkan oleh orangtua kita.” 

Kama terdiam, masih mendengarkan. 

“Axel aku bawa untuk ... mengatakan pada semua orang bahwa aku nggak pernah sakit oleh hubungan kamu dan Laika. Aku ingin memberi tahu bahwa aku nggak pernah terpengaruh oleh hubungan kalian—“

“Saat itu aku udah janji sama kamu, aku akan berusaha untuk melewati apa pun penghakiman yang aku terima demi bisa sama kamu.” Kama baru membalas ucapannya. 

“Semua usaha kamu itu nggak akan ada artinya di situasi yang kacau itu, Ka. Dan aku tahu kamu nggak akan berhenti mengejar aku seandainya aku nggak menyeret Axel saat itu,” jelas Gege.  “Axel adalah orang yang tepat untuk menghentikan usaha kamu.” 

Kama mengangguk. “Dan berhasil .... Kamu berhasil bikin aku berhenti,” gumamnya. 

“Kamu tahu apa aku lakukan selama empat tahun ini?” tanya Gege. “Aku berusaha melupakan kamu ..., tapi di sisi lain aku juga ingin bahagia.” 

Kama tidak lagi membalas ucapannya. 

“Hidupku baik-baik aja tanpa kamu, karena aku memiliki banyak cinta dari orang-orang di sekelilingku. Tapi melupakan kamu tetap menjadi bagian tersulit.” Gege menarik napas panjang. “Aku selalu mudah membaca masalah orang lain dan menunjukkan mereka jalan keluar. Di balik itu, justru aku sering bingung dengan masalahku sendiri.” 

“Lalu bagaimana hasil dari usaha kamu ... untuk melupakan aku itu?”

“Jangan Yesa.” Gege mengucapkan kalimat penuh peringatan dari Kama. “Aku selalu ingat itu. Jadi, aku memilih salah satu dari teman laki-laki yang aku punya untuk berinteraksi baik, dan kembali jatuh pada Axel, laki-laki yang selalu menerima aku datang asalkan dia nggak pernah aku minta pergi. Tapi di balik itu aku tahu, Axel akan sulit menjadi tujuan akhirku. Tapi semua berjalan baik-baik aja kok .... Sebelum kamu datang dan bikin aku lupa sama semua usaha panjangku selama ini.” 

“Intinya?”

“TOKEK!” 

Suara itu mengejutkan Gege. Hanya Gege, karena Kama tampak terbiasa dengan keadaan itu. Gege mendongak ke arah langit-langit, tatapnya memendar, mencari sumber suara yang terus berbunyi itu.

“Dia nggak akan jatuh,” ujar Kama. Lalu dengan tidak sabar, dia kembali bertanya. “Lalu intinya?” 

Mereka di sana, dengan suara tokek yang menjadi latar belakang percakapan.

Gege menegakkan punggungnya saat hendak bicara jujur. Namun dia menahan diri, dia hanya berkata. “Kehadiran kamu sekarang ini, memengaruhi segalanya.” 

“Dalam artian yang baik? Atau buruk?” 

“Buruk.” Karena dunia Gege menjadi sangat kacau setelahnya.

Kama mengangguk-angguk. “Oke ...,” gumamnya. “Kamu bikin aku mengerti bahwa saat ini kita memang harus memikirkan ulang segalanya.” 

Benar. Mereka butuh waktu. Gege yang sekarang masih merasa segalanya begitu berantakan. “Aku butuh waktu untuk merapikan banyak hal.” Perasaannya, rencananya, tujuan hidupnya setelah benar-benar lepas dari hubungannya dengan Axel yang membingungkan kemarin.

Kama mengangguk. “Benar, aku harus berhenti mengejar seorang wanita yang masih berada dalam fase denial.” Kama bangkit dari tempat duduknya. 

Membuat Gege mendongak memperhatikan sikapnya. 

“Kamu mau dengar keseluruhan rekaman suara malam itu?” tanyanya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana. Sesaat mengotak-atik benda pipih itu, lalu kembali bicara. “Kita nggak pernah melakukan hal di luar ... kegiatan yang hanya saling menyentuh—karena terlalu saling merindukan—malam itu. Kita nggak melakukan apa-apa setelahnya. Aku hanya mendengarkan kamu bicara, lalu kita tidur bersama. Benar-benar tidur.” 

Gege menerima sebuah pesan suara di ponselnya dari Kama. Kali ini, durasinya lebih lama. Sepanjang apa racauannya pada Kama memangnya? Sebanyak apa dia bercerita untuk membongkar apa yang terjadi sebenarnya? Gege menekan rekaman suara itu. 

Pernah aku begitu merindukan kamu .... Pernah aku begitu menginginkan kamu ....

Gege memegangi kepalanya saat mendengar suaranya sendiri dari rekaman itu. Dia memejamkan mata. Terdengar sekali bagaimana suaranya yang begitu putus asa dan menginginkan Kama. Kembali mendengarkan rekaman suara itu setelah mengecilkan volume suara ponselnya. 

Aku nggak bawa kondom .... Suara Kama. 

Nanti aku beli .... Tapi besok? Suara Gege. [Additional Part 56]

Gege memutuskan untuk berhenti mendengarkan rekaman suara itu. Dia akan melanjutkannya nanti. Saat sudah sendiri. Dia berdeham. Lalu mendongak. Dan mendapati tatap Kama yang masih tertuju padanya. 

“Jangan dekati aku sampai ... minimal sampai satu bulan ke depan.” Gege merasakan darah berlarian ke wajahnya hingga terasa panas di sana. Mungkin saja wajahnya sudah berubah merah saat ini saat memutuskan untuk masih menatap Kama. “Aku malu.” Akhirnya dia mengakui hal itu dengan dua wajah yang dia tutup rapat oleh kedua tangannya. 

Kama mengangguk. “Oke.” 

Gege kembali bicara. “Jaga jarak. Jauh-jauh. Jangan dekati aku.” Dia meringis dan ingin sekali menangis. 

Mendadak ingat pada sikap Kama yang begitu percaya diri saat berhadapan dengannya setelah kejadian malam di Candani. Pantas saja! Gege membongkar semua perasaannya di dalam rekaman itu, ya? Gege baru mendengarkan sebagian rekamannya, tapi dia rasanya ingin jatuh pingsan. Bagaimana kalau Gege sudah mendengarkan keseluruhan? 

Kama sudah lebih dulu berdiri itu menatap Gege yang masih duduk di tumpukkan tenda. Tangannya menunjuk ke arah pintu. “Kamu ketuk pintunya, bilang sama Yesa kalau kamu ingin keluar.” 

Gege masih menutup wajahnya. “Kamu aja. Kamu duluan yang keluar. Aku masih mau di sini.” Sialan, ini aku malu banget. 

Kama membuang napas. Lalu melangkah mendekat ke arah pintu. 

Namun, sebelum Kama berhasil mengetuk daun pintu, tiba-tiba dari atas datang sebuah benda berat yang kini terjatuh di pangkuan Gege. 

Bugh! 

Sampai senyaring itu suaranya ketika ... benda berat itu jatuh di atas paha Gege. 

Gege melotot, belum sadar sepenuhnya atas apa yang kini dia alami. 

Lagi?

Untuk kedua kali? 

“TOKEK!” Binatang mengerikan itu melotot padanya dan bersuara saat Gege masih membeku dan membaca situasi tentang apa yang terjadi saat ini. “TOKEK!” 

Gee menjerit. Bergegas bangkit berdiri sambil mengentak-entakkan kaki. Namun, sial. Hewan itu tidak pergi dan malah menggigit rok Gege untuk bertahan menggantung di pakaiannya walau Gege berusaha menjatuhkannya dengan gerakan brutalnya. Yang terjadi, roknya malah robek karena gigitannya tidak lepas. 

Sementara itu, apa yang Kama lakukan? 

Hanya mematung di ambang pintu sambil menatap keadaan di hadapannya. 

“Kamu ngapain, sih?!” bentak Gege. 

“Mau pergi.” Suara Kama datar sekali.

“KAMU JANGAN PERGI DONG!” Gege berteriak saat Kama hendak bergerak. “KAMU KE SINI!” Dia sudah diajarkan bagaimana menghentikan gigitan tokek, tapi membayangkan untuk menyentuh tekstur hewan itu saja dia tidak sanggup. “KAMA!” 

“Aku nggak boleh mendekati kamu minimal sampai satu bulan ke depan.”

“NGGAK! NGGAK! BUKAN SEKARANG! SEKARANG BOLEH DEKETIN AKU SINI—AAA!!! KAMAAA!!!” Tokeknya malah bergerak naik di pahanya, menggigit bagian rok lain sementara dia meninggalkan bagian rok yang robek. 

“Jaga jarak. Jauh-jauh. Jangan dekati kamu. Begitu, kan?” Si Brengsek itu mengulangi kalimat yang Gege ucapkan padanya dengan raut wajah yang tenang. Sesaat kemudian, tubuhnya hendak bergerak keluar. 

 Gege panik. Kembali berteriak. “KAMA BRENGSEEEK!” 

Teriakan itu berhasil membuat Kama berbalik. Dia memalingkan wajah sambil melepaskan tawa singkat, terlihat muak. “Ngomong apa?” tanyanya sambil bergerak mendekat. Matanya menatap lurus. “Ngomong apa kamu?” 

Gege menahan tangis.

“Satu-satunya yang bisa nolongin kamu di sini cuma aku, lho?” gumam Kama heran. 

“Kamu mau ninggalin aku tadi!” Gege nyaris menangis. Putus asa sekali. “Jangan pergi dulu! Ini gimana?” 

“Tolong?” ucap Kama. 

“Apa?”

“Bilang, ‘tolong’,” ulang Kama. 

“Iya! Tolong!” Gege mengatakannua itu sambil setengah merengek.

“Minta tolong yang tulus.”

“Kama, tolongin aku, aku takut—AAA, KAMA NAIK!” Gege menunjuk tokeknya. “INI GEDE BANGET! LEBIH GEDE DARI SEBELUMNYA!” 

Akhirnya, Kama menghampiri Gege yang kini mematung dan tidak berani bergerak. Dia takut hewan itu merangkak naik lagi dan tiba di kemejanya. 

Kama mendekat, merapat, tiba-tiba melepaskan kaus hitam yang dia kenakan. 

“Kenapa lepas baju?!” 

“Nggak bisa kalau nggak dilepas.” Kama. Yang. Kini. Tidak. Lagi. Mengenakan. Kausnya. Itu. Menghampiri Gege.  

Gege membeku, saat Kama sudah berdiri di dekatnya dan membungkuk untuk melepaskan tokek itu dari roknya. Pemandangan lekuk otot punggungnya, membuat Gege menahan napas. “UDAH BELUM SIH? AKU TAKUT, GEDE BANGET!” 

“Udah.” Kama berhasil melepaskan tokek besar itu dari roknya dan membungkusnya dengan kaus hitam miliknya, setelahnya dia mengikat hewan itu dan membiarkan kepalanya muncul dari lubang kaus agar tetap bernapas, menaruhnya di lantai. “Biar tukang yang ngurus besok,” ujarnya. Dia masih berdiri di hadapan Gege. 

Gege perlu mendongak untuk menatap wajah laki-laki itu karena jarak mereka yang terlampau dekat. 

Sesaat Kama membungkuk untuk memeriksa rok Gege yang robek, yang menampakkan sebagian kecil pahanya. “Nggak tembus sampai dalam kan gigitannya?” Kama mengusap kecil paha Gege dengan ibu jari, lalu kembali berdiri benar dan Gege kembali mendongak. Kama bertanya. Tanpa peduli pada Gege yang ingin pingsan saat disuruh melihat langsung dari jarak dekat bentuk lekuk-lekuk otot lengan dan perutnya sekarang. “Jadi gimana? Aku harus jauhin kamu atau jangan?” 

 

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[Additional Scene]

“Udah belum ya, Kama?” Kale dan Yesa melangkah kembali ke gudang setelah berdiam di smoking area. Menunggu dua manusia bebal yang tengah berdebat di dalam ruangan bukan ide yang bagus. Perdebatan mereka terdengar alot, bertele-tele, dan Kale merasa dia mendadak banyak pahala karena menyumbang banyak darah untuk nyamuk-nyamuk yang menggigitinya di depan pintu gudang. 

“Udah kali, masa lama banget dari tadi nggak kelar-kelar?” jawab Yesa. 

Mereka kini, mendekat kembali ke arah pintu gudang. Baru saja tiba untuk berdiri di hadapannya sebelum tiba-tiba, suara teriakan Gege terdengar. “AAA, KAMA NAIK!” Benar itu suara Gege. “INI GEDE BANGET! LEBIH GEDE DARI SEBELUMNYA!” 

Kale dan Yesa saling tatap, mata keduanya melotot. 

“Anjir lah. Kenapa tiba-tiba berubah genre begini?” tanya Kale. Dia mendekat ke arah pintu, hampir menempelkan pintu itu ke telinga untuk mendengar suara yang lebih jelas. 

Dan Yesa ikut-ikutan. 

“Kenapa lepas baju?!” Suara Gege. 

“Nggak bisa kalau nggak dilepas.” Suara Kama. 

“UDAH BELUM SIH? AKU TAKUT, GEDE BANGET!” Suara Gege lagi. 

Kale menangkup mulutnya. “Anjing, Yes. Lo bayangin segede apa punya Kama sampai Gege ketakutan gitu?” tanyanya. “Cobra banget apa?”

 

***

 

 

 

Kama 🤝 Toke

 

Mau Additional Part di Karyakarsa nggak nanti maleeemmm??

 

Kalau mau mana angkat tangannya? 🙌🏻

 

Vote dulu tapiiii. Ramaikan dulu komennyaaa. Kasih api yang banyak abis itu kita ketemu di Karyakarsa yaaaa 🔥🔥🔥🔥

post-image-68285d47e566b.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Kkn
Selanjutnya Hello, KKN! | [Additional Part 61 – Khilaf kok terus-terusan?]
1.6k
512
Haiii. Selamat membaca momen gemes iniii. Manisss-manis gerah lah yakkk kwkwk.Selamat malam mingguan bareng Kama-Gegeee. Ada voucher potongan 2000 untuk 300 pembaca pertama di ig story citra.novy yaaa
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan