
"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak saling suka.
Yang semua orang tahu Kama punya pacar bernama Laika. Yang semua orang tahu, Gege tidak terikat dengan siapa-siapa.
Namun, seiring berjalannya waktu, rahasia yang sederhana ternyata lama-lama ingin menunjukkan diri pada dunia. Ternyata, Kama tidak...
Hello, KKN! | [55. After Party]

Haiii 🌼
Terima kasih banyak karena mau nungguin Part 55 ini yaaa.
Sebenarnya aku harusnya update kemarin, karena lihatttt antusiasme di Part 54 udah keren bangeeettt ya ampun vote komennya Sampek jebol-jebolll!!! Ini boleh nggak kalau aku minta vote-komennya kayak kemarin biar aku semangattt?😆
Maaf ga menepati janji langsung update karena ternyaat ada ajaaa masalahnyaaa. Ini buntut dari kasus plagiasi beberapa hari lalu, kukira sudah selesai, tapi tiba-tiba direcokin lagi hidupku seharian kemarin, dibikin capek banget jujurrr. Pokoknya doakan aku agar tidak tersandung kasus plagiat lagi dan tidak harus berhadapan dengan manusia-manusia yang nggak punya empati, bersikap merendahkan, mengintimidasi, mengancam, playing victim dan menuntut korban harus merasa bersalah sampai nakut-nakutin mau bawa ke jalur hukum atas pencemaran nama baik. Ini kocak sekali. Kotor sekali manusia-manusia itu ternyata.
Kenapa nggak gunakan tenaga mereka untuk mengatasi plagiator sih ya daripada menekan korban plagiat sebegitunya wkwk? Waras-waras lah jiwaku. Doakan aku dilindungi selalu ya. Aamiin bareng-bareng dong. 🤲🏻
Kayaknya habis ini bonusnya aku bakal dapet hadiah haji furoda sekeluarga deh. Wkwk.
Dan janji ya. Pembaca di sini. Tolong. Jangan ada yang sengaja datang untuk plagiat lagi. Karena Demi Allah ini tuh bikin pengen nangis bangettt alias kenapa si ga bisa apa jadi penulis tuh idupnya cuma nulis doang? Sudah kudoakan mereka sadar. Walau aku doain juga Allah membalas semua keburukan itu. Enak aja luuu.
Dan oke. Lupainnnnn negative vibes yang kebawa-bawa dari kemarin .... Balik lagi kita ngehype Kama-Gege gasiii.
Di part kemarin aku ada kesalahan dehhh. Aku nulis nama Rajata padahal Rajata kan nggak ada ya wkwkwk. Aku edit di naskah aslinya aja yaaa makasih udah ngingetiiin. 🌼
Selamat membaca yaaawwwss. Kasi api dulu gasiii iniii 🔥🔥🔥🔥🔥
***
Akad pernikahan Juana dan Zale dilaksanakan di Candani dengan konsep intimate wedding. Pada pukul sembilan pagi, acara dihadiri oleh keluarga inti dan orang-orang terdekat. Tidak lebih dari delapan puluh tamu yang hadir, dan Kama menjadi bagian dari mereka. Dia melalui pintu masuk Candani dan mendapati dua bagian barisan kursi yang disusun rapi di sisi kanan-kiri rumah joglo itu kini mulai terisi.
Kama masih berdiri di area luar rumah joglo, memandang dari kejauhan keadaan yang sayhdu di sana. Tidak riuh, hanya ada tenang, orang-orang bergerak dengan rapi.
Di sana, Kama mulai mencari seseorang yang dia kenali. Ternyata Yash yang tiba pertama di Candani, sehingga Kama dan Yash kini berdiri bersisian di sana sambil sesekali mengobrol sebelum akhirnya Jenggala, Sakala, Gesang, dan Yesa datang. Mereka menghabiskan malam bersama hingga dini hari sebelum akhirnya kembali berkumpul pada pagi hari dengan mata terkantuk-kantuk karena kurang istirahat.
Mereka menggunakan setelan celana dan batik yang sama. Menanti kehadiran Zale yang tengah berganti pakaian di salah satu ruangan khusus pengantin pria.
Gesang berdecak. “Smoking area dulu nggak sih kita? Asem banget mulut.” Wajahnya celingak-celinguk.
“Nggak ada, ya. Udah lah, udah banyak orang juga.” Jenggala menyikut lengan Gesang. “Tahan dulu, ini nggak lama.”
Mereka masih memandangi keadaan tenang di sekitar rumah joglo sebelum akhirnya seseorang datang sambil menepuk satu persatu pundak mereka. “Hi, Bro!” Javindra datang dari arah belakang dan mengejutkan semua orang. “Anjir lah, pada rapi bener sampai gue sulit mengenali dari jauh.” Dia tertawa.
Pelukan-pelukan datang pada Javindra, mereka takjub laki-laki itu menepati janjinya padahal dia tengah bertugas di luar kota. “Baru datang?” tanya Yesa.
“Iya, langsung ke sini.” Wajahnya celingak-celinguk. “Lo udah ketemu Keiya belum?” tanyanya. “Kemeja batik gue ada di dia soalnya.”
Semua menggeleng kecil. “Nggak. Dari tadi kita belum ketemu salah satu dari mereka,” jawab Sakala. “Lo telepon lah. Acaranya udah mau mulai.”
Javindra mengikuti saran Sakala, dia menjauh untuk menghubungi Keiya. “Di mana? Gue di Candani—oh, gue harus ke mana buat ganti baju?” Setelahnya, lak-laki itu menjauh, lalu bergerak ke salah satu ruangan, tubuhnya hilang di balik pintu.
Javindra tidak sadar tingkahnya diperhatikan oleh teman-temannya. Hingga akhirnya, Gesang berkomentar. “Gue rasa, Javindra nih yang ... proses melupakannya paling sulit. Dia akan terus ketemu Keiya karena hubungan mereka nggak mungkin dipisahkan selama orangtua mereka masih sama-sama.”
Semua menatap ke arah Javindra yang kini keluar dari ruangan itu. Sudah mengenakan kemeja batik yang rapi dan pas di tubuhnya. Dia kembali bergerak ke arah teman-temannya sambil membenarkan letak dompet di saku celana kain hitam yang baru dia kenakan juga.
Setelah tiba, Javindra hanya menghela napas.
“Kenapa?” tanya Kama.
Javindra menggeleng seraya membenarkan posisi rambutnya. “Nggak.”
“Pasti salting dia. Baru ketemu Keiya,” tuduh Yesa.
Mendapatkan kalimat itu, raut wajah Javindra malah berubah risau. “Anjir lah .... Pakai kebaya lagi dia.” Ucapan itu dihadiahi oleh tawa, sementara Javindra sendiri hanya menghela napas sambil membuang muka. “Dia kayak lagi godain gue gitu ....” [Dibahas di Additional Part 46 tentang Javin-Keiya]
“Itu lo aja ....” Kama menatap Javindra iba.
“Lo masih kelihatan berharapnya, Vin,” tuduh Yesa lagi. “Udah Vin, malu sama takdir. Udah tahu nggak bisa ngapa-ngapain, masih ngarep.”
“Nanti juga lo ketemu cewek baru lupa lagi,” cibir Gesang.
“People come and go, Vin,” tambah Jenggala. Tidak, mereka tidak sedang menyemangati, mereka hanya tengah mengejek.
“Come and go gimana? Dia mah bolak-balik mulu di hidup gue, nggak pernah beneran pergi.” Javindra selalu minta ditertawakan, padahal kisah hidupnya tidak kalah lebih mengenaskan.
Setelahnya, percakapan mereka harus terhenti karena kini mereka dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan di mana Zale dikurung sejak pagi. Satu per satu dari pria-pria berbatik seragam itu memasuki ruangan. Lalu bertepuk tangan saat melihat Zale kini berbalik dengan pakaian serba putih dan kain batik yang melilit di pinggang.
“Wih, kereeen!”
“Ya ampun Aa Zale beneran nikah ini.”
“Matahari nggak jadi terbit dari Barat udah ini kita selamat.”
“Sehat-sehat ya, Zal, habis ini!”
“Calon kepala rumah tangga nih. Udah nggak akan kena omelan Juana lagi dong sekarang? Kan lo pemimpinnya.”
“Selamat terpenjara seumur hidup ya, Zal!”
Zale yang mendapatkan kalimat-kalimat ngawur tidak berkesudahan itu hanya tertawa-tawa. Sesaat dia berbalik, lalu menatap cermin. “Ini gue udah oke belum nih?” tanyanya memastikan.
Namun, apa yang dia harapkan dari jawaban teman-temannya yang freak itu, sih?
“Udah, udah oke banget nih kelihatan calon-calon suami yang bakal kena jajah istri.”
Zale tertawa lagi. “Lo juga bakal ngerasain lah ... kalau udah jatuh cinta banget tuh, jangankan dijajah, seluruh yang lo punya bahkan rela lo kasih buat dia.”
“JIAKHHH ...!”
“Geli! Geli!”
“Ampun, Aa! Ah!”
Tidak lama setelahnya. Zale diminta untuk melangkah keluar. “Akad sebentar lagi akan dilaksanakan, Mas Zale.”
Setelah mendengar pernyataan itu dari pihak panitia acara, suasana yang tadi penuh ejekan, kini berubah menjadi senyap. Zale menarik napas panjang, tampak sekali gugup di wajahnya. Dan setelahnya, satu per satu temannya mulai bergantian memeluk untuk memberikan dukungan.
“Semuanya pasti lancar,” ujar Kama sambil menepuk-nepuk pundak Zale.
“Semangat, semangat!” tambah Yash sambil menepuk-nepuk pundak Zale yang lain. “Kita bagian tepuk tangan sambil bilang ‘Sah’ paling kenceng nanti!”
Setelahnya, mereka benar-benar melangkah keluar. Di saat Zale harus berbelok menuju rumah joglo, Kama dan teman-temannya yang lain harus bergabung di antara barisan kursi yang masih tersisa di depan rumah joglo itu. Di sisi kanan dan kirinya, menatap pada dekorasi serba putih rumah joglo tempat akan di dalamnya acara akad pernikahan Zale dan Juana.
Kama sudah mendapatkan kursi, disusul oleh Yesa yang duduk di sisinya. Sementara yang lainnya kini mengikuti.
Suara pemandu acara mulai terdengar dari pengeras suara yang kini menggema. Namun Kama terdistraksi oleh ponselnya yang bergetar berkali-kali mengantarkan pesan singkat.
Kale
Anjir lah.
Cakep banget.
Gue yakin sih untuk jadiin dia role model dalam mencari pasangan.
Lo udah lihat postingan terbaru mantan lo belum?
BAJINGAAAN. RUGI LO PUTUS SAMA DIA, KA.
Lihat tuh.
MILIK ORANG LAIN NIH, BOS.
Tapi kalau gue jadi lo sih, gue kejar aja. Perkara leher putus kena tebas Om Favian, urusa belakangan.
Apa gue aja yang kejar kali? WKWKWKWK.
Setelahnya, Kama melihat Kale mengirimkan lagi satu pesan singkat. Sebuah foto. Gege yang tengah berdiri di tangga sambil tersenyum dengan kebaya cokelat muda. Dia perlihatkan kaki jenjangnya dari belahan kain batik yang melilit pinggul hingga tumit. Rambutnya disanggul rapi, disisakan beberapa helai untuk membalas wajahnya yang kini tersenyum ke arah kamera.
Sialan.
Kama tertegun cukup lama karena terhipnotis oleh foto itu.
Suara pemandu acara terdengar lagi dan hal itu membuat Kama segera mengalihkan tatap dari layar ponselnya. Dia berdeham kecil untuk menenangkan dirinya sendiri. Lalu, menatap ke arah depan. Pada musik yang terayun syahdu.
Sebelum akhirnya,
“Hadirin yang berbahagia, tibalah saat yang penuh haru dan kebahagiaan. Dengan penuh rasa hormat dan cinta, marilah kita bersama-sama menyambut kehadiran sosok yang telah dinanti.” Suara pemandu terdengar lagi setelah dijeda oleh alunan musik. “Hadirin sekalian, mohon berdiri dan arahkan pandangan Anda ke arah pintu masuk, karena kini kami persilakan … mempelai wanita yang anggun dan memesona … untuk berjalan menuju tempat akad pernikahan.”
Setelahnya, hanya ada suara musik yang mengalun khidmat. Para tamu menoleh ke arah belakang, pada lorong yang penuh bunga, yang kini menghadirkan sosok wanita dengan kebaya putih dan mahkota cantik di kepalanya. Sesaat tertunduk sebelum akhirnya menegakkan wajah untuk tersenyum.
Namun, bukan sosok calon pengantin wanita yang kini membuat tatap Kama terpaku sambil bertepuk tangan sesuai instruksi dari pemandu acara. Melainkan, salah satu wanita yang kini mengiringi langkah calon mempelai wanita di samping kiri.
Gege dan kebaya cokelat muda, seperti yang Kama lihat pada foto yang dikirimkan oleh Kale, benar-benar hadir di depan matanya. Dan menjadi pemandangan indah yang mampu membuat Kama selama beberapa saat sempat berpikir ... tidakkah ada kesempatan lagi untuknya melakukan satu usaha?
***
Selama akad pernikahan berlangsung, Kama bisa tenang-tenang saja dan merasa hidupnya masih baik-baik saja. Namun, setelah acara akad pernikahan di pagi hari selesai dan memasuki resepsi pernikahan Juana dan Zale yang dilaksanakan pada pukul tujuh malam, suasana mendadak berubah.
Kama pikir, dia akan tetap bisa santai saja saat melihat Gege bersama Axel berjalan bersamaan memasuki area gedung yang berada di Candani. Kama pikir, dia akan tetap bisa tertawa pada lelucon Javindra saat melihat Axel merangkul pinggang Gege saat melintasinya.
Ternyata hal itu masih memengaruhinya sehebat apa pun dia berusaha menyangkal.
Akad pernikahan yang syahdu tadi pagi terasa lebih berkesan karena Kama tidak perlu memalingkan wajah atau pura-pura menunduk untuk mengalihkan perhatian saat tidak sengaja memergoki Gege yang tengah mendengarkan bisikan Axel atau sekadar berbicara.
Kama akhirnya memutuskan untuk pergi dari area itu, selain sesak karena semakin malam tamu semakin banyak, dia juga butuh ruang untuk mengambil napasnya dengan tenang. Kama keluar dari keramaian menuju ruang terbuka di sekitar Candani. Ada smoking area yang berada dekat kolam yang kini dia hampiri.
Di sana, Kama langsung menangkupkan tangan di sisi wajah untuk menyulut ujung rokok dengan pemantik apinya.
“Tuh kan, gue tahu lo pasti di sini.” Suara Yesa terdengar.
Kama menoleh dengan asap tipis yang keluar dari bibirnya, bergerak di depan wajahnya yang segera menguar ditelan udara. “Kenapa?”
Yesa meraih pemantik dan rokok dari tangan Kama. “Nggak apa-apa, mau tahu aja kondisi lo kayak apa.”
Kama mengernyit sambil menatap Yesa yang kini sudah berhasil membakar ujung rokoknya.
“Ini pertama kalinya lo lihat momen Gege sama Axel saat mereka bareng-bareng, kan?” tanyanya. “Gimana ... rasanya?”
Kama mengangkat bahu. Tidak berniat menjawab, jadi dia hanya berbalik dan menghadapkan tubuhnya pada kolam di hadapannya.
“Yah, gue tahu ... pasti masih nggak enak aja sih rasanya ketemu gini walaupun lo berdua udah lama putus,” ujar Yesa. “Itu yang Gege rasain waktu dia lihat lo bareng-bareng sama Laika.” Yesa menyeringai.
Dan Kama mulai gerah. “Lo jauh-jauh nyusul ke sini cuma buat ngatain gue kayak gini?”
“Ngingetin.”
“Udah inget.”
“Oh ....” Yesa terkekeh, asap rokok lepas dari celah-celah bibirnya.
Berhasil Gege membuatnya berantakan jika memang itu tujuannya. Dia berhasil melakukan balas dendamnya dengan baik hingga Kama segan untuk berusaha memperbaiki dan menahan diri untuk tidak lagi berada di dekatnya. Gege berhasil membuat Kama sulit memaafkan dirinya sendiri atas kesalahan yang dia ingat-ingat lagi pernah dia lakukan pada wanita itu.
“Gege datang ke lo, hanya untuk kasih makan egonya,” ujar Yesa seakan-akan bisa menembus isi kepala Kama. “Ego ‘Gege kecil’ yang selalu lo abaikan selama hampir dua puluh tahun lamanya lo hidup .... Yah .... Sama halnya seperti lo yang dulu memilih Laika karena merasa ego lo terluka, nggak bisa memilih pasangan sendiri berkat doktrin kedua orangtua lo.”
Kama menoleh lagi.
“Sekarang impas lah. Skor sementara satu-satu,” lanjut Yesa.
Setelahnya, Yesa menepuk-nepuk pundak Kama. Sesaat dia menggosokkan ujung rokok di atas tempat sampah sebelum membuang puntungnya yang mati. “Masuk, bentar lagi udah mau selesai pestanya.”
Kama melirik arloji di pergelangan tangannya. Benar, hampir pukul sebelas malam. Dan sekarang dia melakukan apa yang Yesa lakukan. Mematikan ujung rokok, membuang sisanya, lalu mengikuti arah gerak Yesa untuk kembali ke gedung Candani tempat resepsi dilaksanakan.
Di sana, tamu mulai surut, tersisa beberapa kerabat dekat yang tengah bercengkrama sebelum waktu resepsi benar-benar selesai.
Juga, semua teman-teman Zale dan Juana yang kini ada di beberapa meja.
“Eh, gue udah nyediain tempat buat kita santai-santai habis ini!” seru Juana sambil mendorong Kama dan Yesa ke arah seorang pramusaji yang tengah membereskan meja. “Mas anterin temen saya ke tempat yang tadi, ya. Yang tempat teman-teman saya ngumpul.”
Ternyata, Juana dan Zale menyediakan sebuah tempat di halaman belakang. Sebuah rumah kayu yang terbuka, menghadap pada danau buatan luas dengan airnya yang tenang. Rumah kayu itu memiliki sekat kaca yang hanya perlu digeser agar dinding bagian depan terbuka seluruhnya, hanya ada satu set sofa berbentuk melingkar di sana, yang tentu saja telah diisi oleh orang-orang yang mereka kenali.
Di sana ada Gege—oh, tentu saja dia adalah orang pertama yang Kama sadari kehadirannya. Gege duduk di samping Samira, Cleona, Sabine, Keiya, Gesang, Jenggala, Javindra, Sakala, lalu Kama dan Yesa menyusul setelahnya.
Jadi, oke di dalam lingkaran itu, dengan arah berlawanan jarum jam, Gege duduk di samping Yesa, disusul oleh Kama.
“Nggak ada yang boleh bahas masalah kerjaan di sini.” Suara Javindra terdengar mengancam. Sementara yang lain hanya menahan tawa.
“Ini orang yang sama, yang ngeluh mau resign karena capek kerja itu, ya?” tanya Sakala, tentu saja pada Javindra.
“Basi ah ....” Jenggala mengibaskan tangan.
“Batu loncatan, batu loncatan .... Tiga tahun nggak pindah-pindah itu batu fondasi bukan batu loncatan,” timpal Yesa, sementara Javindra hanya melepaskan tawa sinis.
Di hadapan mereka telah disediakan begitu banyak gelas minuman dengan dua jenis berbeda. Namun, Kama tidak bertanya itu untuk apa. Dia hanya penasaran, sekarang, tidak ada Axel lagi kan yang menghalangi gerak pandangnya pada Gege?
Gege masih mengenakan dress biru mudanya, dress yang sejak tadi enggan Kama perhatikan bagaimana bentuknya karena ketika melihat wanita itu, otomatis dia juga akan melihat sosok pria di sisinya.
Dan ya, selalu tampak sempurna seperti saat dia tertegun lama pagi tadi saat melihat penampilannya saat berkebaya.
Wanita itu mengenakan dress berpotongan dada agak rendah, bagian dadanya membentang dari pundak kiri ke kanan lurus, di atasnya, ada tali yang melintang menyambungkan dari pundak satu ke pundak lainnya.
Tali itu kecil, tipis, dan tampak tidak ada gunanya. Namun, tali itu yang sejak tadi membuat Kama mencuri pandang sesekali sebelum mengalihkan tatap di antara percakapan yang terdengar di meja.
“Weekend ini gue kan bilang kalau gue ada acara?” ujar Sabine sambil memelototi Yash. Entah apa percakapan mereka sebelumnya. “Gue nitip Ivy. Gue kan udah bilang.” Sewot sekali dia.
“Gue mendadak ada acara keluarga,” jawab Yash sambil menyingsingkan kemeja di pergelangan tangannya. “Gue juga kan udah bilang.”
“Tapi weekend kemarin, lo juga pergi dan nggak bisa jagain Ivy.”
“Karena gue udah bilang sebelumnya gue ada kerjaan di luar kota.”
Sabine berdecak. “Capek banget gue sama lo.”
Yesa menimpali, “Cerai aja, cerai.”
“Udah,” sahut Yash. Seperti biasa. Singkat.
“Oh iya.” Yesa memberi cengiran. “Kalau nggak cerai, nggak mungkin Ivy bolak-balik rumah emak-bapaknya tiap weekend ya ...?”
“Jadi gimana?” tanya Sabine. “Gue tuh udah risih banget sama lo ya Yash tiap kali bahas perkara weekend begini.”
Semua sama-sama menahan tawa. “Udah Yash jangan ngomong lagi ...,” ujar Kama menengahi.
“Bisa jadi lima jilid isi katanya ‘risih’ semua,” timpal Javindra.
“Ya udah, nanti Ivy aku bawa.” Akhirnya Yash menyerah. Daripada dia mendengar kata ‘risih’ diulang berkali-kali hingga sakit telinga.
Setelahnya, Sabine hanya menghela napas sambil menatapnya sinis.
Tidak lama kemudian, Juana dan Zale datang. Mereka telah mengganti pakaian pesta yang mereka gunakan tadi dengan pakaian yang lebih kasual. Juana dengan dress merah mudanya, dan Zale dengan kemeja putihnya. Mereka bergabung, membuat yang lain bergeser untuk memberikan ruang bagi mereka duduk.
Dan Kama terpaksa menggeser duduk ke arah Yesa, semakin dekat jarak duduknya dengan Gege, tapi semakin sulit dia ketika hendak diam-diam memperhatikan seperti sebelumnya.
“Jadi, Guys! Thank you soooo much!” Juana menepukkan tangannya satu kali dan menyimpannya di dada. “Hari ini gue seneng banget karena kalian bisa hadir! Gue seneng banget karena kita bisa berkumpul lagi di sini. Gue sampai bilang sama Zale, boleh nggak sih pestanya lebih lama biar gue bisa lebih lama juga menikmati momen sama kalian?”
“Kangen KKN kali dia.” Tunjuk Zale membuat semua melepaskan tawa.
“Tapi serius, memang bener kayaknya gue kangen KKN deh!” seru Juana.
“Kita boleh kok, kalau sesekali mau ke Welasasih.” Kama memberi ide.
“Ide bagus.” Yesa menjentikkan jari. “Lo belum ketemu Mak Wasih lagi kan, Ge?” Dia menoleh ke samping, pada Gege.
Dan wanita itu mengangguk kecil. “Iya, belum.”
“Ayok! Kita bikin rencana dari jauh-jauh hari biar siap semua!” sambut Cleona.
Di meja itu, setelah ramai membahas Welasasih, dan segala kejadian di sana sambil tertawa-tawa, akhirnya mereka tiba pada waktu games yang diinginkan Juana. “Ini tuh games-nya, Truth or Drink!” Juana tertawa saat memberi tahu rencananya. “Ya ampun gue tahu ini tuh ... childish banget, tapi untuk membayar momen bridal shower gue yang nggak terlaksana kemarin, kalian semua harus ngikutin keinginan gue!”
“Khusus cewek dong berarti?” tanya Zale.
“Ya nggak dong, Sayang! Cowok juga ikutaaan!” Sepasang lengan Juana mengalungi leher Zale.
Ada sebuah botol kaca yang diputar di tengah meja untuk menunjuk korban pertama yang akan mendapatkan pertanyaan entah dari siapa. Mereka memperhatikan benda itu hingga bergerak melambat, melambat, lalu terhenti.
Menunjuk satu orang.
Ternyata, korban pertamanya adalah Javindra.
Saat semua mata tertuju padanya. Javindra mengernyit sambil menatap Keiya. “Ngapain lo ngelihatin gue kayak gitu? Niat godain gue lo, ya?”
Keiya bergidik. “Nggak jelas! Ngapain gue godain lo?!”
“Vin, jawab, Vin. Waktu kekunci di toilet sama Keiya, lo ngapain?” Itu adalah pertanyaan yang diajukan oleh Yesa. Namun tentu semuanya setuju akan hal itu.
Semua bersorak, lalu senyap untuk menunggu jawaban.
Javindra menghela napas panjang, seperti hendak bicara. Dan Keiya kini tampak paling tegang saat menanti jawabannya. Namun setelahnya, Javindra mengambil segelas minuman dari meja dan meminumnya sampai tandas sesuai perjanjian. Dia lolos dari pertanyaan. [Additional Part 50 jawabannya yaws]
“AHHH CUPUUU!” ejek yang lainnya.
“JELEK! JELEK! NYALINYA JELEK!”
Botol kedua berputar.
Menunjuk ... Kama.
Yesa yang duduk di sisinya sudah cekikikan. Tentu saja dia yang akan memberikan pertanyaan, karena dia selalu memiliki pertanyaan yang mewakili isi kepala teman-temannya. “Kalau dikasih kesempatan untuk bicara sama Gege, berdua, apa yang mau lo omongin, Ka?”
Kama bisa saja langsung bicara. Dia juga merasa tidak perlu harus menghargai perasaan Axel yang saat ini menjadi kekasih Gege. Namun, dia ingat ucapan Mia. Kalau ... Gege nggak ingin mengkonfrontasi masalah yang terjadi empat tahun lalu, Mia mohon ... jangan katakan apa pun, ya?
Kama akan mematuhinya mulai saat ini. Sehingga dia mengambil segelas minuman dan memasukkan cairan keruh beraroma buah beri itu menggigiti lidah dan kerongkongannya.
“NGGAK SERUUU!” sorak yang lainnya.
Semua tampak kecewa.
Botol kembali berputar.
Kali ini, ujungnya tertuju pada Zale.
Lagi-lagi, Juana ingin Yesa yang memberi pertanyaan pada suaminya. Jadi, Yesa menurut saja. “Takut nggak sama Jua?” Pertanyaan itu menghasilkan tawa.
“Nggak lah ....” Zale berdeham, mengabaikan kernyitan kening Juana yang duduk di sisinya. Dia mengambil botol kaca dari tengah meja, dia anggap itu sebagai microphone, lalu ... “Perlu di ingat saudara-saudaraku. Nanti, jika suatu saat kalian menjadi seorang suami. Kita. Ini. Adalah. Kepala. Keluarga.” Dia menekan setiap kata. Lalu menoleh pada Juana. Mengerjap-ngerjap seakan-akan dia kesalahan bicara. Lalu, “Istri kita adalah lehernya, jadi ... mau ke mana arahnya leher bergerak, kepala wajib mengikuti. Itu, bukan takut. Tapi memang harus begitu.”
Yesa meringis kecil, tangannya bertepuk tangan diikuti yang lain.
Lalu, Zale menoleh pada Juana. “Gitu kan, Sayang?”
“Iya, Sayang!” sahut Juana.
Luar biasa. Pasangan pengantin baru itu.
Botol diputar lagi. Kali ini menunjuk Gege. Dan seisi meja menjadi sangat heboh. Karena mereka tahu, anak baik-baik seperti Gege tidak mungkin mau menghabiskan minuman yang selama ini dia hindari.
“Gege ....” Suara Yesa bernada. “Jawab pertanyaan gue ....”
Lihat, Yesa sudah cengengesan dan Gege mulai curiga.
Lalu, Yesa bertanya. “Apa alasan lo jadian sama Axel?”
Gege menatap Yesa selama beberapa saat. Tampak berpikir. Lalu, siapa sangka di tengah tatapan orang-orang yang tertuju padanya, dia mengambil gelas berisi minuman yang selama ini amat sangat tidak dia sukai itu.
Semua melongo.
Sementara Gege baru saja menyimpan gelas kosong di tengah meja dengan wajah meringis kecil.
“Ge?” Samira agak panik.
Namun Gege tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja.
“L-lanjut ...,” ujar Cleona sambil melambaikan tangannya pada Yesa.
Bukan Yesa namanya kalau tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan dengan caranya yang usil, kan? Dia putar berkali-kali botol itu dan korban terus hanya bergantian pada Kama dan Gege sehingga masing-masing dari mereka berhasil meminum tiga gelas minuman di tengah meja.
Gege menghindari pertanyaan tentang Axel.
Kama menghindari tentang empat tahun lalu atau apa pun yang berhubungan dengan Gege.
Hingga akhirnya Yesa menyerah dan memutar botol hingga yang lain tiba menjadi korban berikutnya.
Botol berputar puluhan kali hingga semua berhasil menjadi korban. Semua pernah mengambil bagian untuk minum, juga menjawab secara jujur atas pertanyaan yang Yesa ajukan. Hingga akhirnya, di permainan terakhir botol berputar lagi.
Sialnya, menunjuk Gege lagi.
Dan Yesa yang sudah tampak pusing karena minuman yang diminumnya tadi, kini bertepuk tangan pelan. Yesa menggumam kecil sebelum memberi pertanyaan, “Ini minuman apaan, sih? Kok, bikin pusing banget?” katanya agak linglung. Lalu, dia beralih pada Gege. “Ge ..., pertanyaannya ....” Tangannya menunjuk wajah Gege. “Jawab jujur. Lo jadian sama Axel cuma biar gue nggak nungguin ngejar Ona sampai usia dua puluh enam tahun, kan?” Kali ini pertanyaannya lebih spesifik.
Namun, tangan Gege yang sudah lemas itu hendak bergerak mengambil gelas minuman yang tersisa di tengah meja. Beruntung Kama berhasil mencegah dan meraih tangannya.
“Yes?” Kama memberikan peringatan pada Yesa.
Dan Yesa cekikikan. “Oke ....” Yesa menoleh pada Gege. “Ganti pertanyaan ....,” ujarnya. Sebentar berpikir di antara sakit kepalanya. Lalu, “Apa yang mau lo sampaikan ke Kama seandainya lo dikasih kesempatan untuk mengungkapkan isi hati lo atas kejadian empat tahun lalu?”
Gege bicara sambil memegangi satu sisi kepalanya. Entah sadar atau tidak saat ini dia bicara. Bisa jadi dia juga sudah menyerah pada gelas minuman di tengah meja. Suaranya terdengar. Jadi dia terpaksa bicara, “Maaf ....” Selanjutnya, dia tidak berkata apa-apa lagi dan hanya memegangi kepalanya sambil meringis.
“Oke, selesai!” Kama meraih botol dari tengah meja.
“Minumannya belum habis?” tunjuk Javindra.
Namun, Kama menggeleng. “Nggak, nggak.” Dia tidak akan membiarkan Gege, Sabine, dan Keiya tampak lebih parah lagi keadaannya jika permainan harus diteruskan. Ketiga wanita itu paling banyak memilih minum daripada bicara jujur, mereka tampak paling kesakitan walau masih tersisa kesadaran.
Juana dan Zale sudah menyediakan masing-masing kamar untuk teman-teman wanitanya. Sementara untuk teman pria, mereka menyediakan beberapa kamar untuk dipakai bersama. Sebelum meninggalkan rumah kayu itu, Juana memberikan kunci kamar masing-masing sambil menjelaskan nomor kamar dan letaknya.
Lalu, Kama memperhatikan bagaimana Gege kini melangkah keluar dari rumah kayu itu untuk menjejak jalan menuju ke arah kamar dengan petunjuk dari kunci kamar yang kini digenggamnya. Dia berjalan melalui jalan di area taman Candani dengan cara berjalan yang sempoyongan. Kemudian angkahnya masuk ke sebuah vila dengan beberapa pintu yang tampak saling berhadapan.
Gege melihat lagi nomor di kunci kamarnya, lalu memperhatikan nomor yang sesuai dengan yang tertulis di pintu.
Dan Kama memperhatikan tingkah itu di belakangnya.
Sesaat sebelum Gege menggapai handle pintu, tubuhnya limbung, hampir terperenyak. Namun beruntung Kama lebih cepat meraih tubuhnya sebelum menumbuk lantai.
Gege terkesiap.
Sadar bahwa yang memeluknya kini adalah Kama.
Tangannya bergerak mendorong, meminta Kama menjauh. Dan tentu saja Kama melakukannya. Namun, tidak membiarkan Gege membuka kunci pintu sendirian. Dia meraih kunci itu dan mengambil alih pintu yang kini terbuka.
Ruangan itu menyala saat Kama menaruh kunci kartu di holder dekat pintu. Lalu dia melihat Gege bergerak ke arah tempat tidur sambil menarik-narik tali sepatunya yang sulit lepas.
Dan ya, tentu saja Kama terdorong untuk menolongnya. Kama menghampiri Gege dan membimbingnya untuk duduk di tepi tempat tidur. Setelahnya, Kama berlutut di hadapannya. Tanpa mengatakan apa-apa, Kama membantunya membuka tali sepatu yang mengelilingi tumitnya.
Lalu, dia mendengar lagi gadis itu berkata lagi. “Maaf ....”
Kama mendongak, lalu menyingkirkan sepasang sepatu itu dari sisi kakinya.
Gege mengerjap lemah. “Maaf ...,” ulangnya.
Kama yakin wanita itu membencinya. Namun, Gege yang selalu berhasil meredam marahnya atas apa yang dia terima, mungkin tengah merasa bersalah dan alam bawah sadarnya meminta dia untuk meminta maaf sekarang.
“Nggak apa-apa,” ujar Kama. “Aku yang harusnya minta maaf.”
Satu tangan Gege ditaruh di sisi wajah Kama, bergerak jemarinya mengusap kecil. “Kamu ... apa kabar?” tanyanya. “Itu yang selalu ingin aku tanyakan setiap kali kita bertemu.”
Mereka bertemu tatap. Lama. Lalu Kama menjawab. “Aku baik. Aku sudah bisa menerima semuanya. Aku sudah mengerti kenapa kamu marah. Aku mengerti kenapa kita nggak bisa sama-sama.” Kama berkata demikian karena dia tahu, kemungkinan besar Gege tidak akan mengingat tentang apa yang diucapkannya malam ini. “Aku sadar bahwa ... yang terbaik adalah melepaskan kamu.”
“Kamu menemukan masa-masa yang sulit?” Suara Gege nyaris seperti gumaman lirih.
“Banyak. Tapi aku bisa melalui semuanya.” Kama bangkit, dan posisinya membuat Gege mendongak. “Kamu istirahat, nanti aku akan carikan obat antinyeri untuk jaga-jaga saat terbangun dan kepala kamu masih sakit.” Walau Kama meringis setelahnya, karena dia juga merasakan hal yang sama di kepalanya.
Lalu, ternyata Kama masih belum mau beranjak dari ruangan itu.
Jadi, dia membungkuk, agar leher Gege tidak pegal karena dia terus mendongak saat menatapnya. “Tidur .... Istirahat yang cukup karena kamu—“ Suara Kama terhenti karena Gege baru saja bergerak mendekat untuk merapatkan wajahnya. Entah di mana tujuan bibirnya mendarat, tapi Kama merasakan bibir lembut itu menyentuh bagian tengah lehernya yang menonjol, yang kini bergerak-gerak. Gege menciumnya tepat di sana. Selanjutnya, tangan Gege terangkat, mengusap pundak Kama, bergerak turun pada butir-butir kancing kemejanya sementara bibirnya masih dia tempelkan di sisi leher Kama.
Kama sesaat menarik napas, berusaha menolak isi kepalanya yang kini memberikan ide-ide liar yang kurang ajar.
Selanjutnya, Gege kembali bicara. “Pernah aku begitu merindukan kamu .... Pernah aku begitu menginginkan kamu ....”
Tatap keduanya bertemu. Lama. Saling mencari jawaban atas empat tahun yang kebanyakan dimakan rindu lalu berakhir dengan keadaan yang berantakan. Dan kini, Kama tidak boleh lagi membuang waktu.
Mia, Kama tidak pernah memulai untuk membicarakan masa lalu. Gege yang memberinya ruang untuk membuka empat tahun lalu dan berkata tentang apa pun perasaannya. Jadi, jika ke depannya Kama menuntut penjelasan itu, itu adalah haknya, karena Gege yang memberinya kesempatan untuk tahu.
Namun, untuk kali ini ... biarkan Kama meredam segala tanya. Karena kini Kama sudah mendaratkan satu ciuman di bibir Gege sambil mendorong wajah itu hingga tubuh lemahnua berbaring di atas tempat tidur. Saat tubuh Kama dikuasai oleh jemari Gege yang mulai meloloskan satu per satu kancing kemeja di dadanya, jemari Kama kini baru saja mengait tali yang menautkan dua pundak gaun yang Gege kenakan. Dan ... kain kecil tipis yang kini terlepas itu, membuat gaunnya berhasil lolos begitu saja ....
***
WUT WUT WUT WUT
KALI INI MAH MESTI SEPULUH JUTA KOMEN KALAU MAU DOUBLE UPDATE KITA PART DEPAN. SAMBIL WUT WUT WUT LAGI ATAU NGGAK, ITU TERGANTUNG VOTE LAH😋😋😋😋😋
Tapi kalau nggak mau ya gapapa. 😋😋😋😋
Kalau mau ya ayooook ledakan vote dan komennya. Kasih banyak apinya di siniiiiiiiiiiiiii sampai menyalaaahhhh😋🔥🔥🔥🔥🔥

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
